69
Black 69 C
y a
n 6
9
A. Situasi politik
Setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Presiden Soekarno melakukan tindakan politik untuk mem-
bentuk alat-alat negara sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945. Selain itu, Presiden Soekarno mu-
lai mencetuskan demokrasi terpimpin. a.
a. a.
a. a. Pembentukan alat-alat negara
Pembentukan alat-alat negara Pembentukan alat-alat negara
Pembentukan alat-alat negara Pembentukan alat-alat negara
1. Pembentukan Kabinet Kerja
Dengan berlakunya kembali Undang-Undang Dasar 1945, mulai tanggal 10 Juli 1959 Kab inet
Djuanda Kabinet Karya dibubarkan. Kemudian dibentuk kabinet baru. Dalam kabinet baru ini, Pre-
siden Soekarno bertindak sebagai Perdana Menteri. Sementara itu, Djuanda ditunjuk sebagai Menteri
Pertama. Kabinet baru ini diberi nama Kabinet Karya. Program Kabinet Kerja ada tiga, yaitu: kea-
manan dalam negeri, pembebasan Irian Jaya, dan sandang dan pangan.
2. Pembentukan MPRS
Dalam dekrit presiden 5 Juli 1959 ditegaskan bahwa pembentukan MPRS akan diselenggarakan
dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Anggota MPRS terdiri dari anggota-anggota DPR ditambah
dengan utusan daerah-daerah dan golongan. Oleh karena itu, pembentukan majelis merupakan pe-
menuhan dekrit tersebut. MPRS merupakan pengganti Dewan Konstitu-
ante yang telah bubar. Anggota-anggota MPRS di- tunjuk dan diangkat oleh Presiden. MPRS dibentuk
berdasarkan Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1959. Anggota MPRS harus memenuhi syarat, antara la-
in: setuju kembali kepada UUD 1945, setia kepada perjuangan RI, dan setuju dengan Manifesto Politik.
Keanggotaan MPRS menurut Penpres No. 2 Ta- hun 1959 terdiri atas: 261 orang anggota DPR; 94
orang utusan daerah; dan 200 orang golongan kar- ya. Sedangkan tugas MPRS adalah menetapkan Ga-
ris-garis Besar Haluan Negara GBHN. 3. Pembentukan DPAS
Dewan Pertimbangan Agung Sementara DPAS dibentuk berdasarkan Penpres No. 3 tahun 1959.
DPAS ini bertugas memberi jaw aban atas perta- nyaan Presiden dan berhak mengajukan usul kepa-
da pemerintah. DP AS diketuai oleh Presiden dan beranggotakan 45 orang, terdiri atas: 12 orang wakil
golongan politik, 8 orang utusan atau wakil daerah, 24 orang wakil dari golongan karya dan 1 orang
wakil ketua. 4. DPR hasil pemilu 1955 tetap
DPR hasil Pemilu I tahun 1955 yang dibentuk berdasarkan UU No. 7 tahun 1953 tetap menjalan-
kan tugasnya berdasarkan UUD 1945. DPR tersebut harus menyetujui perubahan-perubahan yang di-
lakukan oleh pemerintah sampai DPR yang baru tersusun.
b. b.
b. b.
b. Menegakkan demokrasi terpimpin Menegakkan demokrasi terpimpin
Menegakkan demokrasi terpimpin Menegakkan demokrasi terpimpin
Menegakkan demokrasi terpimpin
1. Penetapan Manipol sebagai GBHN
Pada tanggal 17 Agustus 1959 Presiden Soekar- no berpidato. Pidatonya diberi judul “Penemuan
Kembali Revolusi Kita”. Pidato tersebut merupa- kan penjelasan dan pertanggungjawaban atas De-
krit 5 Juli 1959 dan merupakan kebijakan Presiden Soekarno pada umumnya dalam mencanangkan
sistem demokrasi terpimpin. Pidato ini kemudian dikenal dengan sebutan “Manifesto Politik Repu-
blik Indonesia” Manipol. DPAS dalam sidangnya pada bulan September
1959 mengusulkan kepada pemerintah agar pidato Presiden Soekarno yang berjudul “Penemuan Kem-
bali Revolusi Kita” dijadikan Garis-garis Besar Ha- luan Negara dan dinamakan “Manifesto Politik
Republik Indonesia Manipol”.
