Tematisasi Dalam Translasi Dwibahasa: Teks Bahasa Indonesia-Inggris

(1)

TEMATISASI DALAM TRANSLASI

DWIBAHASA: TEKS BAHASA

INDONESIA-INGGRIS

DISERTASI

MUHIZAR MUCHTAR

NIM : 068107005

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

PROGRAM STUDI LINGUISTIK

PROGRAM DOKTOR (S3)

MEDAN


(2)

TEMATISASI DALAM TRANSLASI DWIBAHASA:

TEKS BAHASA INDONESIA – INGGRIS

DISERTASI

Untuk memperoleh gelar Doktor dalam Ilmu Linguistik Pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Dengan wibawa Rektor Universitas Sumatera Utara Prof.

Dipertahankan pada tanggal Di Medan, Sumatera Utara

MUHIZAR MUCHTAR

LNG/068107005

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2010


(3)

Diuji Pada Ujian Disertasi (Promosi) Tanggal : Juli 2010

PANITIA PENGASUH DISERTASI

Ketua : Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D. USU Medan

Anggota : Prof. Amrin Saragih, M.A., Ph.D. UNIMED Medan Asruddin Barori Tou., Ph.D. UNJ Yogya Prof. Dr. Robert Sibarani, M.S. USU Medan Prof. Dr. Busmin Gurning, M.Pd. UNIMED Medan Dr. Eddy Setia, M.Ed. TESOL USU Medan Dr. Syahron Lubis, M.A. USU Medan

Dengan Surat Keputusan

Rektor Universitas Sumatera Utara Nomor :


(4)

TIM PROMOTOR

1. Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D.

2. Prof. Amrin Saragih, M.A., Ph.D.


(5)

TIM PENGUJI LUAR KOMISI

Prof. Dr. Robert Sibarani, M.S.

Prof. Dr. Busmin Gurning, M.Pd.

Dr. Eddy Setia, M.Ed. TESOL


(6)

PERNYATAAN

Judul Disertasi

TEMATISASI DALAM TRANSLASI DWIBAHASA : TEKS BAHASA INDONESIA – INGGRIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa Disertasi ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Doktor dari Program Studi Linguistik Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri.

Adapun pengutipan-pengutipan yang saya lakukan pada bagian-bagian tertentu dari hasil karya orang lain dalam penulisan Disertasi ini, telah saya cantumkan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.

Apabila dikemudian hari ternyata ditemukan seluruh atau sebagian Disertasi ini bukan hasil karya saya sendiri atau adanya plagiat dalam bagian-bagian tertentu, saya bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang saya sandang dan sanksi-sanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Medan, Juni 2010


(7)

TEMATISASI DALAM TRANSLASI DWIBAHASA

TEKS BAHASA INGGRIS - INDONESIA

DISERTASI

MUHIZAR MUCHTAR

NIM : 068107005

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

PROGRAM STUDI LINGUISTIK

PROGRAM DOKTOR (S3)

MEDAN


(8)

ABSTRACT

This research that uses Linguistics Systemic Functional (LSF) and Larson’s and Catford’s theories of translation is basically to observe the fronting idea and modeling in translation. Fronting idea can be seen from the theme and the shift of theme when translating. This theme and rheme system is as part of LSF theory, whilst the ways or systems of translation are seen from Larson’s and Catford’s theories. As a result, by combining these two theories it can be yielded a new rule in translating English as a source language and Indonesian as the target one.

There are five different texts as the samples of the research through text identification. They are (1) The British Council, consists of (a) “Dari Nonton Bal sampai Rindu Sambal” and (b)” Pasar Kerja Alumni”; (2) Political Speech: Masalah Luar Negeri: Timur Tengah tetap Vital bagi Kepentingan AS; (3) Text: Coming to Terms with Technology in Connexions; (4) Text: (a) the importance of English in Indonesia,(b) Folktale, (c) book entitled; (5) Text: Islamic Speech. Each of the text is identified of its Theme and Rheme wether Marked Theme, Unmarked Theme, Simple Theme, Complex Theme, in both singular or plural types. From this identification it can be known the shift of theme in translation and how they are happened. From the identification, it can be also known the factors caused the shifts of the theme.

The results of the analysis of the five texts in their translations, it is known that first of all, Plural Topical Marked Theme is the dominant theme in both languages. Secondly, there are seven types of theme shift in both languages, i.e. (1) the shift in simple theme becomes complex or vice versa, (2) the shift in singular theme becomes plural or vice versa, (3) the shift in marked theme becomes unmarked ones or vice versa, (4) the shift in theme position, (5) additional theme, (6) omission, and (7) changing theme. Thirdly, the factors that influence the theme shifts in translation are caused by shifts of language units from theme or rheme or vice versa. Besides, it is also found that the additional of language units from English to Indonesian or vice versa, such as conjunctions, circumstance of place, manner, and time. On the contrary, it can also be caused by the existence of omission of language unit from English to Indonesian or vice versa. The shifts, additions, and omissions of language units cause and influence the forms, types, and the number of themes from Singular theme becomes Plural ones and vice versa, and from Simple theme becomes the comples ones or vice versa.


(9)

ABSTRAK

Penelitian yang menggunakan teori Systemic Functional Linguistics serta teori Translasi Larson dan Cadford ini pada dasarnya untuk melihat pengedepanan ide dan pemodelan dalam translasi. Pengedepanan ide ini dilihat dari Tema dan pergeseran Tema saat penerjemahan. Sistem Tema dan Rema inilah yang merupakan bagian dari teori Linguistik Sistemik Fungsional. Sedangkan tata cara atau sistem penerjemahan itu sendiri dilihat dari teori Translasi Larson dan Cadford. Maka, dengan penggabungan dua teori ini akan menghasilkan kaidah penerjemahan bahasa Inggris dan bahasa Indonesia sebagai bahasa sumber atau sebagai bahasa sasaran.

Lima jenis teks yang berbeda menjadi sample penelitian melalui uji teks atau identifikasi teks. Kelima teks tersebut adalah (1) British Council, yang meliputi (a) “Dari Nonton Bal sampai Rindu Sambal” dan (b) “Pasar Kerja Alumni” ; (2) Pidato Politik: Masalah Luar Negeri: Timur Tengah tetap Vital bagi Kepentingan AS; (3) Majalah Connexions: Merangkul Teknologi; (4) Majalah Pelangi yang meliputi (a) “Pentingnya Bahasa Inggris di Indonesia”, (b) Dongeng, (c) Kotak Surat; (5) Ceramah: Mempedulikan Nasib Kemanusiaan. Setiap teks diidentifikasi atas Tema dan Rema, baik Tema Bermarkah, Tema Tak Bermarkah, Tema Sederhana, Tema Kompleks, Tema Tunggal, maupun Tema Majemuk. Dari hasil identifikasi inilah diketahui adanya pergeseran tema dalam translasi dan bagaimana terjadinya pergeseran tema dalam translasi. Dari identifikasi ini juga diketahui faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pergeseran Tema.

Hasil Penelitian terhadap kelima teks ini dalam translasinya diketahui,

pertama, Tema Topikal Majemuk bermarkah merupakan tema dominan baik bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris. Kedua, terdapat tujuh jenis pergeseran tema dalam dwibahasa Inggris-Indonesia, yaitu (1) pergeseran tema sederhana menjdi kompleks atau sebaliknya, (2) pergeseran tema tunggal menjdi majemuk atau sebaliknya, (3) pergeseran tema bermarkah menjadi tak bermarkah atau sebaliknya, (4) pergeseran posisi tema, (5) penambahan tema, (6) pelesapan, dan (7) perubahan tema. Ketiga,

faktor yang mempengaruhi pergeseran tema dalam translasi disebabkan oleh pergeseran unit bahasa dari Tema ke Rema atau sebaliknya. Selain itu juga ditemukan penambahan unit bahasa dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia atau sebaliknya seperti konjungsi, sirkumstan tempat, cara, dan waktu. Sebaliknya juga dapat disebabkan adanya pelesapan suatu unit bahasa dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia atau sebaliknya. Pergeseran, penambahan dan pelesapan unit-unit bahasa tersebut menyebabkan dan mempengaruhi bentuk, jenis, dan jumlah tema dari Tema Tunggal menjadi Tema Majemuk dan sebaliknya, dan dari Tema Sederhana menjadi Tema Kompleks dan sebaliknya.


(10)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi rabbil alamin. Syukur dan puji penulis ucapkan kepada Allah Yang Maha Kuasa atas segala limpahan rahmat yang diberikan kepada penulis sehingga penulisan disertasi yang berjudul “Tematisasi Dalam Translasi Dwibahasa : Teks Bahasa Indonesia - Inggris ini dapat diselesaikan seperti yang diharapkan. Salawat dan salam penulis ucapkan keharibaan perantara nikmat dan karunia-Nya, Nabi Muhammad, yang telah memberi suri tauladan dalam berkehidupan di dunia dan pada kesempatan ini juga dengan segala kerendahan hati, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada sejumlah nama yang telah turut berpartisipasi dalam proses pendidikan dan penyelesaian disertasi ini.

Oleh karena itu penulis ingin mengkhususkan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Rektor Universitas Sumatera Utara Prof. Dr. Syahril Pasaribu DTM & H,M.Sc, (CTM) SP.A(K) dan mantan Rektor Universitas Sumatera Utara Prof.Chairuddin P.Lubis, DTM&H, Sp.A(K) yang telah memberikan peluang serta dukungan moril dam materil kepada penulis untuk melanjutkan studi di Universitas Sumatera Utara

Ucapan yang sama penulis tujukan kepada Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Prof.Dr.Ir.Chairun Nisa B.,M.Sc, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis mengikuti Program Sandwich di University of Western Sydney (UWS) Australia.


(11)

Ketua Program Studi Linguistik Prof.T.Silvana Sinar, M.A.,Ph.D, dan Sekretaris Program Studi Linguistik Drs. Umar Mono,M.Hum yang berkenan menerima penulis untuk mengikuti program Doktor Linguistik dan menggunakan fasilitas di Sekolah Pascasarjana USU ini.

Demikian pula ucapan terima kasih kepada Dekan Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara, Dr. Sayhron Lubis, M.A, yang telah mengizinkan penulis untuk mengikuti program Doktor Linguistik di sekolah Pascasarjana USU.

Selanjutnya penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada pihak-pihak yang terlibat dalam penyelesaian disertasi ini, mereka adalah:

Prof. Tengku Silvana Sinar, M.A,Ph.D selaku promotor penulis, atas segala arahan, bimbingan yang beliau berikan selalu menumbuhkan kesadaran pada diri penulis. Koreksi yang tulus telah diberikan sejak awal penulisan sampai pada penyelesaian disertasi. Ketelitian beliau membaca disertasi ini sangat saya hargai.

Penghargaan yang sama penulis haturkan kepada ko - promotor saya Prof. Amrin Saragih, M.A.,Ph.D yang telah mencurahkan perhatiannya, sumbangan pikiran, pengamatan yang teliti sejak dari perancangan sampai disertasi ini selesai.

Ucapan terima kasih serta apresiasi yang tinggi penulis tujukan kepada ko – promotor Asruddin B. Tou, M.A Ph.D atas sumbangan pikiran beliau biarpun jarak agak berjauhan antara Medan – Jogya melalui email menunjukkan tanggung jawab sebagai seorang professional akademik dan menyempatkan waktu datang ke Medan untuk menguji peserta didiknya.


(12)

Kepada para penguji disertasi penulis Prof. Dr.Robert Sibarani, M.S., Prof. Busmin Gurning MA, Ph.D , Dr.Eddy Setia MEd.TESOL, Dr.Syahron Lubis,M.A, yang telah bersedia memberikan penilaian, mengkoreksi dan membantu memberikan masukan-masukan demi kesempurnaan disertasi ini.

