2.2 Kerangka Teori
“Teori bahasa memiliki cara yang beragam dalam melihat fenomena bahasa” Sinar, 2003:13. Di dalam penelitian ini, teori bahasa yang akan digunakan adalah
teori Systemic Functional Linguistics dan teori translasi. Oleh karena itu, bab ini akan menjelaskan kedua teori tersebut, yaitu teori Translasi yang dikemukakan oleh Larson
dan Catford dan teori Systemic Functional Linguistics yang dikemukakan oleh Halliday. Teori-teori itu dilengkapi oleh model-model penerjemahan yang relevan
dengan penelitian ini. Secara sistematis, teori yang digunakan peneliti dalam translasi dwibahasa:
Inggris-Indonesia dapat diklasifikasikan sebagai-berikut. 1
Kerangka Teori 2
Teori Translasi dan Penerjemahan 3
Model-model Penerjemahan 4
Alasan Memilih Teori Translasi Larson dan Catford 5
Kerangka Konsep Pergeseran dalam Translasi 6
Teori Systemic Functional Linguistics 7
Alasan Memilih Teori Systemic Functional Linguistics 8
Berbagai Model Systemic Functional Linguistics 9
Kerangka Konsep Systemic Functional Linguistics 10
Metafungsi Bahasa 11
Orientasi Teoritis 12
Penelitian Sebelumnya
Universitas Sumatera Utara
13 Konstruk Analisis
2.3 Teori Translasi dan Penerjemahan
Pada penelitian ini perlu dibedakan antara kata ‘translasi’ dan ‘penerjemahan’. Kata ‘penerjemahan’ mengandung pengertian proses alih pesan, sedangkan kata
‘translasi’ sebagai padanan kata ‘translation’ artinya hasil dari suatu penerjemahan Nababan, 2003:18. Di dalam penelitian ini, peneliti menggunakan istilah translasi
untuk hasil penerjemahan dan istilah penerjemahan untuk proses alih pesan dalam translasi.
Berdasarkan pengertian di atas, menerjemahan berarti mengalihkan pesan yang terdapat dalam bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran sedemikian rupa sehingga
orang yang membaca atau mendengar pesan itu dalam bahasa sasaran kesannya sama dengan orang yang membaca pesan itu dalam bahasa sumber. Hal ini sesuai dengan
pendapat Nida 1976 dalam Hanafi 1986:25 yang mengatakan bahwa, “Translating consist in producing in the receptor language the closest natural equivalent to the
message of the source language, fist in meaning and secondly in style.” Hal ini berarti, di dalam kajian translasi harus dicari padanan yang paling dekat dengan bahasa
penerima terhadap bahasa sumber, baik dalam hal makna maupun gaya bahasanya. Sejalan dengan pendapat di atas, Catford 1965 dalam Nababan 2003:19
menyatakan penerjemahan adalah pemindahan materi teks bahasa sumber yang berekuivalen dengan materi teks pada bahasa sasaran. Di dalam proses alih pesan
tersebut, terdapat faktor linguistik dan budaya. Steiner 1994:103 mengatakan,
Universitas Sumatera Utara
“Translation can be seen as co generation of text under specific contraints that is relative stability of some situasional factorand, therefore, register, and, classically,
change of language and context of culture”. Di dalam hal ini, faktor situasi, budaya, dan perubahan bahasa sumber dan bahasa sasaran menjadi hal-hal yang menjadi
perhatian penerjemah. Dengan demikian, penerjemahan bukan hanya aktivitas bilingual tetapi juga pada saat yang bersamaan adalah aktivitas bi-kultural. Pernyataan
ini mengandung perngertian bahwa penerjemahan bukan hanya menerjemahkan bahasa tetapi sekaligus transfer budaya.
Jacobson dalam artikelnya “On Linguistic Aspecct of Translation” 1959 dalam Shuttlewarth dan Cowie 1997:82-88, menyatakan translasi dapat dibagi
menjadi tiga jenis berikut ini. a.
Intralingual Translation Translasi Intralingual yaitu penerjemahan yang hanya melibatkan satu bahasa bahasa yang sama saja dalam prosesnya.
b. Interlingual Tranlation Translasi Interlingual yaitu penerjemahan yang
melibatkan dua bahasa yang berbeda. c.
Intersemiotic Translation Translasi Intersemiotik yaitu penerjemahan suatu simbol yang mempunyai makna ke dalam simbol lain yang juga mempunyai
makna yang sama. Esksistensi translasi yang dikemukakan oleh Jakobson 1959:232-239 di atas
dapat diklasifikasikan pada konteks translasi bahasa Indonesia sebagaimana terlihat dalam figura berikut ini.
Universitas Sumatera Utara
Figura 2.3: Klasifikasi Eksistensi Translasi
Translasi
Kebahasaan
Nonkebahasaan
Kebahasaan Non-kebahasaan
Intra-kebahasaan Inter-kebahasaan
Translasi ekabahasa
Translasi multibahasa
Translasi dwibahasa
Translasi Bahasa Indonesia-Belanda
Translasi Bahasa Indonesia-Inggris
dan sebagainya
Dari ketiga klasifikasi yang dinyatakan oleh Jacobson tersebut, penelitian ini berkonsentrasi pada jenis translasi kedua, yaitu interlingual translation, tepatnya antara
dua bahasa yang berbeda yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Bahasa Indonesia
Universitas Sumatera Utara
merupakan bahasa regional penduduk terbesar di Asia Tenggara sedangkan bahasa Inggris merupakan bahasa internasional yang berasal dari kawasan Eropa Barat.
Menurut Tou 1997:27 konsep penerjemahan dapat dibedakan atas tiga hal, yaitu 1 teori fenomena, 2 fenomena studi, dan 3 praktik atau kegiatan
mengerjakan fenomena tersebut. Skema berikut diciptakan untuk memberikan gambaran yang lebih jelas tentang konsep yang diadopsi seorang peneliti. Sebagai
fenomena studi, penerjemahan bisa diklasifikasikan ke dalam tiga kategori berbeda, yaitu penerjemahan sebagai fenomena bahasa, penerjemahan sebagai fenomena bukan
bahasa, dan penerjemahan sebagai fenomena bahasabukan bahasa.
Figura 2.4: Skema Penerjemahan Adaptasi dari Choliludin, 2007:21 TEORI FENOMENA
- teori penerjemahan
- translatologi
- ilmu penerjemahan
- translatik
- kajian penerjemahan
FENOMENA STUDI PENERJEMAHAN
Fenomena bahasa
Intralingual - penerjemahan monolingual
Penerjemahan Interlingual - penerjemahan bilingual
- penrjemahan multilingual Penerjemahan Intersemiotik
- fenomena bukan bahasa - fenomena bahasabukan bahasa
KEGIATAN MENGKAJI FENOMENA
Universitas Sumatera Utara
Pada hakikatnya, penerjemahan mencakup pemakaian dua bahasa dengan ide atau makna yang sama Beekman dan Callow, 1974:58-59. Oleh karena itu,
penerjemahan yang benar adalah penerjemahan yang dapat mentransfer makna dari bahasa sumber ke bahasa sasaran. Kemampuan menerjemah selain berkaitan dengan
kemampuan menguasai kosa kata, struktur bahasa juga harus dapat memahami situasi komunikasi dan konteks budaya bahasa sumber, sehingga dapat mentransfer ke dalam
kosa kata, struktur, dan konteks budaya bahasa sasaran Larson, 1984:15. Sejalan dengan pendapat di atas, translasi dan penerjemahan berhubungan erat
dengan cara memahami bahasa. Menurut Halliday dan Hasan 1985:5-8, cara
memahami bahasa terletak pada kajian sebuah teks yang memiliki konteks di dalamnya. Maka dalam proses yang sama, konteks dan teks adalah aspek. Gagasan
tentang sesuatu yang menyertai teks yang melewati batas, yang dikatakan dan ditulis meliputi nonverbal lain yang muncul dalam lingkungan total yang diungkap. Maka,
lingkungan total yang berlaku sebagai penghubung antara teks dan situasi yaitu tempat
teks yang sebenarnya itu muncul dan ini disebut konteks situasi.
Setiap teks, baik lisan maupun tulisan, mengungkap makna dalam konteks penggunaannya. Oleh karena itu, bahasa dalam hubungannya dengan struktur sosial
menimbulkan konsekuensi untuk menggambarkan konteks yang diperankan bahasa. Contoh fenomena ini sering dialami oleh Bronislaw Malinowski. Malinowski
menghadapi masalah cara menerjemahkan atau menyampaikan pikirannya tentang bahasa dan budaya Kariwian di Pulau Trobriand pada para pembaca penutur bahasa
Inggris. Budaya yang dia pelajari berbeda dengan budaya orang inggris. Malinowski
Universitas Sumatera Utara
kemudian mengadopsi berbagai metode. Pada tahap ini, dia memperkenalkan konsep konteks situasi dan konteks budaya; dan dia menganggap bahwa keduanya sama-sama
penting bagi pemahaman terhadap sebuah teks sebelum menerjemahkannnya Di dalam proses penerjemahan, penerjemah hanyalah seorang komunikator
yang menjembatani alur informasi dari penulis dan pembaca yang semestinya bisa menghilangkan sedemikian rupa campur tangan atau subyektivitas. Untuk itu setiap
penerjemah perlu memiliki suatu pedoman dalam pemadanan dan pengubahan Machali, 2000:104. Newmark 1988:4 menilai bahwa sebuah teks yang akan
ditranslasikan dapat ditarik ke sepuluh arah dalam analisis sebelum dialihkan. Dinamika penerjemahan ini digambarkan sebagai berikut.
Figura 2.5 Dinamika Translation Newmark, 1988:4
9 The truth the facts of the matter
1 SL writer 2 SL norm
3 SL culture 4 SL setting and
tradition 5 TL relationship
6 TL norm 7 TL culture
8 TL setting and tradition
TEXT
10 Translator
Universitas Sumatera Utara
Terlepas dari berbagai kemungkinan keputusan yang bisa diambil oleh penerjemah dalam proses penerjemahan sebagai akibat dari keragaman faktor penentu
tersebut di atas, Machali 2000:105 memberikan suatu pegangan dasar dalam proses penerjemahan. Machali menilai bahwa gambar dinamika penerjemahan Newmark
tersebut menunjukkan, bahwa yang terletak paling atas adalah ‘truth’ kebenaran berupa fakta atau substansi permasalahan yang akan diterjemahkan yang dibahas
dalam teks atau ‘field’ menurut Halliday. Sejauh perubahan yang ada tidak menyebabkan perubahan truth tetap mempertahankan makna referensial maka
kesepadanan masih dapat berterima. Perubahan atau pergeseran lain yang menyangkut kaidah bahasa nomor 2 dan 6 dalam dinamika translasi tersebut tidak membuat
bergesernya ‘truth’ sehingga masih berterima. Dinamika tersebut di atas memberi peluang terjadinya campur tangan penerjemah. Machali 2000:106 mengungkapkan
bahwa campur tangan penerjemah dalam proses penerjemahan disebabkan oleh: 1
merupakan terjemahan manusia human translation bukan terjemahan mesin machine translation;
2 bahasa bukanlah sebuah “jaket pengaman” yang mengikat pemakainya
penerjemah untuk hanya memilih satu bentuk tertentu; dan, 3
penerjemah manusia mempunyai keunikan pandangan, prasangka, dll.
2.3.1 Model-model Translasi
Larson 1984:17 menyatakan bahwa saat menerjemahkan sebuah teks, tujuan penerjemah adalah mencapai translasi idiomatik yang sedemikian rupa, berusaha
Universitas Sumatera Utara
untuk mengkomunikasikan makna teks bahasa sumber ke dalam bentuk alami dari bahasa sasaran. Oleh karena itu, penerjemahan merupakan kegiatan yang berkenaan
dengan studi tentang leksikon, struktur tata bahasa, situasi komunikasi, dan konteks budaya teks bahasa sumber yang dianalisis dengan maksud untuk menentukan
maknanya. Makna yang ditemukan kemudian diungkapkan dan dikonstruksikan kembali dengan menggunakan leksikon dan struktur tata bahasa dan konteks
budayanya. Di dalam hal ini, Larson 1984:4 secara sederhana menampilkan diagram
proses menerjemah suatu bahasa.
