MoDiS dan Aplikasi Bagi Pengembangan Kawasan Perikanan

321 Kawasan Nilai Komposit Deskripsi Prioritas TNS 100,00 Tersier Saparua 271,56 Sekunder Pulau Haruku 227,71 Sekunder Leihitu 298,96 Primer Salahutu 264,27 Sekunder Amahai 227,50 Sekunder Tehoru 257,40 Sekunder Nusalaut 210,31 Sekunder Kota Masohi 301,88 Primer Gambar 55 Distribusi kawasan perikanan berdasarkan nilai komposit status prioritas pengembangan di wilayah Selatan Maluku Tengah Hasil ini sangat membantu dalam pengambilan keputusan untuk mengembangkan suatu kawasan perikanan. Dengan pendekatan model kembar yang dianalisis secara bertingkat ini, mempermudah pemerintah daerah atau stakeholder lain yang akan melakukan pengembangan program pembangunan perikanan pelagis kecil berbasis kawasan. Beberapa hal penting terkait dengan analisis ini, secara holistik, untuk kepentingan pengembangan kawasan perikanan meliputi: Pertama, tipologi kawasan memberikan justifikasi tentang kawasan yang menjadi inti atau periferi, demikian juga basis komoditas dan teknologi penangkapan ikan yang direkomendasikan. Kedua, indeks sentralitas sangat membantu dalam memberikan justifikasi tentang kekuatan sentralitas seluruh sub sistem dalam sistem perikanan pelagis kecil di kawasan, demikian juga sentralitas sistem perikanan secara agregat. 322 Pendekatan ini sangat membantu dalam menentukan hirarki dan status pengembangan kawasan. Ketiga, aplikasi model kembar yang mengakomodasi kedua model di atas menunjukkan sejauhmana prioritas yang harus ditentukan dalam pengembangan kawasan perikanan di suatu wilayah. Prioritas primer menunjukkan pusat utama pengembangan perikanan, prioritas sekunder menggambarkan pendukung pengembangan perikanan dan pusat utama, serta prioritas tersier dengan pendekatan yang disesuaikan dengan kapasitas lokal. Untuk kepentingan aplikasinya, beberapa arahan pengembangan kawasan perikanan penting dikemukakan dan membutuhkan perhatian yang serius, antara lain: 1. Pembangunan kawasan perikanan tidak hanya diperuntukan bagi akselerasi pertumbuhan ekonomi, tetapi juga bertujuan untuk meningkatkan kemampuan partisipasi masyarakat nelayan dalam melakukan pengembangan usaha maupun pengelolaan perikanan di kawasannya; 2. Pembangunan kawasan perikanan pada tingkat perencanaan wilayah dan perencanaan sektor, secara khusus harus bertumpu pada integrasi antara komponen-komponen sistem perikanan; 3. Kebijakan pembangunan kawasan perikanan perlu juga diarahkan pada pengembangan kapasitas setiap kawasan untuk meningkatkan distribusi investasi pada usaha perikanan. Peningkatan kapasitas setiap kawasan dapat didukung melalui integrasi stakeholder dalam proses alokasi sumber daya manusia perikanan, teknologi penangkapan ikan pilihan, maupun komoditas unggulan. Hasil analisis dengan pendekatan model dinamika spasial sistem perikanan dalam perencanaan pengembangan kawasan perikanan di Maluku Tengah menunjukkan adanya struktur ruang yang terbentuk. Dirjen Penataan Ruang-DPU 2008 menyatakan pembentukan struktur ruang wilayah mengambarkan susunan hirarki pusat-pusat pengembangannya. Dengan demikian, hasil ini memberikan implikasi kuat bagi proses penataan ruang wilayah pengembangan perikanan di Maluku Tengah. 