Konsep dan Model Pengembangan Kawasan

49 2.4 Tinjauan Empiris Dinamika Spasial Sistem Perikanan 2.4.1 Tipologi kawasan pengembangan perikanan Tipologi kawasan pengembangan perikanan belum banyak dikembangkan karena metode ini lebih banyak digunakan terkait dengan pengembangan wilayah secara makro. Namun demikian hasil penelusuran pustaka menemukan beberapa studi yang memiliki keterkaitan dengan tipologi kawasan. Penelitian ini menggunakan istilah tipologi kawasan, walaupun istilah yang umum dipakai adalah tipologi wilayah. Rahmalia 2003 telah melakukan kajian tentang tipologi desa pesisir, yang menggunakan beberapa pendekatan seperti skalogram dan PCA untuk membandingkan hasil penentuan tipe desa pesisir dalam konteks pengembangan. Namun demikian, pendekatan ini masih belum mengakomodasi perbedaan desa pesisir sebagai suatu ruang wilayahkawasan yang menunjukkan adanya kapasitas ruang dan keunggulannya. Demikian juga pemetaan desakawasan dalam belum diarahkan dalam konteks wilayah sebagai inti dan periferi. Hal ini seharusnya menjadi dasar untuk menentukan pada tipe pengembangan apa suatu desa atau kawasan sesuai kapasitasnya dalam menghasilkan produk di kawasan. Van Eupena et al. 2012 menggunakan konsep tipologi untuk mendukung kebijakan pengembangan wilayah pedesaan. Model yang dikembangkan memperkenalkan tiga aspek baru untuk memperkaya konsep tipologi, antara lain: 1 luasnya perbedaan disparitas geografis antar wilayah; 2 heterogenitas wilayah; dan 3 gradien spasial antar wilayah. Brezzi et al. 2011 yang mengembangkan tipologi wilayah untuk mencermati kinerja ekonomi wilayah dengan akses yang sangat lemah. Hal penting yang melatarbelakangi pengembangan tipologi wilayah ini adalah diparitas wilayah pada aspek ekonomi dan sosial. Pendekatan ini menghendaki adanya kebijakan untuk mereduksi disparitas wilayah melalui alokasi sumber daya yang diinisiasi oleh pemerintah. Model tipologi wilayah yang dikembangkan mengakomodasi komponen-komponen utama pembentuk struktur ruang, yaitu: aksesibilitas, distribusi sumber daya manusia, jaringan interaksi, pusat-pusat pengembangan, dan wilayah pelayanan. 50 Dalam konteks struktur ruang, khususnya untuk kepentingan pengembangan suatu wilayah, ada perbedaan kondisi pembangunan yang terjadi antara wilayah inti dan periferi. Jika wilayah inti memiliki kapasitas yang kuat dan prospek pengembangan yang baik, maka wilayah periferi memiliki dua kondisi, yaitu: 1 lemah kapasitas tetapi memiliki potensi sumber daya yang kuat; dan 2 kapasitas lemah dan potensi sumber daya sangat kurang. Kondisi ini yang menyebabkan harus adanya integrasi antar wilayah untuk pengembangannya secara bersama, terutama dalam rangka menghindari disparitas wilayah yang semakin meluas Lorentzen, 2009. Selanjutnya wilayah periferi dibagi atas empat kelompok: 1 wilayah periferi yang dekat dengan wilayah pusat; 2 periferi yang memiliki potensi sumber daya yang sangat kuat; 3 periferi dimana kegiatan pertanian yang cukup dominan; serta 4 periferi yang memiliki akses lemah dan potensi sumber daya yang kurang. Stohr 1999 membagi suatu wilayah pengembangan atas empat tipe, yang disebutnya sebagai tipologi wilayah. Pertama, wilayah inti yang memiliki kapasitas infrastruktur yang kuat dan potensi sumber daya alam yang banyak. Kedua, wilayah periferi aktif yang memiliki potensi sumber daya yang sedikit namun kapasitas pemanfaatannya cukup baik. Ketiga, periferi pasif merupakan wilayah dengan potensi sumber daya yang banyak namun pemanfaatan dan tingkat produksinya sangat sedikit. Keempat, periferi netral merupakan wilayah yang cenderung stagnan atau lambat