Tujuan pendidikan Madrasah Diniyyah An-Nawawi

98 Janan. Ustdaz menerangkan dengan bahasa Jawa yang halus dan lantang, setelah menerangkan ustadz menulis di papan tulis. Sebagai media interaksi, ustadz menunjuk secara acak santri untuk menuliskan tulisan Arab di depan kelas. Diakhir pelajaran, ustadz mengadakan kuis, siapa yang dapat menjawab terlebih dahulu santri boleh pulang terlebih dahulu. Hal itu membuat santri antusias untuk mengikutinya. Ustadz juga membiarkan salah satu anak yang tertidur karena pada tahap Awwaliyah dianggap oleh ustadz sebagai waktu untuk beradaptasi dengan pendidik di Pondok Pesantren An-Nawawi yang padat, Namun jika terus berulang ustadz akan menegur hal tersebut. Berbeda dengan metode yang digunakan oleh Ustadz TH Beliau adalah pendidik yang di datangkan dari luar pondok untuk mengajar kelas yang tingkatannya lebih tinggi, mengingat keseniorannya dan background pendidikan tinggi yang disandangnya. Beliau juga merupakan pendidik di Sekolah Tinggi An-Nawawi STAIAN untuk bidang Ekonomi Islam. Saat peneliti melakukan pengamatan di kelasnya, beliau mengajar Fan M. Hadits. Beliau mengawali dengan berbagai doa, lalu mulai masuk pelajaran inti dengan melakukan mencongak secara acak untuk pelajaran kemarin, dimana santri disuruh untuk membaca tulisan Arab beserta artinya. Setelah selesai mencongak beliau melanjutkan dengan membaca, menerangkan, mengartikan, serta membahas kitab tentang hadis yaitu kitab Tafsir Mustholaul Hadits. Satu jam pelajaran yang berdurasi 60 menit didominasi dengan metode seperti 99 itu, dengan sedikit menulis di papan tulis dan sesekali meminta santri untuk membaca bacaan Arab.

g. Sumber belajar dan media belajar

Sumber belajar dapat berupa buku, media cetak dan elektronik, alam sekitar, atau sumber belajar yang lain yang relevan. Sementara media pembelajaran berupa alat bantu proses pembelajaran untuk menyampaikan materi pelajaran. Kedua hal ini sering kali berkaitan dalam pembelajaran dan memang hal tersebut yang terjadi dalam pembelajaran di Madrasah Diniyyah An-Nawawi. Sumber belajar utama dalam pembelajaran di madrasah diniyyah adalah Al- Qur’an sebagai kitab suci Agama Islam dan kitab-kitab lain. Kitab-kitab lain tersebut tidak kalah pentingnya jika dibandingkan dengan keberadaan Al- Qur’an sebagai sumber yang paling utama dan terpercaya. Posisi kitab lain di luar Al- Qur’an adalah sebagai pengurai Al- Qur’an itu sendiri. Al-Qur’an sebagai kitab suci Agama Islam mempunyai pengaruh yang sangat penting dan komprehensif dalam menentukan ajaran dan hukum dalam Islam. Bahasa Al- Qur’an adalah bahasa kias yang menyebabkan sulit untuk dapat dipahami secara utuh jika dilihat dari maknanya secara langsung. Terkait hal tersebut, perlu kitab-kitab yang merupakan karangan dari para orang sholeh terdahulu, untuk dapat memberikan penjelasan secara lebih detail, jelas dan dari berbagi perspektif agar apa yang tertulis dalam Al- Qur’an dapat dicerna 100 sebagaimana mestinya. Hal serupa juga dikatakan oleh Bapak TH selaku pengajar senior di madrasah diniyyah menyatakan sebagai berikut. ―Kitab-kitab adalah sumber belajar yang penting, kita kembali pada Al- Qur’an tapi tidak langsung pada Al-Qur’an. Tidak dapat memahami Al- Qur’an tanpa bantuan kitab-kitab seperti, Fiqh, Nahwu, Shorof, jadi Al- Qur’an dan hadits general, dan kitab-kitab lain menjelaskan secara detail, sama saja seperti pancasila dalam negara Indonesia yang menjelaskan secara umum ‖ Minggu, 7 Desember 14. Pernyataan di atas memberi kita gambaran, bahwa madrasah diniyyah memiliki sumber belajar yang utama berupa Kitab Suci Al- Qur’an dan hadits. Namun untuk dapat memahami secara lebih detail, juga diperlukan kitab-kitab lain yang menerangkan terkait dua sumber utama tersebut. Namun jika kita bicara media pembelajaran pada madrasah diniyyah, tidaklah sebanyak kitab-kitab yang dipelajari. media pembelajaran di kelas sangat sederhana dalam membantu kegiatan belajar mengajar berlangsung. Praktis hanya papan tulis dan perlengkapan tulis pendukungnya, dikarenakan bahan ajarnya yang berupa kitab dan tidak memerlukan variasi alat peraga. Jika pun ada, itu lebih cenderung digunakan untuk prakteknnya. Namun praktek biasanya dilakukan di kegiatan di luar jam madrasah, yaitu di pengajian luar madrasah yang diadakan setiap sore. Hal ini tentunya bertujuan untuk mengefektifkan waktu madrasah diniyah yang hanya berlangsung pada malam hari.