323 Unsur fisik penataan ruang mencakup pengaturan unsur fisik wilayah yang merupakan pertimbangan dalam penataan ruang untuk perumusan kebijakan bagi: 1 pengaturan pemanfaatan ruang; 2 penataan strukturhirarki pusat-pusat aktivitas sosial-ekonomi; 3 pengembangan jaringan keterkaitan antar pusat-pusat aktivitas; dan 4 pengembangan infrastruktur Rustiadi et al., 2011. Pandangan ini memberikan penguatan pada hasil analisis dengan menggunakan model dinamika spasial yang dapat diplikasikan untuk pengembangan kawasan perikanan, juga penentuan struktur kawasan pengembangan. Dalam teori pembangunan kawasan ada tiga proses yang dapat disumbangkan untuk mendukung pengembangan kawasan perikanan dengan sasaran peningkatan kapasitasnya, antara lain: 1 Impuls dari dalam kawasan yang timbul karena adanya spesialisasi, diversifikasi dan pembentukan modal untuk melakukan investasi terhadap sarana dan prasarana perikanan. Adanya investasi di antara kegiatan-kegiatan ekonomi produktif dalam kawasan berbasis perikanan menyebabkan munculnya pusat-pusat pemasaran. Kondisi ini akan diikuti dengan pertukaran informasi yang selanjutnya menimbulkan kekuatan integrasi sistem perikanan sebagai potensi untuk melakukan inovasi dalam teknologi perikanan dan peningkatan pengetahuan nelayan di tiap kawasan. 2 Impuls dari luar kawasan merupakan impuls yang timbul karena adanya permintaan dari luar terhadap SDI dan tingkat ketrampilan nelayan serta pelaku usaha perikanan dalam kawasan. Hal ini juga perlu didukung dengan peningkatan akses terhadap pasar, bahan mentah dan komoditi-komoditi lain dari luar. Kemampuan kawasan dalam menginternalisasi keuntungan ekonomi dari luar, turut membangun struktur kawasan yang mampu memobilisasi dan memanfaatkan sumber daya perikanan yang ada di dalam kawasan. 3 Dinamika sistem perikanan yang bermanfaat untuk mentransfer inovasi teknologi dan informasi perikanan serta fungsi-fungsi setiap komponen sistem perikanan. Bersama dengan faktor-faktor produksi dan komoditas unggulan yang dihasilkan, peningkatan peran sistem perikanan ditujukan untuk memfasilitasi interaksi antara determinan-determinan ekonomi, sosial, politik serta memfasilitasi keuntungan spasial, sehingga terbentuk harga-harga yang 324 rendah atau tingkat efisiensi yang memadai dalam setiap kegiatan produktif di kawasan. Khusus untuk kawasan-kawasan berstatus sebagai hinterland atau periferi terutama yang menjadi prioritas sekunder dan tersier, membutuhkan strategi pengembangan khusus, antara lain: 1 Pendekatan holistik untuk mengembangkan perikanan pelagis kecil di dalam kawasan berbasis pada peningkatan dinamika seluruh komponen yang ada dalam suatu sistem perikanan. 2 Pengembangan kawasan perikanan lebih difokuskan dan berorientasi pada peningkatan kapasitas nelayan dan pelaku usaha perikaan lainnya secara integratif. Untuk kawasan-kawasan dengan kapasitas yang lemah, pengembangan kawasan perikanan diarahkan pada pencapaian self management, self-reliance dan self-sufficient. 3 Endogenitas, dimana pengembangan kawasan perikanan didukung dengan kebijakan yang mengarah pada upaya-upaya untuk mengakomodasi kapasitas kawasan dalam pengembangan usaha berbasis potensi lokal. 