Figura 2.6 Proses Translasi Model Larson Diadaptasi dari Choliludin, 2007:31
Teks yang Diterjemahkan
MAKNA
Makna yang Diekspresikan Kembali
Translasi
Menemukan Makna
Universitas Sumatera Utara
Di samping itu, Johannes 1979 membagi bahasa penerjemahan atas dua bagian, yaitu bahasa keilmuan dan bahasa sastra. Menurutnya penerjemahan bahasa
keilmuan harus mempunyai kriteria-kriteria denotatif sebagai berikut. 1
bahasa yang dipergunakan adalah bahasa resmi bukan bahasa pergaulan 2
mempunyai sifat formal dan objektif 3
mempunyai nada yang tidak emosional 4
perlu memperhatikan keindahan bahasa 5
menghindari kemubaziran redundancy 6
mempunyai isi yang lengkap, jelas, ringkas, meyakinkan, tepat dan padat. Bahasa sastra berbeda dalam pemakaian ungkapan dan kiasan, yang tidak
dijumpai dalam bahasa ilmu. Kriteria-kriteria bahasa sastra ialah sebagai berikut: 1
bahasa sastra bersifat konotatif 2
bahasa sastra mengutamakan keindahan sedangkan bahasa ilmu tidak. 3
bahasa sastra bersifat elastis merupakan dasar karya-karya sastra, sementara karya-karya ilmiah mengutamakan kepadatan isi.
2.3.2 Alasan Memilih Teori Translasi Larson dan Cadford
Teori translasi mempunyai kelebihan, yaitu dapat memenuhi keinginan peneliti dalam penyelesaian masalah budaya di dalam penerjemahan. Budaya di sini mencakup
segala sesuatu yang secara historis tercipta karena pola berpikir suatu masyarakat baik tersurat maupun tersirat, baik yang rasional maupun irrasional. Secara garis besar
kesulitan-kesulitan dalam penerjemahan dapat dibedakan menjadi dua kategori besar.
Universitas Sumatera Utara
Kedua kategori ini adalah kesulitan yang berkaitan dengan kebahasaan ‘linguistic problems’ dan kesulitan yang bersifat non kebahasaan ‘nonlinguistic problems.’
Selanjutnya, dalam penerjemahan adanya perbedaan antara sistem bahasa sumber dan sistem bahasa sasaran juga ditunjukkan oleh perbedaan struktur baik
tataran kata, frasa, klausa, dan kalimat. Dalam bahasa Inggris, inconceivable ditulis sebagai satu kata tetapi terdiri atas tiga morfem: in, conceive, dan able. Jika kata itu
dialihkan ke dalam bahasa Indonesia, translasinya akan berbunyi: tidak dapat dipikirkan atau tidak dapat dibayangkan. Persoalan-persoalan seperti ini dapat dicari
solusinya dengan menggunakan teori penerjemahan yang berorientasi pada penetapan tema dan rema dalam teks bahasa sumber dan translasinya.
Berdasarkan penjelasan di atas, proses translasi adalah proses mengekspresikan kembali makna teks bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran tanpa mengubah makna
bahasa sumber tersebut. Untuk itu, penelitian ini menerapkan teori translasi Larson dan Cadford. Hal ini disebabkan di dalam penerjemahan ada kesulitan yang
disebutkan kesulitan bahasa ‘linguistik’ dan kesulitan budaya. Catford 1965 mengatakan kesulitan ialah kesulitan yang berkaitan dengan unsur-unsur budaya. Hal
yang sama juga disebutkan oleh Larson 1984 bahwa salah satu masalah yang paling sulit dalam penerjemahan ialah perbedaan antara budaya.
Penerjemahan adalah masalah latar belakang budaya dari penerjemah. Walaupun kemampuan menerjemah seseorang baik karena menguasai bahasa sumber
dan bahasa sasaran dengan kuantitas yang sama artinya, orang tersebut mengetahui perbedaan persepsi linguistik bahasa sumber dan sasaran. Si penerjemah juga diminta
Universitas Sumatera Utara
meguasai konteks estetika dan budaya bahasa sumber dan sasaran sehingga dengan pengetahuan materinya yang memadai, ia melakukan mampu penerjemahan.
Menurut Halliday 1985 langkah pertama dalam menerjemah adalah menemukan makna yang terkandung melalui analisis makna. Menganalisis teks
dengan menggunakan seperangkat framework akan memberikan gagasan komprehensif pada para pembaca untuk menghasilkan sebuah hasil translasi. Setiap
teks baik lisan maupun tulisan mengungkap makna dalam konteks penggunannya. Jadi, dengan konteks di sekitar teks, teks menciptakan makna. Untuk dapat memahami
makna teks dapat dilakukan dengan menggunakan framework seperti berikut ini.
Figura 2.7: Kedudukan Teks, Konteks, dan Makna dalam Wacana
TEKS KONTEKS
Metafungsi bahasa
Konteks Situasi
- fungsi
ideasional -
medan wacana
- fungsi
antarpersona -
pelibat wacana
- fungsi
tekstual -
sarana wacana
Konteks Budaya -
institusional -
ideasional
Intertekstual -
teks yang berkaitan
Intratekstual -
koherensi -
kohesi
MAKNA
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan figura di atas dapat dipahami bahwa teks, konteks dan makna adalah tiga unsur yang salig berkaitan erat. Makna teks terealisasi melalui fungsi
ideasional, antarpersona, tekstual, dan konteks berperan mempengaruhi makna yang disampaikan oleh teks. Dengan demikian, teks mengungkapkan maknanya dalam
kaitanya dengan konteks yang terdapat di dalam teks tersebut.
2.3.3 Kerangka Konsep Pergeseran dalam Translasi
Catford 1965:20 menegaskan konsep pergeseran bisa dilihat dari dua perspektif yang berbeda tentang translasi: 1 translasi sebagai produk, 2 translasi
sebagai suatu proses. Sebagai produk, konsep pergeseran formal identik dengan konsep pergeseran yang mengacu pada suatu peristiwa atau keadaan di mana sebuah
padanan di seleksi dari bahasa sasaran dalam proses penerjemahan tidak menunjukkan kesejajaran bentuk teks unit, struktur, ataupun kelas dalam bahasa sumber. Sebagai
suatu proses, pengertian pergeseran formal sejajar dengan istilah transposisi transposition yang dikemukakan oleh Newmark 1988 yaitu suatu cara atau
prosedur penerjemahan melalui perubahan bentuk gramatikal dari bahasa sumber ke dalam bahasa target.
Catford 1965:73-82 membedakan pergeseran dalam translasi ke dalam dua jenis sebagai-berikut.
1 level shift yang muncul di permukaan dalam bentuk item bahasa sumber pada
level linguistik tertentu mempunyai padanan dalam level yang berbeda. Misalnya, tataran gramatika berpadanan dengan leksis.
Universitas Sumatera Utara
2 category shift yaitu suatu istilah generik yang mengacu pada pergeseran yang mencakup empat kategori sebagai berikut.
a. structure-shifts, yakni pergeseran struktur yang menyangkut perubahan
gramatikal antara struktur bahasa sumber dan sasaran. b.
class-shifts, yakni pergeseran kelas bila kata dalam bahasa sumber dipadankan dengan bahasa sasaran mempunyai kelas gramatikal yang
berbeda. c.
unit-shifts, yakni pergeseran unit yang menyangkut perubahan ‘rank’ misalnya dari kata diterjemahkan menjadi frasa.
d. intra-system-shifts, yakni pergeseran intra sistem yang terjadi bila secara
formal bahasa sumber dan target mempunyai kondisi yang kelihatannya sejajar tetapi secara konstituen mempunyai perbedaan. Misalnya, bentuk
tunggal dalam bahasa sumber menjadi bentuk jamak dalam bahasa sasaran.
Al Zouby dan Al Asnawi 2001 mendefinisikan pergeseran shift sebagai tindakan wajib yang disebabkan oleh adanya perbedaan struktur dua bahasa yang
terlibat dalam penerjemahan dan tindakan operasional yang ditentukan oleh preferensi personal dan stilistik yang dilakukan secara sadar untuk menghasilkan translasi yang
alamiah dan komunikatif dari bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran. Mereka membedakan pergeseran ke dalam dua jenis yakni pergeseran mikro micro shift dan
pergeseran makro macro shift. Pergeseran mikro bisa berwujud pergeseran vertikal yang mengarah ke atas jika unit bahasa sumber disubtitusi dengan unit yang lebih
Universitas Sumatera Utara
tinggi ‘rank’nya atau mengarah ke bawah jika unit bahasa sumber disubtitusi dengan unit yang lebih rendah ‘rank’nya, sedangkan pergeseran horizontal adalah jika
padanan dalam bahasa sumber berada pada ‘rank’ yang sama dengan bahasa sasaran. Pergeseran makro melibatkan semua variabel tekstur, budaya, gaya, dan retorik yang
memungkinkan terjadinya pergeseran pada tataran selain tataran sintaksis. Berdasarkan penjelasan di atas, pergeseran dalam penerjemahan terjadi karena
berbagai aspek, bergantung pada konteksnya. Di dalam hal ini, Zellermeyer 1987 menjelaskan bahwa pergeseran shift dalam penerjemahan sebagai ‘metamessages’.
Pergeseran dapat terjadi karena adanya penambahan addition, penghilangan delition, substitusi substitution, dan penyusunan kembali reordering.
2.4 Teori Systemic Functional Linguistics
Penelitian ini menggunakan teori Systemic Functional Linguistics yang dikemukakan oleh Halliday. Teori Systemic Functional Linguistics ini di Indonesia
memperoleh dua penerjemahan yang menjadi rujukan teks berbahasa Indonesia dalam penelitian ini. Terjemahan pertama adalah Linguistik Sistemik Fungsional LSF oleh
Tengku Silvana Sinar dalam bukunya Teori dan Analisis Wacana: Pendekatan Sistemik-Fungsional terbit 2003 dan dicetak ulang 2008. Terjemahan kedua
Linguistik Fungsional Sistemik LFS oleh Amrin Saragih dalam bukunya Bahasa dalam Konteks Sosial: Pendekatan Lunguistik Fungsional Sistemik terhadap Tata
Bahasa dan Wacana 2006 dan Fungsi Tekstual dalam Wacana: Panduan Menulis Rema dan Tema 2007.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Sinar 2008:14, teori ini meyakini bahwa bahasa atau teks selalu berada pada konteks pemakaiannya. Secara historis, menurut Saragih 2007:1, teori
ini dikembangkan oleh Halliday 2004 dan para pakar lainnya, seperti Martin 2003, Halliday dan Matthiessen 2001, Kress 2002. Teori ini berkembang di Inggris,
tetapi perkembangannya sangat pesat terutama di Universiy of Sydney, Australia sejak Linguistics Department dibuka di universitas itu pada 1976.
Sinar 2003:14 menjelaskan istilah ‘Teori Linguistik’ mempunyai dua
implikasi. Implikasinya, analisis wacana harus menggunakan teori bahasa yang memiliki kerangka penelitian analisis wacana dalam konteks linguistik dengan
mengikuti prinsip-prinsip teori Systemic Functional Linguistics. Kemudian, investigasi fenemona analisis wacana mengisyaratkan pemilihan pendekatan bahasa yang secara
interpretatif bersifat semiotik, tematis, dan antardisiplin. Selanjutnya, Sinar 2003:15 bersepakat bahwa istilah ‘Sistemik’ berimplikasi
kepada tiga hal. Ketiga hal itu mengisyaratkan bahwa analisis bahasa untuk memperhatikan hubungan sistemik dalam berbagai kemungkinan pada jaringan
sistem hubungan dan dapat memulai pilihan dari dari fitur umum ke spesifik, yang vertikal atau paradigmatik. Di samping itu, fenomena yang diinvestigasi melibatkan
sistem-sistem makna. Sistem-sistem makna tersebut mendasari analisis bahasa, baik berada di belakangnya, di bawahnya, di atasnya, di sekelilingnya, atau di seberang
fenomena yang sedang diinvestigasi. Sebaliknya, istilah ‘Fungsional’ mengimplikasikan tiga hal. Ketiga hal tersebut
menekankan bahwa analisis wacana memberi perhatian pada realisasi fungsional
Universitas Sumatera Utara
sistem dalam struktur-struktur dan pola-pola yang secara struktur bersifat horizontal dan sintagmatis. Perhatian juga ditujukan pada fungsi-fungsi atau makna-makna yang
ada dalam bahasa tersebut dan fungsi-fungsi atau makna-makna yang beroperasi di dalam tingkat dan dimensi bervariasi dalam bahasa yang bersangkutan.
Menurut Saragih 2007:1-6, pendekatan fungsional memiliki tiga pengertian, yang saling bertaut. Pertama, pendekatan fungsional berpendapat bahwa bahasa
terstruktur berdasarkan fungsi bahasa dalam kehidupan manusia. Dengan kata lain, bahasa terstruktur berdasarkan tujuan penggunaan bahasa. Bahasa yang digunakan
untuk suatu fungsi atau tujuan disebut teks text. Oleh karena itu, teks yang digunakan untuk menceritakan peristiwa narasi terstuktur berbeda dengan teks yang digunakan
untuk melaporkan satu peristiwa laporan, kecenderungan tata bahasa dalam teks sejarah berbeda dengan teks fisika, dan struktur teks politik berbeda dengan teks
kesastraan. Dengan pengertian fungsional yang pertama ini, teks dinterpretasikan
berdasarkan konteks sosial, yakni segala unsur yang terjadi di luar teks. Dengan kata lain, konteks sosial memotivasi pengguna atau pemakai bahasa menggunakan struktur
tertentu. Konteks sosial yang mempengaruhi bahasa ini dalam teori Systemic Functional Linguistics terdiri atas konteks situasi register dan budaya culture yang
di dalamnya termasuk ideologi ideology. Konteks situasi mengacu kepada kondisi dan lingkungan yang mendampingi
atau sedang berlangsung ketika penggunaan bahasa berlangsung atau ketika interaksi antarpemakai bahasa terjadi. Menurut Halliday dan Hasan 1985 dalam Butt, dkk.