perkembangannya, karena potensi sumber daya dan kapasitas lemah sementara produksinya sedikit. Penelitian ini mengakomodasi model yang dikembangkan oleh Stohr yang membedakan wilayah atas empat kelompok sesuai dengan hubungan antara kapasitas dan potensi dengan produksi dan output yang dihasilkan oleh suatu kawasan pengembangan perikanan. Pendekatan ini untuk menentukan kawasan- kawasan yang dapat menjadi inti maupun periferi, dimana hasil ini diperuntukan dalam membedakan kawasan pusat dan kawasan belakang hinterland sebagai suatu kesatuan ruang yang dibedakan berdasarkan struktur ruangnya. Penelitian ini menggunakan potensi sumber daya yang dipetakan bersamaan dengan produk yang dihasilkan dan kinerjanya. 51

2.4.2 Indeks sentralitas sistem perikanan

Indeks sentralitas telah banyak dikembangkan bagi kepentingan menentukan struktur wilayah untuk berbagai kepentingan. Penggunaan untuk kepentingan pengembangan kawasan perikanan belum dikembangkan, khususnya dengan menggunakan variabel dasar komponen-komponen sistem perikanan. Walaupun demikian, beberapa konsep dasar dari indeks sentralitas menjadi penting untuk digunakan dalam pengembangan struktur wilayah sebagai salah satu komponen dasar pada penataan ruang wilayah. Shresta 2004 menyatakan sangat sedikit metode yang dapat digunakan untuk menentukan hirarkhi dari suatu titik nodal. Skalogram dan indeks sentralitas merupakan dua metode yang sangat populer bagi para perencanaan wilayah. Skalogram merupakan teknik grafis dan indeks sentralitas merupakan suatu teknik kuantitatif untuk menentukan hirarki dari wilayah. Dalam studinya ini, diadopsi indeks sentralitas untuk menentukan hirarki titik-titik nodal dengan formula yang dikembangkan oleh Sarma et al. 1984. Formulasi indeks sentralitas merupakan akumulasi dari nilai atau fungsi wilayah dan bobot fungsinya. Hirarki suatu wilayah sangat terkait dengan hirarki fasilitas kepentingan umum dimasing-masing wilayah. Hirarki wilayah dapat membantu untuk menentukan fasilitas apa yang harus ada atau perlu dibangun di masing-masing wilayah. Fasilitas umum bukan hanya menyangkut jenisnya, tetapi juga kapasitas pelayanan dan kualitasnya. Jenis fasilitas itu mungkin harus ada di seluruh wilayah, tetapi kapasitas dan kualitas palayanannya harus berbeda. Makin maju suatu wilayah, semakin beragam fasilitas yang disediakan sehingga makin luas wilayah pengaruhnya Tarigan, 2005. Lebih lanjut dikemukakan bahwa pusat- pusat aktivitas suatu wilayah sangat terkait dengan hirarki wilayah yang dapat membantu untuk menentukan fasilitas yang harus ada atau perlu dibangun di tiap wilayah. Umumnya daerah dengan fasilitas pelayanan yang tinggi menjadi pusat aktivitas, baik sebagai pusat pelayanan maupun pertumbuhan suatu wilayah. Penggunaan fasilitas pada suatu pusat pelayanan merupakan fungsi dari aksesbilitas atau kemudahan dari titik permintaan ke titik penyediaan pelayanan. Lee et al. 2012 melakukan evaluasi sentralitas spasial dalam pengelolaan pariwisata secara terpadu dengan pendekatan indeks sentralitas. Dalam studi 52 mereka, tiga variabel utama yang dianalisis terkait dengan indeks sentralitas, yaitu: tingkatan wilayah, aksesibilitas dan wilayah pengaruh. Pendekatan analisis untuk ketiga variabel menghasilkan strategi pengembangan wilayah berbasis pada kegiatan pariwisata. Beberapa kajian pustaka ini menunjukkan bahwa penggunaan indeks sentralitas dalam pengembangan kawasan perikanan masih kurang bahkan jarang dilakukan. Oleh sebab itu pendekatan indeks sentralitas digunakan dalam penelitian ini dengan komponen utama analisis yang mencakup sub sistem alam, manusia dan pengelolaan perikanan.