4 Unit-unit produksi kecil yang penting untuk self sufficiently, perlu dikembangkan untuk menghindari ketergantungan yang tinggi terhadap produksi kawasan lain. 5 Dalam hubungannya dengan inovasi teknologi perikanan pelagis kecil, maka teknologi yang diintrodusir dan disubtitusi sebaiknya bersifat family employing technology. Hal ini penting untuk mengakomodasi tendensi perbaikan dan peningkatan produktifitas kerja, terkendalinya pengoperasian teknologi perikanan dan mendorong self-reliance dan inovasi. Secara agregat, kajian model dinamika spasial dari sistem perikanan dalam perencanaan dan pengembangan kawasan yang diaplikasikan pada perikanan pelagis kecil di Maluku Tengah menghasilkan beberapa hasil sebagai berikut: 1. Pengembangan analisis tipologi kawasan menghasilkan dua model, pertama Model TipoSan_1 menunjukkan lima kawasan berstatus inti Kota Masohi, Leihitu, Saparua, Tehoru dan Amahai, dua kawasan periferi aktif Salahutu dan Nusalaut, Pulau Haruku sebagai periferi pasif dan TNS sebagai periferi netral; kedua, Model TipoSan_2 menunjukkan pusat pengembangan perikanan 325 pelagis kecil berbasis komoditas dan teknologi penangkapan ikan pilihan, meliputi: Pusat pengembangan Basis komoditas unggulan Teknologi penangkapan ikan pilihan Saparua layang, selar, kembung, sunglir pukat cincin Leihitu layang, selar, kembung, sunglir pukat cincin dan pancing tegak Amahai sunglir bagan apung Tehoru layang, kembung, sunglir pancing tegak Kota Masohi layang, selar, kembung pukat cincin dan bagan apung teri bagan apung sunglir pukat cincin 2. Pengembangan analisis sentralitas sistem perikanan menghasilkan dua model, pertama, Model InSist_1 menunjukkan kawasan dengan status pengembangan kuat pada sub sistem alam adalah Saparua, Leihitu, Salahutu, Amahai, Tehoru dan Nusalaut, pada sub sistem manusia adalah Leihitu, Salahutu, Amahai, Tehoru, Nusalaut dan Kota Masohi, serta pada sub sistem pengelolaan adalah Leihitu, Salahutu, Amahai, dan Tehoru; kedua, Model InSist_2 menunjukkan kawasan dengan hirarki I adalah Pulau Haruku, Leihitu, Salahutu, Amahai, Tehoru, Nusalaut dan Kota Masohi, hirarki II adalah Saparua dan Pulau Haruku dan hirarki III adalah TNS. 3. Analisis dinamika spasial dengan pendekatan model kembar pengembangan kawasan perikanan, MoDiS, menghasilkan kawasan prioritas pengembangan primer adalah Leihitu dan Kota Masohi, prioritas sekunder pada kawasan Saparua, Pulau Haruku, Salahutu, Amahai, Tehoru dan Nusalaut, serta TNS sebagai kawasan dengan prioritas pengembangan tersier. Ketiga hasil menjadi penting untuk direkomendasikan bagi pemerintah, baik pusat, Provinsi Maluku maupun Kabupaten Maluku Tengah, dalam rangka mengembangkan perencanaan pembangunan kawasan perikanan di Maluku Tengah yang berbasis pada kajian dinamika spasial sistem perikanan ini. Pentingnya hasil ini adalah untuk mengembangan pola pewilayahan komoditas perikanan dan pembentukan struktur ruang pengembangan kawasan perikanan. 326 Basis-basis perikanan pelagis kecil yang dihasilkan dalam penelitian ini dapat dijadikan pusat-pusat pengembangan perikanan berbasis komoditas pelagis kecil. Pola interaksi antara kawasan inti dengan periferi harus dikembangkan melalui peningkatan akses antar kawasan dan antara kawasan dengan DPI untuk mencapai integrasi wilayah pengembangan perikanan di Maluku Tengah. 327 9 KESIMPULAN DAN SARAN

9.1 Kesimpulan