Universitas Sumatera Utara
2003:4 konteks situasi terdiri atas tiga unsur, yaitu field, tenor, dan mode of discourse. Ketiga unsur tersebut mengandung arti 1 medan field, yakni apa—what
yang dibicarakan dalam interaksi, 2 pelibat tenor, yakni siapa—who yang terkait atau terlibat dalam interaksi, dan 3 cara mode, yakni bagaimana—how interaksi
dilakukan. Lebih lanjut, Halliday 1974 dalam Saragih 2007:2 menegaskan bahwa
bahasa adalah fenomena antarmanusia yang disebut sebagai interorganism, yang berbeda dengan pendapat para pakar linguistik formal, misalnya Chomsky yang
berpendapat bahasa sebagai fenomena intraorganism atau hal yang terjadi di dalam diri manusia. Dengan kata lain, secara spesifik para pakar Systemic Functional
Linguistics mengamati, bahwa struktur teks ditentukan oleh unsur yang ada di luar teks, yakni konteks sosial. Hubungan antara teks dan konteks sosial adalah hubungan
construal, yakni saling menentukan, konteks sosial menentukan teks dan teks menentukan konteks sosial. Dengan kata lain, pada suatu saat konteks sosial terbentuk
dan konteks sosial ini mempengaruhi teks. Pada saat berikutnya, teks yang wujud itu merujuk dan membentuk konteks sosialnya.
Kedua, berkaitan dengan pengertian fungsional pertama, fungsi bahasa dalam kehidupan manusia mencakup tiga hal, yaitu 1 memaparkan atau menggambarkan
ideational function, 2 mempertukarkan interpersonal function, dan 3 merangkai textual function pengalaman manusia. Ketiga fungsi ini disebut metafungsi bahasa
metafunction, yakni fungsi bahasa untuk penggunaan bahasa. Masing-masing fungsi direalisasikan oleh tata bahasa yang berbeda sifatnya dan tidak saling berhubungan.
Universitas Sumatera Utara
Dengan demikian, dalam perspektif Systemic Functional Linguistics, tata bahasa lexicogrammar merupakan teori tentang pengalaman manusia, yakni teori yang
mencakupi paparan, pertukaran, dan organisasi pengalaman manusia. Dari ketiga fungsi itu, kajian ini berkaitan dengan fungsi tekstual. Akan tetapi, karena uraian
mengenai pemakaian bahasa mencakup metafungsi bahasa, maka uraian tentang fungsi tekstual akan dikaitkan dengan dua fungsi yang lain secara parsial atau jika
fungsi eksperiensia atau antarpersona menambah kejelasan uraian fungsi tekstual. Pengertian fungsional ketiga adalah setiap unit bahasa adalah fungsional
terhadap unit yang lebih besar, yang di dalamnya unit itu menjadi unsur. Dengan pengertian ini ditetapkan bahwa morfem adalah fungsional di dalam kata, kata adalah
fungsional dalam grup atau frase, grup atau frase adalah fungsional dalam klausa, dan klausa menjadi unsur fungsional dalam klausa kompleks. Dengan pandangan ini, para
pakar Systemic Functional Linguistics berpendapat bahwa dalam mengkaji satu unit linguistik, unit linguistik itu dikaji dari tiga posisi, yakni dari 1 unit yang lebih besar
di atasnya yang di dalam unit di atasnya itu unit linguistik itu menjadi elemen konstituen, 2 unit yang lebih kecil di bawahnya yang menjadi elemenkonstituen dan
membangun unit bahasa yang dikaji, dan 3 unit yang setara atau sama posisinya dengan unit kajian.
Fungsi tekstual bahasa menunjukkan bagaimana pesan dalam bahasa dirangkai agar menjadi teks yang padu. Secara struktural, untuk merangkai pesan dalam klausa,
dua aspek tata bahasa digunakan, yaitu Tema dan Rema. Struktur Tema di dalam klausa, menurut teori Systemic Functional Linguistics, ditentukan oleh konteks sosial.
Universitas Sumatera Utara
Sebagai bagian dari konteks situasi, unsur cara berkait dengan struktur Tema. Dengan kata lain, cara berkaitan langsung atau mempengaruhi stuktur Tema dan Rema.
Selanjutnya, cara sebagai bagian dari konteks situasi atau register merupakan realisasi ideologi. Sebagai unsur semiotik sosial di atas register, terdapat konteks budaya yang
menjadi penentu cara. Dengan kata lain, budaya secara parsial menentukan struktur Tema dan Rema.
Menurut Saragih 2007:5-6, bahasa digunakan untuk menyampaikan pesan. Dalam menyampaikan pesan secara berpola, bahasa memiliki aturan bahwa pesan
yang disampaikan tersebut disusun atau dirangkai dengan baik. Dengan demikian, bahasa berfungsi untuk merangkai pengalaman yang di dalam rangkaian itu terbentuk
keterkaitan, satu unit pengalaman dalam experiential meaning dan interpersonal meaning relevan dengan pengalaman yang telah dan akan disampaikan sebelum dan
sesudahnya. Dengan tugasnya membentuk kerelevanan pengalaman dengan pengalaman lain agar membentuk satu kesatuan oneness, fungsi tekstual berkaitan
dengan lingkungan atau konteks satu pengalaman linguistik. Dalam satu situasi atau kesempatan, sumber daya resources bahasa kata,
frase, dan klausa memiliki kemampuan yang sama untuk pertama kali muncul dalam interaksi sosial. Dengan kata lain, menurut Saragih 2006:106, ”Semua sumber
daya bahasa memiliki probabilitas yang sama untuk muncul pertama kali. Akan tetapi, pada saat satu sumber daya muncul pertama sekali, pemunculannya telah menghalangi
atau mengurangi kemungkinan pemunculan sumber daya lain.”
Universitas Sumatera Utara
Contohnya, apabila penutur telah mengucapkan klausa Banjir di desa itu telah membawa korban jiwa, pemunculan klausa Ketegangan di Bangkok antara
kelompok baju merah dan pemerintah meningkat tidak relevan lagi. Sebagai akibat pemunculan banjir di desa itu, klausa yang lebih relevan adalah Regu penolong dan
bantuan pangan telah didatangkan. Ini berarti, pemunculan sumber daya bahasa pertama sekali memegang peran penting dalam pemunculan sumber daya yang lain.
Sumber daya bahasa yang pertama disampaikan, yang disebabkan oleh pengaruh konteks pemakaian bahasa, memiliki fungsi yang berbeda bagi penutur addresser
dan mitra tutur addressee. Bagi penutur unsur pertama ini merupakan unsur penting. Unsur pertama inilah yang akan diuraikan dalam sumber daya berikutnya atau yang
menjadi tumpuan dalam pemunculan sumber daya berikutnya. Sumber daya pertama dalam satu unit pengalaman atau klausa dalam perspektif penutur disebut Tema
Theme dan sumber daya bahasa berikutnya setelah tema disebut Rema Rheme. Bagi mitra tutur, unsur pertama menjadi tidak jelas atau hilang karena sudah
terlalu lama terdengar dalam bahasa lisan. Sementara itu, unsur yang terakhir menjadi jelas karena terakhir disampaikan dan masih dapat disimak dalam proses penuturan.
Dengan demikian, dari perspektif pendengar atau mitra tutur, unsur pertama disebut Lama Given, sementara unsur terakhir disebut Baru New.
2.4.1 Alasan Memilih Teori Systemic Functional Linguistics
Teori Systemic Functional Linguistics adalah teori yang memandang bahwa kajian bahasa tidak terlepas dari konteksnya. Berkaitan dengan penelitian ini, kajian
Universitas Sumatera Utara
translasi tidak lepas dari kajian terhadap teks dan konteks. Dalam hal ini, baik teks dan hasil translasi merupakan produk teks yang baru dan itu merupakan unit bahasa yang
fungsional dalam konteks sosial. Artinya, teks sumber dan teks sasaran adalah unit arti atau unit semantik dan dapat direalisasikan oleh berbagai unit tata bahasa.
Teori Systemic Functional Linguistics sangat potensial dengan berbagai
dimensi analisis dalam teks dan wacana. Dalam dimensi bahasa, analisis dapat dilakukan terhadap tiga strata bahasa yaitu semantik, leksikogramatika, dan fonologi
atau ortografi. Ketiga strata ini mempunyai pengertian bahwa suatu makna direalisasikan ke dalam tata bahasa atau disebut leksikogramatika dan akhirnya
direalisasikan ke dalam bunyi bahasa ataupun tulisan.
Selaras dengan penjelasan di atas, analisis juga dapat diterapkan kepada teks sumber dan teks sasaran translasi. Analisis kedua teks tersebut dapat diterapkan dari
dimensi rangkaian teks cohesion dan dimensi koherensi yang merupakan susunan tata cara yang terjalin erat dan teratur satu sama lain.
Pendekatan Systemic Functional Linguistics terhadap analisis teks juga mencakup analisis konteks. Konteks atau konteks sosial context selalu menyertai
teks dan tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Halliday mengistilahkan construal yaitu adanya hubungan konstrual bahwa konteks sosial yang menentukan dan
ditentukan oleh teks. Menurut Halliday 1978 dalam Saragih 2007:2, konteks sosial terbagi tiga yaitu konteks situasi register, konteks budaya genre, dan konteks
ideologi. Konteks situasi merupakan unsur yang penting dalam bahasa karena manusia berbicara atau menulis harus disesuaikan dengan konteks situasinya.
Universitas Sumatera Utara
Kelebihan lainnya teori Systemic Functional Linguistics adalah pada analisis konteks budaya teks sebagai aktivitas sosial bertahap untuk mencapai suatu tujuan
keberhasilan teks mencapai sasarannya. Teori ini memandang teks mempunyai ciri budaya yang memberi karakteristik atau fitur pada teks tersebut. Dalam suatu interaksi
sosial teks, ia harus melalui suatu tahapan untuk menghasilkan tujuan yang tepat sasaran dan setiap teks membawa misi yang berbeda sehingga dengan demikian teks
ini juga menghasilkan karakteristik tahapan yang berbeda-beda. Konteks budaya disebut juga dengan genre yaitu kegiatan berbahasa yang
bertahap, bermatlamat sebagai aktivitas yang berorientasi pada tujuan di mana penulispenutur melibatkan diri sebagai anggota-anggota dari budaya itu sendiri
Sinar, 2003:68. Selanjutnya, konteks teks mempunyai ideologi yang merujuk sikap, nilai yang dikontruksikan secara sosial menjadi konsep yang diyakini oleh masyarakat.
Dengan demikian, bahasa yang terdiri atas unsur makna semantik, tata bahasa leksikogrammar dan bunyi fonologi mempunyai konteks situasi budaya di atasnya.
Ketiga jenis konteks ini direalisasikan oleh bahasa seperti terdapat dalam diagram berikut.
Figura 2.8: Hubungan Teks dan Konteks Saragih, 2006:3
Ideologi Budaya
Situasi Semantik Tata
Bahasa Fonologi
Universitas Sumatera Utara
Untuk itu semua, maka peneliti akhirnya memilih teori Systemic Functional Linguistics. Hal ini dimaksudkan agar di dalam perjalanan panjang penelitian ini dapat
mengeksplorasi teks dengan memahami dan mengkaji unsur-unsur yang terdapat di dalam bahasa, yaitu analisis tekstual dan di luar bahasa yaitu konteks sosial bahasa
yang mencakup konteks situasi register. Hal itu disebabkan bahasa tidak dapat dipisahkan dari konteksnya. Dengan kata lain, untuk memahami bahasa maka
sebaiknya memahami konteks.
2.4.2 Berbagai Model Systemic Functional Linguistics
Berbagai model Systemic Functional Linguistics telah dikembangkan oleh Halliday di Universitas Sydney dan para pengikut teori ini. Di antaranya, model
Systemic Functional Linguistics telah dirancang dan dikembangkan oleh Fawcet di Universitas Cardiff, Gregory di Universitas York, yang kemudian diterapkan oleh
Young di Universitas Leuven Catholic, model Martin di Universitas Sydney, dan model Halliday yang dikembangkan oleh Matthiessen di Universitas Macquarie.