2.4.3 Model dinamika spasial sistem perikanan

Dalam model konseptual yang dibangun oleh Griffin 2003, GBSFM General Bioeconomic Fishery Simulation Model merupakan model yang dikembangkan berbasis multiple species dengan menggunakan analisis kohor dan mortalitas yang terjadi secara spontan. Model konseptual ini merepresentasikan proses dan keterkaitan antar komponen yang terjadi dalan suatu perikanan. GBSFM dirancang secara umum agar dapat digunakan untuk berbagai macam aktivitas perikanan sesuai dengan perbedaan dimensi yang dibutuhkan dalam analisis. Dalam laporannya ini Griffin mengembangkan dua sub model: 1. Sub model biologis, menggambarkan pergerakan ikan antar kompartemen yang beragam dalam suatu aktivitas perikanan sungai, pantai dan lepas pantai. Pada sub model ini, rekrutmen dan mortalitas juga menjadi input. 2. Sub model ekonomi, meliputi: a Sektor penangkapan yang menggambarkan upaya tangkap dan karakteristik armada, termasuk biaya operasional dan tingkat harga ikan. b Sektor kebijakan yang menggambarkan aliran informasi antar tiap aspek perikanan, seperti: pengendalian penangkapan kawasan, jenis, kedalaman dan musim, perijinan, JTB, ukuran kantung pada trawl, ketentuan penggunaan TED, batas ukuran ikan yang ditangkap dan nilai fraksional dari perijinan dan alat tangkap. 53 Model dinamik sistem perikanan pada kelompok ikan karang yang diteliti oleh Wakeland et al., 2003, mengembangkan analisis dengan membagi model ini dalam enam sub model yaitu: 1. Dinamika kapal ikan yang dikonsepkan pada kapal trawl sebagai suatu komponen utama penangkapan ikan yang dapat bertambah atau berkurang jumlahnya dari waktu ke waktu; 2. Populasi ikan yang membedakan dua kelompok ikan menurut umur, ikan muda dan ikan dewasa; 3. Jumlah tangkapan yang diperbolehkan secara biologis berbasis pada pengkajian stok ikan dan evaluasi pengelolaan perikanan; 4. Penangkapan yang mencakup sejarah penangkapan ikan termasuk faktor input dan faktor output kegiatan penangkapan; 5. Sektor ekonomi yang menterjemahkan aktivitas penangkapan dalam konteks penerimaan dan keuntungan dimana penerimaan yang dimaksud merupakan hasil akumulasi dari seluruh aktivitas penangkapan ikan; serta 6. Kondisi perairan yang menekankan pada dampak faktor-faktor eksternal terhadap kualitas perairan, seperti pencemaran, El Nino, dan lain-lain. Model AB Agent Based merupakan salah satu Model Dinamik yang dikembangkan untuk membantu mendisain dan mengevaluasi instrumen- instrumen pengelolaan dalam menentukan input control pada kegiatan perikanan Chapman and Cao, 2003. Model ini merupakan model matematis yang mencakup empat sub model, yaitu: 1. Sub model biologis, yang menunjukkan hubungan stok ikan dengan rekrutmen; 2. Sub model perilaku penangkapan, yang terdiri dari komponen-komponen aktivitas penangkapan terkait dengan kapasitas penangkapan dan efektivitas upaya tangkap, serta dinamika ekonomi yang menunjukkan output NPV Net Present Value sebagai akumulasi dan penggunaan biaya variabel, biaya tetap dan adanya tingkat pengembalian dari usaha penangkapan ikan; 3. Sub model kerangka kerja pengawasan optimal, yang diformulasikan untuk menentukan jangkauan optimal musim penangkapan dan biaya tahun dari modal kapal yang ditmbah; 54 4. Sub model agen pengusaha perikanan tangkap, yang merepresentasikan kapal- kapal yang dioperasikan oleh agen pengusaha perikanan tangkap dalam konteks individual maupun perusahaan. Pada sub model ini ditunjukan setiap agen berkompetisi dalam usaha perikanan, dimana tiap agen memaksimalkan pengembalian ekonomi tahunan bersih. Perbandingan dua Model Dinamik armada penangkapan ikan, IFD Idea Free Distribution dan AB, yang dilakukan