Gambar 2.2.9 Presiden Soekarno sedang berpidato pada
Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI pada tanggal 17 Agustus 1959. Pidato ini kemudian dikenal sebagai
Manifesto Politik Republik Indonesia dan ditetapkan sebagai GBHN.
Sumber: 30 Tahun Indonesia Merdeka 2
Presiden Soekarno menerima baik usulan ter- sebut. Pada sidangnya tahun 1960, MPRS dengan
ketetapan MPRS No. 1MPRS1960 menetapkan Ma- nifesto Politik menjadi Garis-garis Besar Haluan
Negara GBHN. Ketetapan tersebut juga memutus- kan bahwa pidato Presiden Soekarno pada tanggal
7 Agustus 1960, yang berjudul “Jalannya Revolusi Kita” dan pidato di depan sidang Umum PBB yang
berjudul “Membangun Dunia Kembali” To Build the World a New merupakan Pedoman-pedoman Pe-
laksanaan Manifesto Politik. Dalam pidato pembu- kaan Kongres Pemuda di Bandung pada bulan Fe-
bruari 1960, Presiden Soekarno menyatakan bahwa intisari Manipol ada lima. Lima intisari itu adalah
UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi T er- pimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian In-
donesia USDEK. 2. Pembentukan DPR-GR
Pada tanggal 5 Maret 1960 DPR hasil Pemilu I tahun 1955 dibubarkan oleh Presiden Soekarno, ka-
rena menolak Rencana Anggaran Belanja Negara yang diajukan oleh pemerintah. Tidak lama kemu-
Di unduh dari : Bukupaket.com
70
Black 70 C
y a
n 7
dian Presiden berhasil menyusun daftar anggota DPR. DPR yang baru dibentuk tersebut dinamakan
Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong DPR- GR. Seluruh DPR-GR ditunjuk oleh Presiden me-
wakili golongan masing-masing. Anggota DPR-GR dilantik pada tanggal 25 Juni 1960. Dalam upacara
pelantikan tersebut, Presiden Soekarno menyata- kan bahwa tugas DPR-GR adalah melaksanakan
Manipol, merealisasikan amanat penderitaan rak- yat, dan melaksanakan demokrasi terpimpin.
Pada upacara pelantikan wakil-wakil ketua DPR-GR tanggal 5 Januari 1961, Presiden Soekarno
menjelaskan kedudukan DPR-GR. DPR-GR adalah pembantu presidenmandataris MPRS dan membe-
ri sumbangan tenaga kepada Presiden untuk me- laksanakan segala sesuatu yang ditetapkan MPRS.
rena itu, pembentukan DPR-GR supaya ditang- guhkan. Alasannya adalah sebagai berikut.
Perubahan perimbangan perwakilan golong- an-golongan dalam DPR-GR memperkuat pe-
ngaruh dan kedudukan suatu golongan tertentu yang mengakibatkan kegelisahan-kegelisahan
dalam masyarakat dan memungkinkan terja- dinya hal-hal yang tidak diinginkan.
DPR yang demikian, pada hakikatnya adalah DPR yang hanya mengiyakan saja, sehingga ti-
dak dapat menjadi soko guru negara hukum dan demokrasi yang sehat.
Pembaruan dengan cara pengangkatan seba- gaimana yang dipersiapkan itu adalah ber-
tentangan dengan asas-asas demokrasi yang dijamin oleh undang-undang.
Tokoh-tokoh lain y ang tidak menjadi anggota Liga Demokrasi juga menyatakan keberatan ter-
hadap pembubaran DPR hasil Pemilu tahun 1955.
Misalnya, Mr. Sartono dan Mr. Iskaq Cokrohadi- suryo teman lama Presiden Soekarno dalam PNI.
