Kajian Translasi dan Penerjemah

Figura 2.2: Klasifikasi Tema Berdasarkan Komplesitas dan Kebermarkahannya Kompleksitas Tunggal Majemuk Tunggal – Bermarkah Majemuk – Bermarkah Kebermarkahan: Bermarkah Tidak Bermarkah Tunggal tidak Bermarkah Majemuk – tidak Bermarkah

2.1.2 Kajian Translasi dan Penerjemah

Proses pengalihan pesan teks bahasa sumber dipengaruhi oleh budaya penerjemah, yang tercermin dari cara seseorang dalam memahami, memandang, dan mengungkapkan pesan itu melalui bahasa yang digunakan. Pengalihan pesan dalam proses penerjemahan selalu ditandai oleh perbedaan budaya bahasa sumber dan bahasa sasaran. Perbedaan ini secara langsung akan menempatkan penerjemah pada posisi yang dilematis. Di satu sisi penerjemah harus mengalihkan pesan teks bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran secara akurat. Di sisi lain dan dalam banyak kasus penerjemah harus menemukan padanan yang tidak mungkin ada dalam bahasa sasaran. Pada hakekatnya, teori translasi sudah menyediakan pedoman untuk mengatasi masalah-masalah penerjemah. Namun, sebagai pedoman umum, teori translasi tidak selalu dapat diterapkan untuk memecahkan persoalan letak terjemahan yang timbul dalam peristiwa komunikasi interlingual tertentu. Bahkan, suatu padanan untuk suatu ungkapan dalam bahasa sumber yang sudah lazim digunakan, diterima dan dianggap Universitas Sumatera Utara benar oleh pembaca teks bahasa sasaran, apabila dianalisis secara mendalam, bukan merupakan padanan yang benar. Pada hakikatnya kajian translasi menitikberatkan proses menerjemahkan berarti mengalihkan pesan yang terdapat dalam bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran sedemikian rupa sehingga orang yang membaca atau mendengar pesan itu dalam bahasa sasaran kesannya sama dengan orang yang membaca pesan itu dalam bahasa sumber Nida, 1976. Sebelumnya, Nida 1964 juga menyatakan bahwa translasi yang sempurna adalah yang bisa menciptakan efek sebagaimana teks aslinya. Ahli lainnya Catford,1974 menyatakan penerjemahan adalah pemindahan materi teks bahasa sumber yang berekuivalen dengan materi teks pada bahasa sasaran. Mohanty dalam Dollerup dan Lindegaard, 1994 menyatakan bahwa penerjemahan bukan hanya aktivitas bilingual tetapi juga pada saat yang bersamaan adalah aktivitas bi- kultural. Pernyataan ini mengandung perngertian bahwa penerjemahan bukan hanya menerjemahkan bahasa tetapi sekaligus transfer budaya. Al Zouby dan Al Asnawi 2001 mendefinisikan pergeseran shift sebagai tindakan wajib yang disebabkan oleh adanya perbedaan struktur dua bahasa yang terlibat dalam penerjemahan dan tindakan opsional yang ditentukan oleh preferensi personal dan stilistik yang dilakukan secara sadar untuk menghasilkan translasi yang alamiah dan komunikatif dari bahasa sumber ke dalam bahasa sasraran. Mereka membedakan pergeeran ke dalam dua jenis yakni pergeseran mikro micro shift dan pergeseran makro macro shift. Pergeseran mikro bisa berwujud pergeseran vertikal yang mengarah ke atas jika unit bahasa sumber disubtitusi dengan unit yang lebih Universitas Sumatera Utara tinggi ‘rank’nya atau mengarah ke bawah jika unit bahasa sumber disubtitusi dengan unit yang lebih rendah ‘rank’nya, sedangkan pergeseran horizontal adalah jika padanan dalam bahasa sumber berada pada ‘rank’ yang sama dengan bahasa sasaran. Pergeseran makro melibatkan semua variabel tekstur, budaya, gaya dan retorik yang memungkinkan terjadinya pergeseran pada tataran selain tataran sintaksis. Zellermeyer 1987 menjelaskan bahwa pergeseran shift dalam penerjemahan sebagai ‘metamessages’. Pergeseran dapat terjadi karena adanya penambahan addition, penghilangan delition, substitusi substitution dan penyusunan kembali reordering. Penerjemahan teks selalu terkait erat dengan masalah budaya. Pemahaman budaya agar dapat menerjemahkan teks sangat diperlukan. Masyarakat mempunyai budaya yang berbeda sehingga diperlukan pemahaman budaya masyakarat tersebut sehingga teks dapat diterjemahkan sesuai dengan makna yang terdapat dalam bahasa sumber. Penerjemah merupakan proses pengalihan pesan teks bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran. Tujuan praktis dari proses pengalihan pesan itu adalah untuk membantu pembaca teks bahasa sasaran dalam memahami pesan yang dimaksudkan oleh