141
Kegiatan 1
1. Guru menanyakan, apakah tujuan mengikat kucing di asrama pada saat berdoa di asrama? Mengapa para murid tetap mengikat kucing setelah kepala biara
meninggal dunia? Mengapa kebiasaan ini tetap dilanjutkan setelah kucing itu mati?
Yang ingin ditekankan di sini ialah bahwa ada banyak tradisi dalam praktik agama yang ternyata terjadi secara kebetulan atau tidak disengaja. Mengikat kucing
sebelum waktu berdoa dilakukan supaya kucing itu tidak mengganggu para biarawan yang berdoa, namun ketika setelah kepala biara meninggal dunia ternyata para murid
sudah lupa mengapa kucing itu dulu diikat di tiang. Akhirnya ketika si kucing mati, mereka malah mencari kucing lain untuk menggantikannya, dan jauh di kemudian
hari murid-murid pun menulis tulisan-tulisan ilmiah tentang makna keagamaan mengikat seekor kucing di tiang pada saat berdoa – sesuatu yang sama sekali tidak
pernah direncanakan ataupun dipikirkan oleh sang kepala biara
2. Pada pertanyaan selanjutnya, guru menanyakan kepada murid, apa arti cerita ini bagi kehidupan gereja mereka sehari-hari?
HZDWSHUWDQ\DDQLQLPXULGGLDMDNXQWXNEHUHÀHNVLGDQEHUSLNLUNULWLVWHQWDQJ ritual keagamaan di gereja mereka masing-masing. Adakah ritual keagamaan
yang muncul dari ketidaksengajaan seperti dalam kisah di atas?
Uraian Pelajaran
B. Gereja dan Tradisi
Cerita tentang “Kucing di Biara” mengingatkan kita akan suatu kegiatan yang terjadi tanpa disengaja dan kemudian dijadikan suatu kebiasaan dan bahkan kebenaran
yang tidak tergantikan dan tergoyahkan. Aktivitas yang menjadi kebiasaan, yang diturunkan dari satu generasi ke generasi lainnya disebut “tradisi”. Kata “tradisi”
berasal dari bahasa Latin, yaitu traditio yang artinya “sesuatu yang diwariskan”, “sesuatu yang diturunkan kepada pihak penerus”, atau “kebiasaan”. Kebiasaan ini
adalah suatu praktik yang sudah diterima sebagai sesuatu yang sudah seharusnya ada. Orang tidak lagi mempertanyakannya karena hal itu dianggap sebagai suatu
kebenaran yang mutlak.
Kebiasaan-kebiasaan apakah yang ada di dalam gereja? Apa yang ada di gereja kita tidak selamanya demikian. Di sini kita membahas beberapa hal yang sudah dianggap
“sudah seharusnya demikian” atau “sejak dahulu memang begitu,” sementara pada kenyataannya tradisi seperti itu tidak dimaksudkan demikian. Ada kalanya pula
sebuah tradisi muncul dari kebiasaan setempat yang kemudian dijadikan aturan yang bersifat umum.
142 Pendidikan Agama Kristen dan Budi Pekerti
1. Kepemimpinan perempuan Ada sejumlah gereja yang menolak kepemimpinan perempuan atau penahdapatn
perempuan. Hanya laki-laki yang boleh ditahbiskan menjadi pendeta hanya, sementara perempuan dianggap tidak layak atau tidak cocok menjadi pendeta. Urusan
perempuan hanya di dalam rumah tangga saja. Urusan di luar rumah tangga dan kehidupan keluarga menjadi urusan laki-laki. Padahal, seperti yang sudah kita bahas
dalam Bab 1, gereja perdana adalah gereja yang terbuka, gereja yang merangkul semua pihak yang tersingkirkan. Gereja ternyata adalah sebuah komunitas yang
revolusioner dan mengakui kepemimpinan perempuan di gereja.