Di samping itu, juga muncul reaksi keras dari Mas-
yumi dan PRI. Sutomo Bung Tomo dari P artai
Rakyat Indonesia PRI lewat pengaduannya yang disampaikan pada tanggal 22 Juni 1960 dengan te-
gas menyatakan bahwa kabinet yang dipimpin Soekarno melakukan pelanggaran terhadap UUD
1945. Pelanggaran yang dilakukan adalah membu- barkan Parlemen Republik Indonesia hasil pilihan
rakyat. Menurut Sutomo, tindakan pembubaran parlemen hasil pilihan rakyat merupakan tindakan
yang sewenang-wenang. Dikatakan sewenang- wenang karena:
ada paksaan untuk menerima Manipol tanpa diberi waktu terlebih dulu untuk mempela-
jarinya; ada paksaan untuk bekerja sama antara golong-
an nasionalis, agama, dan komunis. Reaksi-reaksi yang dilancarkan beberapa par-
tai tersebut ditanggapi Presiden Soekarno dengan rencana membubarkan partai-partai tersebut.
Rencana pembubaran partai-partai ditentang oleh PNI dan PKI sehingga Presiden Soekarno tidak jadi
membubarkannya. Partai PNI dan PKI merupakan partai yang de-
kat dengan Presiden, maka suaranya didengarkan. Sedangkan Partai Masyumi dan PSI yang terlibat
pemberontakan PRRIPermesta dibubarkan pada tanggal 17 Agustus 1960 oleh Presiden Soekarno.
4. Kedudukan PKI semakin kuat
Di antara partai-partai yang ada, PKI merupa- kan partai yang menempati kedudukan istimewa
di dalam sistem Demokrasi T erpimpin. Di bawah
pimpinan D. N. Aidit, dengan tegas PKI mendukung
konsepsi Demokrasi Terpimpin Presiden Soekarno yang berporoskan pada Nasakom. PKI berhasil
Gambar 2.2.10 Pelantikan anggota Dewan Perwakilan
Rakyat Gotong Royong oleh Presiden Soekarno pada tanggal 25 Juni 1960.
Sumber: 30 Tahun Indonesia Merdeka 2
DPR-GR ternyata tidak dapat menjalankan fungsi sebagaimana tuntutan UUD 1945 karena
anggotanya ditunjuk Presiden Soekarno. Mereka selalu tunduk terhadap keputusan Soekarno. DPR
yang menurut UUD 1945 seharusnya sejajar de- ngan Presiden pada kenyataannya berada di ba-
wah presiden. Bahkan, ketua DPR-GR berasal dari menteri yang menjadi bawahan Presiden.
3. Reaksi terhadap pembubaran DPR hasil Pemilu 1955
Tindakan pembubaran DPR hasil Pemilu terse- but mendapat reaksi keras dari partai-partai. Pada
bulan Maret tahun 1960, beberapa partai mendi- rikan Liga Demokrasi. Liga Demokrasi diketuai oleh
Imron Rosyadi dari NU. Anggota Liga Demokrasi
terdiri dari beberapa tokoh partai politik seperti Masyumi, Parkindo, Partai Katolik, Liga Muslimin,
PSI, dan IPKI. Mereka menyatakan bahwa kebijak- sanaan Presiden membubarkan DPR hasil Pemilu
I serta pembentukan DPR-GR merupakan tindakan yang tidak tepat.
Liga Demokrasi mengusulkan agar dibentuk DPR yang demokratis dan konstitusional. Oleh ka-
Di unduh dari : Bukupaket.com
71
Black 71 C
y a
n 7
1
meyakinkan Presiden Soekarno bah wa tanpa PKI, Presiden Soekarno akan lemah terhadap PNI. Ikut
sertanya PKI dalam kehidupan politik Indonesia berarti menduakan Pancasila dengan suatu ideo-
logi yang bertentangan. Letak pertentangannya adalah sebagai berikut.
Pancasila berlandaskan Ketuhanan Yang Maha Esa, sedangkan PKI cenderung ateis.
Pancasila berasaskan Persatuan Indonesia, se- dangkan PKI berdasarkan internasionalisme.
Pancasila berasaskan kerakyatan yang di- pimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam per-
musyawaratan perwakilan, sedangkan komu- nisme berlandaskan pertentangan antarkelas.