penuli asli teks bahasa sumber. Tugas pengalihan ini menempatkan penerjemah pada posisi yang sangat penting dalam menyebarluaskan ilmu pengetahuan dan teknologi. Apabila ilmu pnegetahuan dan teknologi dipahami sebagai bagian dari budaya, secara tidak langsung penerjemah turut serta dalam proses alih budaya. Ada terjemahan yang sudah secara setia menyampaikan pesan teks bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran, tetapi bahasa yang digunakan tidak bisa dipahami Universitas Sumatera Utara oleh pembaca dengan baik. Ada pula terjemahan yang tampak “cantik” dan wajar, tetapi pesannya menyimpang jauh dari pesan teks aslinya. Jika kasus seperti ini sering terjadi, tujuan praktis penerjemahan tidak tercapai dengan baik. Terjemahan yang demikian dianggap telah menghianati tidak hanya penulis teks asli tetapi juga pembaca teks terjemahan Damono, 2003. Terjemahan merupakan alat komunikasi. Sebagai alat komunikasi, terjemahan mempunyai tujuan komunikatif, dan tujuan komunikatif itu ditetapkan oleh penulis teks bahasa sumber, penerjeman sebagai mediator, dan pembaca teks bahasa sasaran. Penetapan tujuan itu sangat dipengaruhi oleh konteks sosial dan budaya serta ideologi penulis teks bahasa sumber, penerjemah, pembaca teks bahasa sasaran Nababan, 2004. Apa yang dimaksud dengan budaya? Dalam ruang lingkup Studi Penerjemahan, budaya mempunyai pengertian yang sangat luas dan menyangkut semua aspek kehidupan manusia yang dipengaruhi oleh aspek sosial Snell-Hornby, 1995. Konsep budaya ini didefinisikan oleh Gohring 1977, dan Newmark 1988 sebagai berikut. As I see it, a society’s culture consists of whatever it is one has to know or believe in order to operate in a manner acceptable to its members, and do so in any role that they accept for any one of themselves. Culture, being what people have to learn as distinct from their biological heritage, must consist of the end product of learning : knowledge, in a most general, if relative, sense of the term. By this definition, we should note that culture is not a material phenomenon; it does not consists of things, people, behavior, or emotions. It is rather an organization of these things. It is the forms of things that people have in mind, their models fro perceiving, relating, and otherwisw interpreting them. As such, the things people say and do, their social arrangements and events, are products or by-products of their culture as they apply it to the task of perceiving and dealing with their circumstances. To one Universitas Sumatera Utara who knows their culture, these things and events are also signs signifying the cultural forms or models of which they are materail presentations.... Goodenough, 1964. Culture is everything one needs to know, master and feel in order to judge where people’s behavior conforms to or deviates from what is expected from them in their social roles, and in order to make one’s own behavior conform to the expectations of the society concerned-unless one is prepared to take the consequences of deviant behavior. Gohring dalam Snell-Hornby, 1995. The way of life and its manifestations that are perculiar to a community taht uses a particular language as its means of expressions. Newmark, 1988 Dari definisi budaya di atas dapat ditarik empat hal pokok. Pertama, budaya merupakan totalitas pengetahuan, penguasaan dan persepsi. Kedua, budaya mempunyai hubungan yang erat dengan prilaku tindakan dan peristiwa atau kegiatan. Ketiga, budaya tergantung pada harapan dan norma yang berlaku dimasyarakat. Keempat, pengetahuan, penguasaan, persepsi, perilaku kita terhadap sesuatu diwujudkan melalui bahasa. Oleh karena itu, bahasa merupakan ungkapan tentang budaya dan diri penutur, yang memahami dunia melalui bahasa. Konsep bahwa bahasa adalah budaya dan budaya diwujudkan melalui perilaku kebahasaan dapat pula diterapkan dan dikaitkan pada bidang penerjemahan. House 2002 berpendapat bahwa seseorang tidak menerjemahkan bahasa tetapi budaya, dan dalam penerjemahan kita mengalihkan budaya bukan bahasa. Pendapat ini sejalan dengan pandangan bahwa budaya merupakan suatu terjemahan, bukan kata, frase, klausa, paragraf atau teks yang seharusnya mendapatkan perhatian yang serius dari penerjemah. Universitas Sumatera Utara

2.2 Kerangka Teori