Identitas madrasah diniyah takmiliyah

137 kemampuannya dalam mengajar juga sudah baik, artinya dapat melihat suasana, menkondusifkan kelas, pengelolaan kelas telah dapat dilakukan dengan baik. Hal tersebut dikarenakan para pendidik junior tersebut juga mencotoh pendidik terdahulu saat dia menjadi santri. terkait kemampuan mengajar juga pengelola Madin An-Nawawi juga telah menyesuaikan antara kemampuan atau kekuatakan yang dia punyai dengan pelajaran yang akan diampu.

b. Materi pokok dan identitas mata pelajaran atau temasubtema;

Materi pokok dan identitas mata pelajaran telah ditentukan oleh pihak madrasah diniyyah. Hal tersebut juga sudah mencakup kitab atau buku acuan yang digunakan dalam pemebelajarannya. Fan atau mata peajaran dibagi berdasar jenis ilmu keagamaan yang ada dalam agama Islam, seperti: Al-Qur ’an kitab suci, nahwu-shorof gramatika Arab, akhlaq perilaku, tauhid teologi tentang Aqidatul Awal, sifat-sifat tuhan dan yang berhubungan tentang teologi dasar, fiqh hukum keseharian, dll. Berdasar jenis-jenis ilmu yang telah dibagi tersebut, pihak madrasah juga telah menentukan kitab-kitab apa yang digunakan sebagai acuan pelajaran tersebut di tiap kelasnya. Seperti pada sekolah formal, kitab yang digunakan sebagai acuan pelajaran juga memiliki tingkat kesulitan yang berbeda sesuai dengan tingkatan kelasnya. Dalam hasil peneltian di atas telah dipaparkan dengan menggunakan tabel bagaimana mata palajaran diatur dalam keberlangsungan pembelajaran dimadrasah. Mulai dari jenis pelajarannya sampai pada kitab yang digunakan sebagai 138 sumber belajar serta media belajar dalam pembelajaran. Hal itu menujukkan bahwa Madrasah Diniyyah An-Nawawi dalam hal perencanaan terkait mata pelajaran fan dalam keberlangsungan proses pendidikan sudah terencana dengan baik.

c. Kelassemester

Dari data yang dipaparkan dalam hasil penelitian dalam sub bab kelassemester di atas dapat dilihat adanya gradasi yang semakin menurun saat semakin tinggi kelas. Hal ini merupakan fenomena yang perlu mendapat perhatian dalam keberlangsungan pendidikan madin. Pengerucutan jumlah santri tiap tingkatannya tidak lepas dari akbiat kurang sinkronnya antara sekolah formal dan sekolah nonformal madrasah diniyyah dalam Pondok Pesantren An-Nawawi. Dimana untuk dapat lulus di madrasah diniyyah, santri memerlukan 7 tahun mengingat adanya 7 tingkatan yang harus dilalui. Sementara sekolah formal di Pondok Pesantren An-Nawawi dimulai dari jenjang menengah pertama MTS, menengah atas MA, dan perguruan tinggi STAIAN. Secara keseluruhan, jika dihitung mulai dari jenjang MTS, MA, hingga STAIAN, setidanya membutuhkan waktu 10 tahun. Namun berbeda dengan MTS dan MA yang cenderung dapat dikatakan satu paket yang berarti membutuhkan 6 tahun untuk dapat lulus sekolah formal. Sementara dalam jenjang perguruan tinggi STAIAN opsi yang dimiliki santri cenderung lebih variatif. Mengingat bervariasinya minat, bakat, 139 keinginan, serta kemampuan ekonomi santri yang berbeda-beda untuk melanjutkan ke jenjang tingkat perguruan tinggi. Hal ini mengakibatkan setelah lulus pendidikan formal pada tingkat MA, santri cenderung untuk meninggalkan pondok pesantren, yang berarti juga keluar dari madrasah diniyyah. Hal itu menjadi kendala klasik yang dialami oleh madrasah diniyyah sejak dahulu karena memang format Pondok Pesantren An-Nawawi berasal dari pesantren tradisional. Konsekuensi logis lainnya yang ditangkap oleh peneliti adalah saat orang tua santri baru memasukan anaknya ke pondok pesantren madrasah diniyyah, saat anaknya masuk jenjang MA. Dengan pertimbangan, terlalu kecil untuk memasukan anaknya ke madrasah diniyyah yang berarti juga memasukan anaknya ke pondok berasrama pada usia MTS, usia yang dirasa masih kecil untuk berasrama. Akibatnya, sebelum saat lulus MA dan keluar dari pondok, santri belum mencapai tingkat Ulya kelas III, bahkan hanya sampai Ulya tingkat II. Skenario ini sering ditemui oleh peneliti yang mengakibatkan kecilnya jumlah santri di tingkat Ulya. Kemungkinan selanjutnya yang dapat mengkibatkan semakin rendahnya jumlah santri seiring semakin tingginya kelas adalah tinggal kelas karena hafalan. Hal ini juga menjadi alasan ditemukan peneliti, perihal semakin sedikitnya santri di tingkat Ulya. Hal-hal ini yang menjadi alasan jumlah santri yang semakin menurun saat semakin tinggi 140 tingkatannya. Pak MJ selaku kepala pondok juga mengkonfirmasi fenomena tersebut sebagai salah satu kendala sistemik ada di Pondok Pesantren An-Nawawi. Hal ini dikatakan sebagai salah satu dampak dari transisi pesantren salafiah tradisional menuju ke pesantren yang lebih modern. Namun perbaikan terkait hal ini juga telah dipikirkan oleh pihak madrasah maupun pondok, tapi perlu waktu dalam realisasinya.

