Otonomi daerah Konflik etnik

245 itu memberi ruang bagi penyaluran bantuan kemanusiaan yang sangat dibutuhkan rakyat Aceh.  Tepat 19 November 2002, Henry Dunant Center HDC sebagai mediator perundingan GAM dan Pemerintah RI mengumumkan disepakatinya persetujuan penghentian permusuhan pada 9 Desember 2002. Jenewa jadi saksi penandata- nganan The Cessation of Hostilities Agreement COHA atau Kesepakatan Penghentian Permu- suhan pada 9 Desember 2002.

a. Otonomi daerah

Otonomi daerah adalah s alah satu t untutan dan agenda reformasi. Pemerintahan yang sentral- istik dan Jakarta Sentris sebagaimana terjadi se- lama Orde Baru sudah saatnya diakhiri dengan memberikan hak dan kewenangan kepada setiap daerah untuk mengatur daerahnya sendiri di da- lam NKRI. Pemerintah RI sudah mencanangkan otonomi daerah ini sejak tahun 1999 dengan dikelu- arkannya UUD No. 22 Tahun 2001 tentang otonomi daerah. D alam pelaksanaannya, UU ini dirasakan belum mencerminkan cita-cita otonomi daerah yang diinginkan, salah satunya adalah masalah per- imbangan keuangan pusat-daerah yang menimbul- kan kesan bahwa pemerintah setengah hati dalam melaksanakan otonomi daerah. Pemerintah kemudian merevisi UU tersebut dan menggantinya dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pusat dan pemerintah daerah. Dengan UU yang baru ini kemudian ditegaskan bahwa otonomi daerah di- maksud sebagai hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom un tuk me ngatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan ma- syarakat setempat sesuai dengan peraturan per- undang-undangan UU No. 32 Tahun 2004, pasal 1 ayat 5. Di sini, kecuali dalam urusan mata uang dan hubungan luar negeri, seluruh urusan penga- turan dan pengelolaan daerah bisa diatur dan d i- urus sendiri oleh masing-masing kepala daerah provinsi dan kabupatenkota.

b. Konflik etnik

Beberapa konflik etnik terjadi di Kalimantan Barat, Maluku, dan Poso Sulawesi Tengah selama masa reformasi.  Di Kalimantan Barat terjadi konflik etnis antara suku Dayak, Melayu, dan warga pendatang dari suku tertentu. Konflik mulai pecah pada tanggal 19 Januari 1999. Konflik ini dapat di- selesaikan ketika pada tanggal 26 April 1999. Suku-suku yang bertikai duduk bersama dan membentuk Forum Komunikasi Masyarakat Kali- mantan Barat. Dalam forum itu disepakati bahwa setiap perselisihan dan konflik yang muncul harus dipandang sebagai masalah perorangan dan bukan masalah kelompok etnik.  Di Ambon terjadi konflik etnis berlatar bela- kang agama. Pemicu konflik di Maluku adalah bentrokan antara seorang warga Batumerah Ambon dengan seorang sopir angkutan kota. Kejadian pada 19 Januari 1999 itu memicu kon- Gambar 7.1.9 Penandatanganan Perjanjian Damai Aceh di Helsinki pada tanggal 15 Agustus 2005. Perjanjian ini membuka babak baru bagi perdamaian di Aceh setelah dilanda konflik berkepanjangan.  Setelah mengalami bencana tsunami tanggal 26 Desember 2004 yang menghancurkan Aceh. Pre- siden Susilo Bambang Yudhoyono menawarkan gencatan senjata demi melancarkan proses per- baikan kembali Aceh. Sementara itu, pimpinan GAM di Swedia sehari setelah gelombang tsu- nami memerintahkan kepada GAM untuk tidak menyerang TNI. Lebih lanjut, Perdana Menteri GAM, Malik Mahmud, menyambut tawaran damai pemerintah RI itu dengan syarat tidak dalam rangka otonomi khusus, tetapi dalam rangka jeda kemanusiaan. Swedia tak ketinggal- an menekan para petinggi GAM untuk meng- hormati usulan gencatan senjata dan menerima tawaran berunding. Perundingan antarkedua belah pihak akhirnya menghasilkan sebuah Per- janjian Damai Aceh yang ditandatangani di Helsin- ki pada tanggal 15 Agustus 2005.

C. Peristiwa-peristiwa di bidang sosial kemasyarakatan