Model-model Translasi Alasan Memilih Teori Translasi Larson dan Cadford

Terlepas dari berbagai kemungkinan keputusan yang bisa diambil oleh penerjemah dalam proses penerjemahan sebagai akibat dari keragaman faktor penentu tersebut di atas, Machali 2000:105 memberikan suatu pegangan dasar dalam proses penerjemahan. Machali menilai bahwa gambar dinamika penerjemahan Newmark tersebut menunjukkan, bahwa yang terletak paling atas adalah ‘truth’ kebenaran berupa fakta atau substansi permasalahan yang akan diterjemahkan yang dibahas dalam teks atau ‘field’ menurut Halliday. Sejauh perubahan yang ada tidak menyebabkan perubahan truth tetap mempertahankan makna referensial maka kesepadanan masih dapat berterima. Perubahan atau pergeseran lain yang menyangkut kaidah bahasa nomor 2 dan 6 dalam dinamika translasi tersebut tidak membuat bergesernya ‘truth’ sehingga masih berterima. Dinamika tersebut di atas memberi peluang terjadinya campur tangan penerjemah. Machali 2000:106 mengungkapkan bahwa campur tangan penerjemah dalam proses penerjemahan disebabkan oleh: 1 merupakan terjemahan manusia human translation bukan terjemahan mesin machine translation; 2 bahasa bukanlah sebuah “jaket pengaman” yang mengikat pemakainya penerjemah untuk hanya memilih satu bentuk tertentu; dan, 3 penerjemah manusia mempunyai keunikan pandangan, prasangka, dll.

2.3.1 Model-model Translasi

Larson 1984:17 menyatakan bahwa saat menerjemahkan sebuah teks, tujuan penerjemah adalah mencapai translasi idiomatik yang sedemikian rupa, berusaha Universitas Sumatera Utara untuk mengkomunikasikan makna teks bahasa sumber ke dalam bentuk alami dari bahasa sasaran. Oleh karena itu, penerjemahan merupakan kegiatan yang berkenaan dengan studi tentang leksikon, struktur tata bahasa, situasi komunikasi, dan konteks budaya teks bahasa sumber yang dianalisis dengan maksud untuk menentukan maknanya. Makna yang ditemukan kemudian diungkapkan dan dikonstruksikan kembali dengan menggunakan leksikon dan struktur tata bahasa dan konteks budayanya. Di dalam hal ini, Larson 1984:4 secara sederhana menampilkan diagram proses menerjemah suatu bahasa. Figura 2.6 Proses Translasi Model Larson Diadaptasi dari Choliludin, 2007:31 Teks yang Diterjemahkan MAKNA Makna yang Diekspresikan Kembali Translasi Menemukan Makna Universitas Sumatera Utara Di samping itu, Johannes 1979 membagi bahasa penerjemahan atas dua bagian, yaitu bahasa keilmuan dan bahasa sastra. Menurutnya penerjemahan bahasa keilmuan harus mempunyai kriteria-kriteria denotatif sebagai berikut. 1 bahasa yang dipergunakan adalah bahasa resmi bukan bahasa pergaulan 2 mempunyai sifat formal dan objektif 3 mempunyai nada yang tidak emosional 4 perlu memperhatikan keindahan bahasa 5 menghindari kemubaziran redundancy 6 mempunyai isi yang lengkap, jelas, ringkas, meyakinkan, tepat dan padat. Bahasa sastra berbeda dalam pemakaian ungkapan dan kiasan, yang tidak dijumpai dalam bahasa ilmu. Kriteria-kriteria bahasa sastra ialah sebagai berikut: 1 bahasa sastra bersifat konotatif 2 bahasa sastra mengutamakan keindahan sedangkan bahasa ilmu tidak. 3 bahasa sastra bersifat elastis merupakan dasar karya-karya sastra, sementara karya-karya ilmiah mengutamakan kepadatan isi.