oleh Wieckowski 2008, mengakomodasi tiga sub model, yaitu: 1. Sub model populasi ikan atau dinamika stok ikan, yang mencakup komponen- komponen kelimpahan stok, pergerakan ikan dan rekrutmen; 2. Sub model dinamika armada tangkap berbasis IFD, mengacu pada profitabilitas usaha penangkapan; 3. Sub model dinamika armada tangkap berbasis AB, dikembangkan dengan pendekatan RUM Random Utility Model yang digunakan untuk mengkaitkan keputusan penangkapan ikan dengan aspek ekonomi dan pengalaman nelayan. Analisis komparatif dua model ini dilakukan untuk membandingkan keunggulan IFD dan AB dalam menganalisis perilaku nelayan dalam memilih lokasi penangkapan ikan. Output yang menjadi pembanding keunggulan kedua metode ialah distribusi spasial upaya tangkap dan hasil tangkapan. Sparre 2008 yang membangun kerangka evaluasi untuk membandingkan rezim-rezim pengelolaan dengan menggunakan aplikasi marine protected area dan closed season pada perikanan Cod di perairan Baltic, mengembangkan model TEMAS Technical Measures yang didukung Model Dinamik mengakomodasi enam sub model dalam analisisnya. Keenam sub model yang dimaksud, meliputi: 1. Sub model pengelolaan, yang mensimulasikan peran kelembagaan yang memberikan arahan pengelolaan dan mencakup ukuran-ukuran pengelolaan; 2. Sub model biologisteknis, yang menggambarkan bekerjanya parameter biologis, dan menentukan yield produksi; 3. Sub model perilaku nelayan jangka pendek, yang menentukan jumlah trip penangkapan; 55 4. Sub model ekonomi, yang menunjukkan adanya aliran biaya, menghasilkan output penerimaan dan menentukan perilaku nelayan jangka pendek maupun jangka panjang; 5. Sub model perilaku nelayan jangka panjang, yang menentukan kapasitas penangkapan berdasarkan prediksi jumlah armada tangkap, baik yang baru diinvestasi dan disinvestasi menarik investasi, armada yang berkurang karena umur teknis, dan armada yang berpindah keluar; 6. Sub model evaluasi kinerja sistem yang terkait dengan aspek politik dan kebijakan pengelolaan perikanan. Sub model ini tidak merupakan bagian dari Model TEMAS, tetapi diakomodasi dalam Model Dinamik. Dudley 2008 telah mengembangkan model dasar dengan pendekatan sistem dinamik untuk mempelajari dinamika pengelolaan perikanan. Komponen utama yang dimasukan dalam sistem adalah biomassa ikan eksisting yang dipengaruhi oleh kegiatan penangkapan ikan, efisiensi alat penangkapan ikan dan laju pemanfaatannya, serta komponen laju kematian alami. Model dasar ini kemudian dikembangkan dengan memasukan aspek pengelolaan dalam sistem. Hal penting yang didiskusikan adalah isu perikanan yang kompleks yang dimasukan dalam sistem sangat membantu pengelola perikanan, ahli perikanan dan pengguna sumber daya perikanan dalam melakukan komunikasi lintas bidang ilmu untuk mengatasi permasalahan perikanan di masa mendatang. Pulu et al. 2010 mengembangkan model dinamik dengan dua komponen utama ikan dan upaya tangkap untuk menjawab peluang pengembangan perikanan tangkap. Model ini menggunakan pendekatan bionomi yang mampu mendalami peluang pengembangan perikanan tangkap, salah satunya melalui pengembangan armada penangkapan ikan. Model dinamik juga dikembangkan untuk kepentingan pengembangan usaha perikanan yang bersinergi dengan fungsi konservasi kawasan Mustaruddin, 2010. Model ini mengakomodasi komponen utama pembentuk model yang terdiri dari hasil tangkapan dan alokasi alat tangkap tambahan yang mempertimbangkan daya dukung ikan sasaran tangkapan. Model ini menghasilkan kesesuaian alat tangkap yang akan dikembangkan dengan sifat raman lingkungan dari alat, potensi sumber daya ikan kebutuhan masyarakat, dan perangkat hukum. 