Dengan cara mendekati Presiden Soekarno, ke- dudukan PKI semakin kuat. Manipol harus dipe-
gang teguh sebagai satu-satunya ajaran Revolus i Indonesia sehingga kedudukan Pancasila digeser
oleh Manipol. Secara tegas, D.N. Aidit menyatakan bahwa Pancasila hanya dibutuhkan sebagai alat
pemersatu. Kalau rakyat Indonesia sudah bersatu, Pancasila tidak diperlukan lagi. Keadaan semacam
ini menggelisahkan berbagai kalangan yang sepe- nuhnya meyakini Pancasila sebagai dasar negara
dan pandangan hidup. Sekelompok wartawan yang mempunyai keya-
kinan kuat terhadap Pancasila membentuk Badan Pendukung Soekarnoisme BPS dengan harapan agar
Presiden Soekarno berpaling dari PKI dan menem- patkan diri di pihak pembela Pancasila. Dukungan
ini tidak diterima oleh Presiden Soekarno. Justru BPS dilarang kehadirannya. Di antara partai-par-
tai yang masih berani meneror mental PKI adalah Partai Murba. Akan tetapi, akhirnya PKI berhasil
mempengaruhi Presiden Soekarno untuk membu- barkan Partai Murba. PKI juga berhasil menyusup
ke dalam tubuh partai-partai dan beberapa organi- sasi lain yang ada pada waktu itu. Penyusupan
PKI itu mengakibatkan pecahnya PNI menjadi dua.
PNI pimpinan Ali Satroamijoyo disusupi tokoh PKI Ir. Surachman sehingga haluannya menjadi sejajar
dengan PKI. Sedangkan, tokoh-tokoh marhaenis se- jati malah dikeluarkan dengan dalih mereka adalah
marhaenis gadungan. Mereka ini kemudian mem- bentuk kepengurusan sendiri di bawah pimpinan
Osa Maliki dan Usep Ranawijaya. Kemudian dike-
nal sebagai PNI Osa-Usep. Satu-satunya kekuatan sosial politik terorgani-
sasi yang mampu menghalangi PKI dalam usaha- nya merobohkan Republik Indonesia berdasarkan
Pancasila adalah TNI. Oleh karena itu, PKI memu- satkan perhatiannya kepada TNI dari dalam. PKI
membina kader-kader dan simpatisan-simpatisan di kalangan anggota TNI dengan cara menjelek-
jelekkan nama pimpinan TNI yang gigih membela Pancasila.
Daerah-daerah, terutama yang banyak kader PKI-nya melancarkan aksi sepihak. Barisan T ani
Indonesia BTI sebagai ormas PKI diperintahkan mengambil begitu saja tanah-tanah orang lain un-
tuk kemudian dibagi-bagikan kepada anggotanya. Tindakan PKI ini tampaknya merupakan ujian bagi
TNI yang berhadapan dengan massa. Di berbagai tempat terjadi pengeroyokan terhadap anggota
TNI oleh massa PKI, misalnya di Boyolali. Tindakan PKI yang menelan banyak korban jiwa dan harta
ini sementara masih ‘didiamkan’ oleh pemerintah. Karena merasa menang, PKI lebih meningkat-
kan aksinya. PKI menyarankan kepada Presiden Soekarno untuk membentuk Angkatan ke-5. Seba-
gian anggota angkatan ke-5 akan diambil dari PKI yang telah menjadi sukarelawan Dwikora. Usaha
pembentukan Angkatan ke-5 ini sampai akhir ma- sa demokrasi terpimpin dapat digagalkan oleh TNI,
khususnya Angkatan Darat. Di samping itu, PKI juga menuntut dibentuknya Kabinet Nasakom
yang harus mempunyai menteri-menteri dari PKI. Tuntutan ini sebagian dikabulkan oleh Presiden
Soekarno dengan mengangkat pimpinan utama PKI seperti D. N. Aidit, Lukman, dan Nyoto menjadi
menteri, walaupun tidak memegang departemen. 5. Pembentukan Front Nasional dan MPPR
Dalam rangka menegakkan demokrasi terpim- pin, Presiden Soekarno juga membentuk lembaga-
lembaga lain. Selain MPRS, DPR-GR, DP AS, dan Kabinet, Presiden membentuk Front Nasional, Mu-
syawarah Pembantu Pimpinan Revolusi MPPR, dan Dewan Perancang Nasional Depernas.