Baru-baru ini, Gereja Anglikan di Inggris mengambil keputusan untuk membolehkan perempuan menjadi uskup mereka. Namun gereja-gereja yang
menolaknya, mencoba mencari alasan teologisnya. Misalnya, bukankah Yesus hanya memanggil laki-laki sebagai murid-murid-Nya? Alasan lainnya, sebagai pemimpin
ibadah, pendeta berdiri sebagai wakil Yesus. Karena Yesus laki-laki, maka hanya laki- laki sajalah yang paling tepat berdiri sebagai wakil Yesus di dalam kebaktian. Pdt.
Christian Ebisike, uskup Anglikan di Ebonyi, Nigeria, menyatakan bahwa keputusan Pdt. Justin Welby, Uskup Agung Canterbury, pemimpin Gereja Anglikan se-Dunia,
yang mengizinkan perempuan menjadi uskup, adalah sebuah “penyimpangan atas ajaran-ajaran Alkitab. Alkitab dan sejarah gereja menunjukkan bahwa perempuan
tidak pernah menjadi rasul, penginjil, ataupun guru di kalangan gereja perdana.”
Ada lagi yang mengutip kata-kata Paulus dalam 1 Korintus 14:34-35:
34
Sama seperti dalam semua Jemaat orang-orang kudus, perempuan- perempuan harus berdiam diri dalam pertemuan-pertemuan Jemaat. Sebab
mereka tidak diperbolehkan untuk berbicara. Mereka harus menundukkan diri, seperti yang dikatakan juga oleh hukum Taurat.
35
Jika mereka ingin mengetahui sesuatu, baiklah mereka menanyakannya kepada suaminya di
rumah. Sebab tidak sopan bagi perempuan untuk berbicara dalam pertemuan Jemaat.
Ayat lain yang juga sering digunakan untuk menolak perempuan menjadi pendeta adalah 1 Timotius 2:11-12: “Seharusnyalah perempuan berdiam diri dan menerima
ajaran dengan patuh. Aku tidak mengizinkan perempuan mengajar dan juga tidak mengizinkannya memerintah laki-laki; hendaklah ia berdiam diri.”
Kalau benar Paulus melarang perempuan berbicara dalam kebaktian, mengapa dalam 1 Korintus. 11:5 ia justru menyebut-nyebut tentang perempuan yang berdoa
dan bernubuat di tengah kebaktian? Karena itu, tampaknya ayat-ayat di Surat 1 Korintus. dan 1 Timotius ini ini berkaitan dengan masalah yang dihadapi jemaat-
jemaat setempat. Perempuan-perempuan di jemaat Korintus tampaknya kurang berpendidikan sehingga mereka sering bertanya-tanya apa yang dimaksudkan oleh
si pengkhotbah. Akibatnya, suasana kebaktian terganggu. Karena itulah Paulus
143
kemudian melarang mereka berbicara di tengah-tengah kebaktian dan baru bertanya kepada suami mereka apabila sudah pulang ke rumah saja.
Dalam 1 Timotius 2:11-12, masalahnya adalah bagaimana memahami kata authentein bhs. Yunani = “memerintah”. Di sini tampaknya terjadi kesulitan
untuk menerjemahkan kata authentein yang sangat jarang digunakan. Paulus tidak menggunakan kata exousia = “kuasa” yang bersifat positif. Kata authentein di sini
bersifat negatif, sebab kata ini mengandung makna “perebutan” atau “perampasan” kekuasaan. Dengan demikian larangan Paulus di sini dimaksudkan untuk mencegah
perempuan menyalahgunakan kekuasaan di dalam kepemimpinan gereja, bukan di dalam pengajaran dan pemberitaan seperti dalam mandat yang diberikan kepada
seorang pendeta atau pengkhotbah.
Di sini kita dapat melihat bagaimana sebuah tradisi yang keliru dapat berkembang dan dilanjutkan begitu saja tanpa pemahaman yang kritis terhadap masalahnya dan
terhadap teks Alkitab. 2. Peribadahan
Masalah lain yang berkaitan dengan tradisi adalah penggunaan alat-alat musik dalam kebaktian. Alat musik apakah yang layak dan yang tidak layak dipergunakan?
