Kembali menjadi anggota PBB Mengakhiri konfrontasi dengan Malaysia

237 Keputusan-keputusan penting yang diambil dalam sidang tersebut adalah sebagai berikut.  Tap No. IXMPRS1966 berisi pengukuhan Su- persemar sehingga Presiden Soekarno tidak da- pat mencabutnya.  Tap No. XMPRS1966 berisi pengukuhan ke- dudukan MPRS sebagai MPR berdasarkan UUD 1945.  Tap No. XIMPRS1966, menetapkan penyeleng- garaan Pemilu paling lambat tanggal 5 Juli 1968.  Tap No. XIIIMPRS1966, berisi pemberian ke- kuasaan kepada Jenderal Soeharto untuk mem- bentuk Kabinet Ampera.  Tap No. XVIIIMPRS1966, berisi pencabutan Tap No. IIIMPRS1963 yang berisi pengangkatan Soekarno sebagai presiden seumur hidup.  Tap No. XXVMPRS1966, berisi pengukuhan atas pembubaran PKI dan ormas-ormasnya serta melarang penyebaran ajaran ma rxisme dan komunisme di Indonesia.

D. Kepemimpinan nasional

Kendala utama yang dihadapi oleh Kabinet Am- pera adalah dualisme kepemimpinan nasional. Pada waktu itu, Presiden Soekarno bertindak sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Sementara itu, Jenderal Soeharto bertindak sebagai pelaksana pemerintahan. Pada tanggal 23 Februari 1967, Pre- siden Soekarno mengumumkan penyerahan keku- asaannya kepada Jenderal Soeharto. Penyerahan kekuasaan ini kemudian dikukuhkan dengan Tap No. XXXIIIMPRS1967 dalam Sidang Istimewa MPRS bulan Maret 1967. Jenderal Soeharto menjadi Pejabat Presiden Republik Indonesia. Kemudian pada tanggal 27 Maret 1968 dalam Sidang Umum ke V MPRS, Soeharto diangkat seba- gai Presiden RI berdasarkan Tap MPRS No. XLIV MPRS1968. Soeharto menjabat sebagai presiden sampai dengan terpilihnya Presiden oleh MPR ha- sil Pemilu berikutnya. Akhirnya, Kabinet Pembangunan I pemerintah Orde Baru dibentuk pada tanggal 6 Juni 1968. De- ngan demikian dimulailah pembangunan melalui Rencana Pembangunan Lima Tahun Repelita.

E. Peralihan kekuasaan

Pada tanggal 23 Februari 1967, bertempat di Istana Negara, Jenderal Soeharto menerima penye- rahan kekuasaan pemerintah dari Presiden Soekar- no, sebagai Pengemban Ketetapan MPRS No. IX MPRS1966. Penyerahan kekuasaan ini dilakukan atas prakarsa Presiden Soekarno demi mengatasi politik yang belum stabil. Penyerahan kekuasaan didasarkan pada Ketetapan MPRS No. XV1966 yang menyatakan bahwa apabila Presiden berha- langan, maka pemegang Surat Perintah 11 Maret- lah yang memegang jabatan Presiden. Penyerahan kekuasaan dituangkan dalam se- buah Pengumuman Presiden Mandataris MPRS Panglima Tertinggi ABRI, tertanggal 20 Februari 1967. Tanggal 4 Maret 1967 Jenderal Soeharto mem- berikan keterangan atas nama pemerintah di de- pan Sidang DPR-GR tentang peristiwa penyerahan kekuasaan dari Presiden Soekarno kepada dirinya. Soeharto menegaskan bahwa penyerahan kekuasa- an merupakan salah satu upaya mengatasi situasi politik yang sedang terjadi demi keselamatan bang- sa dan negara. Jenderal Soeharto juga menegaskan bahwa pemerintah tetap memerlukan penyele- saian secara konstitusional melalui sidang MPRS. Jenderal Soeharto secara resmi dilantik sebagai pejabat Presiden pada tanggal 12 Maret 1967. Pada tanggal 6 Juni 1967, Pejabat Presiden Soeharto me- ngumumkan susunan kabinet yang disebut Kabinet Pembangunan, sedangkan program kerjanya disebut Pancakrida. 7 .1 .2 Penat aan K em b ali Polit ik Lu ar Neg er i B eb as-Ak t i f Pemerintah Orde Baru kembali menata politik luar negeri bebas aktif. Tindakan yang dilakukan pemerintah adalah kembali menjadi anggota PBB dan mengakhiri konfrontasi dengan Malaysia.