Front Nasional dibentuk berdasarkan Penpres No. 13 Tahun 1959. Front Nasional adalah organi-
sasi massa yang memperjuangkan cita-cita Prokla- masi dan cita-cita yang terkandung dalam UUD
1945. Front Nasional diketuai Presiden Soekarno. MPPR dibentuk berdasarkan Penpres No. 4 Ta-
hun 1962 yang anggotanya bertugas membantu Presiden Soekarno sebagai Pemimpin Besar Revolu-
si dalam mengambil kebijaksanaan khusus dan da- rurat dalam m enyelesaikan revolusi. Angg ota
MPPR adalah para menteri yang mewakili MPRS dan DPR-GR, departemen-departemen, angkatan-
angkatan, dan wakil dari organisasi Nasakom. 6. Penyimpangan dari UUD 1945
Pada masa demokrasi terpimpin, tampak bah- wa Presiden Soekarno menjadi “pemimpin tung-
gal” dan sumber pedoman kehidupan bernegara. Konstitusi yang ada diabaikan. Oleh karena itu, ter-
dapat kemungkinan terjadinya penyimpangan- penyimpangan terhadap konstitusi.
Dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, pada awal- nya masyarakat Indonesia yakin bahwa dengan
kembali kepada UUD 1945, bangsa dan negara Indo- nesia akan mengalami perubahan struktur politik
Di unduh dari : Bukupaket.com
72
Black 72 C
y a
n 7
2
yang lebih baik. Masyarakat yang telah lama hidup dalam kekacauan politik merindukan suatu masa
yang diwarnai kehidupan politik berdasarkan konstitusi yang berlaku. Ketidakstabilan politik
menghambat perkembangan kehidupan sosial, bu- daya, dan ekonomi. Ternyata harapan dan kerindu-
an masyarakat akan pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan konsekuen tidak terpenuhi. Meskipun
secara tegas dalam dekrit dinyatakan bahwa bang- sa Indonesia harus kembali kepada UUD 1945, ke-
nyataanya masih terdapat banyak penyimpangan dalam pelaksanaannya.
Kebijakan Presiden Soekarno dalam penegakan demokrasi terpimpin banyak menyimpang dari
UUD 1945. Menurut Presiden Soekarno, terpimpin berarti terpimpin secara “mutlak” oleh pribadinya.
Pada masa itu muncul sebutan Pemimpin Besar Revo- lusi. Hal itu untuk memperlihatkan bahwa Presiden
Soekarno adalah pemimpin tunggal atau mutlak. Sedangkan, terpimpin menurut UUD 1945 artinya ke-
rakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksa- naan dalam permusyawaratanperwakilan, yang
dalam hal ini dipimpin oleh MPR. Menurut UUD 1945, presiden dipilih MPR seba-
gai mandataris MPR dan bertanggung jawab kepa- da MPR. Dengan kata lain, kedudukan presiden ada
di bawah MPR. Hal ini sesuai dengan UUD 1945 pasal 6 ayat 2, yang berbunyi: “Presiden dan Wakil
Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat de- ngan suara yangterbanyak”. Sedangkan, dalam demo-
krasi terpimpin, berdasarkan Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1959, anggota Majelis Permusyawarat-
an Rakyat Sementara ditunjuk dan di angkat oleh presiden. Dengan demikian, lembaga tertinggi ini
berada di bawah Presiden. Demikian juga dengan DPAS dan DPR-GR.
Ketua Mahkamah Agung dan Jaksa Agung di- angkat menjadi menteri. Padahal, kedua jabatan
tersebut menurut teori Trias Politica harus terpisah dari kekuasaan eksekutif dan legislatif. Dengan de-
mikian, kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif telah ditempatkan di bawah presiden.
