Potensi Sumber Daya Ikan Pelagis Kecil dan Distribusi Spasial

kedua waktu pengambilan data, maka nilai rata-rata yang dihasilkan sebagai akumulasinya menunjukkan nilai densitas ikan rata-rata untuk perairan Maluku Tengah mencapai 39,98 tonkm 2 . Tabel 16 Distribusi nilai parameter estimasi potensi ikan pelagis kecil di Perairan Maluku Tengah No Parameter Estimasi Satuan Oktober 2011 Pebruari 2012 Maluku Tengah Akumulasi 1 FPUA rata-rata ikankm 2 766.694 820.871 799.537 2 Densitas ikan rata-rata tonkm 2 38,33 41,04 39,98 3 Luas perairan km 2 3.424,60 3.424,60 3.424,60 4 Biomassa ton 131.280,93 140.557,58 136.698,60 5 JTB ton 52.512,37 56.223,03 54.761,84 Jika seluruh nilai densitas ikan yang terekam pada 386 echogram terpilih diekspresikan secara spasial, maka ditemukan adanya perbedaan kawasan konsentrasi densitas ikan pada perairan Maluku Tengah Gambar 27. Hasil pemetaan menunjukkan konsentrasi densitas ikan pelagis kecil tertinggi di perairan Selatan Pulau Haruku dengan kisaran nilai di atas 45 tonkm 2 . Densitas ikan dengan kisaran nilai 20 – 30 tonkm 2 terkonsentrasi di perairan Selatan Pulau Haruku, bagian Timur Pulau Nusalaut, serta bagian Selatan Amahai dan Tehoru. Distribusi densitas ikan pelagis kecil dengan kisaran nilai 10 – 25 tonkm 2 merata di seluruh perairan Selatan Maluku Tengah, terutama perairan Selatan kawasan Pulau Haruku, bagian Timur Pulau Nusalaut, bagian Selatan Amahai dan Tehoru. Di sisi lain, distribusi konsentrasi densitas ikan pelagis kecil dengan nilai terendah 0 – 5 tonkm 2 merata di seluruh perairan, khusus di perairan Utara Pulau Ambon dan Selat Seram. Distribusi densintas ikan pelagis kecil berdasarkan strata kedalaman menunjukkan adanya perbedaan antar setiap kawasan perairan Lampiran 1: 1. Kawasan Selatan pulau Saparua dengan 10 strata kedalaman menunjukkan strata kedalaman 2 – 51,99 meter memiliki rata-rata densitas ikan di atas 1 tonkm 2 , dengan kisaran 1,08 – 6,54 tonkm 2 dimana densitas tertinggi pada strata kedalaman 2 – 11,99 meter; 2. Kawasan Utara perairan pulau Haruku dengan 10 strata kedalaman menunjukkan strata kedalaman 2 – 11,99 meter memiliki rata-rata densitas ikan 1,43 tonkm 2 ; 3. Kawasan Barat pulau Saparua dengan 15 strata kedalaman menunjukkan strata kedalaman 51,99 – 81,99 meter memiliki rata-rata densitas ikan di atas 0,3 tonkm 2 , dengan kisaran 0,37 – 0,44 tonkm 2 dimana densitas tertinggi pada strata kedalaman 51,99 – 61,99 meter. 4. Kawasan perairan pulau Nusalaut dengan 10 strata kedalaman menunjukkan strata kedalaman 2 – 11,99 meter memiliki rata-rata densitas ikan 1,39 tonkm 2 ; 5. Kawasan Selatan pulau Haruku dengan 20 strata kedalaman menunjukkan strata kedalaman 2 – 51,99 meter dan 121,99 – 141,99 memiliki rata-rata densitas ikan di atas 1 tonkm 2 , dengan kisaran 1,01 – 3,30 tonkm 2 dimana densitas tertinggi pada strata kedalaman 11,99 – 21,99 meter. 