56 Tinjauan terhadap beberapa hasil kajian empiris di atas, memberikan ruang analisis yang luas terkait dengan pengelolaan perikanan dan pengembangan kawasan perikanan di suatu wilayah danatau kawasan. Seluruh hasil kajian empiris ini dipetakan secara berdasarkan peneliti dan tahun terbit, model yang digunakan, materi penelitian dan komponen model yang memuat sub-sub model yang dielaborasi Tabel 2. Hal ini dilakukan untuk membedakan pendekatan dasar dan komponen utama dalam sistem yang digunakan, implikasi untuk pengelolaan perikanan dan pengembangan kawasannya. Dengan demikian, dapat memahami konteks sistem yang dapat diaplikasikan dalam membangun suatu model dinamika berbasis sistem perikanan untuk kepentingan pengembangan kawasan perikanan. Tabel 2 Komponen model dalam studi empiris terkait Model Dinamika Spasial Sistem Perikanan Komponen Analisis Peneliti Tahun Model Materi Penelitian Komponen Model Tipologi Kawasan Stohr 1999 Tipologi wilayah Tipe wilayah inti dan periferi Wilayah inti, periferi aktif, periferi pasif, periferi netral Rahmalia 2003 Skalogram, PCA Tipologi desa pesisir Eksistensi infrastruktur Van Eupena et al. 2012 Tipologi wilayah Tipologi pedesaan dan kebijakan pengembangan Disparitas geografis, heterogenitas wilayah, gradien spasial Lorentzen 2009 Tipologi wilayah Struktur ruang Disparitas inti-periferi Brezzi et al. 2011 Tipologi wilayah Disparitas sosial ekonomi Aksesibilitas, distribusi sumber daya manusia, jaringan interaksi, pusat-pusat pengembangan, dan wilayah pelayanan. Lorentzen, 2009 Tipologi wilayah Strategi reduksi disparitas wilayah Potensi dan kapasitas wilayah, pembagian wilayah periferi Indeks Sentralitas Sharesta 2003 Skalogram, indeks sentralitas Penentuan hirarkhi Nilaifungsi wilayah, bobot fungsi Lee et al. 2012 Indeks sentralitas Evakuasi sentralitas spasial Tingkatan wilayah, aksesibilitas dan wilayah pengaruh 57 Tabel 2 Lanjutan .... Komponen Analisis Peneliti Tahun Model Materi Penelitian Komponen Model Model Dinamika Spasial Griffin 2003 GBFSM DM Perikanan udang Teluk Meksiko Biologis dan ekonomi sektor penangkapan dan kebijakan Wakeland et al. 2003 DM Perikanan ikan karang perairan pantai Pasifik Dinamika kapal, populasi ikan, jumlah tangkapan yang diperbolehkan secara biologis, penangkapan, sektor ekonomi, dan kesehatan perairan Chapman and Chao 2003 AB Disain dan evaluasi instrumen kelola dalam menentukan input control Biologis, perilaku penangkapan ikan, kerangka kerja pengawasan, dan agen pengusaha perikanan tangkap Wieckowski 2008 IFD, AB, RUM Komparasi dua model dinamika armada PI IFD AB Populasi ikan, dinamika armada tangkap berbasis IFD, dan dinamika armada tangkap berbasis AB Sparre 2008 TEMAS DM Perikanan Cod di Perairan Baltic Pengelolaan, biologisteknis, perilaku nelayan, ekonomi, dan evaluasi kinerja sistem Dudley 2008 Pengelolaan perikanan Dinamika pengelolaan perikanan Biomassa ikan, penangkapan ikan, efisiensi API, laju tangkap kematian alami, dan kebijakan pengelolaan Pulu et al. 2010 Bionomi dan sistem dinamik Peluang pengembangan perikanan tangkap Potensi SDI dan upaya tangkap sebagai basis pengembangan perikanan Mustaruddin 2010 Sistem dinamik Sinergitas usaha perikanan dan fungsi konservasi kawasan Hasil tangkapan, alokasi API dan daya dukung ikan sasaran tangkapan Penguatan dari tinjauan pustaka dan kajian empiris yang dilakukan di atas menunjukkan adanya unsur-unsur yang belum diteliti secara komprehensif dalam suatu penelitian. Oleh sebab itu, hasil pada Tabel 2 menjadi dasar dalam menentukan unsur-unsur kebaharuan dalam penelitian ini, baik secara 58 metodologis, pengembangan model dan juga subtansi analisis. Tiga model yang menunjukkan adanya unsur kebaharuan dalam penelitian ini, juga didukung dengan penggabungan alat-alat analisis dan komponen-komponen analisis yang selama ini dianalisis secara terpisah. 59 3 METODOLOGI