Selanjutnya penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada semua dosen Program Studi Linguistik Universitas Sumatera Utara yang telah dengan ikhlas memberikan ilmu mereka yang sangat berguna kepada penulis selama masa perkuliahan. Terima kasih kepada teman seangkatan kedua pada pendidikan Doktor Linguistik yang senantiasa memotivasi penulis untuk terus belajar. Kiranya teman-teman yang belum selesai termotivasi untuk menyelesaikan penelitiannya.

Ucapan terima kasih penulis pada staf pengajar Departemen Sastra Inggris Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara, atas kerja sama yang baik dalam tim mengajar.

Ucapan terima kasih penulis haturkan kepada Almarhum Prof. H. Tengku Amin Ridwan, Ph.D yang begitu banyak berjasa kepada penulis, sampai akhir hayatnya. Penulis terus membantu sebagai asisten beliau, dan beliaulah yang sangat memotivasi penulis untuk melanjutkan ke program S3 Linguistik. Penulis tetap mengenang dan mendoakan semoga jasa, amal dan ibadah beliau diterima disisinya.

Pada kesempatan ini penulis mengenang ayah penulis almarhum Muchtar,MA dan ibunda penulis almarhumah Zakiyah Hasyim, yang keduanya adalah guru dalam kehidupan penulis. Penghargaan yang sama juga penulis haturkan kepada kedua


(13)

mertua penulis yaitu Almarhum Ayahanda Muhammad Idris dan Ibunda Napsiah. Kelulusan Ananda menyandang gelar doktor dan hasil karya disertasi ini merupakan hadiah termahal untuk Ayahanda dan Ibunda. Keberhasilan ini semua tidak lepas dari doa iklas dari orangtu penulis kepada Allah SWT. Penulis ingin menyampaikan penghargaan yang tulus kepada mereka. Mereka merupakan teladan yang menumbuhkan kecintaan penulis untuk terus belajar. Penulis haturkan terima kasih kepada kakak, abang, dan adik-adik: Dra. Siti Husna Muchtar, Mardiyah Muchtar, Imran Muchtar,BSc, Zulham Muchtar, SE, S.Sos, Dra. Elfiah Muchtar, Hazman, Erwin Fadli, juga kepada Mahdalena, Ishak, Khalik, Eddy, Zulfadhi, Yusrial, Putri dan seluruh keluarga yang senantiasa memperhatikan dan mendukung penulis untuk menyelesaikan disertasi ini.

Terima kasih yang tak terhingga kepada istri tercinta Aswina Idris,M.BA. yang tetap konsisten atas kesepakatan kami untuk saling menopang dalam menimba ilmu pengetahuan dan berkarya. Pengertian dan motivasi dengan kasih sayang yang diberikan adalah sikap yang sangat menguntungkan penulis. Kepada anak-anak kami Lisa Maria Ulfa, S.Sos, Zulfa Husna, SE dan Muhammad Rizki Hamdani M, yang sejak mereka kecil sering bersama-sama belajar dengan kedua orang tuanya, dengan bangga penulis ucapkan terima kasih atas pemahamannya. Semoga mereka dapat mengikuti langkah kami orang tuanya didampingi oleh menantu Mhd. Ramdhani, S.T dan Arland Bukit, SE yang tetap mendukung penulis. Juga kepada cucu-cucu : Annisa Syafa Aulia, Tammima Aqila Zahra, Adam Arfa, Adisa Arfa, Deriza Putra yang manis dan lucu, yang dapat menambah semangat dalam penyelesaian disertasi ini.


(14)

Dalam kesempatan ini juga penulis haturkan terima kasih atas perhatian, bantuan yang selalu diberikan oleh Ibu Dr. Rochayah Machali aebagai Head of Indonesian Section, Department of Chinese and Indonesian The University of New South Wales dan Prof John Ingleson Deputy Vice Chancellor Academic and Enter Prise University of Western Sydney. Mereka selalu memberikan motivasi, memberi masukan yang berharga dalam penyempurnaan penulisan disertasi ini.

Tak lupa penulis haturkan terima kasih kepada Ananda Diana Sopha, Putri Nasution, Rosliani yang dengan penuh perhatian selalu membantu penulis dalam penyelesaian disertasi ini.

Akhirnya terima kasih kepada semua pihak yang belum saya sebutkan satu persatu yang telah banyak membantu saya baik moril, materil, dan dukungan doa selama penulis mengikuti pendidikan sampai selesai. Pada kesempatan ini juga penulis mohon maaf atas segala kesalahan yang mungkin terjadi selama mengikuti pendidikan ini. Penulis berdoa agar Allah SWT memberikan yang terbaik buat penulis. Semoga hasil karya ini dapat bermanfaat bagi masyarakat dan bangsa.

Medan, 20 Juni 2010


(15)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRACT...i

ABSTRAK...ii

KATA PENGANTAR...iii

DAFTAR SINGKATAN...vii

DAFTAR FIGURA...viii

BAB I PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang... 1

1.2 Fokus Penelitian... 10

1.3 Pembatasan Masalah... 11

1.4 Rumusan Masalah... 11

1.5 Tujuan Penelitian... 12

1.6 Manfaat Penelitian... ... 12

1.7 Klarifikasi Istilah ... 13

BAB II KERANGKA TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA... 16

2.1Penngantar Teori dan Tinjauan Pustaka... 16

2.1.1 Kerangka Teori LSF...... 17

2.1.2 Alasan Memilih Teori LSF...... 24

2.1.3 Orientasi Teoritis... 27

2.1.4 Berbagai Model LSF...... 29


(16)

2.1.5.1Bahasa adalah Sistem Semiotik Sosial... 34

2.1.5.2Bahasa adalah Fungsional... 37

2.1.5.3 Fungsi Bahasa Membuat Makna... 37

2.1.5.4 Bahasa adalah Kontekstual... 38

2.1.6 Metafungsi Bahasa... 41

2.1.6.1 Fungsi Ideasional... 45

2.1.6.1.1 Fungsi Eksperensial... 45

2.1.6.1.2 Fungsi Logika... 47

2.1.6.2 Fungsi Antarpersona... 49

2.1.6.3 Fungsi Tekstual... 50

2.1.7 Kajian Tematisasi... 50

2.2Penelitian Sebelumnya... 55

2.3 Kajian Translasi dan Penerjemah... 63

2.3 Teori Translasi dan Penerjemahan... 65

2.3.1 Model-model Penerjemahan... 71

2.3.2 Alasan Memilih Teori Translasi Larson dan Cadford... 73

2.3.3 Kerangka Konsep Pergeseran dalam Penerjemahan... 77

2.3.4 Teks dan Budaya Penerjemah... 83

2.3.4.1 Teks... 85

2.3.4.2 Pengertian Teks... 86

2.3.4.3 Jenis Teks... 89


(17)

2.3.4.5 Kohesi dan Koheren... 92

2.3.4.6 Kohesi ... 92

2.3.4.7 Koherensi... 103

2.3.4.8 Pengorganisasian Teks... 106

2.3.4.9 Struktur Makro Teks... 107

2.3.4.10 Struktur Mikro Teks...111

2.4. Budaya dalam Penerjemahan...112

2.4.1 Pengertian Budaya Penerjemah...114

2.4.2 Aspek Budaya Penterjemah...115

2.4.3 Budaya Universal...120

2.4.4 Budaya Agamis dan Budaya Sosial...120

2.4.5 Budaya Akademis...122

2.4.6 Budaya Legalisasi...123

2.5 Konstruk Analisis...124

BAB III METODE PENELITIAN... 128

3.1 Jenis Penelitian... 128

3.2 Rancangan Penelitian... .129

3.3 Data dan Sumber Data...131

3.4 Teknik Pengumpulan Data...132

3.5 Teknik Analisis Data... 132

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN...……….. 136


(18)

4.1.1 Jumlah Tema Dominan dalam Teks bahasa Indonesia………..…144

4.1.2 Jumlah Keseluruhan Jenis Tema Dominan dalam Teks bahasa Inggris…….145

4.2 Jenis-Jenis Pergeseran Tema dan Pembahasan... 206

4.2.1 Jenis – Jenis Pergeseran Tema ...206

4.2.2 Pembahasan Jenis Pergeseran Tema dalam teks Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris………. .211

4.2.3 Faktor Penyebab Pergeseran Tema dalam Translasi………..234

4.2.4 Faktor Intrinsik Pendorong Terjadinya Jenis Tema Dominan dan Pergeseran Tema……….235

4.2.5 Faktor Ekstrinsik Pendorong Terjadinya Jenis Tema Dominan Dan Pergeseran Tema……… 258

BAB V SIMPULAN DAN SARAN………..262

5.1 Simpulan………...262

5.2 Saran……….265

DAFTAR PUSTAKA………...266

Lampiran 1: TEKS BRITISH COUNCIL, PIDATO POLITIK, CONNEXIONS, DAN CERAMAH...273

Teks A...273

Teks B...………..276

Teks C...278


(19)

Teks E...289

Teks F...291

Teks G...292

Teks H...294

Lampiran 2: ANALISIS TEMA-REMA DAN PERGESERANNYA DALAM TEKS TEKS...295

Teks A...295

Teks B...314

Teks C...321

Teks D...349

Teks E...376

Teks F...385

Teks G...397

Teks H...407

Lampiran 3: ANALISIS TEMA-REMA YANG MENGALAMI PERGESERAN...431

Teks A...431

Teks B...437

Teks C...440

Teks D...446

Teks E...451


(20)

Teks G...457 Teks H... ...461


(21)

DAFTAR FIGURA

Halaman

Figura 2.1: Hubungan Teks dan Konteks (Saragih, 2006:3)... 27 Figura 2.2: Bahasa dan Konteks (Adaptasi dari Halliday, 1991:8)... 30 Figura 2.3: Bahasa sebagai Realisasi Konteks Sosial

(Adaptasi dari Martin, 1993:142)... 31 Figura 2.4: Stratifikasi Bahasa dalam Konteks

(Adaptasi dari Matthiessen, 1993:227)... 32 Figura 2.5: Stratifikasi Bahasa dalam Konteks

(Adaptasi dari Matthiessen, 1993:227; lihat juga Sinar, 2008:55)... 33 Figura 2.6 : Hubungan Logis dan Taksis

(Adaptasi dari Halliday, 1994:216-220)... 49 Figura 2.7: Posisi Subjek, Finit, Predikator, Komplemen, dan Adjuct

dalam Teks... 50 Figura 2.8 : Posisi Tema dan Rema dalam Teks... 54 Figura 2.9 : Klasifikasi Tema Berdasarkan Komplesitas dan

Kebermaknaannya... 55 Figura 2.10 : Klasifikasi Eksistensi Translasi... 66 Figura 2.11 : Skema Penerjemahan... 68 Figura 2.12 : Dinamika Translation


(22)

Figura 2.13 : Proses Translasi Model Larson

(Diadaptasi dari Choliludin, 2007:3)... 72 Figura 2.14 : Kedudukan Teks, Konteks, dan

Makna dalam Wacana... 76 Figura 2.15 : Konstruk Analisis... 125


(23)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 4.1: Jumlah Tema Sederhana...136 Tabel 4.2: Persentase Tema Sederhana (angka dalam persen)...137 Tabel 4.3: Jumlah Tema Tekstual...138 Tabel 4.4: Persentase Tema Tekstual (angka dalam persen)...139 Tabel 4.5: Jumlah Tema Antarpesona...140 Tabel 4.6: Persentase Tema Antarpesona (angka dalam persen...141 Tabel 4.7: Jumlah Tema Topikal...142 Tabel 4.8: Persentase Tema Topikal (angka dalam persen)...143 Tabel 4.9: Jumlah Keseluruhan Tema Teks Bahasa Indonesia...144 Tabel 4.10: Jumlah Keseluruhan Tema Teks Bahasa Inggris ...145


(24)

(25)

DAFTAR SINGKATAN

Antar Antarpersona B Bermarkah Ina Indonesia Ing Inggris

LSF Linguistik Sistemik Fungsional LFS Linguistik Fungsional Sistemik M-B Majemuk Bermarkah

M-TB Majemuk Tak Bermarkah No. Nomor

SFL Systemic Functional Linguistics

Top Topikal Teks Tekstual

T-TB Tunggal Tak Bermarkah T-B Tunggal Bermarkah


(26)

ABSTRACT

This research that uses Linguistics Systemic Functional (LSF) and Larson’s and Catford’s theories of translation is basically to observe the fronting idea and modeling in translation. Fronting idea can be seen from the theme and the shift of theme when translating. This theme and rheme system is as part of LSF theory, whilst the ways or systems of translation are seen from Larson’s and Catford’s theories. As a result, by combining these two theories it can be yielded a new rule in translating English as a source language and Indonesian as the target one.