Menurut UUD 1945 pasal 7: “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun,
dan sesudahnya, dapat dipilih kembali”. Sedangkan, Si- dang Umum MPRS tahun 1963 menetapkan bahwa
Presiden Soekarno diangkat sebagai presiden seu- mur hidup. Keputusan itu dikukuhkan dengan Tap
MPRS No. IIIMPRS1963. Ketetapan MPRS tersebut jelas merupakan pelanggaran terhadap UUD 1945.
ccccc..... Politik luar negeri Indonesia
Politik luar negeri Indonesia Politik luar negeri Indonesia
Politik luar negeri Indonesia Politik luar negeri Indonesia
1. Landasan politik luar negeri Indonesia pada masa demokrasi terpimpin
Pada masa demokrasi terpimpin, ada 4 doku- men yang dijadikan sebagai landasan p olitik luar
negeri Indonesia. Dokumen-dokumen itu adalah sebagai berikut.
UUD 1945 Amanat Presiden tanggal 17 Agustus 1959 yang
berjudul “Penemuan Kembali Revolusi Kita” yang terkenal sebagai “Manifesto Politik Repu-
blik Indonesia”. Manifesto politik ini dijadikan sebagai Garis Besar Haluan Negara GBHN
berdasarkan Penetapan Presiden No. 1 tahun 1960, tanggal 29 Januari 1960, dan diperkuat
dengan Ketetapan MPRS No. IMPRSI1 960, tanggal 19 November 1960.
Amanat Presiden tanggal 17 Agustus 1960 yang berjudul “Jalannya Revolusi Kita”. Berdasar-
kan Ketetapan MPRS No. IMPRS1960, tanggal 9 November 1960 menjadi “Pedoman Pelaksa-
naan Manifesto Politik Republik Indonesia”. Pidato Presiden tanggal 30 September 1960 di
muka Sidang Umum PBB yang berjudul “Mem- bangun Dunia Kembali”. Pidato ini ditetapkan
sebagai “Pedoman Pelaksanaan Manifesto Po- litik Republik Indonesia” dengan Ketetapan
MPRS No. IMPRS1960, tanggal 19 November 1960. Kemudian berdasarkan Keputusan DPA
No. 2KptsSd61, tanggal 19 Januari 1961, di- nyatakan sebagai “Garis-garis Besar Politik
Luar Negeri Republik Indonesia” dan sebagai “Pedoman Pelaksanaan Manifesto Politik Luar
Negeri Republik Indonesia”.
2. Politik luar negeri Indonesia bersifat konfrontatif
Pada masa demokrasi terpimpin, politik luar negeri yang dipraktikkan adalah politik luar negeri
yang revolusioner. Dalam beberapa hal politik luar negeri Indonesia sarat konfrontasi karena masa itu
oleh Pemerintah Presiden Soekarno dianggap se- bagai masa konfrontasi. Diplomasi yang revolusi-
oner, diplomasi yang konfrontatif, diplomasi per - juangan, diplomasi yang mau merombak dan me-
nyusun suatu suasana dan perimbangan baru an- tara negara-negara dipakai sebagai alat politik luar
negeri. Presiden Soekarno memperkenalkan doktrin
politik baru. Doktrin itu mengatakan bahwa dunia terbagi dalam dua blok, yaitu “Oldefos” Old Estab-
lished Forces dan “Nefos” New Emerging Forces. Soe- karno menyatakan bahwa ketegangan-ketegangan
di dunia pada dasarnya akibat dari pertentangan antara kekuatan-kekuatan orde lama Oldefos dan
kekuatan-kekuatan yang baru bangkit Nefos. Im- perialisme, kolonialisme, dan neokolonialisme me-
ngabdi pada kekuatan lama. Saat pemerintah Indonesia menganut sistem
demokrasi terpimpin, cita-cita politik luar negeri yang bebas-aktif tidak tercapai. T erjadi penyim-
pangan-penyimpangan. Negara Indonesia ternyata tidak bebas dari blok-blok negara lain, tetapi justru
condong ke arah blok sosialis-komunis.
Di unduh dari : Bukupaket.com
73
Black 73 C
y a
n 7
3
Karena politik luar negeri Indonesia bersifat konfrontatif, revolusioner dan cenderung berpihak
ke blok timur, maka pergaulan Indonesia di dunia internasional menjadi semakin sempit. Berikut ini
adalah beberapa kebijakan luar negeri yang dilaku- kan pemerintah pada masa demokrasi terpimpin.