Model Systemic Functional Linguistics dirancang dan dikembangkan oleh para pengikut teori ini dengan didasarkan pada hubungan bahasa dan konteksnya. Bahasa
dibangun atas unsur makna yang dirangkaikan atau disusun menurut strukturnya lexicogrammar yang pada akhirnya direalisasikan ke dalam bunyi fonologi ataupun
tulisan grafologi. Halliday 1991:8 menganggap bahwa terdapat hubungan yang erat antara bahasa dan konteks sebagaimana terlihat dalam figuru berikut ini.
Universitas Sumatera Utara
Figura 2.9: Bahasa dan Konteks Adaptasi dari Halliday, 1991:8
sistem potensi instan
konteks fungsi bahasa BUDAYA SITUASI
ranah budaya Jenis situasi
bahasa SISTEM TEKS Note: kiri – kanan = instansiasi [cf. iklim cuaca]
atas– bawah = realisasasi [dalam bahasa, leksikogramatika, fonologi]
Selanjutnya, Martin 1993 dalam Sinar 2008:8-9 menjelaskan dalam rancangannya bahwa bahasa berada di dalam konteks sosial. Konsekuansinya, untuk
memahami bahasa harus memahami konteks sosialnya juga karena bahasa sebagai sistem semiotik merealisasikan konteks sosial sebagai sebuah sistem sosial.
Figura 2.10: Bahasa sebagai Realisasi Konteks Sosial Adaptasi dari Martin, 1993:142
Universitas Sumatera Utara
Selain itu, Matthiessen 1993 dalam Sinar 2008:17 merancang stratifikasi bahasa dalam konteks. Ia berpendapat bahwa di dalam bahasa terdapat makna
semantik, di dalam makna terdapat leksikogrammar dan di dalam leksikogrammar terdapat fonologi. dengan demikian bahasa meliputi tiga unsur sekaligus yaitu
semantik, leksikogrammar, dan semantik.
Figura 2.11: Stratifikasi Bahasa dalam Konteks Adaptasi dari Matthiessen, 1993:227
bahasa
leksikogramatika semantik
Konteks: sistem makna tingkat lebih tinggi
Isi
Fonologi ekspresi
Berikut ini adalah perbandingan enam model konteks dalam kerangka teori Systemic Functional Linguistics oleh beberapa pakar.
Universitas Sumatera Utara
Figura 2.12: Stratifikasi Bahasa dalam Konteks Adaptasi dari Matthiessen, 1993:227; lihat juga Sinar, 2008:55
Konteks Halliday 1964
Gregory 1967
Ure Elis 1977
Halliday 1978
Fawcett 1980
Martin 1992
Budaya Genre
Medan Wacana
Medan Wacana
Medan Wacana
Medan Wacana
Pokok Persoalan
Medan Wacana
Pelibat Wacana
personal Formalitas Tujuan
Hubungan Pelibat
Wacana
Pelibat Wacana
fungsional Peran
Pelibat Wacana
Tujuan pragmatik
Pelibat Wacana
Situasi
Sarana Wacana
Sarana Wacana
Sarana Wacana
Sarana Wacana
Sarana Wacana
Sarana Wacana
Berdasarkan perbandingan di atas dapat dipahami bahwa terdapat perbedaan konteks situasi. Halliday membagi konteks situasi menjadi tiga, yaitu medan wacana,
pelibat wacana dan sarana wacana. Sedangkan Martin menggunakan genre sebagai rujukan untuk konteks budaya. Berbeda dengan Halliday dan Martin, Gregory
membagi pelibat wacana menjadi dua bagian pelibat wacana personal dan fungsional, sedangkan Ure dan Elis membagi pelibat wacana ke dalam dua bagian formalitas dan
peran. Fawcet membagi pelibat wacana berdasarkan tujuan hubungan dan pragmatik.
2.4.3 Kerangka Konsep Systemic Functional Linguistics
Di dalam konsep Systemic Functional Linguistics dijelaskan bahwa 1 bahasa merupakan sistem semiotik dan 2 bahasa juga bersifat fungsional 3 bahasa
berfungsi untuk membuat makna dan bahasa mempunyai tiga fungsi yaitu fungsi memaparkan pengalaman yang disebut dengan fungsi ideasional, fungsi
Universitas Sumatera Utara
mempertukarkan pengalaman atau fungsi antarpersona dan fungsi merangkaikan pengalaman atau fungsi tekstual, dan 4 bahasa bersifat kontekstual.
2.4.3.1 Bahasa adalah Sistem Semiotik Sosial
Systemic Functional Linguistics berbeda dengan aliran linguistik lain karena berdasarkan teori ini, bahasa dipandang sebagai fenomena sosial yang wujudnya
sebagai semiotik sosial. Konsep semiotik pada mulanya berasal dari konsep tanda yang berhubungan dengan istilah ‘semainon’ penanda. Oleh karena itu, Fawcett
1984:xiii mengatakan bahwa semiotik merupakan kajian tentang sistem tanda dan penggunaannya. Dengan demikian, semiotik bukan sebagai kajian tentang tanda
melainkan sebagai kajian tentang sistem tanda. Dengan kata lain, semiotik sebagai suatu kajian tentang ‘makna’ yang paling umum.
Sejalan dengan pengertian semiotik di atas, kajian makna suatu bahasa harus ditempatkan pada konteks sosial. Hal ini membawa implikasi bahasa bertautan dengan
makna dalam budaya. Sudah pasti dalam budaya mana pun banyak cara yang berkenaan dengan makna yang berada di luar bidang bahasa. Cara-cara tersebut
meliputi baik bentuk-bentuk seni seperti lukisan, ukiran bunyi-bunyian, tarian, dan lainnya, maupun bentuk-bentuk tingkah laku budaya lainnya yang tidak termasuk
dalam ruang lingkup seni, misalnya ragam pertukaran, pakaian, susunan keluarga dan seterusnya. Ini semua pembawa makna dalam budaya. Pada hakikatnya, dalam
konteks ini budaya didefinisikan sebagai seperangkat sistem semiotik, sistem makna yang semuanya saling berhubungan. Pengertian umum tentang semiotik ini tidak dapat
Universitas Sumatera Utara
dijelaskan melalui konsep tanda sebagai suatu kesatuan lahiriah, tetapi semiotik sebagai sistem-sistem makna, yang dapat dipandang sebagai tatanan yang bekerja
melalui semacam bentuk luar keluaran output yang disebut tanda, tetapi tatanan- tatanan itu sendiri bukan perangkat benda tersendiri, melainkan merupakan jaringan-
jaringan hubungan. Dalam arti inilah istilah ‘semiotik’ digunakan untuk melihat bahasa, yaitu bahasa sebagai salah satu dari sejumlah sistem makna yang secara
bersama-sama membentuk budaya manusia. Istilah sosial dalam konteks bahasa adalah sistem semiotik sosial bersinonim
dengan kebudayaan. Menurut Sinar 2008:21, “Konsep semiotik sosial adalah bahwa hubungan setiap manusia dengan lingkungan manusia penuh dengan arti dan arti-arti
ini dipelajari melalui interaksi seseorang dengan orang lain yang melibatkan lingkungan arti tersebut.” Jadi, semiotik sosial yang dimaksudkan adalah batasan
sistem sosial atau kebudayaan sebagai suatu sistem makna. Istilah ‘sosial’ juga digunakan untuk menunjukkan adanya hubungan bahasa dengan struktur sosial,
dengan memandang struktur sosial sebagai satu segi dari sistem sosial. Jadi dalam pengertian ini, bahasa dijelaskan dengan menggunakan pandangan sosial karena
dimensi sosial sangatlah signifikan dan yang selama ini paling diabaikan dalam pembahasan-pembahasan bahasa dalam pendidikan.
Bahasa dipandang dari perspektif pendidikan suatu proses sosial. Lingkungan tempat belajar itu berlangsung dalam suatu lembaga sosial, seperti ruangan kelas atau
sekolah dengan struktur sosialnya yang digariskan dengan lebih jelas atau yang lebih abstrak, menyangkut sistem sekolah atau jalannya kependidikan. Ilmu pengetahuan
Universitas Sumatera Utara
disampaikan dalam konteks sosial melalui hubungan-hubungan seperti orang tua dengan anak, guru dengan murid atau antarteman sekelas yang digariskan dalam tata
nilai dan ideologi kebudayaan yang bersangkutan. Berdasarkan hal tersebut, menurut Halliday 1975 dalam Sinar 2008:20-21, belajar bahasa adalah belajar memaknai
yang mempunyai konsekuensi pada proses belajar mengajar. Dengan demikian, seseorang dalam aksinya belajar berbahasa sekaligus mempelajari budaya melalui
bahasa yang dipelajari dalam sistem sosial kehidupannya.
2.4.3.2 Bahasa adalah Fungsional
Halliday dan Hasan 1985:10 mendefinisikan teks sebagai bahasa yang fungsional. Fungsional diartikan sebagai bahasa yang melakukan perkerjaan yang
sama dalam suatu konteks. Di dalam konteks ini, bahasa yang fungsional bukan kata- kata atau kalimat yang terisolir yang mungkin dituliskan seseorang di atas papan tulis.
Dengan demikian, hakekat teks adalah sebagai entitas semantik, sehingga sebuah teks harus dipertimbangkan dari dua perspektif sekaligus, baik sebuah produk maupun
sebagai sebuah proses.
Menurut Saragih 2006:3 terdapat tiga pengertian dalam konsep fungsional di
dalam konteks sosial.
1 Bahasa terstruktur sesuai dengan kebutuhan manusia akan bahasa.
2 Bahasa berfungsi untuk memaparkan, mempertukarkan dan merangkai
pengalaman. Ketiga fungsi ini disebut dengan metafungsi bahasa.
Universitas Sumatera Utara
3 Satu unit bahasa fungsional terhadap unit lain yang lebih besar. Artinya satu
unit bahasa dapat menjadi unit bahasa yang lebih besar misalnya kata, frase dan klausa. Bahasa dalam analisis wacana dengan pendekatan linguistik
fungsional sistemik mempunyai tiga fungsi yaitu fungsi memaparkan, mempertukarkan dan merangkai pengalaman.
2.4.3.3 Fungsi Bahasa Membuat Makna
Bahasa berfungsi membuat makna. Hal ini dapat dibuktikan ketika manusia mengekspresikan keperluan-keperluan mereka melalui bahasa, mereka membuat
makna dalam teks. Halliday 1975 dalam Sinar 2008:20 berpendapat bahwa belajar bahasa adalah belajar memaknai yang mempunyai konsekuensi pada proses belajar-
mengajar. Di dalam hal ini, Halliday 1975:37 memandang pembelajaran bahasa sebagai belajar memaknai atau mempelajari cara membuat makna. Dengan demikian,
teori Systemic Functional Linguisticsi mempunyai kekuatan pada nilai pendidikan linguistik.
Fokus Systemic Functional Linguistics terhadap bahasa sebagai institusi sosial
memberi makna khusus teks dan konteks. Hal ini memunculkan pandangan bahwa bahasa adalah sebuah sistem atau sistem pilihan yang relevan dengan pendidikan
linguistik. Bagi praktisi pendidikan merupakan sesuatu yang penting untuk memahami perspektif bahwa seseorang belajar dalam proses sosial dan potensinya sangat erat
hubungannya dengan bagaimana seorang anak membuat makna dengan menggunakan bahasa. Di dalam fungsi bahasa ini, seorang anak dalam aksinya belajar berbahasa, ia
Universitas Sumatera Utara
sekaligus mempelajari budaya melalui bahasa yang dipelajarinya. Sistem semiotik yang dikonstruksikan oleh anak tersebut menjadi sarana utama bagi transmisi budaya.
2.4.3.4 Bahasa adalah Kontekstual
Secara historis, bahasa terikat dengan penutur dan situasi penuturannya. Situasi penggunaan bahasa seperti ini bersifat kontekstual, sehingga pemahaman makna
bahasa tersebut terikat pada konteks pemakaiannya Sinar, 2008:23. Konsep konteks ini merujuk pada hubungan linguistik dengan konteks budaya yang disebabkan oleh
ketergantungan makna linguistik terhadap konteks budaya. Hal ini disebabkan bahasa merupakan ungkapan ekspresi seseorang dalam merespon kondisi sosial budayanya,
sehingga makna dari setiap kata dalam tingkat tertentu sangat tergantung pada konteks pembicaraan seseorang.
Halliday dan Hasan 1985 dalam Saragih 2006:4 bahasa adalah kontekstual karena pemahaman tentang bahasa terletak dalam kajian teks. Ada teks dan ada teks
lain yang menyertainya: teks yang menyertai teks itu disebut konteks. Namun, pengertian mengenai hal yang menyertai teks itu meliputi tidak hanya yang dilisankan
atau ditulis, tetapi juga meliputi kejadian-kejadian yang nonverbal lainnya pada keseluruhan lingkungan teks itu. Bahkan, menurut Saragih 2006:4, “Dengan
pengertian konstrual ini, dalam satu konteks sosial tertentu hanya teks tertentu yang dihasilkan. Sebaliknya, dengan teks tertentu hanya konteks sosial tertentu pula yang
dapat dirujuk.”