There are five different texts as the samples of the research through text identification. They are (1) The British Council, consists of (a) “Dari Nonton Bal sampai Rindu Sambal” and (b)” Pasar Kerja Alumni”; (2) Political Speech: Masalah Luar Negeri: Timur Tengah tetap Vital bagi Kepentingan AS; (3) Text: Coming to Terms with Technology in Connexions; (4) Text: (a) the importance of English in Indonesia,(b) Folktale, (c) book entitled; (5) Text: Islamic Speech. Each of the text is identified of its Theme and Rheme wether Marked Theme, Unmarked Theme, Simple Theme, Complex Theme, in both singular or plural types. From this identification it can be known the shift of theme in translation and how they are happened. From the identification, it can be also known the factors caused the shifts of the theme.

The results of the analysis of the five texts in their translations, it is known that first of all, Plural Topical Marked Theme is the dominant theme in both languages. Secondly, there are seven types of theme shift in both languages, i.e. (1) the shift in simple theme becomes complex or vice versa, (2) the shift in singular theme becomes plural or vice versa, (3) the shift in marked theme becomes unmarked ones or vice versa, (4) the shift in theme position, (5) additional theme, (6) omission, and (7) changing theme. Thirdly, the factors that influence the theme shifts in translation are caused by shifts of language units from theme or rheme or vice versa. Besides, it is also found that the additional of language units from English to Indonesian or vice versa, such as conjunctions, circumstance of place, manner, and time. On the contrary, it can also be caused by the existence of omission of language unit from English to Indonesian or vice versa. The shifts, additions, and omissions of language units cause and influence the forms, types, and the number of themes from Singular theme becomes Plural ones and vice versa, and from Simple theme becomes the comples ones or vice versa.


(27)

ABSTRAK

Penelitian yang menggunakan teori Systemic Functional Linguistics serta teori Translasi Larson dan Cadford ini pada dasarnya untuk melihat pengedepanan ide dan pemodelan dalam translasi. Pengedepanan ide ini dilihat dari Tema dan pergeseran Tema saat penerjemahan. Sistem Tema dan Rema inilah yang merupakan bagian dari teori Linguistik Sistemik Fungsional. Sedangkan tata cara atau sistem penerjemahan itu sendiri dilihat dari teori Translasi Larson dan Cadford. Maka, dengan penggabungan dua teori ini akan menghasilkan kaidah penerjemahan bahasa Inggris dan bahasa Indonesia sebagai bahasa sumber atau sebagai bahasa sasaran.

Lima jenis teks yang berbeda menjadi sample penelitian melalui uji teks atau identifikasi teks. Kelima teks tersebut adalah (1) British Council, yang meliputi (a) “Dari Nonton Bal sampai Rindu Sambal” dan (b) “Pasar Kerja Alumni” ; (2) Pidato Politik: Masalah Luar Negeri: Timur Tengah tetap Vital bagi Kepentingan AS; (3) Majalah Connexions: Merangkul Teknologi; (4) Majalah Pelangi yang meliputi (a) “Pentingnya Bahasa Inggris di Indonesia”, (b) Dongeng, (c) Kotak Surat; (5) Ceramah: Mempedulikan Nasib Kemanusiaan. Setiap teks diidentifikasi atas Tema dan Rema, baik Tema Bermarkah, Tema Tak Bermarkah, Tema Sederhana, Tema Kompleks, Tema Tunggal, maupun Tema Majemuk. Dari hasil identifikasi inilah diketahui adanya pergeseran tema dalam translasi dan bagaimana terjadinya pergeseran tema dalam translasi. Dari identifikasi ini juga diketahui faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pergeseran Tema.

Hasil Penelitian terhadap kelima teks ini dalam translasinya diketahui,

pertama, Tema Topikal Majemuk bermarkah merupakan tema dominan baik bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris. Kedua, terdapat tujuh jenis pergeseran tema dalam dwibahasa Inggris-Indonesia, yaitu (1) pergeseran tema sederhana menjdi kompleks atau sebaliknya, (2) pergeseran tema tunggal menjdi majemuk atau sebaliknya, (3) pergeseran tema bermarkah menjadi tak bermarkah atau sebaliknya, (4) pergeseran posisi tema, (5) penambahan tema, (6) pelesapan, dan (7) perubahan tema. Ketiga,

faktor yang mempengaruhi pergeseran tema dalam translasi disebabkan oleh pergeseran unit bahasa dari Tema ke Rema atau sebaliknya. Selain itu juga ditemukan penambahan unit bahasa dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia atau sebaliknya seperti konjungsi, sirkumstan tempat, cara, dan waktu. Sebaliknya juga dapat disebabkan adanya pelesapan suatu unit bahasa dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia atau sebaliknya. Pergeseran, penambahan dan pelesapan unit-unit bahasa tersebut menyebabkan dan mempengaruhi bentuk, jenis, dan jumlah tema dari Tema Tunggal menjadi Tema Majemuk dan sebaliknya, dan dari Tema Sederhana menjadi Tema Kompleks dan sebaliknya.


(28)

BAB I

PENDAHULUAN

1.3 Latar Belakang

Abad XXI merupakan masa dengan bahasa memegang peranan penting dalam proses saling ketergantungan antarbangsa. Hal ini terlihat dalam berbagai perkumpulan bangsa, seperti PBB, Uni Eropa, ASEAN, maupun APEC, yang mengutamakan bahasa Inggris tanpa mengabaikan bahasa yang lain dalam komunikasi antarbangsa. Pada konteks ini, bahasa tidak hanya menjadi urusan ahli bahasa dan mahasiswa ilmu bahasa, melainkan juga menjadi urusan pebisnis, politikus, negarawan, dan ahli-ahli ilmu alam untuk menyampaikan dan menyerap informasi. Bahkan, peristiwa yang diinformasikan oleh surat kabar, televisi, dan internet dalam bahasa tertentu dengan cepat diterjemahkan dalam bahasa penerima informasi, sehingga segenap unsur suatu bangsa dapat dengan cepat dan tepat mengambil sikap atas informasi tersebut. Hasil terjemahan tersebut harus sesuai antara yang disampaikan dengan yang diterima oleh seseorang. Oleh karena itu, proses penerjemahan bahasa tidak semata-mata pengalihaksaraan melainkan juga pemindahan budaya secara tepat dengan padanan budaya dalam bahasa masyarakat asal bahasa dan penerima hasil terjemahan bahasa tersebut.

Budaya mencakup pola pikir masyarakat, baik yang tersirat maupun tersurat. “I define culture as the way of life and its manifestations that are peculiar to a cummunity that uses a particular language as its means of exression.” (Newmark,


(29)

1988:94). Budaya merupakan cara hidup suatu bangsa yang terbentuk karena pola pikir masyarakat yang meliputi kesenian, masyarakat, kepercayaan, adat, nilai-nilai, hasil penemuan, dan bahasa. Di dalam hal ini, bahasa menjadi bagian dari budaya sekaligus menjadi sarana penyampaian budaya, baik dengan menggunakan bahasa sumber maupun bahasa translasi

Di dalam hubungan bahasa dan budaya, di satu sisi bahasa merupakan objek kajian penerjemahan sedangkan di sisi lain bahasa merupakan bagian dari kebudayaan. Fenomena ini menunjukkan bahwa penerjemahan melibatkan unsur budaya, baik bahasa sumber maupun bahasa sasaran. Budaya penerjemah akan mempengaruhi hasil translasi, khususnya struktur translasinya. Itulah sebabnya ditemukan bahwa suatu ide yang sama tidak akan direalisasikan ke dalam struktur, khususnya Tema yang sama dalam bahasa yang berbeda. Hal ini dilatarbelakangi oleh adanya perbedaan budaya penutur bahasa tersebut, sehingga tidak bisa satu ide disampaikan dalam dua bahasa dengan struktur Tema yang sama. Hal inilah yang menjadi kendala ataupun kesulitan di dalam menerjemah. Dengan demikian, kemampuan menerjemah memerlukan pengetahuan dan wawasan yang luas tidak hanya mencakup aspek pengetahuan terhadap bahasa sumber dan bahasa sasaran tetapi juga budaya pemakai bahasa tersebut.

Ditinjau dari segi sejarah, menurut Newmark (1994:4), kegiatan penerjemahan telah dilakukan sejak 3000 SM, pada masa pemerintahan kerajaan Mesir Tua di daerah Riam Pertama, Elephantin, dengan ditemukannya batu-batu bersurat yang ditulis dalam dua bahasa. Pada 300 SM, penerjemahan menjadi kegiatan yang penting di


(30)

dunia Barat, khususnya orang-orang Roma yang menyerap unsur budaya Yunani, termasuk keagamaan mereka. Pada abad ke-12, dunia Barat berhubungan dengan Islam di Spanyol semasa kekuasaan bangsa Moor di Spanyol.

Hubungan Barat dengan Islam membawa pengaruh terhadap kegiatan translasi. Yusuf (1994:34-35) mengatakan bahwa sebelum Islam meluaskan pengaruh ke Eropa, maka Kota Baghdad menyandang julukan sebagai kota terjemah, tempat orang-orang dari Timur Tengah menerjemahkan karya-karya klasik Aristoteles, Plato, Hippocrates, dan lain-lain ke dalam bahasa Arab. Akan tetapi, penyerbuan bangsa Mongolia telah menghancurkan Baghdad, sehingga kegiatan ilmiah ini berpindah ke Eropa. Kota Toledo di Spanyol pun mendapat julukan sebagai kota para penerjemah, tempat naskah-naskah karya ilmuwan muslim diselamatkan dari kehancuran dan diterjemahkan ke dalam bahasa Latin.

Penerjemahan yang besar-besaran, baik di Baghdad maupun Toledo, memiliki perbedaan dalam hal bahasa dan budaya. Menurut Storig (1963) dalam Newmark (1994:3), kondisi seperti itu menimbulkan (1) perbedaan budaya dari segi nilai (budaya Barat lebih rendah tetapi suka mencari informasi secara objektif dan mudah menerima buah pikiran yang baru); dan, (2) hubungan dunia Barat dan Islam berterusan antara kedua bahasa.

Meskipun demikian, penerjemahan dari bahasa dan budaya yang satu ke dalam bahasa dan budaya yang lain tidak selamanya berlangsung baik. Newmark (1994:3) mengatakan bahwa penerjemahan Kitab Injil oleh Luther pada tahun 1522 telah meletakkan asas bagi bahasa Jerman modern dan terjemahan Kitab Injil King James


(31)

pada 1611 memberi pengaruh dalam mendorong bahasa dan sastra Inggris. Akan tetapi, Yusuf (1994:34) mengatakan bahwa penerjemahan Kitab Suci Perjanjian Baru ke dalam bahasa Latin pada tahun 384 mendapat tantangan dan tentangan dari sekelompok manusia yang tidak menyetujui penerjemahan dan penafsiran secara bebas. Bahkan, translasi Al Qur’an ke dalam bahasa Perancis dan bahasa lain di Eropa banyak yang tidak diakui kebenarannya oleh ulama Islam dan diminta oleh dinasti Muwahiddin untuk dimusnahkan. Hal itu karena penerjemahan kitab suci umat Islam tersebut tidak dikerjakan dari bahasa aslinya, melainkan bersumber dari terjemahan Jerman dan Italia.