Dari warisan tradisi kebaktian yang diturunkan oleh para misionaris Belanda, banyak gereja di Indonesia hanya menggunakan piano dan organ untuk mengiringi nyanyian
jemaat. Alat-alat musik yang lain dianggap tabu. Misalnya gitar dianggap tidak layak dipergunakan dalam kebaktian. Begitu pula alat-alat musik tradisional seperti gamelan
atau gondang Batak dianggap tidak boleh dimainkan dalam kebaktian-kebaktian GLJHUHMDNDUHQDGLDQJJDSVHEDJDLPXVLNRUDQJND¿U1DPXQVHNDUDQJSDQGDQJDQ
itu sudah berubah. Karena itulah sekarang kita melihat banyak sekali gereja yang mengembangkan musik kreatif dengan alat-alat musik yang diangkat dari tradisi
setempat. Semua ini membuat ibadah menjadi semakin kaya. Orang dapat merasakan bagaimana menyembah Tuhan dengan musik setempat, dengan alat-alat musik yang
akrab di telinga mereka selama ini. Hal ini sejiwa dengan apa yang dikatakan dalam Mzm. 150:
1
+DOHOX\D3XMLODKOODKGDODPWHPSDWNXGXV1\D 3XMLODKLDGDODPFDNUDZDOD1\D\DQJNXDW
2
3XMLODKLDNDUHQDVHJDODNHSHUNDVDDQ1\D SXMLODKLDVHVXDLGHQJDQNHEHVDUDQ1\D\DQJKHEDW
3
Pujilah Dia dengan tiupan sangkakala, pujilah Dia dengan gambus dan kecapi
4
Pujilah Dia dengan rebana dan tari-tarian, pujilah Dia dengan permainan kecapi dan seruling
5
Pujilah Dia dengan ceracap yang berdenting, pujilah Dia dengan ceracap yang berdentang
6
LDUODKVHJDOD\DQJEHUQDIDVPHPXML78+1 +DOHOX\D
144 Pendidikan Agama Kristen dan Budi Pekerti
Dalam mazmur yang singkat ini kita dapat menemukan seruan-seruan agar manusia memuji Tuhan Allah dengan berbagai alat musik. Dalam keenam ayat ini
ada tujuh alat musik yang disebutkan. Tampaknya semuanya mewakili berbagai alat musik yang digunakan dalam ibadah orang Israel dahulu.
3. Pemikiran teologis
Perubahan berikutnya yang perlu kita pahami adalah perubahan yang dihasilkan oleh perkembangan teologi. Banyak orang yang keliru memahami dan menganggap
bahwa teologi datang sebagai wahyu dari Allah kepada manusia. Banyak orang WLGDN SDKDP EDKZD WHRORJL DWDX LOPX WHQWDQJ NHWXKDQDQ DGDODK KDVLO UHÀHNVL GDQ
pergumulan iman manusia dengan konteksnya sehari-hari.
Salah satu contoh tentang perubahan dalam pemikiran teologis adalah pemahaman mengenai bumi dan matahari. Manusia di masa lampau percaya bahwa matahari
berputar mengelilingi bumi. Pendapat ini disanggah oleh Galileo Galilei 1564- 1642, seorang ahli astronomi. Pada 1610, Galileo menerbitkan bukunya Sidereus
1XQFLXV yang memuat hasil pengamatannya dengan menggunakan teleskop yang baru terhadap bagian-bagian bulan, bulan-bulan yang mengorbit di sekitar Yupiter,
bagian-bagian Venus, dan lain-lain. Dari pengamatannya itu ia menyimpulkan bahwa bumilah yang beredar mengelilingi matahari, bukan sebaliknya.