Universitas Sumatera Utara
Dalam teori Systemic Functional Linguistics, konteks terbagi atas konteks linguistik dan konteks sosial. Konteks linguistik merujuk pada bahasa itu sendiri
sedangkan kontek sosial terbagi atas tiga yaitu 1 konteks situasi yang mencakup ‘field’, ‘tenor’ dan ‘mode’, 2 konteks budaya, dan 3 konteks ideologi. Konteks
situasi diperlukan untuk memahami jenis teks. Konteks situasi yaitu konteks yang memiliki teks yang mengungkap dan mewakili lingkungan tempat makna itu
dipertukarkan. Konteks situasi dijabarkan oleh Halliday dan Hasan 1985 dalam Sinar
2008:56-59 melalui tiga cirinya, yaitu 1 Medan Wacana Field of Discourse, 2 Pelibat Wacana Tenor of Discourse, dan 3 Sarana Wacana Mode of Discourse.
Ketiga ciri tersebut dijelaskan oleh Halliday dan Hasan 1985 dalam Choliludin
2007:10-13 berikut ini.
1 Field of discourse adalah istilah abstrak bagi pernyataan ‘apa yang sedang
terjadi’ yang mengacu pada pilihan substansi linguistik si pembicara. Pilihan linguistik yang berbeda dibuat oleh pembicara yang berbeda tergantung pada
jenis tindakannya, selain tindakan berbicara langsung yang mereka pandang sendiri saat ikut andil di dalamnya. Misalnya, pilihan linguistik akan beragam
menurut andil pembicara masing-masing, apakah ikut dalam pertandingan sepak bola, berpidato politik, melakukan operasi atau membahas tentang obat-
obatan.
2 Tenor of discourse adalah istilah abstrak untuk hubungan antara orang-orang
yang ikut andil dalam berbicara.bahasa yang digunakan orang beragam tergantung pada jenis hubungannya, seperti hubungan interpersonal antara
ibu dan anak, dokter dan pasien, atau derajat orang atas dan yang rendah seorang pasien tidak akan memakai kata sumpah serapah untuk menyebut
seorang dokter di hadapannya dan seorang ibu tidak akan memulai permintaan kepada anaknya dengan mengatakan, “Maaf apakah bisa kalau
kamu...” menerjemahkan tenor of discourse secara benar dalam translasi bisa cukup menyulitkan. Hal ini tergantung pada apakah seseorang itu memandang
tingkat formalitas teretntu sebagai hal yang ‘benar’ dari sudut pandang budaya bahasa sumber atau dari sudut pandang budaya bahasa sasaran.
Misalnya, seorang remaja Amerika boleh menggunakan tenor yang sangat
Universitas Sumatera Utara
informal dengan dengan orang tuanya dengan menggunakan nama depan dan bukan dengan panggilan ibu atau ayah. Tingkat formalitas ini akan sangat
tidak bisa diterima oleh kebanyakan kebudayaan lain. Seorang penerjemah harus memilih antara mengganti tenornya untuk disesuaikan dengan budaya
pembaca sasaran atau tetap seperti aslinya, yaitu mentransfer tenor informalnya untuk memberikan kesan jenis hubungan yang biasa dilakukan
oleh para remaja dengan orang tuanya di masyarakat Amerika. Apa yang dipilih penerjemah pada situasi teretntu tentunya akan bergantung pada apa
yang dia lihat sebagai tujuan penerjemahan secara menyeluruh.
3 Mode of discourse mengacu pada jenis peran yang dimainkan bahasa
bicarapidato, esai, kuliah, instruksi, yaitu jenis peran yang diharapkan partispian terhadap bahasa dalam suatu situasi: organisasi teks yang
simbolik, status yang dimiliki dan fungsinya dalam konteks termasuk alat penghubung lisantulisan atau gabungan dari keduanya, dan juga mode
retorika, apa yang sedang dicapai oleh teks dalam kondisi kategori berikut ini yaitu persuasif, paparan, didaktis, dan hal senada. Misalnya, seperti ‘re’
adalah kata yang diterima dalam bahasa surat bisnis tetapi sangat jarang digunakan dalam bahasa lisan.
2.4.4 Metafungsi Bahasa
Makna metafungsional adalah makna yang secara simultan terbangun dari tiga fungsi bahasa, yaitu fungsi ideasional, fungsi interpersonal, dan fungsi tekstual. Fungsi
ideasional mengungkapkan realitas fisik dan biologis serta berkenaan dengan interpretasi dan representasi pengalaman. Fungsi interpersonal mengungkapkan
realitas sosial dan berkenaan dengan interaksi antara penuturpenulis dengan pendengarpembaca. Sementara itu, fungsi tekstual mengungkapkan realitas semiotis
dan berkenaan dengan cara penciptaan teks dalam konteks Matthiessen, 1995:6; Halliday Martin, 1993:29; Halliday Matthiessen, 1999:7-8.
Berdasarkan penjelasan di atas, makna metafungsional melingkupi tiga jenis makna, dan realisasinya di dalam teks dapat dilihat dari unsur-unsur leksikogramatika
lexicogrammar, yaitu cara kata-kata disusun beserta segala akibat maknanya dalam
Universitas Sumatera Utara
membentuk registernya. Sebagai salah satu wilayah makna metafungsional, makna tekstual tercipta dari gabungan antara fungsi ideasional dan fungsi interpersonal.
Makna tekstual adalah makna sebagai hasil dari realisasi unsur-unsur leksikogramatika yang menjadi media terwujudnya sebuah teks, tertulis atau lisan, yang runtut dan yang
sesuai dengan situasi tertentu pada saat bahasa itu dipakai dengan struktur yang bersifat periodik Martin, 1992:10,13,21.
Pada tataran kelompok kata dan klausa, makna tekstual diungkapkan dengan tematisasi, hubungan makna secara repetisi, sinonimi, antonimi, hiponimi,
kohiponimi, meronimi, dan komeronimi untuk mengungkapkan kohesi leksikal. Pada tataran wacana, makna tekstual diungkapkan dengan rajutan leksikal, jalinan referensi,
akumulasi penataan Tema-Rema pada tingkat klausa, Hiper-temaHiper-rema pada paragraf, dan struktur teks. Makna tekstual pada tingkat wacana sesungguhnya adalah
persoalan bagaimana sebuah teks itu ditata dan dimediakan sehingga tercipta sebagaimana wujudnya.
Dalam hal tematisasi pada tataran klausa, Tema yang paling dominan pada teks-teks tersebut adalah Tema Topikal Tak Bermarkah, disusul Tema Tekstual dan
Tema Topikal Bermarkah yang kesemuanya mengungkapkan kekohesifan yang cukup tinggi pada tataran klausa. Pada tataran wacana, tematisasi direalisasikan oleh pola
pengembangan topik dalam hubungan Tema Rema dan Hiper-tema Hiper-rema. Dalam hal rajutan leksikal, terbukti bahwa rajutan leksikal merealisasikan
makna tekstual melalui berbagai variasi hubungan makna yang meliputi repetisi, sinonimi, antonimi, hiponimi, kohiponimi, meronimi, dan komeronimi. Hubungan
Universitas Sumatera Utara
tersebut menunjukkan tidak saja cakupan pokok persoalan yang disajikan secara ideasional tetapi juga kerekatan di antara leksis-leksis tersebut secara tekstual.
Kerekatan leksis dalam berbagai variasi hubungan semantis tersebut menunjukkan bahwa teks-teks tersebut memiliki derajat kohesi leksikal yang cukup tinggi pada
tataran wacana. Di dalam hal jalinan referensi, terbukti bahwa jalinan referensi berfungsi untuk mengidentifikasi partisipan yang ada di dalam teks menurut sistem
pengacuan. Secara tekstual, pengacuan pada jalinan referensi dapat mencerminkan derajat kekohesifan teks. Sebagian besar partisipan pada teks-teks tersebut adalah
partisipan benda umum, bukan partisipan benda manusia. Selain itu, benda yang disebut sesudahnya bukan selalu merupakan benda yang disebut sebelumnya. Hal ini
menunjukkan makna bahwa benda-benda yang dimaksud adalah benda-benda yang memenuhi konsep generalitas, yaitu benda-benda yang sudah diabstrakkan untuk
menyatakan generalisasi, bukan benda-benda yang secara eksperiensial berada di sekitar manusia. Secara tekstual, cara pengacuan di atas lebih berorientasi kepada
makna tekstual pada tataran wacana.
2.4.4.1 Fungsi Ideasional 2.4.4.1.1 Fungsi Eksperensial
Di dalam fungsi eksperensial, bahasa terdiri dari enam proses yaitu proses material, verbal, mental, relasional, perilaku, dan wujud. Setiap proses didampingi
oleh partisipan yang direalisasi oleh nomina atau grup nomina. Sinar, 2008:31-37; dan lihat juga, Saragih, 2006:28-41.
Universitas Sumatera Utara
1 Proses material adalah proses yang melibatkan kegiatan fisik, seperti mendorong,
mengangkat dan berlari. Proses material didampingi oleh dua partisipan utama yaitu aktor dan gol. Partisipan lain yang dapat mendampingi proses material
adalah jangkauan dan penerima. Contohnya: Pemerintah membangun gedung sekolah ini.
Aktor Proses Material Gol
2 Proses verbal berada di antara proses mental dan realsional dan proses ini melibatkan informasi misalnya berkata, bertanya, menyapa. Partisipan dalam
proses verbal adalah penyampai, pesan, target, dan penerima. Contohnya: Turis itu
bertanya kepada saya suatu alamat
Penyampai proses verbal penerima target
3 Proses mental adalah proses yang berkaitan dengan indera, kognisi, emosi dan persepsi misalnya melihat, mencintai, dan berpikir. Partisipan dalam proses mental
adalah pengindera dan fenomenon. Contohnya: Para ilmuwan tersebut mengamati kelinci percobaan tersebut
Pengidera proses mental fenomenon
4 Proses relasional adalah proses hubungan antarunit bahasa yang terbagi atas
hubungan intensif, hubungan sirkumstan, dan hubungan posesif. Ketiga hubungan ini dibagi atas mode intensif posisi kedua entitas dapat saling dipertukarkan dan
atribut posisi kedua entitas tidak dapat saling dipertukarkan. Partisipan dalam proses relasional terdiri atas bentuk, nilai, penyandang, dan atribut. Hubungan
intensif menunjukkan hubungan satu entitas dengan entitas yang lain, seperti: ayahnya adalah
seorang dokter Penyandang proses relasional atribut
Universitas Sumatera Utara
Hubungan sirkumstan menunjukkan hubungan satu entitas dengan lingkungan yang terdiri atas lokasi waktu, tempat, urut, sifat, peran atau fungsi, penyerta dan
sudut pandang, seperti: Ulang tahunnya adalah
tanggal 15
Februari Penanda
proses relasional nilai sirkumstan: waktu Hubungan posesif menunjukkan kepunyaan, misalnya:
Tanah itu adalah milik kami
Milik proses relasional pemilik 5 Proses perilaku behavioural merupakan aktivitas atau kegiatan fisiologis yang
menyatakan tingkah laku fisik manusia. Secara semantik, proses tingkah laku terletak di antara proses material dan mental. Partisipan dalam proses ini adalah
petingkah laku. Proses ini ditandai dengan verba bernafas, batuk, pingsan, tidur, tertawa, dan sebagainya. Contohnya:
Anak itu
telah tidur
dengan nyenyak
Petingkah laku proses tingkah laku
sirkumstan 6 Proses wujud eksistensial menunjukkan keberadaan satu entitas. Secara semantik
proses wujud berada di antara proses material dan relasional. Partisipan dalam proses wujud eksistensial ini adalah maujud eksisten Proses ini ditandai oleh
verba ada, berada, muncul, terjadi, bertahan, tumbuh, dan tersebar. Contohnya: Ada
banyak nasabah di bank itu. Proses wujud maujud
sirkumstan
2.4.4.1.2 Fungsi Logika
Selain fungsi eksperensial, juga terdapat fungsi logika di dalam fungsi ideasional. Fungsi logika yang dimaksudkan di sini yaitu bahwa bahasa memiliki satu
Universitas Sumatera Utara
atau lebih dari satu klausa yang disusun berdasarkan hubungan logis berdasarkan posisi antarklausa dan makna antarklausa. Posisi antarklausa mengacu pada status
satu klausa dengan klausa lainnya yang disebut taksis. Sedangkan makna antarklausa menunjukkan arti atau fungsi satu klausa dengan klausa yang mendahuluinya yang
dimaksud dengan hubungan logis semantik. Taksis terbagi atas parataksis hubungan klausa yang setara ditandai dengan
angka 1,2,3.....n dan hipotaksis hubungan klausa yang tidak setara yang ditandai dengan
α, β, χ, δ . Hubungan logis semantik menunjukkan makna yang timbul antar klausa dan dibagi dua yaitu ekspansi dan proyeksi. Ekspansi menunjukkan bahwa
klausa kedua memperluas makna klausa pertama dengan tiga cara yaitu elaborasi, ekstensi, dan ganda sedangkan proyeksi merupakan representasi kembali pengalaman
linguistik ke pengalaman linguistik lain. Dari tabel berikut ini dapat diketahui bahwa parataksis menunjukkan
kesetaraan hubungan dua klausa. Sebaliknya, hipotaksis menunjukkan ketidaksetaraan hubungan dua klausa. Elaborasi menunjukkan makna klausa pertama sejajarsetara
dengan makna klausa kedua. Ekstensi berarti makna klausa kedua menambah makna yang ada pada klausa pertama. Ganda berarti makna klausa kedua melipatgandakan
makna yang ada pada klausa pertama. Proyeksi lokusi menunjukkan proyeksi kata sedangkan proyeksi ide menunjukkan proyeksi makna.