Berbagai kasus dalam proses penerjemahan dan penerimaan masyarakat terhadap hasil penerjemahan telah menjadikan translasi atau penerjemahan menemukan bentuk yang lebih sistematis. Hal itu terlihat pada abad ke-20 yang menjadi ‘zaman penerjemahan’ atau ‘zaman penyalinan semula’. Pada abad ini penerjemahan merupakan kegiatan yag sangat penting mengingat peranan atau manfaatnya. Pertama, dalam ilmu pengetahuan (khususnya sastra dan bahasa). Kedua, dalam bidang politik, sejak adanya pembentukkan perserikatan atau organisasi antarbangsa. Ketiga, peningkatan teknologi yang berlipat ganda (dari segi paten, arahan pembuatan, perbahanan), usaha membawa masuk teknologi tersebut ke dalam negara-negara berkembang, penerbitan buku-buku yang sama secara serentak di berbagai negara, dan meningkatnya hubungan saling ketergantungan masyarakat dunia telah menimbulkan keperluan penerjemahan yang semakin bertambah.


(32)

Newmark (1994:4) membuktikan dalam tahun 1967, sebanyak 80.000 jurnal saintifik diterjemahkan setiap tahun. Sebagian penulis ‘antarbangsa’ mendapati karya mereka yang diterjemahkan mengalami perluasan pesan dibandingkan dengan karya asli mereka. Demikian juga di Italia dan beberapa negara kecil di Eropa, mereka bergantung hidup pada penerjemahan karya asli mereka selain hasil translasi yang dilakukan pada karya orang lain. Penerjemahan karya penulisan dalam bahasa-bahasa ‘sedikit’ terutama di negara-negara berkembang masih amat terbengkalai. Secara umum, penerjemahan pada masa ini dibicarakan dari segi (1) pertentangan antara translasi bebas dengan translasi harfiah dan (2) pertentangan antara kemustahilan sejadinya dengan keperluan mutlaknya.

Di dalam pertentangan translasi, Cicero (55 SM) dalam Newmark (1994:5) pertama kali memperjuangkan pendekatan dengan fokus pengertian lebih utama daripada perkataan dan menyatakan seorang penerjemah haruslah bersifat sebagai penafsir atau orang yang pintar menggunakan bahasa yang berkesan. Tylor (1790) dalam Newmark (1994:5) menulis buku pertama tentang pentingnya penerjemahan. Ia menyatakan bahwa satu-satuya translasi yang baik merupakan satu hasil yang dapat menyerap kebaikan/pesan karya asal ke dalam bahasa lain, sehingga dapat dipahami oleh penutur asli tersebut seolah-olah hasil translasi itu merupakan hasil asli dalam bahasa tersebut.

Newmark (1994:5) membagi para penerjemah abad ke-19 dalam dua kelompok. Kelompok pertama cenderung pada translasi yang harfiah sebagaimana dilakukan oleh Goethe (1813 dan 1814), Humboldt (1816), Novalis (1798)


(33)

Scheleirmacher (1813), dan Nietzshce (1882). Kelompok kedua lebih menyenangi gaya translasi yang mudah dan langsung sebagaimana dilakukan oleh Mattew Arnold (1928). Kegiatan penerjemahan abad 19 tersebut mendapat tantangan pada abad ke-20 karena Croce (1922), Ortegay Gassett (1937), dan Valery (1946) mempersoalkan apakah mungkin akan ada translasi yang memuaskan, terutama bagi karya puisi. Di antara kedua kelompok ini, Benjamin (1923) mencadangkan translasi harfiah dengan suatu ungkapan bermakna bahwa, “Ungkapan merupakan dinding yang menjadi benteng pemisah bagi bahasa asal, sedangkan translasi perkataan demi perkataan adalah lorongnya.” Inilah pandangan yang terdapat pada zaman translasi pralinguistik. Selanjutnya, dengan bertambahnya jumlah penerjemah dan kumpulan translasi, maka teori penerjemahan juga bertambah. Teori penerjemahan berpuncak pada bidang linguistik bandingan dan bidang linguistik itu sendiri.

Translasi dalam kaitannya dengan Tema dan Rema merupakan sumber untuk menentukan kaitan pemikiran, ide, atau makna. Tema menyatakan subjek wacana yang biasanya dirujuk atau berturutan secara logis terhadap ungkapan sebelumnya. Rema adalah unsur yang baru, predikat leksikal, yang memberi informasi tentang Tema. Pengenalan Tema dan Rema bergantung pada konteks yang lebih luas. Misalnya ungkapan “He discussed this subject” diterjemahkan “Dia membincangkan perkara ini,” adalah rentetan logis yang merupakan parafrase seperti “This subject offered him the opportunity he required for discussing it.“ (Perkara ini memberi peluang yang diperlukan olehnya untuk membincangkannya.) Dari segi leksikal, this subject, “perkara ini” adalah Tema dan he discussed “yang dibincangkannya” adalah


(34)

Rema. Dengan demikian, ada konflik di antara rentetan logis (“He discussed this subject”) dan bentuknya yang lebih berpadu mungkin berbentuk “This was the subject he discussed” yang perlu diselesaikan oleh penterjemah. Penerjemah perlu mempertimbangkan antara rentetan logis yaitu subjek/bernyawa, kata kerja, objek tepat yang tak bernyawa, yang jelas dan bebas konteks dan rentetan yang ditentukan oleh tekanan dan faktor kepaduan.

Dalam kaitannya dengan penjelasan Tema dan Rema dalam translasi di atas, penelitian ini juga berkonsentrasi pada tematisasi di dalam translasi bahasa Inggris dan Indonesia. Yang dikaji di dalam tematisasi ini adalah unsur Tema dan Rema yang terdapat di dalam teks dan translasinya. Unit bahasa yang terletak di awal klausa disebut sebagai Tema dan Rema terdapat sesudah Tema. Kajian tematisasi ini berdasarkan pada pengamatan dan pengalaman sebelumnya, ketika membaca berbagai teks, seringkali ditemukan pergeseran Tema dalam bahasa Inggris dan Indonesia di dalam translasinya. Hal inilah yang menjadikan peneliti tertarik meneliti pergeseran Tema ini.

Penelitian terhadap data diolah dengan menggunakan teori Systemic Functional Linguistics yang menyatakan bahwa bahasa berkaitan dengan konteksnya, saling menentukan teks dan merujuk kepada konteks. Hubungan teks dan konteks ini disebut dengan hubungan konstrual semiotik. Menurut Martin (1992) dalam Saragih (2006:226), hubungan teks dan konteks terjadi dalam konteks situasi (register), konteks budaya (genre) dan konteks ideologi (ideology). Menurut Saragih (2006:227), konteks yang paling konkret adalah konteks situasi karena berhubungan dengan teks,


(35)

sedangkan konteks yang sangat abstrak adalah konteks ideologi, dan di antara keduanya terdapat konteks budaya.

Systemic Functional Linguistics adalah suatu model tata bahasa yang dikembangkan oleh Michael Halliday pada 1960-an yang merupakan bagian dari sosial semiotik bahasa yang disebut pendekatan sistemik linguistik. Istilah “sistemik” mengacu pada pandangan tentang bahasa sebagai “suatu sistem jaringan, atau rangkaian yang saling terkait untuk membuat pilihan yang berarti” sedangkan istilah “fungsional” menunjukkan bahwa pendekatan ini berkaitan dengan konteks, praktis yang menggunakan bahasa berfokus pada komposisi semantik, sintaksis, dan kelas kata seperti kata benda dan kata kerja.

Berikut ini merupakan pendapat yang diutarakan oleh Halliday dan Hassan (1985:11) tentang teks.

A text is a form of exchange, and the fundamental form of text is dialougue of interaction between speakers. It means that every text is meaningful because it can be related to interaction among speakers, and ultimate to normal everyday spontaneous dialougue. In view of that, text is a product of envirenment, a product of a continous process of choices in meaning that can be represented in language.

(Teks adalah sebuah bentuk pertukaran dan bentuk teks yang fundamental adalah dialog interaksi antar pembicara. Ini berarti setiap teks memiliki makna karena bisa dihubungkan dengan interaksi antar pembicara dan satu-satunya alat bagi percakapan umum sehari-hari yang spontan. Oleh karena itu, teks merupakan produk lingkungan yang bisa diwakili dalam bahasa.)

Dengan demikian, untuk memahami jenis teks, seseorang harus terbiasa dengan ciri konteks situasi, yaitu konteks yang di dalamnya teks diekspresikan dan lingkungan tempat makna itu dipertukarkan. Di dalam hal ini, Halliday dan Hassan (1985:12) mengajukan suatu prinsip yang sesuai dalam menggambarkan konteks


(36)

situasi sebuah teks yang disebut dengan tiga ciri konteks situasi, yaitu medan wacana (field of discourse), pelibat wacana (tenor of discourse) dan sarana wacana (mode of discourse).

Penelitian ini dilakukan dengan berorientasi pada kompetensi tekstual. Kompetensi ini mengacu pada kemampuan mengenai bagaimana satu unit bahasa dirangkai dengan unit bahasa yang lainnya. Salah satu yang peneliti perhatikan dalam translasi ini adalah masalah perbedaan Tema dalam bahasa Indonesia dan Inggris tidaklah sama. Penelitian dilakukan dalam lima sumber teks yang berbeda agar mencapai hasil yang lebih representatif. Hal ini dilatarbelakangi oleh adanya kesulitan dalam penerjemahan dari bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran/target, sehingga diperlukan lebih dari satu teks dalam translasi dwibahasa untuk uji kelayakan kajian tematisasi dalam translasi bahasa Inggris-Indonesia).

Translasi sebagai fenomena bahasa dapat diaplikasikan secara khusus dalam beberapa jenis, sehingga dapat diminimalkan tingkat kesulitan penerjemahan suatu bahasa. Menurut Jakobson dalam Munday (2001:5), translasi itu sendiri bisa dikategorikan menjadi tiga jenis yang disebut translasi intralingual, interlingual, dan intersemiotik. Walaupun para ahli telah berusaha keras mencoba berbagai cara dan pendekatan dalam penerjemahan, namun usaha mereka belum memberikan solusi yang tepat bagi penerjemahan. Hal ini semakin menegaskan bahwa proses penerjemahan bukanlah proses yang mudah dan sederhana.

Soemarno (2003:1) menjelaskan bahwa ada beberapa faktor yang membuat aktivitas penerjemahan sulit dilakukan. Di antaranya adalah bahwa ilmu penerjemahan


(37)

merupakan ilmu interdisipliner. Ilmu ini memerlukan pengetahuan lain yang bersifat mendukung. Ilmu-ilmu tersebut misalnya ilmu budaya, sosiolinguistik, psikolinguistik, pengetahuan umum, dan sebagainya. Seorang penerjemah perlu membekali dirinya dengan ilmu tersebut, termasuk mempelajari perbedaan budaya sehingga bisa menghasilkan karya yang lebih bermutu dan produktif.

