Lahan usaha pengalengan ikan laut memerlukan lahan seluas 1 Ha dan limbah yang ditimbulkan berupa air buangan dari pencucian ikan laut.
Limbah potongan ikan laut bisa diolah menjadi tepung ikan dan air hasil penguapan dapat diolah menjadi petis ikan, maka lokasi lahan pabrik ikan
dapat menempati lokasi yang berdekatan dengan pemukiman untuk memudahkan tenaga kerja menjangkau tempat kerja dan pengiriman ikan
laut tidak jauh dari tempat pelelangan ikan. Moda angkutan yang digunakan untuk mengangkut ikan ke pabrik
dan hasil pengalengan ikan ke kota pemasaran menggunakan angkutan truk sehingga lokasi pabrik berdekatan dengan jalur jalan yang
menghubungkan ke tempat pemasaran.
3.5 Analisa Ambang Batas Lahan Industri Perikanan Laut
Pembangunan industri perikanan laut akan terus berkembang sesuai kemampuan daya dukung sumberdaya perikanan laut Kabupaten Malang
yang dikelola secara benar dan dapat ditingkatkan potensi lestarinya dengan meningkatnya pengetahuan terhadap sumberdaya perikanan
tersebut. Kebutuhan lahan di masa yang akan datang memerlukan lahan yang lebih besar dari sekarang, sehingga diperlukan informasi ambang
batas lahan yang sesuai dengan industri perikanan laut. Peruntukan lahan di masa yang akan datang dapat menampung perkembangan
pembangunan yang akan berlangsung dan tidak tambal sulam. Analisa ambang batas lahan industri perikanan laut terdiri dari
beberapa tahap analisa, dimana tiap hasil analisa akan menunjukkan keterbatasan lahan yang akan digunakan sebagai input untuk tahap
analisa selanjutnya.
3.5.1 Analisa Kemampuan Lahan
Klasifikasi kemampun lahan land capability classification adalah penilaian lahan komponen-komponen lahan secara sistematik dan
pengelompokannya ke dalam beberapa kategori berdasarkan atas sifat-
sifatnya yang merupakan potensi dan penghambat dalam penggunaannya secara lestari. Sedangkan klasifikasi kesesuaian lahan land suitability
classification adalah penilaian dan pengelompokan atau proses penilaian dan pengelompokkan dalam arti kesesuaian relatif lahan atau kesesuaian
absolut penggunaan tertentu. Menurut SK Mentan No. 837KptsUM1980 dan No.
683KptsUMII1981 faktor pembatas yang digunakan untuk klasifikasi ini adalah :
a Kemiringan Lereng dinyatakan dalam satuan persen :
Kelas I =
0 – 8 Datar
Nilai Skor 20 Kelas II
= 8 – 15
Landai Nilai Skor 40
Kelas III =
15 – 25 Agak Curam Nilai Skor 60
Kelas IV =
25 – 45 Curam Nilai Skor 80
Kelas V =
45 Sangat curam
NilaiSkor 100
Kelerengan lahan Desa Tambakrejo dari data peta no.2.3 kontur Desa Tambakrejo dapat dianalisa dengan menggunakan rumus :
D K
ik ∆
=
K = kelerengan ∆ ik = interval kontur
D = diameterjarak antar kontur
Menggunakan rumus di atas dapat diketahui luas lahan sesuai kelas lahan yang memiliki diameter sesuai kelerengannya :
o Kelas I = 8 maka,
8 = 10 : D
D = 10 : 8
= 1000 : 8 =
125 m
o Kelas II = 15 maka,
15 = 10 : D D
= 10 : 15 = 1000 : 15
= 66,67 m o
Kelas III = 25 maka, 25 = 10 : D
D = 10 : 25
= 1000 : 25 = 40 m
o Kelas IV = 45 maka,
45 = 10 : D D
= 10 : 45 = 1000 : 45
= 22,22 m o
Kelas V 45 maka, 45 10 : D
D 10 : 45
1000 : 45 22,22 m
Hasil pemetaan kelerengan lahan dapat dilihat pada peta 3.1 berikut.
b Faktor jenis tanah menurut kepekaannya terhadap erosi : Kelas I
= Aluvial, tanah Glei, Nilai Skor 15
Planosol, Hidromorf Kelabu, Laterik Air Tanah
Tidak peka Kelas II
= Latosol Agak peka Nilai Skor 30
Kelas III = Brown Forest Soil,
Nilai Skor 45 Non Caleic Brown,
Mediteran Agak
peka. Kelas IV
= Andosol Laterek, Grumosol, Nilai Skor 60
Podsoil, Podsolic Peka
Kelas V = Regosol, Litosol, Atnogosol,
Nilai Skor 75 Renzine
Sangat Peka
Jenis tanah yang ada di Desa Tambakrejo dapat dibedakan menjadi dua yaitu jenis tanah Aluvial dan jenis tanah Mediteran bercampur
dengan jenis tanah Rezine, dapat dilihat pada peta no. 2.02. Nilai skor untuk lahan berjenis tanah Aluvial memiliki nilai skor 15 dan untuk lahan
berjenis tanah mediteran bercampur rezine memiliki nilai skor 45.
c Faktor Intensitas Hujan Harian : Kelas I
= sd 13,6 mmhari sangat rendah Nilai Skor 10
Kelas II = 13,6 – 20,7 mmhari
rendah Nilai Skor 20
Kelas III = 20,7 – 27,7 mmhari
sedang Nilai Skor 30
Kelas IV = 27,7 34,8 mmhari
tinggi Nilai Skor 40
Kelas V = 34,8 mmhari Sangat tinggi
Nilai Skor 50
Intensitas hujan di Desa Tambakrejo memiliki curah hujan yang relatif sama yaitu 1.335 mmtahun atau 3,65 mmhari, maka nilai skor dari
curah hujan tersebut 10 untuk seluruh wilayah Desa Tambakrejo.