Tulisan Galileo ini menimbulkan persoalan bagi para teolog gereja pada waktu itu, karena gereja menganut pandangan Aristoteles dan Ptolemeus yang berpandangan
geosentris, yaitu bahwa mataharilah yang berputar mengelilingi bumi. Secara khusus Galileo mengatakan bahwa Venus
berputar mengelilingi matahari. Begitu pula dengan bulan-bulan yang mengorbit
Yupiter. Para astronom Yesuit, pakar ajaran JHUHMD LOPX SHQJHWDKXDQ GDQ ¿OVDIDW
pengetahuan alam, mula-mula menentang kesimpulan Galileo. Namun dalam satu
atau dua tahun kemudian, ketika teleskop yang lebih baik ditemukan, mereka pun
dapat melakukan pengamatan yang sama sehingga mereka memahami pendapat
Galileo.
Pada 1632, Galileo menerbitkan bukunya yang berjudul Dialog Mengenai
Dua Sistem Utama Dunia, yang secara tersirat membela pemahamannya tentang
heliosentrisme – bahwa benda-benda di langit, planet-planet dan bumi -- berputar
mengedari matahari sebagai pusatnya. Pada 1633 Dewan Inkuisisi Gereja yang
6XPEHUZZZÀLFNUFRP Gambar 7.1 Galileo Galilei
145
bertugas memeriksa ajaran-ajaran sesat menyatakan bahwa Galileo bersalah karena “dicurigai mengajarkan ajaran yang sesat”. Galileo dijatuhi hukuman penjara tanpa
batas, sampai ia meninggal pada 1642. Baru pada tahun 1992, Paus Yohanes Paulus II menyatakan Gereja menyesal karena telah menyatakan Galileo sebagai penyesat.
Sebuah pemikiran teologis lain yang mengalami perubahan adalah pandangan orang Kristen terhadap orang-orang kulit hitam dan orang kulit berwarna lainnya.
Pada masa lampau di dunia barat, termasuk di Afrika Selatan, orang Kristen kulit putih menganggap orang kulit hitam dan kulit berwarna lainnya lebih rendah
derajatnya daripada orang kulit putih. Karena itulah mereka layak dijadikan budak. Mereka mengajukan dasar-dasar teologis yang mengatakan bahwa orang-orang kulit
putih adalah keturunan Yafet, anak Nuh, sementara orang-orang kulit hitam adalah keturunan Ham, anak Nuh yang dikutuk karena melihat Nuh yang tidur telanjang
karena mabuk dan malah menceritakannya kepada saudara-saudaranya lih. Kej. 9:22, 25-27. Untunglah sekarang orang sudah lebih cerdas dan bijaksana, sehingga
pemikiran ini sudah ditinggalkan.
Dari pembahasan di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa teologi adalah suatu pemikiran yang terus berkembang dan terus mengalami kritik. Itulah sebabnya
para teolog selalu belajar dan tidak berhenti dengan sebuah pemikiran saja dan menerimanya tanpa sikap kritis. Sikap kritis ini juga berkaitan dengan perkembangan
gereja dan pemikirannya, seperti yang akan kita lihat nanti di dalam pembahasan “Gereja yang Terus Memperbarui Diri”.
Kegiatan 2
1. Pada bagian ini, guru meminta siswa untuk mengamati kehidupan gereja mereka, khususnya dalam persekutuan di kalangan remaja atau orang muda di
gereja mereka. Apakah ada perubahan yang perlu dilakukan oleh gereja mereka sehubungan dengan kehidupan persekutuan remaja dan orang mudanya? Kalau
ya, apa? Mintalah siswa mendiskusikannya di kelas berdasarkan hasil pengamatan mereka masing-masing.
2. Selanjutnya, tanyakan kepada mereka, mengapa perubahan itu perlu terjadi? Mengapa itu yang mereka harapkan? Apakah yang selama ini sudah dilakukan
gereja sehubungan dengan masalah itu? 3. Akhirnya, minta siswa membuat catatan tentang perubahan-perubahan apa saja
yang sudah pernah dilakukan oleh gereja mereka di dalam sejarah kehidupannya. Mungkin mereka tidak perlu menggali sejarah gerejanya secara mendalam,
namun cukup membatasinya selama 3-4 tahun terakhir saja.
C. Perubahan sebagai Hukum Kehidupan