Memutuskan hubungan diplomatik dengan Be- landa 17 Agustus 1960.
Mengirim kontingen pasukan perdamaian pa- sukan Garuda II ke Kongo 10 September 1960.
Indonesia ikut terlibat dalam Gerakan Non Blok September 1961.
Pembebasan Irian Jaya 1962. Konfrontasi dengan Malaysia 1963.
Menyelenggarakan Ganefo I Games of the New
Emerging Forces 1963. Indonesia keluar dari keanggotaan PBB 1964.
Mempraktikkan politik luar negeri yang con- dong ke negara-negara sosialis-komunis blok
timur. Indonesia membuka hubungan poros Jakarta—Peking Indonesia—RRC dan poros
Jakarta—Pnom Penh—Hanoi—Peking— Pyongyang Indonesia — Kamboja — Vietnam
Utara—RRC—Korea Utara. Presiden Soekarno dengan politik mercusu-
arnya berpendapat bahwa Indonesia merupakan mercusuar yang mampu menerangi jalan bagi Nefo
di seluruh dunia. Dengan politik mercusuar, Indo- nesia mengambil posisi sebagai pelopor dalam me-
mecahkan masalah-masalah internasional pada masa itu. Dengan demikian Indonesia akan diakui
sebagai negara yang pantas diperhitungkan di Asia. Pada praktiknya, politik mercusuar merugikan
masyarakat secara nasional. Dengan demikian, je- laslah bahwa dalam masa demokrasi terpimpin,
sistem politik yang diberlakukan juga menyimpang dari Pancasila dan UUD 1945.
3. Konfrontasi dengan Malaysia
Rencana pembentukan negara Federasi Malay- sia yang diprakarsai Inggris menimbulkan perso-
alan baru bagi negara-negara yang berdampingan, misalnya Indonesia, Filipina, dan Malaya. Indone-
sia secara tegas menentang pembentukan Federasi Malaysia. Indonesia menganggap pembentukan Fe-
derasi Malaysia adalah proyek neokolonialis Ing- gris yang membahayakan revolusi Indonesia. Satu
pangkalan militer asing yang ditujukan antara lain untuk menentang Indonesia dan juga menentang
New Emerging Forces di Asia Tenggara. Oleh karena itu, pembentukan federasi itu harus digagalkan.
Pemerintah Indonesia, Malaya, dan Philipina mengadakan beberapa kali pertemuan untuk me-
nuntaskan permasalahan tersebut. Perundingan dilaksanakan dari bul an April - Sept ember 1963.
Berikut ini adalah rangkaian pertemuan ketiga ne- gara yang membahas masalah pembentukan nega-
ra federasi Malaysia. Tanggal 9–17 April 1963. Di Philipina, para
menteri luar negeri ketiga negara bertemu un- tuk membicarakan masalah pembentukan Fe-
derasi Malaysia, kerja sama antarketiga negara, dan mempersiapkan pertemuan-pertemuan se-
lanjutnya. 1 Juni 1963. Presiden Soekarno Indonesia dan
PM Tengku Abdul Rachman Malaya menga- dakan pertemuan di Tokyo, Jepang. PM Malaya
menyatakan kesediaannya untuk membicara- kan masalah yang seda ng dihadapi dengan
Presiden RI dan Presiden Filipina, baik me- ngenai masalah-masalah yang menyangkut
daerah Asia Tenggara maupun rencana pem- bentukan Federasi Malaysia.
Tanggal 7–11 Juni 1963. Menteri luar negeri Malaya, Indonesia, dan Philipina bertemu di
Manila untuk membicarakan persiapan ren- cana pertemuan 3 kepala pemerintahan.
Tanggal 9 Juli 1963. Perdana Menteri Tengku Abdul Rachman menandatangani dokumen
pembentukan Negara Federasi Malaysia di London. Tindakan ini membuat negara Filipina
dan Indonesia bersitegang dengan Malaysia. Tanggal 3 Juli - 5 Agustus 1963. Kepala peme-
rintahan Malaysia, Filipina, dan Indonesia me- ngadakan pertemuan di Manila. Pertemuan ini
menghasilkan Deklarasi Manil a, Persetujuan Manila, dan Komunike Bersama. Dalam Per-
setujuan Manila antara lain dikatakan bahwa Indonesia dan Filipina akan menyambut baik
pembentukan Federasi Malaysia apabila du- kungan rakyat di daerah Borneo diselidiki oleh
otoritas yang bebas dan tidak memihak, yaitu Sekretaris Jenderal PBB atau wakilnya.