2.3.2 Alasan Memilih Teori Translasi Larson dan Cadford

Teori translasi mempunyai kelebihan, yaitu dapat memenuhi keinginan peneliti dalam penyelesaian masalah budaya di dalam penerjemahan. Budaya di sini mencakup segala sesuatu yang secara historis tercipta karena pola berpikir suatu masyarakat baik tersurat maupun tersirat, baik yang rasional maupun irrasional. Secara garis besar kesulitan-kesulitan dalam penerjemahan dapat dibedakan menjadi dua kategori besar. Universitas Sumatera Utara Kedua kategori ini adalah kesulitan yang berkaitan dengan kebahasaan ‘linguistic problems’ dan kesulitan yang bersifat non kebahasaan ‘nonlinguistic problems.’ Selanjutnya, dalam penerjemahan adanya perbedaan antara sistem bahasa sumber dan sistem bahasa sasaran juga ditunjukkan oleh perbedaan struktur baik tataran kata, frasa, klausa, dan kalimat. Dalam bahasa Inggris, inconceivable ditulis sebagai satu kata tetapi terdiri atas tiga morfem: in, conceive, dan able. Jika kata itu dialihkan ke dalam bahasa Indonesia, translasinya akan berbunyi: tidak dapat dipikirkan atau tidak dapat dibayangkan. Persoalan-persoalan seperti ini dapat dicari solusinya dengan menggunakan teori penerjemahan yang berorientasi pada penetapan tema dan rema dalam teks bahasa sumber dan translasinya. Berdasarkan penjelasan di atas, proses translasi adalah proses mengekspresikan kembali makna teks bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran tanpa mengubah makna bahasa sumber tersebut. Untuk itu, penelitian ini menerapkan teori translasi Larson dan Cadford. Hal ini disebabkan di dalam penerjemahan ada kesulitan yang disebutkan kesulitan bahasa ‘linguistik’ dan kesulitan budaya. Catford 1965 mengatakan kesulitan ialah kesulitan yang berkaitan dengan unsur-unsur budaya. Hal yang sama juga disebutkan oleh Larson 1984 bahwa salah satu masalah yang paling sulit dalam penerjemahan ialah perbedaan antara budaya. Penerjemahan adalah masalah latar belakang budaya dari penerjemah. Walaupun kemampuan menerjemah seseorang baik karena menguasai bahasa sumber dan bahasa sasaran dengan kuantitas yang sama artinya, orang tersebut mengetahui perbedaan persepsi linguistik bahasa sumber dan sasaran. Si penerjemah juga diminta Universitas Sumatera Utara meguasai konteks estetika dan budaya bahasa sumber dan sasaran sehingga dengan pengetahuan materinya yang memadai, ia melakukan mampu penerjemahan. Menurut Halliday 1985 langkah pertama dalam menerjemah adalah menemukan makna yang terkandung melalui analisis makna. Menganalisis teks dengan menggunakan seperangkat framework akan memberikan gagasan komprehensif pada para pembaca untuk menghasilkan sebuah hasil translasi. Setiap teks baik lisan maupun tulisan mengungkap makna dalam konteks penggunannya. Jadi, dengan konteks di sekitar teks, teks menciptakan makna. Untuk dapat memahami makna teks dapat dilakukan dengan menggunakan framework seperti berikut ini. Figura 2.7: Kedudukan Teks, Konteks, dan Makna dalam Wacana TEKS KONTEKS Metafungsi bahasa Konteks Situasi - fungsi ideasional - medan wacana - fungsi antarpersona - pelibat wacana - fungsi tekstual - sarana wacana Konteks Budaya - institusional - ideasional Intertekstual - teks yang berkaitan Intratekstual - koherensi - kohesi MAKNA Universitas Sumatera Utara Berdasarkan figura di atas dapat dipahami bahwa teks, konteks dan makna adalah tiga unsur yang salig berkaitan erat. Makna teks terealisasi melalui fungsi ideasional, antarpersona, tekstual, dan konteks berperan mempengaruhi makna yang disampaikan oleh teks. Dengan demikian, teks mengungkapkan maknanya dalam kaitanya dengan konteks yang terdapat di dalam teks tersebut.

2.3.3 Kerangka Konsep Pergeseran dalam Translasi