Kewenangan Pengelolaan Perspektif Otonomi Daerah

1. Menanamkan budaya kelautan dan cinta bahari sedini mungkin, pola anak- anak di lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat melalui kegiatan yang mendukung penyebarluasan informasi produk kelautan, wisata bahari, serta tentang fungsi ekosistem laut dan keragaman hayati; 2. Meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap lingkungan laut dan pesisir melalui pemahaman fungsi ekosistem pantai dan keragaman hayati seperti terumbu karang, hutan mangrove dan nipah sehingga fungsinya sebagai penghalang gelombang, habitat dan pembiakan ikan sekaligus sebagai potensi wisata dapat terjamin; 3. Meningkatkan kesadaran masyarakat akan besarnya manfaat pengolahan hasil-hasil sumber daya laut agar bangsa Indonesia dapat hidup dari laut, dan menyadari hak dan kewajiban penggunaan kekayaan di wilayah laut nasional yang juga berfungsi sebagai wahana pemersatu; 4. Mengembangkan daerah yang memiliki potensi wisata bahari melalui pengembangan sarana dan prasarana, promosi, pelayaran dengan tetap memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup; 5. Meningkatkan upaya pembinaan, pengawasan, dan penegakkan peraturan sebagai produk perangkat hukum di lapangan; 6. Melakukan pengkajian untuk mengembangkan alternatif cara pemanfaatan potensi laut yang lebih akrab lingkungan; 7. Menyusun dan menetapkan tata ruang laut yang berwawasan lingkungan untuk dijadikan pedoman bagi perencanaan pembangunan agar penataan lingkungan hidup dan pemanfaatan sumber daya laut dapat dilakukan secara aman, tertib, efisien, dan efektif; 8. Menetapkan klasifikasi kawasan laut menjadi kawasan kritis, kawasan perlindungan atau konservasi. Kawasan kritis merupakan kawasan tertentu yang kegiatannya perlu dibatasi atau dihentikan apabila terjadi gangguan keseimbangan ekosistem. Kawasan konservasi merupakan kawasan yang kelestariannya dilindungi sehingga kegiatan eksplorasi dan eksploitasi tidak diizinkan. Kawasan produksi dan budi daya merupakan wilayah penyelenggaraan pemanfaatan kekayaan laut dan dasar laut. Kawasan khusus merupakan zona untuk kegiatan pertahanan keamanan.

1.7.4 Kewenangan Pengelolaan Perspektif Otonomi Daerah

19 Undang-undang Pemda No. 22 tahun 1999, memberikan kewenangan bagi Pemda dalam pengelolaan sumber daya pesisirnya mulai Bulan Januari tahun 2001. Pasal 3 dan 10 UU No. 22 Tahun 1999 menyatakan bahwa wilayah Daerah Propinsi terdiri atas wilayah darat dan wilayah laut sejauh 12 mil laut yang diukur dari garis pantai ke arah laut, dan wilayah daerah KabupatenKota adalah sejauh sepertiga dari wilayah laut daerah Propinsi. 19 Sarwono Kusumaatmadja, Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut dalam Perspektif Otonomi Daerah, Makalah Seminar Mahasiswa Perencanaan Indonesia di Universitas Brawijaya, 8 Mei 2001 Pasal 10 UU No. 2299 menyatakan kewenangan pemda di wilayah laut meliputi : 1. Kewenangan eksplorasi; eksploitasi; konservasi dan pengelolaan kekayaan laut 2. Kewenangan pengaturan tata ruang 3. Kewenangan penegakan hukum terhadap Perda 4. Bantuan penegakan keamanan dan kelautan negara Pasal 10 ayat 3 yang menyatakan “daerah Kabupatenkota mempunyai kewenangan sepertiga dari batas laut daerah Propinsi“, bisa memberikan interprestasi hukum yang berbeda, ada yang mengganggap kabupatenkota hanya punya kewenangan pengelolaan laut saja tetapi tidak punya wilayah laut; ada juga yang menginterpretasikan Kabupatenkota mempunyai wilayah laut dan kewenangan sejauh 4 mil laut, dan propinsi mempunyai wilayah laut dari 4 – 12 mil serta pusat mempunyai wilayah laut mulai dari 12 mil ZEE. Bahkan ada pemda keliru mendefinisikan kewenangan yang bersifat dalam UU No. 22 Tahun 1999. Sesungguhnya kewenangan yang dimaksud dalam perundangan itu adalah merupakan suatu yuridiksi kewenangan pengelolaan. Jadi kewenangan itu bukan kedaulatan sovereignty, dan juga bukan pemilikan property. Terlepas dari interpretasi yang berbeda tersebut, UU No. 221999 tersebut memberikan kewenangan bagi pemerintah dan pemda untuk mengelola sumber daya pesisir mulai dari garis pantai sampai batas wilayah administratif atau fungsional yang ditetapkan dengan perundang-undangan. Dalam kajian terhadap UU No. 221999, serta 19 UU dan 5 konvensi internasional yang terkait dengan pengelolaan wilayah pesisir, maka kewenangan pengelolaan wilayah laut untuk pemerintah, pemda Propinsi, serta Kabupatenkota semuanya dimulai dari garis pantai wilayah pesisir. Di wilayah 4 mil laut ini bukan hanya kewenangan Kabupatenkota saja, tetapi ada kewenangan pemerintah, dan pemda propinsi. Artinya ada kewenangan yang harus dilaksanakan oleh pemerintah seperti bidang pertahanan atau pertambangan strategis Migas. Ada kewenangan propinsi seperti urusan pemberian izin kapal penangkap ikan dengan bobot mati 15 – 30 ton DWT. Pengaturan kewenangan ini disusun dalam RPP Kewenangan Daerah di wilayah laut. Diharapkan pemberian otonomi di wilayah pesisir tersebut mendorong pemda untuk merencanakan mengelola dan mengkonservasi sumber daya pesisirnya secara lebih efektif, efisien dan lebih mendekatkan pelayanan ke masyarakat. Karena mereka mempunyai rasa memiliki terhadap sumber daya pesisir yang berada di wilayah administrasinya. Akan tetapi beberapa pemda Kabupatenkota maupun propinsi ingin memanfaatkan sumber daya pesisir dan lautnya dalam rangka meningkatkan Pendapatan Asli Daerah PAD dan mengabaikan kaidah-kaidah konservasi.

1.7.5 Pengelolaan Sumber Daya Perikanan