Latar Belakang Model dinamika spasial sistem perikanan kasus pengembangan kawasan perikanan pelagis kecil di Kabupaten Maluku Tengah
5
Kedua, rendahnya tingkat ekonomi masyarakat dan kendala musim yang tidak dapat diatasi secara maksimal, menjadi pembatas pemanfaatan sumber daya
perikanan secara optimal. Ketiga, kegiatan ekonomi produktif direncanakan oleh pemerintah bagi masyarakat P3K, rendahnya alokasi program pembangunan
perikanan bagi mereka, potensi konflik karena kebijakan perizinan, dan implementasi kebijakan penataan ruang wilayah yang kurang berorientasi pesisir,
laut dan pulau-pulau kecil, belum menunjukkan integrasi pengelolaan perikanan. Keempat, akses yang lemah terhadap pengembangan ekonomi masyarakat
karena eksistensi infrastruktur wilayah, termasuk infrastruktur perikanan. Disparitas yang terjadi semakin meluas karena distribusi infrastruktur yang
berbeda antar kawasan. Kelima, secara makro teridentifikasi biased policy dari perencanaan
sampai implementasi kebijakan pembangunan perikanan, baik di tingkat provinsi maupun kabupatenkota. Hal ini tergambar pada ketidaksesuaian pendaratan
program di sektor kelautan dan perikanan, meliputi : 1 ketidaksesuaian secara keruangan berdasarkan potensi wilayah; 2 ketidaksesuaian dengan kondisi sosial
dan budaya masyarakat; dan 3 ketidaksesuaian kondisi ekonomi wilayah dan masyarakat yang ada dalam wilayah tersebut.
Keenam, sehubungan dengan kebijakan penataan ruang di provinsi Maluku, implementasi kebijakan pembangunan kelautan dan perikanan, belum
cukup optimal menjawab kebutuhan implementasi konsep Gugus Pulau dan Laut Pulau. Pengembangan Gugus Pulau diarahkan untuk meningkatkan interaksi
internal wilayah dan optimalisasi pemanfataan sumber daya sesuai daya dukung lingkungan. Kebijakan ini belum sepenuhnya diimplementasi melalui keterkaitan
internal wilayah, baik antar pusat maupun antara pusat dengan hinterland-nya. Dalam pembangunan perikanan, seharusnya keterkaitan ini dapat dibangun secara
komprehensif mengingat adanya kawasan-kawasan tertentu di hinterland yang memiliki peluang pengembangan usaha perikanan yang cukup potensial.
Ketujuh, orientasi ke luar wilayah yang diharapkan dapat dikembangkan dengan memanfaatkan kebijakan multy gate system yang membuka peluang
interaksi antara Maluku dengan wilayah lain di sekitar seperti Maluku Utara dan Sulawesi Utara di bagian Utara, Papua dan Papua Barat di bagian Timur, Nusa
6
Tenggara Timur di bagian Barat Daya, dan Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Selatan di bagian Barat Laut, belum terakomodasi dengan baik. Kondisi ini juga
menjadi fakta yang sementara dialami Kabupaten Maluku Tengah, dan tentunya sangat membutuhkan pengelolaan secara integratif. Kedelapan, kecenderungan
biased policy menyebabkan adanya perbedaan orientasi kawasan pengembangan dan belum terfokusnya orientasi pusat wilayah dalam mengakomodasi potensi
sumber daya wilayah. Berbagai masalah yang dikemukakan di atas mengisyaratkan adanya
kebutuhan penataan ruang pengembangan perikanan dengan baik, khususnya dalam mendukung pengelolaan perikanan di Maluku Tengah secara berkelanjutan.