Figura 2.13: Hubungan Logis dan Taksis Adaptasi dari Halliday, 1994:216-220 Hubungan Logis
Taksis
Universitas Sumatera Utara
Semantik Parataksis Hipotaksis
Elaborasi = Anak itu buta; dia tidak bisa melihat apa-apa.
1=2 Anak itu buta, yang
sangat menyusahkan kami α = β
Ekstensi + Ayahnya
bekerja di
Medan dan ibunya bekerja di Surabaya
1+2 Ayahnya bekerja di
Medan sedangkan ibunya bekerja di Surabaya
α + β Ekspansi
Ganda x Dia sedang marah dan karena itu dia pergi
1x 2 Dia pergi karena dia
marah α x β
Lokusi “ Dia berkata, “aku akan
pergi.” 1”2
Dia mengatakan bahwa dia akan pergi
α ” β Proyeksi
Ide ‘ He thought, “I’ll go now.”
1’2 Dia berpendapat dia harus
pergi α ’ β
2.4.4.2 Fungsi Antarpersona
Setelah dijelaskan fungsi memaparkan fungsi ideasional yang mencakup fungsi eksperensial dan logika, maka berikut ini dijelaskan fungsi kedua bahasa yaitu
memaparkan pengalaman atau disebut fungsi antarpersona. Fungsi antarpersona adalah fungsi bahasa yang mampu mempertukarkan pengalaman dalam interaksi
sosial. Fungsi antarpersona merupakan aksi yang dilakukan pemakai bahasa dalam saling bertukar pengalaman linguistik. Dengan kemampuan berinteraksi sosial, maka
manusia dapat memenuhi kebutuhannya. Dalam melakukan suatu aksi maka dari segi
Universitas Sumatera Utara
semantik, aksi terbagi dalam empat aksi dasar yang disebut dengan protoaksi yaitu pernyataan memberi informasi, pertanyaan meminta informasi, tawaran memberi
barang dan jasa, dan perintah meminta barang dan jasa. Keempat aksi dasar atau protoaksi tersebut kemudian direalisasikan ke dalam
tingkat tata bahasa yang disebut modus. Aksi pernyataan biasanya direalisasikan ke dalam modus deklaratif. Aksi pertanyaan biasanya direalisasikan oleh modus
interogatif dan aksi perintah direalisasikan oleh modus imperatif. Namun, aksi tawaran tidak mempunyai modus karena tidak mempunyai modus yang Bermarkah sebagai
realisasinya. Dengan demikian, tawaran dapat direalisasikan oleh salah satu dari ketiga modus. Modus itu dibangun oleh lima unsur yaitu subjek, finit, predikator,
komplemen, dan adjunct.
Figura 2.14: Posisi Subjek, Finit, Predikator, Komplemen, dan Adjuct dalam Teks
Kami akan mengadakan
Rapat besok
pagi Subjek Finit
Predikator Komplemen
Adjunct Mood Residue
2.4.4.3 Fungsi Tekstual
Fungsi ketiga dari bahasa adalah merangkai pengalaman yang disebut dengan fungsi tekstual. Fungsi tekstual bahasa adalah sebuah interpretasi bahasa dalam
fungsinya sebagai pesan. Hal ini diinterpretasikan sebagai sebuah fungsi intrinsik
Universitas Sumatera Utara
kepada bahasa itu sendiri, dalam arti bahwa bahasa berkaitan dnegan aspek situasional dimana bahasa atau teks terdapat di dalamnya. Dengan kata lain, fungsi titik temu
membuat bahasa atau teks relevan secara internal ke dalam bahasa itu sendiri demikian juga secara eksternal kepada konteks atau situasi di mana bahasa itu
digunakan. Fungsi ini memberi kemampuan kepada seseorang untuk membedakan sebuah teks sebagai bahasa yang termotivasi secara fungsional dan kontekstual dan
pada sisi yang lain dari yang bukan teks sebagai bahasa terpisah dari yang lain.
2.5 Teks Translasi
Teks sebagai sarana untuk menyatakan suatu makna, gagasan, ide, pikiran dalam bentuk bahasa yang tersusun atas kata, frase sampai pada klausa dan paragraf
perlu mendapat perhatian bagaimana makna teks tersebut dapat diekspresikan melalui struktur atau tata bahasa sampai akhirnya dapat didengar atau dibaca orang lain.
Pengekspresian makna dari satu bahasa tentulah tidak sama cara atau srukturnya dengan bahasa lain. Perbedaan struktur bahasa ini tidak hanya berkaitan dengan
masalah linguistik namun juga non linguistik seperti masalah budaya. Untuk dapat memahami apa yang dimaksud dengan teks maka di bawah ini dibahas pengertian
teks.
2.5.1 Pengertian Teks
Saragih 2002 memberikan pengertian teks sebagai unit bahasa tertulis yang diawali dengan huruf besar dan diakhiri dengan tanda baca. Kridalaksana 2001
Universitas Sumatera Utara
menjelaskan teks adalah 1 satuan bahasa terlengkap yang bersifat abstrak; 2 deretan, kata, kalimat, dsb.; 3 bentuk bahasa tertulis, naskah.
Halliday dan Hassan 1976:1 menyatakan bahwa: A text is a unit of language in use. It is not a grammatical unit, like a clause or
sentences; and it is not defined by its size. A text is sometimes envisaged to be some kond of super-sentence, a grammatical unit that is larger than a
sentence but it is related to a sentence in the same way that a is relateed to a clause, a clause to a group and so on.
Sebuah teks adalah terdiri dari unit-unit bahasa dalam penggunannya. Unit-unit
bahasa tersebut adalah merupakan unit gramatikal seperti klausa atau kalimat namun tidak pula didefenisikan berdasarkan ukuran panjang kalimatnya. Teks terkadang pula
digambarkan sebagai sejenis kalimat yang super yaitu sebuah unit grammatikal yang lebih panjang daripada sebuah kalimat yang saling berhubungan satu sama lain. Jadi
sebuah teks terdiri dari beberapa kalimat sehingga hal itulah yang membedakannya dengan pengertian kalimat tunggal. Selain itu, sebuah teks dianggap sebagai unit
semantik yaitu unit bahasa yang berhubungan dengan klausa yaitu satuan bahasa yang terdiri atas subyek dan predikat dan apabila diberi intonasi final akan menjadi sebuah
kalimat. Singkatnya, sebuah teks adalah sesuatu yang dihasilkan secara lisan atau
tulisan yang mempunyai makna. Sebuah rangkaian kata tidak menghasilkan teks. Teks lebih dari itu. Sebuah teks bisa panjang atau pendek tapi teks diciptakan atau
dihasilkan untuk membuat makna. Berdasarkan definisi tersebut, apakah isi tabel di bawah ini adalah –Teks A, B, dan C?
Universitas Sumatera Utara
Figura 2.15: Perbandingan Teks Berdasarkan Ukuran Panjang Kalimat A B
C
Ouch Cow mouse sweet house were sea anger
It was in the middle of June when they first started to work on the house. It is now late November and
the house still looks like it did before. Nothing seems to have progressed.
Teks ‘A’ bisa menjadi sebuah teks atau bisa juga hanya serangkaian huruf. Teks A dapat dimaksudkan untuk membawa makna - bunyi atau ekspresi rasa sakit bagi
sebagian orang. Teks A bisa juga menjadi kata “Touch” dengan alfabet ‘T’ yang hilang dan karena itu sekarang tak bermakna atau hanya huruf yang tertera tanpa
makna yang dimaksudkan. Pendapat yang sama juga terhadap teks B dan C. Selanjutnya, untuk memberikan makna, sebuah teks dihasilkan untuk
melakukan fungsi tertentu. Ide teks ini sejalan dengan Teori Fungsional Bahasa yang diajukan oleh Halliday dan Buhler. Apakah kita menulis untuk fungsi atau alasan
tertentu? Kita menulis untuk menuangkan pikiran kita di atas kertas, untuk menyatakan kepada orang lain tentang norma-norma dan aturan-aturan, untuk
mengajar orang lain suatu perihal tertentu, untuk mengeksplorasi berita tertentu, untuk mengekspresikan perasaan, untuk menyatakan kesulitan-kesulitan kita dan membuat
kreativitas kita mengalir dan untuk tujuan-tujuan lainnya. Kita menulis ketika kita tidak cukup mampu mengutarakannya secara lisan. Terkadang, kita menulis dengan
beberapa tujuan. Misalnya, kita bisa menulis untuk mempromosikan sebuah produk yang kita inginkan pelanggan beli dan mengkonsumsinya. Pada saat yang sama, kita
memberikan mereka informasi sehingga mereka dapat membuat pilihan yang tepat.
Universitas Sumatera Utara
Sebuah contoh iklan minuman kesehatan menampilkan gambar segelas minuman jus berwarna yang bagus dan bersama dengan tulisan tentang manfaat apa
yang dapat diberikan minuman tersebut kepada pelanggan yang meminumnya. Pada teks yang sama, penghasil minuman tersebut bisa memasukkan komposisi minuman
dan tulisan tentang kebaikan komposisinya. Penulis teks berusaha membujuk pembaca untuk membeli minuman itu dan terakhir, penghasil minuman memberikan informasi,
walaupun informasi itu bisa membantu untuk membujuk para pembaca. Sebuah buku teks sains yang ditulis untuk mengajarkan atau
menginformasikan pembaca tentang suatu ilmu pengetahuan bisa berisi ilustrasi visual yang “cerah” dengan tulisan di bawah gambar sebagai tambahan charts, grafik dan
diagram. Apakah kartun tersebut menampilkan hal yang lucu dan tidak serius? Penulis dan penerbit bisa menyatukan tayangan visual tersebut untuk membujuk pembaca
sehingga merasa mudah memahami ilmu pengetahuan atau untuk menunjukkan ilmu pengetahuan tidak berarti membosankan Mahanji dan Moidjie, 2006.
2.5.2 Pengorganisasian Teks
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa teks adalah unit semantik yang mempunyai makna. Pada umumnya, konstruksi makna dalam teks diakibatkan oleh
dua level: Struktur Makro dan Mikro. Bagaimana penulis teks merangkaikan kata-kata dan visual dan menyatakan ide, pesan, informasi, emosi dan lain-lain direfleksikan
dalam teks. Dengan kata lan ada banyak komponen yang membantu memberikan makna kepada teks; sebagian komponen tidak beraturan dan sebagian lagi sifatnya
Universitas Sumatera Utara
lebih beraturan. Di sini dijelaskan makna apa yang dimasukkan ke dalam teks pada tiap-tiap dua level Struktur Makro dan Mikro.
Struktur Makro teks menggunakan susunan ideasional dan format. Struktur Makro dapat dilihat dengan menjawab pertanyaan, “Bagaimana penulis teks
menyusun idenya?” Sebaliknya, Struktur Mikro menggunakan struktur gramatikal dan kalimat dalam uraiannya. Struktur Mikro dapat dilihat dengan menjawab pertanyaan
“jenis struktur kalimat, gramatikal dan kata apa yang digunakan penulis?’.
2.5.2.1 Struktur Makro Teks
Struktur Makro Teks dapat dianalisis dengan cara pertama dengan memahami susunan ideasionalnya. Ketika tahap ini telah dilakukan maka akan dianalisis format
dalam teks dan implikasinya terhadap penerjemahan. Dari perspektif ideasional, teks apapun disusun secara deduktif atau induktif.
Jika teks disusun secara deduktif, urutannya bergerak dari umum ke khusus, misalnya
teks berikut ini.