Tanggal 16 September 1963. Negara Federasi Malaysia diresmikan, tanpa menunggu hasil
penyelidikan dari misi PBB. Pemerintah Indo- nesia menuduh Malaysia telah melanggar De-
klarasi Bersama. Tanggal 17 September 1963. Masyarakat di Ja-
karta mengadakan demonstrasi di Kedutaan Besar Malaysia di Jakarta. Tindakan tersebut
dibalas oleh masyarakat Malaysia dengan me- lakukan demonstrasi terhadap Kedutaan Besar
Indonesia di Malaysia. Hubungan diplomatik antara Indonesia dan Malaysia putus pada
tanggal 17 September 1963. Sejak itu hubungan Indonesia dan Malaysia semakin memanas.
Pada tanggal 3 Mei 1964, Presiden Soekarno se- bagai Panglima Tertinggi ABRI dan kepala negara
berpidato mengenai Dwikora. Isi pidato itu antara lain sebagai berikut.
Perhebat revolusi Indonesia. Bantu perjuangan revolusioner rakyat Malaya,
Singapura, Sabah, Serawak, dan Brunei untuk membubarkan Negara Boneka Malaysia.
Di unduh dari : Bukupaket.com
74
Black 74 C
y a
n 7
4
Untuk menggagalkan pembentukan Negara Fe- derasi Malaysia itu pemerintah melakukan bebera-
pa tindakan, antara lain: pemerintah mengadakan konfrontasi sen jata
dengan Malaysia; pembentukan sukarelawan yang terdiri dari
ABRI dan masyarakat; dan mengirimkan sukarelawan k e Singapura dan
Kalimantan Utara, wilayah Malaysia, melalui Kalimantan untuk melancarkan operasi terha-
dap Angkatan Perang Persemakmuran Inggris. Konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia
membawa beberapa akibat berikut. Timbulnya politik Poros Jakarta—Peking.
Hilangnya simpati rakyat Malaysia terhadap
Indonesia. Kerugian materi yang sudah dikeluarkan untuk
biaya konfrontasi.
4. Indonesia keluar dari PBB
Dalam situasi konflik Indonesia—Malaysia, Malaysia dicalonkan sebagai anggota tidak tetap
Dewan Keamanan PBB. Menanggapi pencalonan Malaysia tersebut, Presiden Soekarno pada tanggal
31 Desember 1964 menyataka n ketidaksetujuan- nya. Kalau PBB menerima Malaysia menjadi anggo-
ta Dewan Keamanan, Indonesia mengancam akan keluar dari PBB. Keberatan Indonesia itu disampai-
kan oleh Kepala Perutusan Tetap RI di PBB kepada Sekertaris Jenderal PBB, U Thant.
Ancaman Indonesia tidak mendapatkan tem- pat di PBB. Pada tanggal 7 Januari 1965, Malaysia
diterima sebagai anggota tidak tetap Dewan Kea- manan PBB.
Keputusan PBB ini membuat Indonesia menya- takan diri keluar dari PBB. Indonesia tidak menjadi
anggota PBB lagi. Keluar dari PBB juga berarti kelu- ar dari keanggotaan badan-badan PBB, khususnya
UNESCO, UNICEF, dan FAO. Pernyataan resmi keluarnya pihak Indonesia
dari PBB disampaikan melalui Surat Menteri Luar Negeri, Dr. Subandrio, tertanggal 20 Januari 1965.
Dalam surat tersebut ditegaskan bahwa Indonesia keluar dari PBB secara resmi pada tanggal 1 Januari
1965. Jadi, alasan utama Indonesia keluar dari PBB
adalah karena terpilihnya Malaysia menjadi ang- gota tidak tetap Dewan Keamanan PBB.
B. Keadaan ekonomi