Mengacu pada pandangan Charles 2001, konsep pengelolaan perikanan terkait erat dengan dua skala pengelolaan sebagaimana dikemukakan oleh yakni : 1
skala waktu pengelolaan, dan 2 skala ruang pengelolaan. Penjelasan tentang kedua skala pengelolaan ini memberikan justifikasi tentang adanya kebutuhan
untuk mengakomodasi dinamisnya pengelolaan perikanan tangkap di wilayah ini. Untuk mengakomodasinya, dibutuhkan model pengelolaan yang sesuai
dengan karakteristik kawasan dan distribusi sumber daya perikanan di kawasan itu. Dinamika yang ditunjukan dalam konteks pengelolaan perikanan tangkap
sangatlah berpengaruh terhadap berbagai pendekatan pengelolaan, terutama untuk tujuan pengembangan berbasis kawasan Charles, 2001; BAPPENAS, 2004
Kawasan Pengembangan Perikanan Tangkap adalah sistem keruangan yang tidak dibatasi secara administratif, namun lebih pada skala ekonomi dan
ekologi dengan lingkupan kawasan pengembangan sesuai pola interaksi sosial, ekonomi, budaya dan ekologi, yang mendukung pemanfaatan sumber daya ikan
pada kondisi tidak dalam keadaan dibudidayakan, dilakukan dengan alat atau cara apa pun, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat,
mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah danatau mengawetkannya UU No. 31 Tahun 2004 Jo. UU No. 45 Tahun 2009; Charles,
2001; BAPPENAS, 2004. Pemanfaatan SDI dalam sistem keruangan, tidak terlepas dari integrasi
komponen sistem perikanan berkelanjutan sebagaimana dikemukakan oleh Charles 2001, meliputi: 1 sistem alam natural system; 2 sistem manusia
7
human system; dan 3 sistem pengelolaan management system. Konsep ini memberikan gambaran pentingnya pengelolaan perikanan tangkap berbasis
kawasan, salah satunya melalui pengembangan kawasan perikanan tangkap. Pengelolaan perikanan di Maluku Tengah seharusnya didekati dengan
menggerakkan seluruh komponen sistem perikanan, baik sub sistem alam, manusia maupun pengelolaan. Dalam rencana tata ruang wilayahnya, Maluku
Tengah belum memberikan rumusan struktur ruang pengembangan perikanan dengan baik. Hal ini disebabkan karena belum adanya penentuan kawasan
pengembangan perikanan secara pasti. Konsekuensi tidak dilakukannya penentuan kawasan pengembangan
perikanan dengan baik, yaitu: 1 tidak adanya spesialisasi kawasan pengelolaan dan pemanfaatan perikanan; 2 meningkatnya persaingan antar kawasan dalam
pemanfaatan target species yang sama; 3 meningkatnya persaingan antar kawasan dalam memproduksi single product; 4 terjadi blooming produk
perikanan tertentu di pasar dan menyebabkan tertekannya harga produk; 5 tidak adanya kejelasan struktur ruang pengembangan perikanan.
Beberapa pendekatan yang telah digunakan secara parsial dalam menjawab kebutuhan pengembangan kawasan, antara lain: tipologi kawasan
untuk membedakan tipe-tipe kawasan pengembangan Stohr, 1999; Abrahamsz, 2000; Rahmalia, 2003; Lorentzen, 2009; Abrahamsz et al., 2010; Brezzi et al.,
2011; Van Eupena et al., 2012, indeks sentralitas untuk menentukan hirarki kawasan Sarma et al., 1984; Rondinelli, 1985; Abrahamsz, 2000; Shresta, 2004;
Lee et al., 2012 Pengembangan kawasan perikanan tangkap berbasis komoditas, penting
dilakukan untuk meningkatkan interaksi antara pusat dan hinterlandnya, juga antar pusat pengembangan. Dengan demikian, pengembangan kawasan perikanan
dimaksudkan untuk meningkatkan interaksi intra dan antar kawasan yang mendukung dinamika pembangunan perikanan di Kabupaten Maluku Tengah.
Demikian halnya dengan upaya pengembangan perikanan sebagai sektor basis dapat dilakukan untuk mencapai pengelolaan perikanan berkelanjutan dan
meningkatkan kontribusinya terhadap ekonomi wilayah. Oleh sebab itu, penelitian tentang Model Dinamika Spasial Sistem Perikanan: Kasus Pengembangan
8
Kawasan Perikanan Pelagis Kecil Di Kabupaten Maluku Tengah, menjadi penting untuk dilakukan.
Pada penelitian ini, dipilih sistem perikanan pelagis kecil yang menjadi batasan ruang lingkup penelitian, dengan beberapa pikiran yang mendasarinya
antara lain: Pertama, ikan pelagis kecil merupakan kelompok SDI yang tidak hanya menjadi tujuan tangkap nelayan industri, tetapi juga nelayan lokal
tradisional. Kedua, sistem yang terbangun dalam perikanan pelagis kecil relatif dapat diidentifikasi dengan baik, terutama pada kegiatan produksi, distribusi dan
pemasaran serta kebijakan pengelolaan. Ketiga, perikanan pelagis kecil merupakan kelompok produk perikanan dengan kontribusi yang cukup besar bagi
nilai produksi perikanan di Maluku Tengah, yakni sebesar 21,23 atau 54,62 milyar rupiah Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Maluku Tengah, 2010.
Keempat, potensi ikan pelagis kecil pada WPP 714 dan 715 yang dapat diakses oleh nelayan Maluku Tengah memberikan kontribusi paling tinggi dibandingkan
kelompok SDI lainnya, masing-masing 47,48 132.000 ton dan 63,71 379.400 ton.