Penelitian tentang Model Dinamika Spasial Sistem Perikanan Dalam Pengembangan Kawasan Perikanan Pelagis Kecil di Kabupaten Maluku Tengah menghasilkan Model Dinamika Spasial MoDiS, terbentuk dari dua model kembar TipoSan dan InSist yang dapat menentukan status kawasan inti, periferi aktif, periferi pasif dan periferi netral, basis komoditas dan teknologi penangkapan ikan pelagis kecil, kuat-lemah kapasitas kawasan, struktur wilayah berbasis hirarki kawasan, serta prioritas pengembangan kawasan perikanan pelagis kecil primer, sekunder dan tersier. Pembentukan model dinamika spasial merupakan akumulasi dari dinamika sistem perikanan pelagis kecil yang secara khusus disampailkan sebagai berikut: 1. Dinamika spasial sub sistem alam yang membentuk dinamika aksesibilitas daerah penangkapan ikan, berimplikasi pada penentuan basis kawasan perikanan pelagis kecil melalui akses terdekat 2. Komoditas perikanan pelagis kecil unggulan adalah: ikan layang, selar, sunglir, kembung dan teri; unit penangkapan ikan pelagis kecil pilihan adalah pukat cincin, bagan apung, pancing tegak dan jaring insang hanyut dengan alokasi optimal pukat cincin 175 unit dan pancing tegak 1.643 unit; alokasi optimal tenaga kerja perikanan sebanyak 31.263 orang; 3. Dinamika spasial sub sistem pengelolaan perikanan berbasis kebijakan pemerintah di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten, berpengaruh terhadap pengembangan kawasan perikanan pelagis kecil dalam lingkup dan interaksi indikatornya, meliputi capaian implementasi strategi, kinerja kawasan dan capaian tujuan pembangunan perikanan.

9.2 Saran

Secara umum penelitian ini merekomendasikan perlu adanya sinkronisasi antara penataan ruang wilayah, pengelolaan perikanan dan pengelolaan pesisir terpadu. Hal ini penting diupayakan untuk mengatasi gap yang terjadi selama ini antara ketiga komponen perencanaan spasial tersebut. 328 Secara khusus pengembangan kawasan perikanan pelagis keci di Maluku Tengah dapat dilakukan dengan memperhatikan, beberapa hal sebagai berikut: 1. Dalam konteks perencanaan, hendaklah mempertimbangkan dinamika sistem perikanan secara integratif, baik pada sub sistem alam, sub sistem manusia maupun sub sistem pengelolaan; 2. Prioritas primer pengembangan kawasan perikanan pelagis kecil di Maluku Tengah adalah Leihitu dan Kota Masohi, prioritas sekunder pada kawasan Saparua, Pulau Haruku, Salahutu, Amahai, Tehoru dan Nusalaut, serta TNS sebagai kawasan dengan prioritas pengembangan tersier; 3. Dalam rangka penataan ruang pengembangan perikanan pelagis kecil kawasan dengan hirarki I adalah Pulau Haruku, Leihitu, Salahutu, Amahai, Tehoru, Nusalaut dan Kota Masohi, hirarki II adalah Saparua dan Pulau Haruku dan hirarki III adalah TNS; 4. Kebijakan pengembangan perikanan pelagis kecil berbasis sistem perikanan diarahkan pada status kekuatan pengembangan kawasan sesuai kapasitasnya, dimana kawasan dengan status pengembangan kapasitas yang kuat pada sub sistem alam di Saparua, Leihitu, Salahutu, Amahai, Tehoru dan Nusalaut, pada sub sistem manusia di Leihitu, Salahutu, Amahai, Tehoru, Nusalaut dan Kota Masohi, sub sistem pengelolaan di Leihitu, Salahutu, Amahai, dan Tehoru; 5. pusat pengembangan perikanan pelagis kecil berbasis komoditas dan teknologi penangkapan ikan pilihan, meliputi: Pusat pengembangan Basis komoditas unggulan Saparua layang, selar, kembung, sunglir Leihitu layang, selar, kembung, sunglir Amahai sunglir Tehoru layang, kembung, sunglir Kota Masohi layang, selar, kembung, teri, sungir 6. Lima kawasan berstatus inti pengembangan adalah Kota Masohi, Leihitu, Saparua, Tehoru dan Amahai, dua kawasan periferi aktif Salahutu dan Nusalaut, Pulau Haruku sebagai periferi pasif dan TNS sebagai periferi netral, perlu dikembangkan sesuai status yang dihasilkan dalam penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Abdullah, R.M., S.H. Wisudo., D.R. Monintja., dan M.F.A. Sondita. 