6. Kawasan Utara pulau Saparua dengan 10 strata kedalaman menunjukkan strata kedalaman 61,99 – 91,99 meter memiliki rata-rata densitas ikan di atas 0,4 tonkm 2 , dengan kisaran 0,40 – 0,49 tonkm 2 dimana densitas tertinggi pada strata kedalaman 61,99 – 71,99 meter. 7. Kawasan Timur pulau Saparua dengan 10 strata kedalaman menunjukkan strata kedalaman 61,99 – 81,99 meter memiliki rata-rata densitas ikan di atas 0,4 tonkm 2 , dengan kisaran 0,40 – 0,41 tonkm 2 dimana densitas tertinggi pada strata kedalaman 61,99 – 71,99 meter. Hasil ini menunjukkan bahwa arahan pengembangan teknologi penangkapan ikan pelagis kecil perlu diarahkan sesuai dengan strata kedalaman perairan yang memiliki densitas ikan pelagis yang tinggi. Rata-rata kedalaman perairan yang memiliki densitas ikan pelagis kecil yang tinggi antara 2 – 61,99 meter. Oleh sebab itu, kedalaman mata pancing atau alat penangkapan ikan yang menggunakan jaring dapat diarahkan pada strata kedalaman ini. Terkonsentrasinya densitas ikan pelagis kecil pada beberapa kawasan perairan di Maluku Tengah memiliki hubungan yang kuat dengan posisi geografis dan topografi perairan. Umumnya densitas ikan dengan konsentrasi yang tinggi pada kawasan perairan yang memiliki perbedaan topografi yang cukup tajam. 142 Gambar 27 Peta distribusi kepadatan densitas ikan pada perairan Maluku Tengah bagian selatan Kondisi tersebut diduga berhubungan dengan lokasi-lokasi terjadinya proses pengangkatan massa air akibat upwelling. Distribusi densitas ikan pelagis kecil akan mengikuti pola dimana produktivitas perairan sangat baik. Sesuai nilai densitas ikan pelagis kecil rata-rata dan luasan perairan yang diamati perairan Maluku Tengah bagian Selatan, maka perhitungan biomassa ikan ikan pelagis kecil di perairan ini untuk waktu pengukuran lapangan bulan Oktober 2011 menghasilkan total bimassa ikan sebesar 131.280,93 ton. Perhitungan untuk waktu pengukuran lapangan bulan Pebruari 2012 menghasilkan total biomassa ikan pelagis kecil sebesar 140.557,58 ton. Berdasarkan distribusi nilai untuk kedua waktu pengukuran lapangan, dihitung nilai biomassa ikan pelagis kecil total di perairan Maluku Tengah sebesar 136.698,60 ton. Informasi hasil perhitungan biomassa ikan pelagis kecil di perairan Maluku Tengah membantu dalam mengestimasi jumlah tangkapan yang dibolehkan JTB. Dengan pendekatan ini, nilai JTB ikan pelagis kecil untuk waktu pengambilan data bulan Oktober 2011 sebesar 52.512,37 ton, sedangkan untuk waktu pengambilan data Pebruari 2012 menghasilkan nilai JTB ikan pelagis kecil sebesar 56.223,03 ton. Akumulasi untuk kedua waktu pengamatan secara menyeluruh menunjukkan bahwa nilai JTB ikan pelagis kecil pada perairan Maluku Tengah mencapai 54.761,84 ton. Nilai ini merupakan nilai yang menjadi dasar bagi batasan pemanfaatan sumber daya ikan pelagis kecil di perairan Maluku. Dengan demikian, secara tahunan nilai jumlah tangkapan untuk ikan pelagis kecil di perairan Maluku harus dibatasi pada nilai 54.761,84 tontahun.