Kesulitan dalam melakukan aktivitas penerjemahan menghasilkan perbedaan hasil translasi. Perbedaan hasil translasi ini dijelaskan oleh Nababan (2003:56) yang menyatakan bahwa setiap bahasa mempunyai sistem sendiri. Jadi, tidak ada satu pun bahasa di dunia ini yang mempunyai sistem yang sama, baik ditinjau dari sudut struktur sintaksis, leksikal, dan morfem. Kalimat nominal bahasa Indonesia, misalnya, tidak selalu mewajibkan kata adalah. Kata adalah baru wajib hadir dalam suatu kalimat nominal bahasa Indonesia yang mengungkapkan suatu definisi, misalnya, “Bahasa adalah alat komunikasi.” Sebaliknya kehadiran to be (is, am, are, was, were) dalam bahasa Inggris merupakan keharusan, misalnya dalam kalimat nominal, “He is my brother”.

Demikian pula pada tataran frase, terdapat kesulitan pada penerjemahan unsur inti (head) dalam frasa nomina bahasa Indonesia. Menurut Nababan (1997:40-41), unsur inti tersebut pada umumnya hadir sebelum unsur pewatas atau penjelas (modifier), kecuali jika unsur pewatasnya berupa kata yang menunjukkan kuantitas atau jumlah seperti satu, dua, sebuah, sebutir, beberapa, dan lain sebagainya. Sebaliknya, unsur pewatas dalam frase nomina bahasa Inggris bisa hadir sebelum


(38)

(premodifier) dan setelah (postmodifier) unsur inti. Misalnya, the president of the country dan a very popular president of the United States.

Perbedaan struktur frase nomina bahasa Inggris dan bahasa Indonesia sebenarnya merupakan masalah-masalah di dalam penerjemahan. Belum lagi masalah penentuan makna suatu pewatas atau penjelas yang bentuk, fungsi, dan posisinya sama, namun makna atau konsepnya sangat berbeda satu sama lain. Misalnya, kata

walking dalam walking stick dan kata dalam running man mempunyai bentuk, fungsi, dan posisi yang sama tetapi berbeda dalam hal makna dan konsep. Menurut Nababan (1997:41) masing-masing kata itu dibangun dari kata kerja plus –ing dan terletak sebelum unsur inti. Kata walking dalam walking stick menjelaskan kegunaan atau fungsi unsur inti stick (stick for walking), sedangkan kata running dalam frase running man menjelaskan sifat atau suatu aktivitas yang dilakukan oleh unsur inti man (man who is walking).

Pada hakikatnya terjemahan juga merupakan pengungkapan sebuah makna yang dikomunikasikan dalam bahasa sumber ke dalam bahasa target sesuai dengan makna yang dikandung dalam bahasa sumber. Perspektif tersebut menjadikan penerjemahan suatu fenomena yang tidak sederhana. Penerjemahan muncul tidak saja sebagai pengalihan kode (transcoding) atau sistem bahasa (struktur luar) tetapi juga pengalihan makna (apa di balik struktur luar). Fitur-fitur umum yang dimiliki oleh translasi adalah pengertian (a) adanya pengalihan bahasa (dari bahasa sumber ke bahasa target); (b) adanya pengalihan isi (content); dan, (c) adanya keharusan atau tuntutan untuk menemukan padanan yang mempertahankan fitur-fitur keasliannya


(39)

Karena bahasa merupakan bagian dari kebudayaan maka penerjemahan tidak saja bisa dipahami sebagai pengalihan bentuk dan makna tetapi juga budaya. Konsekuensinya, penerjemahan sebagai bentuk komunikasi tidak saja dapat mengalami hambatan kebahasaan tetapi juga hambatan dari segi budaya.

Komunikasi antarbudaya tidak selalu mudah dan tergantung pada besarnya perbedaan antara kebudayaan yang bersangkutan. Walaupun secara teoritis penerjemahan tidak mungkin dilaksanakan akibat di samping adanya perbedaan sistem dan struktur juga semantik serta kebudayaan yang melatarbelakanginya, namun secara praktik kegiatan penerjemahan sampai batas-batas tertentu bisa dilakukan dengan cara mencari dan menemukan padanan di dalam bahasa target. Hal ini dimungkinkan akibat adanya sifat-sifat universal bahasa serta konvergensi kebudayaan-kebudayaan di dunia (Hoed, 1992:80). Individu yang berbeda akan memberikan respon yang berbeda terhadap objek yang sama. Hasil terjemahan oleh dua orang yang berbeda, sampai batas-batas tertentu, akan berbeda pula. Perbedaan ini bisa disebabkan oleh berbagai faktor, misalnya karena adanya perbedaan perspektif dalam menangkap dunia bahasa sumber, kemampuan dan kreativitas berbahasa, pemahaman (lintas) budaya, pengetahuan penerjemah serta sasaran hasil terjemahan (target reader) yang ingin dituju.

Bertolak dari gagasan bahwa bahasa merupakan lambang lisan dan tertulis suatu kebudayaan, maka tidak ada bahasa yang tidak sempurna untuk mengungkapkan kebudayaannya (Moeliono, 1995:1). Suatu pikiran, gagasan atau pesan tentu saja dapat diungkapkan dalam bahasa apapun yang digunakan oleh berbagai suku bangsa. Ini


(40)

berarti bahwa suatu pikiran, gagasan, atau pesan yang diungkapkan dalam suatu bahasa semestinya dapat pula diungkapkan atau dialihkan ke dalam bahasa lain. Dengan demikian, secara umum dapat dikatakan bahwa pikiran, gagasan, atau pesan yang diungkapkan dalam suatu bahasa dapat pula diterjemahkan ke dalam bahasa lain. Walaupun secara teoritis kesepadanan bisa dicapai akibat adanya sifat universal bahasa dan konvergensi budaya, tetapi fakta menunjukkan, bahwa suatu bahasa (target) digunakan oleh penutur yang memiliki suatu budaya sering amat berbeda dengan budaya penutur bahasa lain (sumber), sehingga sulit menemukan padanan leksikalnya. Untuk menangani masalah kesenjangan atau perbedaan (mismatch) ini perlu dilakukan penyesuaian (adjustment). Penyesuaian ini memerlukan suatu strategi yang sangat ditentukan oleh kompetensi penerjemah, metode penerjemahan, dan sasaran terjemahan.

Metode penerjemahan berkenaan dengan keseluruhan teks sedangkan prosedur berlaku untuk kalimat dan satuan-satuan bahasa yang lebih kecil (seperti klausa, frase, kata). Oleh karena itu, Baker (1991:17) menilai pilihan padanan selalu tergantung tidak hanya pada sistem bahasa atau sistem yang sedang ditangani oleh seorang penerjemah, tetapi juga pada bagaimana cara, baik penulis teks sumber maupun penerjemah, memanipulasi sistem bahasa bersangkutan. Dalam hal ini, penerjemahan menjadi tidak bisa terlepas dari campur tangan penerjemah dan memiliki dinamika.

Berdasarkan penjelasan di atas, penelitian ini menggunakan teori Linguistics Functional Systemic. Dengan teori tersebut, di dalam penelitian ini dibahas tentang tematisasi dalam lima teks bilingual (Bahasa Inggris dan Indonesia) yang berasal dari


(41)

sumber yang berbeda. Lima teks bahasa Inggris dan Indonesia dikaji berdasarkan perbedaan pada unsur Tema yang ditemukan dalam kelima sumber data tersebut. Jadi, dalam proses kajian ini akan melibatkan fungsi bahasa tekstual serta juga melibatkan konteks bahasa seperti konteks situasi [medan wacana (field of discourse), pelibat wacana (tenor of discourse), dan sarana wacana (mode of discourse)], budaya, dan ideologi. Dengan demikian, kajian teks ini berkonsentrasi pada kajian struktur Tema (Tematisasi atau Penemaan) dalam kaitannya dengan konteks tersebut. Dengan memahami peran konteks di dalam memahami makna teks, maka akan dapat membantu proses penerjemahan baik yang intralingual khususnya, maupun penerjemahan interlingual (bilingual dan multilingual).

1.4 Fokus Penelitian

Penelitian ini difokuskan pada fungsi tekstual Tema dan Rema dalam lima sumber tulisan dalam dua bahasa Inggris-Indonesia. Kelima sumber tulisan yang menjadi data penelitian ini tertera di bawah ini.

(1) Dua teks dalam British Council (edisi Oktober-Desember 2007). (2) Satu teks pidato politik dalam Foreign Affairs (23 Mei 1994). (3) Satu teks tentang teknologi dalam Connexions (2007).

(4) Tiga teks dalam Majalah Pelangi (1993).

(5) Satu Ceramah dalam buku Pidato 3 Bahasa oleh M.Azar (2007).

Tema yang berupa unit kata atau frase dalam tiap-tiap klausa diidentifikasi berdasarkan jenis-jenisnya, yaitu Tema sederhana dan Tema kompleks. Tema


(42)

kompleks terbagi atas Tema Tekstual, Topikal, dan Antarpersona. Selain itu, Tema juga diidentifikasi berdasarkan Tema Tunggal-Bermarkah, Tunggal tidak Bermarkah, Majemuk Bermarkah dan Majemuk tidak Bermarkah dengan menggunakan teori

Systemic Functional Linguistics yang diajukan oleh Halliday. Selanjutnya, dalam tataran sintaksis, Tema dianalisis pergeserannya dalam bahasa Indonesia dan Inggris.

1.3 Pembatasan Masalah

Masalah dalam penelitian ini dibatasi dalam hal Tema yang dominan terdapat dalam teks bahasa Inggris-Indonesia dan translasinya. Selain itu juga akan dibahas masalah pergeseran Tema dalam dua teks berbahasa Inggris dan Indonesia tersebut, sehingga dapat dijawab masalah pergeseran Tema apa saja yang terdapat di dalam dua teks bahasa tersebut. Selanjutnya, masalah mengapa terjadi pergeseran itu juga menjadi bagian dari penjelasan dalam penelitian ini.

1.4 Rumusan Masalah

Masalah yang akan dijawab dalam penelitian ini dirumuskan dalam empat hal sebagai berikut.

(1) Jenis Tema apakah yang dominan dalam teks translasi bahasa Indonesia-Inggris/Inggris-Indonesia?

(2) Pergeseran jenis Tema apakah yang dominan dalam teks translasi bahasa Indonesia-Inggris/Inggris-Indonesia?


(43)

(3) Faktor-faktor apakah yang mendorong terjadinya dominasi jenis Tema tersebut?

1.5 Tujuan Penelitian

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi, menjelaskan dan membahas beberapa hal di bawah ini.

(1) Tema yang dominan dalam translasi teks bahasa Indonesia ke dalam bahasa Inggris, dan teks bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia.

(2) Jenis-jenis pergeseran Tema dominan teks bahasa Inggris ke teks bahasa Indonesia sebagai translasinya.

(3) Faktor penyebab terjadinya pergeseran Tema dalam teks bahasa Inggris dan Indonesia tersebut.

1.6 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai,

(1) masukan bagi para penerjemah atau yang berminat dalam penerjemahan dan ilmu analisis wacana;

(2) deskripsi struktur penerjemahan dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa Inggris; dan,

(3) kajian lanjut analisis wacana, khususnya terhadap kajian Tema dan Rema dengan teori Systemic Functional Linguistics.


(44)

1.8 Klarifikasi Istilah

Terdapat beberapa istilah yang digunakan dalam penelitian ini. Untuk dapat memperjelas penggunaan istilah tersebut dan untuk lebih memudahkan pembaca memahami maksud istilah tersebut, berikut ini diberikan penjelasan tentang istilah-istilah yang dipakai dalam pembahasan hasil penelitian ini.

(1) Tematisasi (Thematization)

Tematisasi adalah proses pengaturan unit-unit bahasa sedemikian rupa sehingga penegasan atau penekanan terletak pada tempat yang wajar dalam kalimat.

(2) Tema (Theme)

Tema adalah titik awal pesan dalam satu unit klausa. Tema dalam bahasa Inggris dan Indonesia direalisasikan oleh unsur pertama atau bagian terdepan dallam klausa (the starting point of a message).