2011. Analisis perikanan tangkap di Kota Ternate. Buletin PSP. Vol.XIX, No.1: 81-95. Abrahamsz, J. 2000. Disparitas dan integrasi pada Kawasan Andalan Pulau Seram. Tesis. Program Pascasarjana Universitas Sam Ratulangi. Manado. 179 hal. Abrahamsz, J. 2006. Pendekatan tipologi wilayah dalam pengembangan desa-desa pesisir di Provinsi Maluku, Jurnal Penelitian Manajemen Sumberdaya Perairan: Triton, Vol. 26: 34-41. Abrahamsz, J., B. Wiryawan., Mustaruddin dan B. Murdiyanto. 2010. Model Dasar penentuan kawasan minapolitan berbasis komoditas unggulan: Kajian spasial ikan pelagis kecil di Kabupaten Maluku Tengah. Jurnal Ichthyos, Vol. 9 1: 17-25. Apel, J.R. 1997. Principle of Ocean Physics. Chapter Nine. Academic Press. Harcourt Brace Jovanovich Publisher. Arab, A., M.B. Hooten, and C.K. Wikle. 2011. Hierarchical spatial models. Department of Statistics, University of Missouri, Columbia. 8 pp. Ayibotele, N.B. 2006. Water governance scorecard in Ghana. Global Water Partneship. Ghana. 33 pages. Babcock, E. A., and E.K. Pikitch. 2000. A dynamic programming model of fishing strategy choice in a multispecies trawl fishery with trip limits. Canadian Journal of Fisheries and Aquatic Sciences, 57: 357-370. Babcock, E.A., E.K. Pikitch., M.K. McAllister., P. Apostolaki, and C. Santora. 2005. A perspective on the use of spatialized indicators for ecosystem- based fishery management through spatial zoning. ICES Journal of Marine Science, 62: 469-476. Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional Kabupaten Maluku Tengah. 2010. Rekapitulasi tingkat kesejahteraan keluarga di Kabupaten Maluku Tengah. Masohi. Badan Pusat Statistik Kabupaten Maluku Tengah. 2010. Maluku Tengah Dalam Angka 2009. Masohi. BAPPENAS. 2004. Tata cara perencanaan pengembangan kawasan untuk percepatan pembangunan daerah. Direktorat Pengembangan Kawasan Khusus dan Tertinggal. Jakarta. 400 hal. 330 Barnes, H. 1988. Oceanography and Marine Biology, An Annual Review, Vol. 22. Aberdeen University Press. Aberden. Bavinck, M and V. Salagrama. 2008. Assessing the gonernability of capture fisheries in the Bay of Bengal: A conceptual enquiry. The Journal of Trandisciplinary Environmental Studies. Vol. 71:1-13. BioSonic Inc., 2004. Visual Analyzer 4. User Guide. BioSonics, Seattle, Washington. Biro Perencanaan Departemen Kelautan dan Perikanan. 2009. Indonesian Fisheries Book 2009. Ministry of Marine Affairs and Fisheries and Japan International Cooperation Agency. Jakarta. 84 pp. Booth, A.J. 2000. Incorporating the spatial component of fisheries data into stock assessment models. ICES Journal of Marine Science, 57: 858-865. Borgatti, S.P., and M.G. Everett. 1999. Models of coreperiphery structures. Journal of Social Networks 21 1999: 375–395. Brezzi, M., L. Dijkstra and V. Ruiz. 2011. OECD extended regional typology: The economic performance of remote rural regions. OECD Regional Development. Working Papers, 201106, OECD Publishing. 21 pp. Bromley, D.W. 2009. Abdicating responsibility: The deceits of fisheries policy. Fisheries, 34 6: 280-302. Browder, J.A., R. Alleman., S. Markley., P. Ortnenr, and P.A. Pitts. 