5.7 Implikasi Dinamika Sub Sistem Alam Bagi Pengembangan Kawasan Perikanan

Dinamika akses DPI didasarkan pada jarak fisik mil laut setiap basis perikanan tangkap pelagis kecil di wilayah ini. Ekspresi akses ini diperuntukan dalam mengkaji dinamika spasial-temporal yang ditunjukkan oleh setiap kawasan dalam menjangkau DPI. Seluruh kawasan memiliki jarak akses yang berbeda sepanjang tahun dan akses berbeda setiap musim. Dinamika akses DPI secara spasial menunjukkan kawasan Kota Masohi memiliki pola akses yang jarang dan agak sempit. Konsentrasi DPI di perairan Teluk Elpaputih, dan sebagian kecil titik DPI terdistribusi di bagian luar perairan teluk sampai dengan perairan Selatan Pulau Seram, perbatasan kawasan Amahai dan Tehoru Gambar 28a. Pola spasial di kawasan Amahai menggambarkan akses yang luas dan agak padat, baik pada perairan Teluk maupun di luar Teluk sampai dengan perairan terbuka. Konsentrasi tinggi pada kawasan teluk maupun perairan Selatan Pulau Seram, sampai di perairan Selatan Tehoru Gambar 28b. Dinamika spasial untuk kedua kawasan ini terkait dengan eksistensi DPI yang berbasis pada alat tangkap dan alat bantu penangkapan ikan yang beroperasi. Untuk perairan teluk umumnya didominasi oleh alat tangkap bagan apung, sedangkan perairan di luar teluk sampai laut dalam merupakan lokasi-lokasi penebaran rumpon. Penempatan alat tangkap bagan apung di perairan teluk terkait dengan akses DPI yang terlindung dari pengaruh ombak dan arus yang keras. Di sisi lain penebaran rumpon pada perairan di luar teluk sampai perairan terbuka terkait dengan dinamika DPI yang diakses untuk kegiatan penangkapan ikan menggunakan alat tangkap pukat cincin dan pancing tegak. Hariyanto et al. 2008 yang melakukan penelitian di perairan Lampung Selatan menemukan perairan teluk merupakan basis DPI bagi nelayan perikanan pelagis kecil. Nelayan memiliki akses langsung untuk memanfaatkan sumberdaya perairan Teluk Lampung. Perairan yang dangkal dan terlindung memungkinkan nelayan dengan perahu tanpa motor melakukan penangkapan ikan. Eksistensi rumpon sebagai DPI dijelaskan oleh Simbolon 2004 karena fungsi rumpon untuk memikat dan mengkonsentrasikan ikan, baik ikan yang berada di sekitar lokasi pemasangan rumpon maupun yang sedang beruaya. Dengan demikian, ikan berada lama di sekitar lokasi pemasangan rumpon, dan penangkapan ikan dapat dilakukan dengan lebih mudah, efektif dan efisien. Saparua dan Pulau Haruku merupakan kawasan pulau kecil yang masyarakatnya bermata pencaharian sebagai nelayan. Sesuai distribusi produksi ikan pelagis kecil, keduanya berkontribusi cukup baik bagi Maluku Tengah. 145 b Kawasan Amahai Gambar 28 Dinamika aksesibilitas Daerah Penangkapan Ikan dari kawasan Kota Masohi dan Amahai a Kawasan Kota Masohi Kawasan Saparua dengan dinamika akses DPI secara spasial menunjukkan pola akses yang jarang, namun memiliki penyebaran yang agak luas. Kawasan ini memiliki lima pola konsentrasi DPI: 1 perairan teluk yang terpusat di perairan Teluk Tuhaha; 2 perairan selat yang terpusat di perairan Selat Saparua; 3 perairan dangkal di bagian Timur Pulau Saparua; 4 perairan selatan teluk Elpaputih; dan 5 perairan terbuka yang mengarah ke Laut Banda Gambar 29a. Kawasan Pulau Haruku memiliki pola akses yang mirip dengan Saparua, perairan selat, teluk, laut dangkal dan laut dalam menjadi basis DPI. Sesuai pola akses spasialnya, konsentrasi DPI menunjukkan empat pola: 1 perairan Selat terpusat di Selat Haruku dan Selat Seram; 2 perairan Teluk di sekitar Teluk Baguala; 3 perairan dangkal di antara Pulau Seram dan Pulau Haruku; serta 4 perairan terbuka yang berhadapan langsung dengan Laut Banda Gambar 