A. Kembali menjadi anggota PBB

Mengingat kepentingan nasional semakin mende- sak, Indonesia merasa perlu secara aktif mengambil bagian dalam kegiatan badan-badan internasional. Indonesia menjadi anggota PBB ke-60 pada tang- gal 28 September 1950. Kemudian pada 1 Januari Gambar 7.1.2 Jenderal Soeharto dilantik menjadi Pejabat Presiden Republik Indonesia menggantikan Soekarno pada tanggal 12 Maret 1967. Sum ber: In do ne sia in the S oe ha rto Y ea rs Di unduh dari : Bukupaket.com 238 1965 keluar dari keanggotaan PBB. Ketika Orde Ba- ru memegang pemerintahan, DPR-GR mendesak pemerintah supaya Indonesia masuk kembali men- jadi anggota PBB sebelum persidangan umum ta- hun 1966. Indonesia kembali aktif di PBB pada tanggal 28 September 1966. Sejak tahun 1967, politik luar negeri bebas aktif telah diterapkan secara konkret dalam menanggapi masalah-masalah internasional. Politik luar negeri dilakukan sesuai dengan maksud dan tujuan Pancasila dan UUD 1945. Keaktifan Indonesia dalam PBB secara nyata tampak dengan terpilihnya Menteri Luar Negeri Indonesia, Adam Malik, menjadi Ketua Majelis Umum PBB untuk masa sidang tahun 1974.

B. Mengakhiri konfrontasi dengan Malaysia

Konfrontasi dengan Malaysia terjadi karena Indonesia menganggap bahwa Malaysia adalah su- atu proyek neokolonialis Inggris yang membahaya- kan Revolusi Indonesia dan merupakan pangkalan asing yang ditujukan antara lain kepada Indone- sia. Hal ini berarti menentang Indonesia dan menen- tang New Emerging Forces di Asia Tenggara. Di sam- ping itu, Indonesia menentang Malaysia yang akan membentuk Federasi Malaysia. Konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia di- selesaikan melalui jalan damai, yakni jalan diplo- masi. Perundingan-perundingan antara Indonesia dan Malaysia terus dilaksanakan untuk menyele- saikan konfrontasi tersebut. Penyelesaian konfron- tasi Indonesia dengan Malaysia diprakarsai oleh Filipina. Pada tanggal 31 Juli–5 Agustus 1966, keti- ga negara, yaitu Indonesia, Filipina, dan Malaysia mengadakan pertemuan, yang menghasilkan tiga dokumen, yaitu Deklarasi Manila, Persetujuan Manila, dan Komunike Bersama. Untuk mempererat hubungan ketiga negara, di- bentuklah Forum Maphilindo Malaysia, Philippine, Indo- nesia yang dapat digunakan untuk memecahkan persoalan yang menyangkut kepentingan ketiga negara. Pihak Indonesia memanfaatkan forum ini untuk memecahkan masalah-masalah yang diha - dapinya, terutama konfrontasi dengan Malaysia. Pada tanggal 11 Agustus 1966, ditandatangani persetujuan normalisasi hubungan Malaysia– In- donesia. Malaysia diwakili Tun Abdul Razak, In- donesia diwakili Adam Malik. Persetujuan tersebut merupakan hasil dari perundingan di Bangkok pada tanggal 29 Mei–1 Juni 1966. Perundingan di Bangkok itu dikenal sebagai “Persetujuan Bangkok”. Persetujuan Bangkok mengandung tiga hal pokok, yakni sebagai berikut.  Rakyat Sabah dan Serawak akan diberi kesem- patan menegaskan lagi keputusan yang telah mereka ambil mengenai kedudukan mereka di Malaysia.  Kedua pemerintah Malaysia dan Indonesia menyetujui pemulihan hubungan diplomatik.  Menghentikan tindakan-tindakan permusuhan. Dengan ini berakhirlah politik konfrontasi yang tidak sesuai dengan dasar politik luar negeri bebas- aktif. Politik yang dilaksanakan selanjutnya adalah politik bertetangga dan bersahabat baik serta hidup berdampingan secara damai . 7 .1 .3 Pr og r am Pem b ang u nan N asional B er enc ana Pemerintah Orde Baru membuat program pem- bangunan nasional berencana. Program itu meliputi pola pembangunan nasional, asas, modal dasar, dan faktor dominan pembangunan nasional.

A. Pola pembangunan nasional