301
menyebabkan pengembangan usaha perikanan teri di ketujuh kawasan tidak dapat diupayakan untuk mendukung industrialisasi teri maupun pemasaran hasil pada
pasar yang lebih jauh. Oleh sebab itu, kegiatan produksi ikan teri di ketujuh kawasan hanya dapat diperuntukan bagi konsumsi internal kawasan.
Gambar 53. Tipologi kawasan berbasis komoditas unggulan ikan teri
8.2.2.5 Tipologi kawasan berbasis komoditas unggulan ikan sunglir
Perikanan sunglir di Maluku Tengah berpeluang dikembangkan dengan dukungan teknolologi penangkapan ikan pilihan pukat cincin, bagan apung dan
pancing tegak Gambar 54. Hasil ini menunjukkan dukungan teknologi penangkapan pukat cincin cukup kuat untuk pengembangan komoditas sunglir.
Determinasi kapasitas kawasan secara menyeluruh terhadap produktivitas pada usaha pukat cincin sangat baik.
Capaian koefisien determinasi sebesar 0,9657, artinya rata-rata kapasitas kawasan pada usaha pukat cincin mampu menerangkan produktivitas perikanan
sunglir sebesar 96,57. Namun demikian, sesuai dengan distribusi nilai kapasitas dan produktivitas kawasan, pancing tegak menunjukkan kapasitas yang cukup
baik dalam menghasilkan produktivitas. Pemetaan tipologi kawasan yang berbasis pada komoditas sunglir
menunjukkan beberapa kondisi sesuai alat tangkapnya. Pertama, perikanan sunglir dengan dukungan usaha pukat cincin menggambar lima kawasan termasuk
dalam kelompok kawasan dengan tipologi kawasan inti, masing-masing Kota Masohi, Pulau Haruku, Leihitu, Saparua dan Salahutu. Tiga kawasan lainnya
L A
T KM
S
TNS PH
SL
N
Kapasitas tontrip P
ro d
u k
ti v
it as
R p
302
terkelompokkan pada tipologi kawasan periferi netral, sementara TNS sama sekali tidak mengembangkan usaha ini.
Gambar 54 Tipologi kawasan berbasis komoditas unggulan ikan sunglir
Kedua, usaha bagan apung yang memberikan kontribusi produktivitas yang lebih kecil dibanding pukat cincin dan pancing tegak menunjukkan tipologi
kawasan inti hanya berada pada kawasan Salahutu. Kawasan Saparua, Pulau Haruku, Leihitu, Salahutu dan Amahai merupakan kelompok kawasan periferi
aktif, sedangkan kawasan Tehoru dan Kota Masohi termasuk dalam kelompok kawasan periferi netral. Kawasan TNS dan Nusalaut yang tidak mengembangkan
teknologi penangkapan ikan bagan apung tidak menunjukkan adanya kapasitas kawasan untuk melakukan produksi untuk komoditas ini.
Ketiga, kawasan inti pada usaha pancing tegak dalam perikanan sunglir adalah Tehoru, Leihitu dan Pulau Haruku. Hanya satu kawasan yang termasuk
dalam periferi aktif, yaitu Saparua, sedangkan lima kawasan lainnya merupakan kawasan periferi netral.
Agregasi pemetaan tipologi untuk perikanan sunglir menunjukkan Pulau Haruku, Leihitu dan Salahutu merupakan pusat-pusat pengembangan utama.
L A
T KM
S
TNS PH
SL
N
Kapasitas tontrip P
ro d
u k
ti v
it as
R p
L
A T
KM
S
TNS PH
SL N
Kapasitas tontrip P
ro d
u k
ti v
it as
R p
L
A T
KM S
TNS PH
SL N
Kapasitas tontrip P
ro d
u k
ti v
it as
R p
303
Kapasitas yang kuat dan produktivitas yang tinggi menyebabkan posisi ketiga kawasan ini menjadi basis perikanan sunglir di Maluku Tengah. Saparua yang
memiliki agregasi tipologi sebagai kawasan periferi aktif merupakan kawasan pendukung pengembangan industri perikanan kembung di ketiga kawasan inti.
8.2.3 Aplikasi Model TipoSan bagi pengembangan kawasan perikanan
Hasil analisis dengan menggunakan Model TipoSan_1 dan TipoSan_2
memberikan implikasi yang kuat bagi pengembangan kawasan perikanan pelagis kecil di Maluku Tengah. Karakter kawasan yang ditunjukan dengan kapasitas dan
produktivitas menempatkan seluruh kawasan pada tipologi yang berbeda.
Model TipoSan_1 diaplikasikan untuk penentuan status tipologi kawasan
pengembangan karena model ini mengakomodasi dinamika komponen-komponen
sistem perikanan pada aspek kapasitas maupun produktivitas. Model TipoSan_2
berimplikasi pada justifikasi fungsi kawasan sebagai basis pengembangan komoditas unggulan yang didukung dengan teknologi penangkapan ikan pilihan.
Status tipologi kawasan menunjukkan adanya: 1 lima kawasan inti, masing-masing Kota Masohi, Leihitu, Saparua, Tehoru dan Amahai; 2 dua
kawasan periferi aktif yaitu Salahutu dan Nusalaut; 3 satu kawasan periferi pasif yaitu Pulau Haruku; dan 4 satu kawasan periferi netral yaitu TNS Tabel 52.
Hasil ini membuktikan Maluku Tengah merupakan wilayah yang potensial untuk pengembangan perikanan pelagis kecil. Hal ini terjawab dari eksistensi lima
kawasan intinya yang berpotensi dikembangkan sebagai pusat industri perikanan pelagis kecil. Namun demikian, setiap kawasan memiliki basis pengembangan
komoditas unggulan dengan potensi teknologi penangkapan ikan pilihan. Peluang pengembangan untuk kelima kawasan inti yang dapat dijadikan
sebagai pusat pengembangan perikanan pelagis kecil. Pertama, kawasan Saparua dengan empat basis komoditas unggulan ikan layang, selar, kembung dan sunglir.
Kebutuhan utama teknologi penangkapan ikan pilihan untuk kepentingan pengembangan komoditas unggulan tersebut adalah pukat cincin.
Kedua, kawasan Leihitu merupakan salah satu kawasan inti yang berpotensi menjadi pusat utama perikanan pelagis kecil. Kawasan ini juga
memiliki empat basis komoditas unggulan, yakni ikan layang selar, kembung dan