3.1 Lokasi Dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada Kabupaten Maluku Tengah Gambar 5 dengan waktu penelitian selama delapan bulan, dari bulan Juli 2010 sampai Februari 2011. Khusus untuk pendugaan stok ikan pelagis kecil di perairan Maluku Tengah dilakukan survey akustik pada bulan Oktober 2011 dan Februari 2012. Dalam pengembangan penelitian ini, dari 14 Kecamatan di Kabupaten Maluku Tengah, dipilih 11 kecamatan yang dikelompokkan dalam sembilan kawasan pengembangan perikanan, masing-masing: 1 Tehoru; 2 Amahai mencakup kecamatan Amahai dan Teluk Elpaputih; 3 Kota Masohi; 4 Teon Nila Serua daratan tidak termasuk wilayah Kepulauan Teon Nila Serua; 5 Saparua; 6 Nusalaut; 7 Pulau Haruku; 8 Salahutu; serta 9 Leihitu mencakup kecamatan Leihitu dan Leihitu Barat. Pemilihan terhadap sembilan kawasan ini menunjukkan bahwa wilayah Utara Kabupaten Maluku Tengah tidak termasuk dalam lingkup lokasi penelitian. Tidak dipilihnya kawasan utara terkait dengan eksistensi wilayah Maluku Tengah yang cukup luas, disamping arahan analisis yang difokuskan pada kawasan perikanan di Maluku Tengah yang memberikan kontribusi terhahadap pengelolaan perikanan pelagis kecil di Wilayah Pengelolaan Perikanan 714, Laut Banda. Dengan pertimbangan luasnya distribusi unit penangkapan ikan pelagis kecil di seluruh kawasan, maka penentuan lokasi sampel dilakukan secara bertingkat atau multistage sampling, dengan prosedur sebagai berikut: 1 Pemilihan kawasan secara menyeluruh terutama yang memiliki pusat-pusat kegiatan perikanan tangkap ikan pelagis kecil dengan kriteria mencakup tingkat pemanfaatan potensi sumber daya ikan pelagis kecil, distribusi alat tangkap, produksi ikan pelagis kecil dan prasarana perikanan yang ada; 2 Pemilihan desakelurahan dalam kawasan dengan aktivitas perikanan pelagis kecil yang sangat berkembang; dan 3 Pemilihan sampel secara random dari populasi alat tangkap yang masih aktif beroperasi saat penelitian dilakukan dan mengacu pada tujuan penelitian. 60 G am ba r 5 P et a L oka si P en el iti an 61 Sesuai dengan prosedur penentuan ini, dipilih sembilan kawasan sebagai lokasi sampel untuk pengambilan data primer karena kesembilan kawasan tersebut dianggap memenuhi kriteria yang digunakan. 3.2 Data dan Metode Pengumpulan Data 3.2.1 Jenis data Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini secara makro terbagi atas dua kelompok data, yakni data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan langsung di lapangan dengan pendekatan metode survei dan wawancara. Untuk data sekunder lebih diarahkan pada data-data statistik perikanan dan berbagai laporan pada lembaga-lembaga yang terlibat dalam aktivitas perencanaan dan pelaksanaan pembangunan perikanan. Data yang dibutuhkan antara lain: data demografi dan ekonomi kawasan, data oseanografi suhu permukaan lautSPL dan Klorofil-a, nelayan dan rumah tangga perikanan, aktivitas perikanan di berbagai level baik pada aktivitas pra tangkap, kegiatan penangkapan, kegiatan pasca tangkap, distribusi dan pemasaran, pengolahan hasil perikanan serta data-data kebijakan pengelolaan perikanan tangkap khususnya perikanan pelagis kecil. 3.2.2. Metode pengumpulan data 3.2.2.1 Data umum lokasi penelitian Data umum lokasi penelitian yang meliputi data gambaran umum wilayah, infrasruktur wilayah, eksistensi sektor perikanan dalam perekonomian wilayah, dan gambaran umum perikanan Maluku Tengah. Data merupakan data sekunder, baik dari statistik instansi pemerintah Bappeda, BPS, dan DKP kabupaten.