Peta 3.1 : Kelerengan Lahan Desa Tambakrejo
Dengan menjumlahkan skor ketiga faktor tersebut maka dapat ditetapkan penggunaan lahan pada setiap kawasan adalah sebagai
berikut : i Kawasan
Lindung Areal dengan jumlah nilai skor untuk kemampuan lahan sama
dengan atau lebih dari 175 atau memenuhi salah satu atau beberapa syarat berikut :
Mempunyai lereng lapang 45 ; Tanah sangat peka terhadap erosi yaitu jenis tanah Regosol,
Litosol, Organosol, dan Renzine dengan lereng 45 ; Merupakan jalur pengaman aliran sungaiair sekurang-
kurangnya 100 meter di kiri kanan sungaialiran air tersebut; Mempunyai ketinggian 2000 meter di atas permukaan air
laut; Guna keperluankepentingan khusus dan diterapkan oleh
pemerintah sebagai kawasan lindung. ii Kawasan
Penyangga Areal dengan jumlah nilai skor untuk kemampuan lahannya 124
– 174 dan atau memenuhi beberapa kriteria umum, sebagai berikut :
Keadaan fisik areal memungkinkan untuk dilakukan budidaya secara ekonomis;
Lokasinya secara
ekonomis mudah dikembangkan sebagai kawasan penyangga;
Tidak merugikan segi-segi ekologi lingkungan. iii Kawasan Budidaya Tanaman Tahunan
Areal dengan jumlah nilai skor untuk kemampuan lahannya 124 ke bawah serta cocok atau seharusnya dikembangkan usaha
tani tanaman tahunan kayu-kayuan, tanaman perkebunan dan tanaman industri. Disamping itu areal tersebut harus memenuhi
kriteria umum untuk kawasan penyangga.
iv Kawasan Budidaya Tanaman Semusim Setahun Areal dengan kriteria seperti dalam penetapan kawasan
budidaya tanaman tahunan akan tetapi areal tersebut cocok atau seharusnya dikembangkan usaha tani tanaman
semusimsetahun. v Kawasan
Permukiman Areal yang memenuhi kriteria budidaya cocok untuk areal
permukiman serta secara mikro mempunyai kelerengan 0 – 8.
Hasil super impose ketiga variabel tersebut dapat dilihat pada peta 3.2 berikut. Dari hasil super impose kelayakan lahan untuk Pulau Sempu
sebagai Cagar Alam dan kawasan lindung. Pulau Sempu memiliki bermacam ekosistem dan habitat satwa dari berbagai macam satwa dan
tumbuhan hutan. Sebagai kawasan wisata hutan, Pulau Sempu memiliki kondisi alam yang masih alami dan memiliki telaga air tawar yaitu Telaga
Lele dimana terdapat banyak populasi ikan lele yang mendiami telaga tersebut. Segara Anakan merupakan tujuan wisata yang ada di dalam
hutan Pulau Sempu sebagai tempat camping bagi wisatawan. Segara Anakan merupakan pantai yang terlindung oleh tebing tinggi sebagai
pembatas dengan laut lepas, sehingga panorama yang tercipta menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan.
Kawasan penyangga yang ada di bagian Timur Desa Tambakrejo seluas 631,3 Ha memiliki fungsi yang ditunjukkan oleh kemampuan lahan
adalah sebagai kawasan resapan air sehingga merupakan tempat pengisian air bumi akifer yang berguna sebagai sumber air. Ketinggian
lahan tersebut 100 m dpl berbentuk bukit dengan kelerengan sangat curam tidak memungkinkan untuk dilakukan budidaya ekonomis, bahkan
merupakan kawasan yang melindungi kawasan dibawahnya dari kemungkinan banjir dan tanah longsor ke daerah Dukuh Tambakrejo.
Kawasan budidaya tanaman tahunan yang ditunjukkan oleh analisa kemampuan lahan di atas seluas 204,7 Ha dimana kondisi eksisting
penggunaan lahan sebagai tanah ladang dapat dikembalikan fungsinya dengan ditanami pohon jenis yang dibutuhkan oleh pembuatan perahu.
Kebutuhan kayu untuk membuat perahu dapat diambil dari lahan tersebut walau jumlahnya masih kecil.
Luas kawasan budidaya tanaman semusim setahun 273,59 Ha yang berada di tengah Desa Tambakrejo dapat dijadikan lahan ladang
dan perkebunan yang produktif dengan jenis tanah yang terkandung jenis aluvial. Luas kawasan pemukiman yang ditunjukkan oleh kemampuan
lahan di Desa Tambakrejo adalah 572,865 Ha merupakan areal pembangunan kota Desa Tambakrejo untuk lahan pengembangan kota.
3.5.2 Keterbatasan Lahan