(3) Rema (Rheme)

Rema adalah unsur yang terdapat sesudah Tema. (4) Tema Bermarkah (Unmarked Theme)

Tema Bermarkah yaitu Tema yang berupa nomina (students), frase nomina (London Bridge) dan pronomina (I, you, she, he) yang pada saat yang sama berfungsi sebagai subjek.

(5) Tema Tak Bermarkah (Marked Theme)

Tema Tak Bermarkah adalah Tema yang berupa frase adverba (merrily), dan frase preposisi (in spring) yang tidak berfungsi sebagai subjek tetapi adjunct,


(45)

ataupun frase nomina (what they could not eat that night) yang berfungsi sebagai komplemen.

(6) Tema Sederhana (Simple Theme)

Tema Sederhana atau Tema Dasar merujuk pada satu unit fungsi saja yang berfungsi sebagai Tema dalam klausa. Unit bahasa ini bisa berupa partisipan, proses ataupun sirkumstan. Tema sederhana ini di dalam analisisnya cukup dinamakan Tema saja.

(7) Tema Kompleks (Complex Theme)

Tema Kompleks mengindikasikan Tema yang klausa ditemukan lebih dari satu unit bahasa yang berfungsi sebagai Tema. Tema kompleks ini di bagi ke dalam tiga jenis yaitu Tema Tekstual, Tema Antarpersona, dan Tema Topikal.

a. Tema Tekstual (Textual Theme)

Tema Tekstual adalah Tema yang mencakupi,

(a) penghubung (misalnya: walaupun demikian, karena itu); (b) konjungsi (misalnya: dan, atau, tetapi);

(c) penerus (continuative) (misalnya: oh, baik, ya, mm…mmm, e…e.., a…aa); dan,

(d) kata ganti relatif (relative pronoun) (misalnya: yang, yang…-nya). b. Tema Antarpersona (Interpersonal Theme)

Tema Antarpersona merujuk pada Tema berupa,

(a) vokatif yaitu nama orang atau objek yang pernyataan itu ditujukan kepadanya;


(46)

(b) keterangan modus berfungsi memberi tanggapan pribadi, misalnya:

sebaiknya, sesungguhnya, sejauh ini:

(c) pemarkah pertanyaan, misalnya: apakah; dan,

(d) kata tanya pertanyaan informasi, misalnya: kapan, mengapa, di mana,

siapa. Kata tanya ini dipakai dalam modus interogatif. c. Tema Topikal (Topical Theme)

Tema Topikal yakni Tema yang berupa Proses, Partisipan, atau Sirkumstan. Dikatakan Tema Topikal karena ada lebih dari satu unit bahasa yang berupa proses, partisipan, atau sirkumstan yang ditemukan dalam klausa.

(8) Tema Tunggal (Singular Theme)

Tema Tunggal merujuk pada Tema yang terdapat di dalam klausa berbentuk tunggal.

(9) Tema Majemuk (Plural Theme)


(47)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA TEORI,

DAN KONSTRUK ANALISIS

2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Kajian Tematisasi

Kajian tentang Tema atau struktur Tema sudah dimulai sejak abad ke-19. Pada waktu itu pakar linguistik Weil (1818-1909) mengkaji titik awal sebuah ujaran yang diikuti dengan urutan pernyataan pesan yang mengikuti klausa dalam wacana. Pelopor dalam kajian tema yang terkenal adalah Vilem Mathesius (1882-1945) pakar linguistik aliran Praha. Kajian Mathesius dikenal sebagai kajian struktural tentang topik dan fokus yang maksudnya sama dengan Tema dan Rema. Tema merupakan topik yang dibicarakan dan rema adalah fokus penjelasan tentang Tema. (Sinar, 2009).

Brown dan Yule (1983:133-134) juga mengungkapkan tentang tematisasi dalam linieritas pengorganisasian teks. Ia mengatakan “Thematization and Staging” dengan pernyataan sebagai berikut, “...thematization as a discoursal rather than simply a sentential process. What the speaker or writer puts first will influence the interpretation of everything that follows.”

Berdasarkan kutipan di atas dinyatakan bahwa tematisasi sebagai wacana lebih dari sekedar proses kalimat. Apa yang pembicara dan penulis letakkan pertama kali akan mempengaruhi interpretasi berikutnya. Sementara itu mengenai “Staging”, ia mengemukakan bahasa, “A more general, more inclusive term than thematization


(48)

(which refers only to the linear organization of texts) is ‘Staging”. (Brown dan Yule, 1983:134). “Staging” merupakan istilah yang lebih umum dan inklusif daripada tematisasi (yang merujuk hanya pada susunan linear teks).

Dalam penelitian ini, tematisasi yang dikaji adalah Tema dengan menggunakan teori Systemic Functional Linguistics yang diajukan oleh Halliday. Halliday (1994:38) mendefinisikan Tema sebagai berikut.

The Theme is one element in a particular structural configuration which, taken as a whole, organized the clause as a message; this is the configuration of Theme + Rheme. A message consists of a Theme combined with a Rheme. Within that configuration, the Theme is the starting-point for the message; it is the ground from which the clause is taking off.

(Tema adalah satu unsur di dalam konfigurasi struktural tertentu yang secara keseluruhan mengorganisir klausa sebagai pesan; Ini adalah konfigurasi Tema + Rema. Sebuah pesan terdiri atas sebuah Tema yang dikombinasikan dengan Rema. Di dalam konfigurasi ini, Tema sebagai titik awal keberangkatan pesan tersebut; Itu adalah dasar berlepasnya sebuah klausa)

Kajian tematisasi ini muncul dari adanya pemahaman bahwa bahasa berfungsi untuk menyampaikan pesan. Pesan ini disampaikan secara bersistem. Hal ini menunjukkan bahwa bahasa mempunyai aturan agar dapat menyampaikan pesan dengan susunan yang baik dan teratur. Fungsi bahasa ini disebut fungsi tekstual di mana Tema merupakan titik awal dari satu pesan (the starting point of the message) yang terealisasi dalam klausa.

Di dalam bahasa Inggris dan Indonesia, Tema ditandai dengan posisi di awal klausa atau unsur paling depan dari klausa. Tema dinyatakan dengan unsur pertama klausa sedangkan unsur klausa sesudah Tema disebut Rema (Saragih, 2007:8).


(49)

Figura 2.1: Posisi Tema dan Rema dalam Teks

Theme:

Point of departure of clause as a message; local context of clause as a piece of text

Initial position in the clause

Rheme:

Non-Theme – where the presentation moves after the point of departure, what is presented in the local context set up by theme

Position following initial position

Tema dari segi bentuknya dapat berupa partisipan, proses ataupun sirkumstan berbentuk kata, frasa, maupun kalimat. Jika hanya ada satu unsur dalam klausa yang berpotensi menjadi Tema maka unsur tersebut disebut Tema sederhana dan dilabeli dengan nama “Tema”. Sebaliknya, jika di dalam sebuah klausa terdapat lebih dari satu unsur yang berpotensi menjadi Tema, maka dikatakan Tema tersebut sebagai Tema kompleks.

Menurut Saragih (2006:112-114), Tema kompleks dibagi atas tiga jenis yaitu (1) Tema Tekstual, (2) Tema Antarpersona dan (3) Tema Topikal. Tema Topikal adalah unsur pertama representasi pengalaman. Ini berarti bahwa Tema Topikal dapat berupa proses, partisipan, atau sirkumstan. Jika di dalam satu klausa hanya terdapat satu Tema atau Tema sederhana maka Tema itu cukup diberi label Tema bukan Tema Topikal.

Selanjutnya, Saragih (2007:47) menjelaskan Tema dapat diidentifikasi berdasarkan kompleksitasnya dan kebermarkahannya. Kompleksitas terdiri dari Tunggal (single) dan Majemuk (multiple). Kebermarkahan terdiri dari Bermarkah (unmarked) dan tidak Bermarkah (marked), seperti terlihat di bawah ini.


(50)

Figura 2.2: Klasifikasi Tema Berdasarkan Komplesitas dan Kebermarkahannya

Kompleksitas

Tunggal Majemuk Tunggal –

Bermarkah

Majemuk – Bermarkah

Kebermarkahan: Bermarkah

Tidak Bermarkah Tunggal tidak Bermarkah

Majemuk – tidak Bermarkah

2.1.2 Kajian Translasi dan Penerjemah

Proses pengalihan pesan teks bahasa sumber dipengaruhi oleh budaya penerjemah, yang tercermin dari cara seseorang dalam memahami, memandang, dan mengungkapkan pesan itu melalui bahasa yang digunakan. Pengalihan pesan dalam proses penerjemahan selalu ditandai oleh perbedaan budaya bahasa sumber dan bahasa sasaran. Perbedaan ini secara langsung akan menempatkan penerjemah pada posisi yang dilematis. Di satu sisi penerjemah harus mengalihkan pesan teks bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran secara akurat. Di sisi lain dan dalam banyak kasus penerjemah harus menemukan padanan yang tidak mungkin ada dalam bahasa sasaran.

Pada hakekatnya, teori translasi sudah menyediakan pedoman untuk mengatasi masalah-masalah penerjemah. Namun, sebagai pedoman umum, teori translasi tidak selalu dapat diterapkan untuk memecahkan persoalan letak terjemahan yang timbul dalam peristiwa komunikasi interlingual tertentu. Bahkan, suatu padanan untuk suatu ungkapan dalam bahasa sumber yang sudah lazim digunakan, diterima dan dianggap


(51)

benar oleh pembaca teks bahasa sasaran, apabila dianalisis secara mendalam, bukan merupakan padanan yang benar.

Pada hakikatnya kajian translasi menitikberatkan proses menerjemahkan berarti mengalihkan pesan yang terdapat dalam bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran sedemikian rupa sehingga orang yang membaca atau mendengar pesan itu dalam bahasa sasaran kesannya sama dengan orang yang membaca pesan itu dalam bahasa sumber (Nida, 1976). Sebelumnya, Nida (1964) juga menyatakan bahwa translasi yang sempurna adalah yang bisa menciptakan efek sebagaimana teks aslinya. Ahli lainnya (Catford,1974) menyatakan penerjemahan adalah pemindahan materi teks bahasa sumber yang berekuivalen dengan materi teks pada bahasa sasaran. Mohanty dalam Dollerup dan Lindegaard, (1994) menyatakan bahwa penerjemahan bukan hanya aktivitas bilingual tetapi juga pada saat yang bersamaan adalah aktivitas bi-kultural. Pernyataan ini mengandung perngertian bahwa penerjemahan bukan hanya menerjemahkan bahasa tetapi sekaligus transfer budaya.

Al Zouby dan Al Asnawi (2001) mendefinisikan pergeseran (shift) sebagai tindakan wajib yang disebabkan oleh adanya perbedaan struktur dua bahasa yang terlibat dalam penerjemahan dan tindakan opsional yang ditentukan oleh preferensi personal dan stilistik yang dilakukan secara sadar untuk menghasilkan translasi yang alamiah dan komunikatif dari bahasa sumber ke dalam bahasa sasraran. Mereka membedakan pergeeran ke dalam dua jenis yakni pergeseran mikro (micro shift) dan pergeseran makro (macro shift). Pergeseran mikro bisa berwujud pergeseran vertikal yang mengarah ke atas jika unit bahasa sumber disubtitusi dengan unit yang lebih


(52)

tinggi ‘rank’nya atau mengarah ke bawah jika unit bahasa sumber disubtitusi dengan unit yang lebih rendah ‘rank’nya, sedangkan pergeseran horizontal adalah jika padanan dalam bahasa sumber berada pada ‘rank’ yang sama dengan bahasa sasaran. Pergeseran makro melibatkan semua variabel tekstur, budaya, gaya dan retorik yang memungkinkan terjadinya pergeseran pada tataran selain tataran sintaksis. Zellermeyer (1987) menjelaskan bahwa pergeseran (shift) dalam penerjemahan sebagai ‘metamessages’. Pergeseran dapat terjadi karena adanya penambahan (addition), penghilangan (delition), substitusi (substitution) dan penyusunan kembali (reordering).