29b. Dinamika akses DPI untuk kedua kawasan ini terkait dengan eksistensi perairan sekitar kawasan yang tidak terlalu luas. Pola spasial yang ditunjukkan pada kawasan Saparua menunjukkan adanya akses spasial yang luas dan beragam. Beragamnya akses spasial ini sangat dipengaruhi oleh eksistensi perairan sekitar kawasan yang tidak luas sehingga nelayan berupaya mengakses DPI pada perairan yang lebih jauh. Selain perairan teluk, selat dan dangkal, perairan terbuka merupakan variasi spasial dari DPI untuk perikanan pelagis kecil. Chen et al. 2010 menyatakan perairan terbuka merupakan DPI alternatif untuk perikanan pelagis kecil nelayan tradisional dan semi moderen. Variasi distribusi spasial DPI bagi perikanan pelagis kecil di perairan terbuka terkonsentrasi pada perairan Selatan Laut Kuning dan perairan Utara Laut China Selatan. Kawasan Tehoru dan Nusalaut merupakan kawasan-kawasan yang memiliki posisi geografis yang berhadapan langsung dengan perairan terbuka. Distribusi DPI pelagis kecil mengikuti pola penyebaran rumpon, sementara bagan apung sama sekali tidak berkembang di kedua kawasan, terutama di Nusalaut. Kawasan Tehoru memiliki dinamika akses DPI cukup dekat dan terkonsentrasi pada perairan sekitar Teluk Teluti. Terkonsentrasinya DPI di perairan ini disebabkan karena posisi kawasan yang berhadapan langsung dengan perairan Laut Banda yang cukup terbuka. Pola akses yang cukup jarang ini tidak memiliki penyebaran luas, oleh sebab itu pola menunjukkan konsentrasi DPI perairan teluk yang agak terbuka Gambar 30a. Berbeda dengan kawasan Tehoru, Nusalaut merupakan kawasan dengan luasan perairan yang sempit, sehingga memiliki pola akses yang padat dan menyebar luas. Eksistensinya sebagai kawasan pulau kecil dengan perairan sempit menjadi penyebab meluasnya DPI yang diakses. Sesuai dengan pola akses spasialnya, konsentrasi DPI menunjukkan empat pola: 1 perairan yang dekat dengan pulau, umumnya terkonsentrasi di sekitar pulau Nusalaut dan Saparua; 2 perairan dangkal di bagian Selatan kawaan Amahai;; 3 perairan terbuka di bagian Timur; serta 4 perairan terbuka di bagian Selatan yang berhadapan langsung dengan Laut Banda Gambar 30b. Dinamika akses DPI untuk kedua kawasan ini menunjukkan adanya pola yang berbeda, walaupun keduanya berhadapan langsung dengan perairan terbuka. Kawasan Tehoru dengan DPI yang terkonsentrasi di perairan teluk menunjukkan masih rendahnya akses, sedangkan kawasan Nusalaut dengan DPI yang padat dan menyebar luas menunjukkan tingginya akses. Kondisi tersebut sangat mungkin terjadi karena pola ketergantungan unit penangkapan ikan pelagis kecil terhadap DPI. Disamping itu, tingkat jelajah unit penangkapan sangat mempengaruhi aksesibilitas terhadap DPI. Kedua faktor ini menjadi penting untuk dicermati terkait dengan upaya pengembangan kawasan perikanan pelagis kecil berbasis akses DPI. Dua kawasan perikanan pelagis kecil lainnya yang terdapat di pulau Ambon adalah Leihitu dan Salahutu. Kedua kawasan ini merupakan dua dari kawasan utama di Maluku Tengah yang memiliki produktivitas yang tinggi dalam perikanan pelagis kecil. Kedekatan kawasan ini dengan pusat wilayah Provinsi menyebabkan posisinya yang kuat untuk kepentingan pengembangan perikanan pelagis kecil berbasis kawasan di wilayah Selatan Maluku Tengah. Kawasan Leihitu memiliki dinamika akses DPI dengan pola yang padat dan terpusat pada perairan Utara Pulau Ambon. Walaupun terkosentrasi pada perairan yang sempit, namun kawasan ini memiliki intensitas yang tinggi dalam mengakses DPI. Sesuai dengan akses pola ini, kawasan ini memiliki konsentrasi DPI utama perairan dangkal di bagian Utara Pulau Ambon Gambar 31a.