2005. Biscayne bay conceptual ecological model. J. Wetlands, Vol. 25, No. 4. December 2005. Page: 854-869. Byrne, B.M. 2010. Structural equation modeling with AMOS: Basic concepts, applications, and programming, 2 nd ed. Taylor and Francis Group. LLC. New York. 396 pages. Chakravorty, U., and K. Nemato. 2001. Modelling the effects of area closure and tax policies: a spatial-temporal model for the Hawaii longline fishery. Marine Resource Economics, 15: 179-204. Chapman, L and L. Cao. 2003. An agent–based bioeconomic model of a fishery with input controls. Paper; Conference Program-MODSIM 2003, July 14– 17, 2003. Modelling and Simulation Society of Australia and New Zealand Inc. Townsville, Australia. 6 pp. Charles, A.T. 2001. Sustainable fishery systems. Blackwell Science Ltd. Victoria. 370 pp. Charles, A. 2006. The human dimension of fisheries adjustment: An overview of key issues and policy challenges. Paper in: Expert Meeting on the Human Side od Fisheries Adjusment. Paris, 19 October 2006. 19 pages. 331 Chen, J., Z. Xu and X. Chen. 2010. The spatial distribution pattern of fishing ground for small yellow croaker in China Seas. Journal of Fisheries of China. 34 2: 236-244. Chin, H., and S.C. Fu. 1999. Fleet dynamic analysis of the taiwan offshore trawl fishery: an application of the sea surface temperature measures Journal of Marine Science and Technology, Vol. 7, No. 2, pp. 101-109. Copes, P., and A. Charles. 2004. Socioeconomics of individual transferable quotas and community-based fishery management. Agricultural and Resource Economics Review. Vol. 33, No. 2 October 2004: 171-181. Copes, P. 1984. Introduction: Regional science and fisheries analysis in the Canadian Context. Canadian Journal of Regional Sciences, VII 2: 145- 151. Copes, P. 1991. Fisheries analysis: A marine dimension for regional sciences. Canadian Journal of Regional Sciences, XIV 2: 291-297. Curtis, R. 2006. US. social security and fishermen’s exit decisions. Paper in: Expert Meeting on the Human Side od Fisheries Adjusment. Paris, 19 October 2006. 15 pages. Dahlan, M.N., B. Wiryawan., B. Muryanto., A. Fauzi dan M.S. Baskoro. 2011. Analisis kesesuaian alat tangkap dengan kewilayahan dan dalam menunjang pembangunan perikanan tangkap di Kabupaten Belitung. Buletin PSP. Jurnal Ilmiah Teknologi dan Manajemen Perikanan Tangkap. Vol. XIX No. 1, Edisi April 2001. Hal. 39-51. Da-Rocha, J.M., M.D. Garza-Gil., and M.M. Varela-Lafuente. 2011. A model of fishing periods applied to the European sardine fishery. Fisheries Research 109 2011: 16–24. Departemen Kelautan dan Perikanan, 2009. Deskripsi kategori spesies pelagis kecil dan deskripsi kategori spesies demersal besar. Pusat Informasi Pelabuhan Perikanan. http:www.pipp.dkp.go.id. Download: 3 Maret 2009. De Young, C., A. Charles., and A. Hjort. 2008. Human dimensions of the ecosystem approach to fisheries: an overview of context, concepts, tools and methods. FAO Fisheries Technical Paper 489. Rome. 152 pages. Diei-Ouadi, Y. 2008. Dynamics of exports of traditional fish products in Côte D’ivoire and Ghana. Part I, In: Improving livelihoods through exporting artisanally processed fish. FAO Fisheries Circular No. 998. Rome. Pp. 1- 16. Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Maluku Tengah. 2002. Laporan Statistik Perikanan Tahun 2001. Masohi. 65 hal.