d. Kompetensi dasar dan indikator pencapaian kompetensi

Berdasar pada paparan dalam hasil penelitian, menurut pengamatan peneliti walaupun terlihat tidak rinci dan global dalam pembelajaran. Tidak detailnya perencanaan yang susun oleh Madin An- Nawawi terlihat dari tidak adanya KD ataupun indikator pencapaian kompetensi yang disusun secara detail dalam tiap tingkatan kelasnya. Kompetensi dasar dan Indikator pencapaian kompetensi hanya disusun secara global dalam tingkatan besar, yaitu Awwaliyah, Wustho, Ulya. Disisi lain, pembelajaran di Madrasah Diniyyah An-Nawawi tetap dapat berjalan dengan model seperti ini. Hal itu dikarenakan objek kajian berupa ajaran yang berupa syariah agama. Ajaran agama berbeda dengan ajaran dalam ilmu pengetahuan yang sangat variatif versi dan perspektifnya. Ilmu agama lebih sedikit versi dan kontroversinya karena didasari dengan kepercayaan. Ustadz atau pendidik di Madrasah Diniyyah An-Nawawi termasuk dalam satu golongan yaitu Agama Islam dengan golongan NU. Belum lagi, kesamaaan Kyai atau pun gurunya, yaitu sama-sama dibawah asuhan dari pengasuh pondok untuk para 141 pendidiknya. Hal ini membuat kesamaan visi yang terbangun cukup kuat antar pendidik. Itu sangat menguntungkan dalam hal pencapaian ekspektasi antara pembuat standar kompetensi dan implementator dalam hal ini adalam ustadz atupun guru. Jika kinerja pendidik kurang dapat memenuhi ekspektasi pihak madrasah. Tiap akhir tahun ajaran diadakan evaluasi antara pihak madrasah, selanjutnya akan dilaporkan kepada pengasuh terkait kelanjutanya. Dari pengasuh akan memberikan pengarahan selanjuntnya, apakah ustadz dipertahankan, dipindah ke fan lain, atau diganti untuk mengisi pos lain selain mengajar. Keputusan dari pengasuh bersifat mutlak. Prinsip Pondok Pesantren An-Nawawi adalah bahwa guru adalah orang yang lebih mengerti diri kita daripada diri kita sendiri. Namun hal ini tetap ketidakrincian dalam menyusun KD atau indikator pencapaian kompetensi tetap berdampak pada tidak tepatnya waktu pembelajaran. Ada kemungkinan akan kekurangan waktu pembelajaran untuk menamatkan satu kitab pada satu pembalajaran, ada kemungkinan sisa waktu dalam pembelajaran. Hal tersebut pula yang yang dirasakan menjadi kendala pada beberapa pendidik saat diwawancarai oleh peneliti. Namun, walaupun dengan tidak adanya KD dan indikator yang disusun secara detail dalam masing-masing bab pembelajaran dalam madin tetap dapat berjalan, namun hal itu menimbulkan problema bagi para implementatornya.