Penerjemahan teks selalu terkait erat dengan masalah budaya. Pemahaman budaya agar dapat menerjemahkan teks sangat diperlukan. Masyarakat mempunyai budaya yang berbeda sehingga diperlukan pemahaman budaya masyakarat tersebut sehingga teks dapat diterjemahkan sesuai dengan makna yang terdapat dalam bahasa sumber. Penerjemah merupakan proses pengalihan pesan teks bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran. Tujuan praktis dari proses pengalihan pesan itu adalah untuk membantu pembaca teks bahasa sasaran dalam memahami pesan yang dimaksudkan oleh penuli asli teks bahasa sumber. Tugas pengalihan ini menempatkan penerjemah pada posisi yang sangat penting dalam menyebarluaskan ilmu pengetahuan dan teknologi. Apabila ilmu pnegetahuan dan teknologi dipahami sebagai bagian dari budaya, secara tidak langsung penerjemah turut serta dalam proses alih budaya.

Ada terjemahan yang sudah secara setia menyampaikan pesan teks bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran, tetapi bahasa yang digunakan tidak bisa dipahami


(53)

oleh pembaca dengan baik. Ada pula terjemahan yang tampak “cantik” dan wajar, tetapi pesannya menyimpang jauh dari pesan teks aslinya. Jika kasus seperti ini sering terjadi, tujuan praktis penerjemahan tidak tercapai dengan baik. Terjemahan yang demikian dianggap telah menghianati tidak hanya penulis teks asli tetapi juga pembaca teks terjemahan (Damono, 2003).

Terjemahan merupakan alat komunikasi. Sebagai alat komunikasi, terjemahan mempunyai tujuan komunikatif, dan tujuan komunikatif itu ditetapkan oleh penulis teks bahasa sumber, penerjeman sebagai mediator, dan pembaca teks bahasa sasaran. Penetapan tujuan itu sangat dipengaruhi oleh konteks sosial dan budaya serta ideologi penulis teks bahasa sumber, penerjemah, pembaca teks bahasa sasaran (Nababan, 2004).

Apa yang dimaksud dengan budaya? Dalam ruang lingkup Studi Penerjemahan, budaya mempunyai pengertian yang sangat luas dan menyangkut semua aspek kehidupan manusia yang dipengaruhi oleh aspek sosial (Snell-Hornby, 1995). Konsep budaya ini didefinisikan oleh Gohring (1977), dan Newmark (1988) sebagai berikut.

As I see it, a society’s culture consists of whatever it is one has to know or believe in order to operate in a manner acceptable to its members, and do so in any role that they accept for any one of themselves. Culture, being what people have to learn as distinct from their biological heritage, must consist of the end product of learning : knowledge, in a most general, if relative, sense of the term. By this definition, we should note that culture is not a material phenomenon; it does not consists of things, people, behavior, or emotions. It is rather an organization of these things. It is the forms of things that people have in mind, their models fro perceiving, relating, and otherwisw interpreting them. As such, the things people say and do, their social arrangements and events, are products or by-products of their culture as they apply it to the task of perceiving and dealing with their circumstances. To one


(54)

who knows their culture, these things and events are also signs signifying the cultural forms or models of which they are materail presentations....

(Goodenough, 1964).

Culture is everything one needs to know, master and feel in order to judge where people’s behavior conforms to or deviates from what is expected from them in their social roles, and in order to make one’s own behavior conform to the expectations of the society concerned-unless one is prepared to take the consequences of deviant behavior. (Gohring dalam Snell-Hornby, 1995).

The way of life and its manifestations that are perculiar to a community taht uses a particular language as its means of expressions. (Newmark, 1988)

Dari definisi budaya di atas dapat ditarik empat hal pokok. Pertama, budaya merupakan totalitas pengetahuan, penguasaan dan persepsi. Kedua, budaya mempunyai hubungan yang erat dengan prilaku (tindakan) dan peristiwa atau kegiatan. Ketiga, budaya tergantung pada harapan dan norma yang berlaku dimasyarakat. Keempat, pengetahuan, penguasaan, persepsi, perilaku kita terhadap sesuatu diwujudkan melalui bahasa. Oleh karena itu, bahasa merupakan ungkapan tentang budaya dan diri penutur, yang memahami dunia melalui bahasa.

Konsep bahwa bahasa adalah budaya dan budaya diwujudkan melalui perilaku kebahasaan dapat pula diterapkan dan dikaitkan pada bidang penerjemahan. House (2002) berpendapat bahwa seseorang tidak menerjemahkan bahasa tetapi budaya, dan dalam penerjemahan kita mengalihkan budaya bukan bahasa. Pendapat ini sejalan dengan pandangan bahwa budaya merupakan suatu terjemahan, bukan kata, frase, klausa, paragraf atau teks yang seharusnya mendapatkan perhatian yang serius dari penerjemah.


(55)

2.2 Kerangka Teori

“Teori bahasa memiliki cara yang beragam dalam melihat fenomena bahasa” (Sinar, 2003:13). Di dalam penelitian ini, teori bahasa yang akan digunakan adalah teori Systemic Functional Linguistics dan teori translasi. Oleh karena itu, bab ini akan menjelaskan kedua teori tersebut, yaitu teori Translasi yang dikemukakan oleh Larson dan Catford dan teori Systemic Functional Linguistics yang dikemukakan oleh Halliday. Teori-teori itu dilengkapi oleh model-model penerjemahan yang relevan dengan penelitian ini.

Secara sistematis, teori yang digunakan peneliti dalam translasi dwibahasa: Inggris-Indonesia dapat diklasifikasikan sebagai-berikut.

(1) Kerangka Teori

(2) Teori Translasi dan Penerjemahan (3) Model-model Penerjemahan

(4) Alasan Memilih Teori Translasi Larson dan Catford (5) Kerangka Konsep Pergeseran dalam Translasi (6) Teori Systemic Functional Linguistics

(7) Alasan Memilih Teori Systemic Functional Linguistics

(8) Berbagai Model Systemic Functional Linguistics

(9) Kerangka Konsep Systemic Functional Linguistics

(10) Metafungsi Bahasa (11) Orientasi Teoritis (12) Penelitian Sebelumnya


(56)

(13) Konstruk Analisis

2.3 Teori Translasi dan Penerjemahan

Pada penelitian ini perlu dibedakan antara kata ‘translasi’ dan ‘penerjemahan’. Kata ‘penerjemahan’ mengandung pengertian proses alih pesan, sedangkan kata ‘translasi’ sebagai padanan kata ‘translation’ artinya hasil dari suatu penerjemahan (Nababan, 2003:18). Di dalam penelitian ini, peneliti menggunakan istilah translasi untuk hasil penerjemahan dan istilah penerjemahan untuk proses alih pesan dalam translasi.

Berdasarkan pengertian di atas, menerjemahan berarti mengalihkan pesan yang terdapat dalam bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran sedemikian rupa sehingga orang yang membaca atau mendengar pesan itu dalam bahasa sasaran kesannya sama dengan orang yang membaca pesan itu dalam bahasa sumber. Hal ini sesuai dengan pendapat Nida (1976) dalam Hanafi (1986:25) yang mengatakan bahwa, “Translating consist in producing in the receptor language the closest natural equivalent to the message of the source language, fist in meaning and secondly in style.” Hal ini berarti, di dalam kajian translasi harus dicari padanan yang paling dekat dengan bahasa penerima terhadap bahasa sumber, baik dalam hal makna maupun gaya bahasanya.

Sejalan dengan pendapat di atas, Catford (1965) dalam Nababan (2003:19) menyatakan penerjemahan adalah pemindahan materi teks bahasa sumber yang berekuivalen dengan materi teks pada bahasa sasaran. Di dalam proses alih pesan tersebut, terdapat faktor linguistik dan budaya. Steiner (1994:103) mengatakan,


(57)

Translation can be seen as (co) generation of text under specific contraints that is relative stability of some situasional factorand, therefore, register, and, classically, change of language and (context of) culture”. Di dalam hal ini, faktor situasi, budaya, dan perubahan bahasa sumber dan bahasa sasaran menjadi hal-hal yang menjadi perhatian penerjemah. Dengan demikian, penerjemahan bukan hanya aktivitas bilingual tetapi juga pada saat yang bersamaan adalah aktivitas bi-kultural. Pernyataan ini mengandung perngertian bahwa penerjemahan bukan hanya menerjemahkan bahasa tetapi sekaligus transfer budaya.

Jacobson dalam artikelnya “On Linguistic Aspecct of Translation” (1959) dalam Shuttlewarth dan Cowie (1997:82-88), menyatakan translasi dapat dibagi menjadi tiga jenis berikut ini.

a. Intralingual Translation (Translasi Intralingual) yaitu penerjemahan yang hanya melibatkan satu bahasa (bahasa yang sama) saja dalam prosesnya.

b. Interlingual Tranlation (Translasi Interlingual) yaitu penerjemahan yang melibatkan dua bahasa yang berbeda.

c. Intersemiotic Translation (Translasi Intersemiotik) yaitu penerjemahan suatu simbol yang mempunyai makna ke dalam simbol lain yang juga mempunyai makna yang sama.

Esksistensi translasi yang dikemukakan oleh Jakobson (1959:232-239) di atas dapat diklasifikasikan pada konteks translasi bahasa Indonesia sebagaimana terlihat dalam figura berikut ini.


(58)

Figura 2.3: Klasifikasi Eksistensi Translasi

Translasi

Kebahasaan Nonkebahasaan Kebahasaan/ Non-kebahasaan

Intra-kebahasaan Inter-kebahasaan

Translasi ekabahasa

Translasi multibahasa

Translasi dwibahasa

Translasi Bahasa Indonesia-Belanda

Translasi Bahasa Indonesia-Inggris

dan sebagainya

Dari ketiga klasifikasi yang dinyatakan oleh Jacobson tersebut, penelitian ini berkonsentrasi pada jenis translasi kedua, yaitu interlingual translation, tepatnya antara dua bahasa yang berbeda yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Bahasa Indonesia


(59)

merupakan bahasa regional penduduk terbesar di Asia Tenggara sedangkan bahasa Inggris merupakan bahasa internasional yang berasal dari kawasan Eropa Barat.

Menurut Tou (1997:27) konsep penerjemahan dapat dibedakan atas tiga hal, yaitu (1) teori fenomena, (2) fenomena studi, dan (3) praktik atau kegiatan mengerjakan fenomena tersebut. Skema berikut diciptakan untuk memberikan gambaran yang lebih jelas tentang konsep yang diadopsi seorang peneliti. Sebagai fenomena studi, penerjemahan bisa diklasifikasikan ke dalam tiga kategori berbeda, yaitu penerjemahan sebagai fenomena bahasa, penerjemahan sebagai fenomena bukan bahasa, dan penerjemahan sebagai fenomena bahasa/bukan bahasa.

Figura 2.4: Skema Penerjemahan (Adaptasi dari Choliludin, 2007:21) TEORI FENOMENA

- teori penerjemahan - translatologi - ilmu penerjemahan - translatik

- kajian penerjemahan

FENOMENA STUDI

PENERJEMAHAN Fenomena bahasa Intralingual

- penerjemahan monolingual Penerjemahan Interlingual - penerjemahan bilingual - penrjemahan multilingual Penerjemahan Intersemiotik - fenomena bukan bahasa

- fenomena bahasa/bukan bahasa


(60)

Pada hakikatnya, penerjemahan mencakup pemakaian dua bahasa dengan ide atau makna yang sama (Beekman dan Callow, 1974:58-59). Oleh karena itu, penerjemahan yang benar adalah penerjemahan yang dapat mentransfer makna dari bahasa sumber ke bahasa sasaran. Kemampuan menerjemah selain berkaitan dengan kemampuan menguasai kosa kata, struktur bahasa juga harus dapat memahami situasi komunikasi dan konteks budaya bahasa sumber, sehingga dapat mentransfer ke dalam kosa kata, struktur, dan konteks budaya bahasa sasaran (Larson, 1984:15).