3.2.2.2 Data sub sistem alam

1 Data lingkungan perairan dan daerah penangkapan ikan DPI Data lingkungan perairan yang dikumpulkan merupakan data sekunder yang berasal dari data Citra MODIS untuk waktu satu tahun, mulai dari Desember 2009 sampai dengan November 2010. Kelompok data yang diambil meliputi: distribusi suhu permukaan SPL bulanan dan data distribusi Klorofil-a bulanan. 62 Data yang digunakan untuk melihat penyebaran kllorofil diperoleh dengan mengakses alamat Ocean Color Web http:oceancolor.gsfc.nasa.gov. Data klorofil yang tersedia diperoleh dari seluruh permukaan bumi dari satelit MODIS. Data Modis yang digunakan ialah data level 3 atau data yang berasal dari variabel geofisik yang disimpan dipetakan dalam ruangwaktu yang seragam. Citra Level 3 yang akan diunduh berformat SMI-HDF .bz2 Data level 3 yang telah diunduh berformat SMI-HDF .bz2 kemudian diekstrak dan diolah menggunakan SEADAS. Masukan koordinat data dan kategori output yang diinginkan kemudian ekspor data hasil dalam bentuk ASCI berformat sxc. Data hasil olahan juga dapat berupa gambar JPEG maupun histogram JPEG. Khusus untuk data DPI dilakukan pengambilan titik langsung di lapangan untuk kawasan-kawasan di pulau Ambon dan Kepulauan Lease, serta bagian Selatan Pulau Seram. Pengambilan titik ini didasarkan pada sebaran lokasi rumpon sebagai lokasi penangkapan ikan dengan purse seine dan pancing tegak, serta lokasi penangkapan ikan dengan alat tangkap bagan dan lokasi penangkapan ikan dengan alat tangkap jaring insang permukaan surface gill net. 2 Data stok ikan pelagis kecil Pengumpulan data stok ikan pelagis kecil dilakukan dengan pendekatan metode akustik. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: 1 Satu unit purse seiner berukuran P x L x D = 21,0 x 2,8 x 0,8 m; 2 Satu set scientific echosounding system BioSonic dengan frekuensi operasional 38 kHz dan sudut beam half power points, -3 dB 10 derajat; 3 Satu unit global positioning system GPS receiver GRC standard marine survey; 4 Perangkat lunak Visual Acquisition untuk mengendali seluruh setting operasional dan fungsi-fungsi dari echosounder dan transducer yang terhubung ke sistem akustik tersebut BioSonic Inc., 2003 dalam pengumpulan data akustik; 5 Perangkat lunak Visual Analyzer untuk mengestimasi kepadatan ikan dari hasil echo integration BioSonic Inc., 2004; 63 6 Satu unit laptop Panasonic Tough Book untuk menjalankan kedua perangkat lunak tersebut, menyimpan data akustik dan hasil analisa; Pengumpulan data stok ikan pelagis kecil dilakukan di perairan bagian Selatan Kabupaten Maluku Tengah pada tanggal 29-30 Oktober 2011 dan 17-18 Februari 2012. Batasan kawasan yang diberikan sebagai lingkup spasial adalah: 127 o 52’32,14” sampai dengan 129 o 49’5,96” BT dan 3 o 6’58,86” sampai dengan 3 o 47’34,72” LS. Pengumpulan data pada penelitian ini didesain mengikuti transek paralel acak sebagaimana dianjurkan oleh Simmonds and MacLennan 2005 dan Latumeten 2010. Dalam pengumpulan data akustik tersebut, transducer dibenamkan sedalam 1,5 meter pada salah satu sisi kapal dan diseret dengan kecepatan rata-rata 6 enam knot disepanjang jalur pengambilan data. Parameter sistem akustik yang diset untuk pengambilan data akustik pada penelitian ini disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Nilai parameter sistem yang diset dalam pengambilan data akustik Parameter Nilai Data Threshold -100.00 dB Ping Rate 2.00 ping per second Collection Range 2 to 302 m Pulse Width 0.50 ms Absorption Coefficient 0.00605 dBm Salinity 34.00ppt Water Temperature 28.00 deg C Sound Velocity 1540.20 ms Satuan jarak baku sampling Elementary Sampling Distance Unit, ESDU pada pengambilan data akustik di setiap lokasi sampling tersebut ditetapkan selama satu menit atau kira-kira sepanjang 185 meter. Penyesuaian posisi dan arah pelayaran kapal dengan posisi dan arah garis- garis transek yang telah didesain itu, dikontrol menggunakan GPS GRC standard marine survey. Posisi dan waktu perolehan data di tiap ESDU direkam secara simultan dan otomatis, sehingga luaran echointegrator yang diperoleh telah