Many countries have become aware that tourism is the best resource for boosting economy and employment. Economist find it an excellent and easy
means to assure the welfare and wellbeing for a country population; it allows tourist in general and the rich in particular to come in the country and spend
their money in return for piece of mind, happiness, fun, amenity, healthy environment, good service or safe exploration. It has become an important
resource for developed countries such as United State of America, United Kingdom, France, Spain, etc.; and developing countries like China, Egypt,
Thailand, Malaysia, etc.
Paragraf di atas memberikan pembaca ide utama tentang keseluruhan teks yakni ide utama seluruh peristiwa dinyatakan di awal; dan yang mengikuti setelahnya
Universitas Sumatera Utara
adalah rincian penjelas yang menjelaskan lebih khusus dan rinci ide utama. Inilah yang disebut dengan susunan deduktif. Penulis bisa berpindah dari ide umum
penjelasan dan ilustrasi melalui penambahan, kontras, contoh, dan lain-lain. Cara lain menulis teks yakni memulainya dengan penjelasan khusus dan
kemudian bergeser ke penjelasan umum. Inilah yang dimaksudkan dengan susunan teks yang induktif dimana penulis memberikan penjelasan khusus tentang observasi
yang menuntun pada penjelasan umum, misalnya teks induktif berikut ini. Zainul had a dream to become a gynaecologist or pilot from childhood.
Although he did well in schools in science and mathematics in the secondary certificate exam, he was offered a scholarship to study asian studies in
University of Paris. Poor that his family was, he was compelled to accept the offer. Now he has graduated and become a brilliant lecturer in University of
Malaya. Therefore, he understands that life is not what you want to be, it is what it is.
Teks ini dimulai dengan penjelasan khusus tapi berakhir dengan penjalasan
umum atau ide utama. Apakah teks bergerak dari penjelasan umum ke khusus atau dari penjelasan khusus ke umum akan tergantung pada penulis dan maksud mereka.
Ada beberapa cara menulis yang diterima oleh kelompok-kelompok tertentu kelompok yang dikategorikan menurut daerah geografis, suku bangsa, profesi, suai
dan sebagainya. Terdapat norma-norma tertentu bagi kelompok tertentu. “Budaya’ tiap-tiap kelompok masyarakat bisa menjadi faktor penentu bagaimana tiap-tiap
kelompok mengutarakan ide dan pikiran mereka. Anggota-anggota kelompok tertentu mengutarakan maksud mereka dengan cara yang sama baik dalam bentuk lisan
maupun tulisan.
Universitas Sumatera Utara
Cara berbahasa yang sama baik dalam bentuk lisan maupun tulisan dapat dibuktikan dengan mengamati masyarakat Melayu, dan cara berfikir mereka dan cara
mereka berbahasa. Misalnya penutur Melayu dari Penang mengenali contoh komunikasi berikut ini.
Ketika Mengunjungi Rumah Melayu di Penang
Tuan Rumah : Dudok sat nah. Nak buat kopi. Duduklah sebentar. Mau membuat kopi
Tamu : Tak payahlah susah-susah. Dah minum dah tadi. Tuan Rumah : Tak pa. Bukan ada apa-apa, air kosong saja.
Tamu : Diam Ketika tuan rumah kembali dengan kopi, percakapan berlanjut dengan
perlahan, dimulai dengan tamu mengutarakan maksudnya, seringkali dengan cara berbasa-basi tidak langsung ke maksud utama. Tamu bisa memulai pembicaraan
dengan pertanyaan tentang keluarga, cuaca, lingkungantetangga, pekerjaan, dan lain- lain. Komunikasi fatis ini bisa memakan waktu sebentar sebelum tamu mengutarakan
maksudnya-untuk meminjam sesuatu, atau meminta rekomendasi pekerjaan atau meminjam mobil tuan rumah atau hanya sekedar berkunjung.
Contoh di atas bertujuan untuk menunjukkan budaya orang Melayu secara umum, melihat mereka menghindari “bahasa yang kasar”. Tergantung pada hubungan
kedekatan tamu dengan tuan rumah. Tuan rumah dapat memprediksi bahwa percakapan dibangun untuk sesuatu. Bagian percakapan ini disebut “Percakapan fatis”
oleh sebagian sosiolinguis. Untuk tujuan apa pun suatu percakapan dipakai, susunan
Universitas Sumatera Utara
ide, maksud, rencana dan perasaan digunakan sebagai hal yang umum oleh orang Melayu. Oleh karena itu, jika dua orang Melayu melakukan percakapan, mereka tidak
menemukan kesalahan memahami maksud tujuan mitra bicaranya. Namun jika salah seorang diantaranya adalah orang Melayu dan satu lagi adalah orang asing yang tidak
berbagi pemahaman yang sama. Komunikasi ini akan berakhir dengan cara yang berbeda. Orang asing tersebut bisa mengakhiri percakapan dengan merasa tersinggung
karena dibiarkan sendiri oleh orang Melayu sebagai Tuan rumah, sementara tuan rumah mengira orang asing ini tidak mempunyai sopan-santun jika merespon dengan
mengatakan, “Ya, Saya nak kopi.” Atau dengan mengatakan, “Saya tak mau kopi, saya perlu berbicara dengan anda.
Cara teks tertulis Melayu disusun seperti cara teks lisan Melayu disusun, karena itu bisa beraneka ragam teks bahasa Inggrisnya. Contoh lainnya
keberanekaragaman tersebut adalah bukti pada teks yang dihasilkan oleh para praktisioner yang sah dan novelis, dan pratisioner medis dan orang-orang di
periklanan Mahadi dan Moindie, 2006.
2.5.2.2 Struktur Mikro Teks
Selain struktur makro, memperhatikan struktur mikro juga penting dalam terjemahan. Pada dasarnya, analisis mikro struktur melibatkan pengujian sintaksis dan
leksis teks. Seringkali terdapat jenis teks yang menggunakan struktur sintaktis ke arah akhir tertentu. Misalnya legislasi mengandung banyak pernyataan dalam kalimat pasif.
Dalam legislasi, orang yang merancang peraturan atau undang-undang tidak lah
Universitas Sumatera Utara
sepenting peraturan atau undang-undang yang harus dipatuhi masyarakat atau pembaca. Bentuk imperatif, misalnya, digunakan dalam teks sains misalnya lembaran
dokumen keselamatan penggunaan suatu materi yan bertujuan untuk menginstruksi pembaca tentang cara penggunaan bahan kimia yang benar. Bentuk imperatif
menyampaikan pesan instruksi dengan cara yang cepat, tepat dan ringkas. Singkatnya, dalam iklan kata-kata dan pemakaian kata adalah suatu norma.
Struktur kalimat bisa dirubah dan kata-kata bisa bervariasi atau diubah untuk memberi makna yang berbeda, untuk membuat nada bahasa yang berbeda dan untuk
melakukan fungsi yang berbeda. Meminta seseorang untuk duduk bisa menggunakan bentuk-bentuk bahasa seperti berikut ini:
1 Please take a seat.
2 Please have a seat.
3 Have a seat.
4 Sit
5 Would you like to sit? Would you like to take a seat?
6 Take a seat.
Bentuk pertama “peraturan atau undang-undang” digunakan dalam dialog pada suasana resmi tapi terlalu resmi jika digunakan di antara Teman-Teman, juga bersifat
terlalu instruktif . Bagaimanakah “Have a seat” diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu?
Haruskah “Silahkan duduk?” atau “Duduklah” atau “duduk” atau secara literal “Ambillah kursi” atau “Ada kursi?”. Jika kita menerjemahkan teks lisan, kita bisa
Universitas Sumatera Utara
menentukanpilihan dengan lebih mudah karena petunjuknya bisa didapat dari intonasi, titinada suara pembicara. Dalam teks tertulis, maka analisis struktur makro berkaitan
dan sejalan dengan analisis struktur mikro. Dalam penerjemahan, jika tidak menggunakan aspek sintaksis dan lesikal ini
maka akan membuat terjemahan kurang efektif. Penerjemah dapat membuat terjemahan yang maknanya kurang atau berlebih dari teks bahasa sumber disebut
undertranslation dan overtranslation, bahkan lebih buruk lagi yaitu salah menerjemahkan.
Analisis leksis penting disesuaikan dengan struktur makro untuk memastikan teks bahasa target sama koherensi dan kohesif nya dengan teks bahasa sumber.
Konsep koherensi dan kohesi dijelaskan sedikit lebih banyak.
2.5.3 Jenis Teks
Di samping keberanekaragaman menurut “kelompok partisipan komunikasi”, susunan teks beraneka ragam menurut fungsi teksnya. Dalam konteks ini, variasi ini
melahirkan adanya jenis teks. Banyak linguis menyatakan bahwa ada banyak jenis – jenis teks yang
melakukan berbagai fungsi dan untuk berbagai jenis pembaca bahasa target. Tiap-tiap linguis bisa mengkategorikan teks ini dengan cara yang berbeda. Misalnya menurut
fungsi teks, menurut tujuan komunikasi, dan partisipan dalam komunikasi. Mereka menggunakan istilah misalnya “genre”, “register”, dan “style” yang berbeda dengan
jenis teks atau untuk memperluasnya, dan penggunaan teks tersebut bisa bermacam-
Universitas Sumatera Utara
macam satu dengan yang lain karena perbedaan konsep-konsep yang dicakup dalam ide teks tersebut atau disebabkan apa yang dilihat linguis sebagai istilah yag tepat.
Apapun istilah dan cara yang dipakai linguis untuk mengklasifiksaikan teks, para penerjemah tidak perlu terlalu atau sangat memperhatikannya. Apa yang lebih
penting bagi para penerjemah adalah pengetahuan bahwasanya penulis menulis untuk tujuan yang berbeda dan untuk pembaca bahasa target yang berbeda. Dengan
demikian, penulis melakukan cara tertentu dalam menulis untuk mencapai tujuan mereka. Sebagai penerjemah, perlu diperhatikan ciri-ciri teks tertentu untuk membuat
kita mampu mentransfer pesan yang dikodekan dalam teks bahasa sumber. Jenis teks adalah salah satu yang menjadi perhatian penerjemahan dengan
pengertian bahwa kata, struktur dan wacananya tergantung pada medan dan status tersebut digunakan. Halliday dan Hasan 1976 menegaskan bahwa teks bisa secara
lisan maupun tulisan. Kata ‘Teks’ dalam linguistik merujuk pada “teks apapun, yang secara
keseluruhan sebagai satu kesatuan.” Newmark 1981 menyatakan teks dibagi ke dalam 1 Teks Ekspresif, 2 Teks Informatif, 3 Teks Vokatif. Teks Ekpresif
mencakup tulisan kesusastraan misalnya: puisi, drama, novel, cerita pendek, dan lain- lain; Teks Informatif mencakup laporan sains, dan teknis, buku teks; dan Teks Vokatif
berkaitan dengan tulisan polemik misalnya: publisitas, pemberitahuan, hukum dan peraturan, propaganda, dll. Walaupun demikian, Newmark menegaskan bahwa teks
apapun itu apakah ekspresif, informatif, atau vokatif bisa masuk ke dalam bahasa standard dan tidak standard, dimana hal in harus diperhatikan oleh penerjemah.
Universitas Sumatera Utara
Seperti halnya Newmark 1981, Reiss 2001 mengklasifikasikan jenis teks dari perspektif penerjemahan komunikatif. Reiss mengkategorikan jenis teks ke dalam
1 informatif, 2 ekspresif, dan 3 Operatif. Teks Informatif merepresentasikan objek dan fakta; Teks Ekspresif mengekspresikan sikap atau perilaku pengirim; dan
Teks Operatif membuat suatu seruanpermohonan kepada penerima teks. Crystal dan Davy 1969 menyatakan bahwa gaya bahasa style tergantung
pada jenis teks. Bagi mereka, jenis teks tergantung pada bidang wewenang mereka mengklasifikasikan teks ke dalam teks percakapan, jurnalistik, agama, sain, dan
sebagainya. Hal penting lainnya yang perlu diingat dalam penerjemahan adalah bahwa
biasa ditemukan teks yang mempunyai fungsi dominan, tujuan dan beberapa subfungsi lainnya. Sebagaimana disebutkan dalam iklan kesehatan sebelumnya teks bisa bersifat
persuasif, tapi juga sekaligus informatif. Juga terdapat teks yang mempunyai subfungsi, misalnya ditemukan dalam teks legal yang mencakup teks yang berkaitan
dengan praktek hukum. Halliday 1978 memahami teks mempunyai medan makna, pelibat dan
diaktualisasikan ke dalam modus. Analisis struktur makro akan dipandu dengan baik dengan menggunakan ketiga konsep ini. Medan makna adalah lokasi atau tempat teks
ini dihasilkan dan digunakan, pelibat tergantung pada pembaca dan konsumen teks dan jarak yang penulis ciptakan antara dirinya dan pembacanya. Dengan istilah
pelibat, komunikasi dapat diklasifikasikan ke dalam bentuk formal, atau semi-formal, non-formal atau koloqial. Modus adalah bentuk teks tersebut misalnya apakah teks
Universitas Sumatera Utara
tersebut ditulis untuk dibaca atau teks lisan yang dibuat ke dalam tulisan sebagai referensi atau ditulis untuk diujarkan, dan sebagainya.