Sejalan dengan pendapat di atas, translasi dan penerjemahan berhubungan erat dengan cara memahami bahasa. Menurut Halliday dan Hasan (1985:5-8), cara memahami bahasa terletak pada kajian sebuah teks yang memiliki konteks di dalamnya. Maka dalam proses yang sama, konteks dan teks adalah aspek. Gagasan tentang sesuatu yang menyertai teks yang melewati batas, yang dikatakan dan ditulis meliputi nonverbal lain yang muncul dalam lingkungan total yang diungkap. Maka, lingkungan total yang berlaku sebagai penghubung antara teks dan situasi yaitu tempat teks yang sebenarnya itu muncul dan ini disebut konteks situasi.

Setiap teks, baik lisan maupun tulisan, mengungkap makna dalam konteks penggunaannya. Oleh karena itu, bahasa dalam hubungannya dengan struktur sosial menimbulkan konsekuensi untuk menggambarkan konteks yang diperankan bahasa. Contoh fenomena ini sering dialami oleh Bronislaw Malinowski. Malinowski menghadapi masalah cara menerjemahkan atau menyampaikan pikirannya tentang bahasa dan budaya Kariwian di Pulau Trobriand pada para pembaca penutur bahasa Inggris. Budaya yang dia pelajari berbeda dengan budaya orang inggris. Malinowski


(61)

kemudian mengadopsi berbagai metode. Pada tahap ini, dia memperkenalkan konsep konteks situasi dan konteks budaya; dan dia menganggap bahwa keduanya sama-sama penting bagi pemahaman terhadap sebuah teks sebelum menerjemahkannnya

Di dalam proses penerjemahan, penerjemah hanyalah seorang komunikator yang menjembatani alur informasi dari penulis dan pembaca yang semestinya bisa menghilangkan sedemikian rupa campur tangan atau subyektivitas. Untuk itu setiap penerjemah perlu memiliki suatu pedoman dalam pemadanan dan pengubahan (Machali, 2000:104). Newmark (1988:4) menilai bahwa sebuah teks yang akan ditranslasikan dapat ditarik ke sepuluh arah dalam analisis sebelum dialihkan. Dinamika penerjemahan ini digambarkan sebagai berikut.

Figura 2.5 Dinamika Translation (Newmark, 1988:4)

9 The truth (the facts of the matter)

1 SL writer 2 SL norm

3 SL culture 4 SL setting and tradition

5 TL relationship 6 TL norm

7 TL culture 8 TL setting and tradition


(1)

Tema (T-TB) Rema

46. Pergeseran Tema majemuk bermarkah menjadi tak bermarkah

I would get used to it very quickly.

Tema (M-B) Rema

akan terbiasa segera.

Tema (M-TB) Rema

47. Pergeseran Tema majemuk bermarkah menjadi tak bermarkah

I think

Tema (M-B) Rema

Kiranya

Tema (M-TB) Rema

Teks H: Analisis Tema-Rema yang Mengalami Pergeseran dalam Teks “Caring of Humanity”

By: M. Azar

“Mempedulikan Nasib Kemanusiaan” Oleh: M. Azar

(Buku Pidato Tiga Bahasa Karya M. Azar, 2007) 1. Pergeseran pada Tema antarpersona

May the peace

and blessing of Allah

be upon Allah’s prophet Muhammad p.b.u.h who has changed human life from oppressing to caring others, loving and helping each other.

Antar (M-TB)

Top (M-B)

Teks (M-TB)

Top (M-B)

Rema

Shalawat dan salam semoga terlimpahkan kepada nabiyullah Muhammad saw yang telah merubah hidup manusia dari penindasan menuju kepedulian, kasih sayang serta saling menolong sesama manusia.

Top (M-B)

Teks (M-TB)

Top (M-B)

Antar (M-TB)

Rema

2. Pergeseran pada Tema bermarkah menjadi tak bermarkah

It is a special happiness that in this moment


(2)

Adalah kebahagiaan tersendiri bagi saya di waktu ini,

Tema (M-TB) Rema

3. Pergeseran pada Tema kompleks menjadi Tema sederhana

My brothers, there are people who worship in mosque from day to day, month to month, even years to years.

Antar (M-B) Top (M-B) Rema

Saudara-saudara sekalian,

ada beberapa orang yang sibuk beribadah di mesjid berhari-hari, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun.

Tema (M-B) Rema

4. Pergeseran Tema sederhana menjadi kompleks

which makes them neglected.

Tema (M-TB) Rema

sehingga anak-anaknya dan isterinya terlantar. Teks (M-TB) Top (M-B) Teks (M-TB) Top (M-B) Rema 5. Pergeseran Tema bermarkah menjadi tak bermarkah

Not enough food to live healthy, not enough clothes to warm their bodies, and not enough facility to live properly.

Tema (M-B) Rema

Makan tidak memenuhi standard kesehatan, pakaian compang-camping, dan fasilitas rumah jauh dari kelayakan

Tema (M-TB) Rema

6. Pergeseran Tema majemuk bermarkah menjadi tak bermarkah

There are some

Tema (M-B) Rema

Ada pula beberapa kaum

Tema (M-TB) Rema

7. Pergeseran Tema majemuk bermarkah menjadi tak bermarkah

Others leave their house for concentrating to worship on mountains, in caves, or in forests.

Tema (M-B) Rema

Yang meninggalkan rumah tangganya untuk konsentrasi ibadah di gunung-gunung, di gua-gua dan di hutan-hutan.


(3)

8. Pergeseran Tema tekstual dan topikal menjadi Tema

that religion teaches us to let the orphan and neglect the poor?

Teks (M-TB) Top (M-B) Rema

agama mengajarkan kita untuk membiarkan anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan anak-anak terlantar?

Tema (M-B) Rema

9. Pergeseran Tema bermarkah menjadi tak bermarkah

“Righteousness does not consitst in whether you face towards the east or the west.

Tema (M-B) Rema

“Bukanlah menghadapkan wajahmu kearah timur dan barat itu suatu kebajikan

Tema (M-TB) Rema

10. Pergeseran Tema sederhana menjadi Tema kompleks

The righteous man

is he who believes in Allah and the last Day, in the angels and the book and the prophets, who for the love of Allah gives his wealth to his kinsfolk, to the orphans, to the needy, to the wayfarers, and to the beggars, and the redemption of captives, who attends to his prayers and pays the alm-tax, who is true to his promises and steadfast in trial and adversity and in times of war, such are the true believers.

Tema (M-B) Rema

Akan tetapi

Sesung-guhnya

kebajikan itu

ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir ( yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalan peperangan.

Teks (M-TB)

Teks (M-TB)

Top (M-B)

Rema 11. Pergeseran Tema sederhana menjadi kompleks

Such are the God fearing.”


(4)

dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa.”

Teks (M-TB) Top (M-B) Rema

12. Pergeseran Tema kompleks menjadi tema sederhana

“Have you thought of him that denies the last

judgement

Antar (M-TB) Top (M-B) Rema

“Tahukah kamu (orang) ) yang mendustakan agama

Tema (M-TB) Rema

13. Pergeseran Tema topikal tak bermarkah menjadi tekstual tak bermarkah

Honourable audience in this presentation, we all see

Antar (M-B) Top (M-TB) Top (M-B) Rema Hadirin peserta kutbah yang saya hormati, Antar (M-B) Antar (M-TB) Teks (M-TB) Top (M-B) Rema 14. Pergeseran tema sederhan menjadi tema kompleks

There are still many orphans, and beggars on the streets and poor huts on dirty area.

Tema (M-B) Rema

Sama-sama telah

kita lihat masih banyaknya anak-anak yatim, anak-anak terlantar, gubuk-gubuk reot di kawasan-kawasan kumuh, peminta-minta di jalan-jalan raya.

Top (M-TB) Top (M-B) Rema

15. Pergeseran Tema majemuk bermarkah menjadi tak bermarkah

It means

Tema (M-B) Rema Artinya - Tema (M-TB) Rema

16. Pergeseran Tema tekstual menjadi antarpersona dan topikal

that besides teaching them to be patient, not to steal and live moderately,

Teks (M-TB) Teks (M-TB) Rema

semestinya kita di samping memberi pengarahan mereka untuk bersabar, tidak meminta-minta, dan hidup sederhana, Antar (M-TB) Top (M-B) Teks (M-TB) Rema


(5)

17. Pergeseran Tema majemuk bermarkah menjadi tak bermarkah

it ’s also a must to help materially,

Tema (M-B) Rema

berkeharusan memberi bantuan materi,

Tema (M-TB) Rema

18. Pergeseran Tema sederhana menjadi kompleks

but do not care the poor, the orphans, the widows, the captives

Tema (M-TB) Rema

Namun pada saat

yang sama

kita tak mempunyai kepedulian terhadap orang miskin, anak yatim, wanita janda, para tawanan,

Teks (M-TB) Top (M-TB) Top (M-B) Rema 19. Pergeseran Tema kompleks menjadi Tema sederhana

“Once upon a time there was a man walking thirstily

Top (M-TB) Top (M-B) Rema

Pernah ada seorang laki-laki berjalan kemudian kehausan,

Tema (M-TB) Rema

20. Pergeseran Tema kompleks menjadi Tema sederhana

then he got into a well and drank.

Teks (M-TB) Top (M-B) Rema

lantas turunlah ia ke dalam sumur dan meminumnya.

Tema (M-TB) Rema

21. Pergeseran Tema majemuk bermarkah menjadi tak bermarkah

there was a dog licking dew of thirsty.

Tema (M-B) Rema

tak tahunya ada seekor anjing yang menjulur-julurkan lidahnya menjilati embun karena kehausan.

Tema (M-TB) Rema

22. Penambahan Tema tekstual

thus Allah forgive the man,

Teks (M-TB) Top (M-B) Rema


(6)

si laki-laki tadi. Teks (M-TB) Top (M-B) Teks (M-TB) Rema 23. Pergeseran Tema topikal menjadi tekstual

“Every growing flesh there is reward”.

Top (M-B) Top (M-B) Rema

“Setiap daging yang tumbuh mendapat ganjaran.”

Top (M-B) Teks (M-TB) Rema

24. Pergeseran Tema topikal menjadi tekstual

Related to Imam Bukhari from Abu Hurairah r.a., Rasulullah p.b.u.h. said:

Top (M-TB) Top (M-B) Rema

Dan Iman Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah, r.a. dari nabi saw bersabda:

Teks (M-TB) Top (M-B) Rema

25. Pergeseran Tema tekstual menjadi topikal

or didn’t let it out so that it ate earth’s insect?”

Teks (M-TB) Antar (M-TB) Rema

tidak pula engkau melepaskannya sehingga si kucing makan serangga-serangga bumi ?.

Antar (M-TB) Top (M-B) Rema

26. Pergeseran Tema topikal tak bermarkah menjadi topikal bermarkah

My brothers, caring for animal will send someone to heaven,

Antar (M-B) Top (M-TB) Rema

saudara-saudara sekalian,

sikap kepedulian terhadap hewan saja

menjadikan seseorang masuk ke dalam surga,

Antar (M-B) Top (M-B) Rema

27. Penambahan Tema antarpersona

whom Allah has honoured over all creature.

Teks (M-TB) Top (M-B) Rema

yang jelas-jelas Allah telah memuliakan manusia di atas semua makhluk yang ada. Teks (M-TB) Antar (M-TB) Top (M-B) Rema