Aspek-aspek ini menjadi bukti yang lebih banyak, ketika analisis mikrostruktur dilakukan yang membantu kita untuk membuat dan menyesuaikan jenis teks, untuk
menentukan prosedur penerjemahan yang paling tepat sehingga aspek-aspek ini dapat dipindahkan dalam bahasa terjemahan.
Setelah selesai dengan analisis struktur makro, maka dapat dilanjutkan aspek teknis dan konkret struktur makro. Komponen-komponen teks sebaiknya diperiksa
apakah terdapat unsur-unsur berikut ini. 1
Teks terdiri dari daftar isi, kata pengantar, lampiran, bibliografi, ucapan terima kasih, diagram, uraian singkat isi buku dan sampul depan.
2 Dituliskan dalam bab, paragraf, menggunakan bentuk visual seperti gambar,
tabel, dan sebagainya. 3
Jika teks diketik apakah ukuran dan jenis huruf teks semuanya sama dalam teks dan dipakai secara konsisten.
4 Apakah unsur-unsur tertentu yang digunakan dalam teks berulang dalam
seluruh isi teks – kutipan? Analogi? Puisi? Latihan? Kartun ? dan sebagainya. Seluruh komponen ini menghasilkan susunan ideasional dan format,
penerjemah bisa mnggabungkan semua jenis informasi –penulis, tahun buku diterbitkan, pembaca yang dituju apakah khusus atau tersirat, tujuan teks, tahun
cetak ulang, informasi tentang penerbit, dan sebagainya. Pembaca bisa menanyakan
Universitas Sumatera Utara
apakah manfaat informasi teks ini baginya karena ada sebagian informasi yang mungkin tidak berguna baginya. Sebagai contoh berikut ini.
Di suatu program iklan, “Old Spice” salah diterjemahkan karena penerjemah gagal memahami dua hal yaitu konteks dan budaya.
Finally, I decided to give my father Old Spice. Akhirnya saya berikan ayah saya rempah lama.
Tanpa konteks, terjemahan menjadi salah. Apakah terjemahan tersebut kedengaran ganjil? Mengapa anda memberikan ayah anda rempah lama? Apakah tujuannya?
Apakah rempah lama bermakna khusus? Sekarang jika anda mempunyai konteks seperti di bawah ini, bagaimanakah terjemahannya?
I didn’t know what to give him. What would be good for him? I gave him a wallet the year before. I thought and thought. Finally, i decided to give him
Old Spice. Dengan konteks ini, bisakah teks diterjemahkan dengan lebih tepat?
Berdasarkan konteks dan petunjuk ekstra linguistik yang belum disebutkan di atas, terjemahan yang paling memungkinkan untuk “Old Spice” adalah minyak wangi Old
Spice Old spice perfume. Dari konteks yang diberikan dapat diduga orang yang berbicara sedang mencari hadiah untuk ayahnya. Bisa kemungkinan hadiah atau
hadiah natal atau hadiah khusus untuk suatu kesempatan yang dirayakan setiap tahun. Anda juga tidak akan berfikir bahwa seorang pria menginginkan rempah-rempah
untuk ulang tahunnya, apakah lama atau baru, kecuali ia adalah pria yang suka memasak atau seorang koki.
Universitas Sumatera Utara
Agar tidak salah menerjemah, penerjemah sebaiknya memahami bahwa Old Spice adalah minyak wangi pria. Berdasarkan pengetahuan dunia dan ekstra linguistik,
kita yakin Old Spice merujuk pada nama minyak wangi. Pada tahun 60-an dan 70-an dulu terdapat minyak wangi yang dinamakan Old Spice yang sangat populer.
Singkatnya penerjemahan yang tepat tidak akan dapat dilakukan tanpa analisis struktur makro teks, konteks situasi, konteks budaya yang terdapat di dalam struktur makro.
2.5.4 Konteks Situasi Teks
Halliday, McIntosh dan Stevens 1964 menyatakan bahwa konteks situasi register, ditinjau dari kerangka konseptual mempunyai tiga pokok bahasan yaitu
medan makna Field, pelibat Tenor dan sarana Mode. Menurut Halliday, dan kawan-kawan 1964, medan, sarana, dan pelibat wacana adalah prinsip-prinsip yang
digunakan untuk memberi tafsiran konteks situasi teks atau wacana: 1
Medan wacana adalah seluruh kegiatan-kegiatan yang dilakukan orang termasuk di dalamnya topik yang sedang dibicarakan, tujuan kegiatan
tersebut sehingga perlu dilakukan. 2
Sarana Wacana adalah media yang dipilih partisipan untuk mengadakan interaksi baik dengan menggunakan bahasa lisan maupun tulisan, secara
spontan ataupun terencana, dan jenis genre atau sarana retoris dapat sebagai narasi, didaktis, persuasif, basa-basi, dan lain-lain.
3 Pelibat Wacana adalah jenis peran interaksi antara partisipan ketika
berhubungan dengan lawan bicara di dalam hubungan sosial, jenis-jenis
Universitas Sumatera Utara
hubungan dapat berupa permanen atau sementara tuturan yang dilakukan antar-pelibat.
2.5.5 Kohesi dan Koheren
2.5.5.1 Kohesi
Kohesi adalah salah satu standard tekstualitas yang berkaitan dengan struktur luar teks. Baker 1992 menjelaskan bahwa kohesi adalah rangkaian leksikal,
hubungan tata bahasa atau hubungan lainnya yang terjalin secara logis dalam struktur luar. Hoed 1991 dan Swales 1990 menjelaskan kohesi sebagai properti teks yang
membantu pembaca atau pendengar memahami teks. Karena itu, papan arah penunjuk jalan dalam teks berperan penting. Charolles 1978 menyatakan bahwa kohesi adalah
aspek yangsaling berkaitan dengan koherensi dalam pembuatan teks. Jadi kohesi dan koherensi tidak bisa dipisahkan karena keduanya saling membantu untuk dapat
mencapai logika dan keterhubungan. Dalam penerjemahan, perlu menangani kohesi dengan hati-hati karena tiap-tiap bahasa mempunyai sarana kohesifnya masing-masing
Callow, 1975. Halliday dan Hasan 1976 menjelaskan bahwa kohesi adalah aspek tekstual non-struktural dan dikategorikan ke dalam referensi, substitusi, elipsis,
conjungsi dan leksikal. Kohesi dibuat berdasarkan kriteria-kriteria tersebut untuk menunjukkan hubungan semantik eksternal antara pranggapan presupposition dan
diperanggapan presupposed di antara kalimat-kalimat teks, contohnya:
Universitas Sumatera Utara
Figura 2.16: Teks dan Kategori Kohesi Teks Kategori
Kohesi
My daughter does physical exercises every day. She wants to reduce her
weight.
Does the minister speak French language? Yes, he does so.
You have said that. No, I haven’t.......
The spread of nuclear in the world poses a danger to human being, the fauna and
flora. Thus many people have raised their voices to stop it. But to no avail
since superpowers avail themselves the right of possessing it.
Of course you know Nurhaliza. She was the best student of our school. Now she
is a PhD candidate in medicine at the University of London.
Referensi Kohesif : “she” merujuk pada “my daughter”.
Substitusi Kohesif : “so” adalah substitusi dari kata kerja “speak”.
Elipsis Kohesif : elipsis kata kerja leksikal “said”.
Konjungsi Kohesif : menunjukkan hubungan semantik kausalitas “thus” dan
pertentangan “but”
Leksikal : “student” dan ‘candidate berpraanggapan “Nurliza” ; “university”
berkolokasi dengan “school”.
Saragih 2003 menjelaskan satu unit pengalaman dalam klausa dapat dihubungkan dengan klausa lain sebagai unit pengalaman dengan hubungan makna.
Keterkaitan ini membentuk satu kesatuan yang disebut kohesi. Kohesi adalah ciri satu
Universitas Sumatera Utara
teks. Kohesi terbentuk dengan tautan makna antarklausa. Tautan ini direalisasikan oleh empat alat kohesi cohesive device, yaitu:
1 perujuk reference
2 elipsissubstitusi
3 konjungsi conjunction
4 kohesi leksikal lexical cohesion
Pautan makna antarklausa membentuk kesatuan yang disebut teks atau wacana. Tautan dalam teks semakin erat jika semakin banyak alat kohesi yang digunakan
dalam teks. Dengan kata lain, teks yang padu ditandai dengan eksistensitas dan intensitas variasi alat kohesi yang digunakan.
Kohesi juga merupakan aspek formal bahasa dalam wacana. Dengan itu kohesi adalah ‘organisasi sintaktik’. Organisasi sintaktik itu adalah merupakan wadah ayat-
ayat yang disusun secara padu dan juga padat. Dengan susunan demikian organisasi tersebut adalah untuk menghasilkan tuturan. Ini bermaksud bahwa kohesi adalah
hubungan di antara kalimat di dalam sebuah wacana, baik dari segi tingkat gramatikal maupun daro segi tingkat leksikal tertentu. Dengan penguasaan dan juga pengetahuan
kohesi yang baik, seorang penulis akan dapat menghasilkan wacana yang baik.
1 Perujuk
Perujuk sebagai alat kohesi terdiri dari pronomina pronoun, penunjuk demonstrative, dan perbandingan comparatives. Pronomina adalah kata ganti diri
untuk orang seperti kamu, engkau, saya. Penunjuk menyatakan posisi partisipan atau sirkumstan relatif kepada pemakai bahasa seperti ini, itu, di sini, di situ. Perbandingan
Universitas Sumatera Utara
meletkkan dua proses, partisipan atau sirkumstan atau lebih pada perspektif pemakai bahasa dengan mendapat proses, partisipan, sirkumstan tertentu sama dalam, lebih
dalam kualitas dari yang lain, atau paling dalam kualitas dari sejumlah proses, partisipan, sirkumstan yang lain, seperti besar, lebih besar, paling besar.
Perujukan merujuk kepada unsur sebelum atau selepas yang berkaitan dengan hubungan semantik. Perujukan dapat dilihat dari dua sudut, yaitu perujukan eksoforik
dan perujukan endoforik. Perujukan eksoforik berasal dari kata “ekso” yaitu “keluar” yang berarti apabila kita tidak dapat menemukan rujukan dalam teks maka kita akan
keluar dari teks agar dapat memahami teks tersebut. Selain itu perujukan eksoforik ini digunakan untuk merujuk kepada hal-hala yang mempunyai kaitan dengan situasi
yang berkembang di depan penutur ataupun pendengar yang menerima pesan ataupun informasi yang telah disampaikan kepadanya.
Halliday dan Hasan 1976 mengatakan bahwa perujukan eksoforik ini menerangkan tentang situasi yang merujuk kepada sesuatu yang telah didentifikasi
dalam sesuatu konteks bagi sebuah situasi. Sedangkan Harimurti Kridalaksana 1982 memberikan pengertian bahwa perujukan eksoforik ini adalah fungsi yang
menunjukkan kembali kepada sesuatu yang ada di luar daripada sebuah situasi. Hal ini berarti bahwa perujukan eksoforik ini adalah merujuk kepada hal-hal yang di luar
daripada konteks. Menurut Azmi Abdullah 2005 perujukan eksoforik terbagi ke dalam tiga
jenis yaitu:
Universitas Sumatera Utara
a. Konteks Segera
Dalam konteks segera atau dikenal dengan Immediate Context, kita dapat langsung memahami maksud kalimat itu melalui pemahaman yang berdasarkan dua
hal. Pertama, pengetahuan shared knowledge dalam contoh kalimat, “Keadaan ekonomi dunia sekarang gawat. Oleh karena itu, pemerintah mengambil beberapa
langkah yang praktis untuk menangani masalah tersebut.“ Kedua, pengetahuan dunia wacana dalam contoh kalimat, “Terlihat dari kelakuannya, Pangeran Charles marah
kepada Putri Diana”. Dari contoh kalimat tersebut dapat dilihat bahwa ada kalimat atau wacana yang tidak segera memberikan pemahaman atau maksud kalimat tersebut
sehingga memerlukan rujukan terhadap konteks sebelumnya.
b. Perujukan Endoforik
Perujukan endoforik ini merujuk kepada apa yang hanya ada di dalam sebuah teks. Seperti apa yang telah dijelaskan oleh Halliday dan Hasan 1976 yang
mengatakan bahwa perujukan endoforik ini merujuk hanya kepada teks. Harimurti Kridalaksana 1982 memberikan pendapat bahwa perujukan endoforik ini adalah hal
atau fungsi yang menunjukkan kembali pada hal-hal yang ada dalam wacana, termasuk pada perujukan anaforik dan perujukan kataforik.
c. Perujukan Anaforik