Kerajaan Sorga dalam Pemberitaan Yesus

104 Pendidikan Agama Kristen dan Budi Pekerti Uraian Pelajaran

B. Kerajaan Sorga dalam Pemberitaan Yesus

“Kerajaan Sorga”, yang sering pula disebut sebagai “Kerajaan Allah”, adalah inti pemberitaan Tuhan Yesus dalam pelayanan-Nya di muka bumi. Dalam Matius 9:35 dikatakan, “Demikianlah Yesus berkeliling ke semua kota dan desa; Ia mengajar dalam rumah-rumah ibadat dan memberitakan Injil Kerajaan Sorga serta melenyapkan segala penyakit dan kelemahan.” Istilah “Kerajaan Sorga” sebetulnya sama saja dengan istilah “Kerajaan Allah” yang lebih banyak digunakan oleh Markus dan Lukas dalam Injil mereka dibandingkan dengan Matius. Di sini guru perlu mengetahui bahwa Matius, sebagai seorang penulis Yahudi yang sangat kuat memegang tradisi Yahudi, berusaha mengganti istilah “Kerajaan Allah” menjadi “Kerajaan Sorga”, karena nama Allah tidak boleh diucapkan sembarangan. Kita tentu ingat bahwa di dalam Perjanjian Lama, nama pribadi Allah, yaitu YHWH, tidak pernah diucapkan, dan sebagai gantinya, orang-orang Israel kuno dan orang Yahudi menggantinya dengan kata “Adonai”, yang berarti “TUHAN”. Selanjutnya guru menjelaskan bagaimana Kerajaan Allah itu dipahami. Apakah Kerajaan Allah atau Kerajaan Sorga itu suatu tempat di sorga kelak yang disediakan untuk para pengikut Yesus? Apakah ini sama dengan suatu pemerintahan tertentu di dunia? Atau dengan gereja tertentu? Sudah tentu tidak Tidak ada satupun pemerintahan di bumi yang dapat mengklaim dirinya sebagai Kerajaan Allah. Di Eropa pernah memerintah apa yang dinamakan “Kekaisaran Romawi Suci”, yaitu sebuah pemerintahan yang menguasai hampir seluruh Eropa. Ini adalah sebuah entitas politik di Eropa Tengah yang berdiri dari tahun 962 hingga 1806. Wilayahnya mencakup Kerajaan Franka Timur, pecahan Kerajaan Franka setelah pembagian menurut Perjanjian Verdun 843, dan Kerajaan Lombardia di Italia sekarang. Namun demikian, meskipun imperium ini menyebut dirinya suci, pada NHQ\DWDDQQ\D LD WLGDN VXFL 9ROWDLUH VHRUDQJ VHMDUDKZDQ ¿OVXI GDQ SHQXOLV Prancis, mengatakan bahwa nama negara ini keliru, sebab ia bukanlah kekaisaran, bukan Romawi, dan tidak suci. Beberapa kaisar Romawi Suci berulang kali terlibat dalam pertikaian dengan paus. Henry IV, misalnya, terlibat dalam “kontroversi SHQDKGDSDWQ´DODPNRQÀLNLQLWHUMDGLSHUHEXWDQNHNXDVDDQDQWDUDSDXVGDQNDLVDU tentang siapakah yang berhak menahbiskan para pejabat gereja, seperti uskup dan biarawan. Pada masa itu ada kebiasaan bagi kaisar untuk mengangkat para uskup dan pejabat gereja lainnya. Praktik ini mencapai puncaknya ketika Henry IV yang baru berusia 6 tahun dinobatkan pada 1056 menjadi kaisar menggantikan ayahnya, Henry III. Para pembaharu Gregorian – pengikut-pengikut Paus Gregorius -- sebuah kelompok yang ingin menghapuskan praktik jual-beli penah dapat yang terjadi selama ini, dengan segera merebut kekuasaan Kaisar untuk menahbiskan, sementara ia masih terlalu muda untuk mengerti apa yang sedang terjadi. Pada 1059, sebuah persidangan gereja 105 di Roma mengumumkan bahwa para pemimpin bangsawan tidak mempunyai hak dalam memilih paus dan menciptakan Lembaga Kardinal sebagai badan yang berhak memilih paus, yang terdiri sepenuhnya dari para pejabat gerejawi. Begitu Roma mengambil alih kekuasan kepausan, gereja pun siap menyerang praktik-praktik penahdapatn dan penjualan jabatan oleh kaisar dan bangsawan yang terjadi selama ini. Dari sini kita dapat melihat baik negara maupun gereja tidak dapat dianggap sebagai Kerajaan Allah, karena semuanya tetap merupakan lembaga manusia. Gereja yang dibentuk oleh Tuhan Yesus pun pada dasarnya penuh dengan orang berdosa sehingga selalu dapat jatuh ke dalam dosa bdk. Mat. 13:24-30. Jadi jelaslah bahwa Kerajaan Sorga itu bukan suatu tempat yang ada di sorga. Bukan pula suatu wilayah tertentu di muka bumi, melainkan suatu keadaan ketika sekelompok orang yang menyerahkan dirinya kepada Allah dan bertindak sesuatu dengan apa yang Allah kehendaki. Hal ini menjadi semakin jelas ketika kita membaca dalam Matius 7:21 yang memuat kata-kata Tuhan Yesus, “Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di sorga.” Jadi, sekelompok orang Kristen dalam sebuah gereja dapat saja tidak tergolong sebagai warga Kerajaan Sorga apabila mereka tidak menjalankan kehendak Bapa yang di sorga. Misalnya, mereka bertengkar melulu, saling membenci, saling melontarkan ¿WQDK EDKNDQ GDSDW MDGL SXOD VDOLQJ EHUNHODKL GDQ PHPEXQXK -HODV VHPXD LQL bertentangan dengan kehendak Bapa di sorga. Tuhan Yesus sendiri mengajarkan, “Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar dari pada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga” Mat. 5:20. Sebaliknya, mungkin pula ada orang yang kata-katanya menolak apa yang diinginkan oleh Tuhan, namun dalam hidupnya ternyata ia mencerminkan kehendak Tuhan. Tuhan Yesus menceritakan sebuah perumpamaan demikian: 28 “Seorang mempunyai dua anak laki-laki. Ia pergi kepada anak yang sulung dan berkata: Anakku, pergi dan bekerjalah hari ini dalam kebun anggur. 29 Jawab anak itu: Baik, bapa. Tetapi ia tidak pergi. 30 Lalu orang itu pergi kepada anak yang kedua dan berkata demikian juga. Dan anak itu menjawab: Aku tidak mau. Tetapi kemudian ia menyesal lalu pergi juga. 31 Siapakah di antara kedua orang itu yang melakukan kehendak ayahnya?” Jawab mereka: “Yang terakhir.” Kata Yesus kepada mereka: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya pemungut-pemungut cukai dan perempuan-perempuan sundal akan mendahului kamu masuk ke dalam Kerajaan Allah Mat. 21:28-31. Perumpamaan ini menceritakan kepada kita kisah dua orang kakak-beradik. Anak pertama menyatakan bersedia membantu ayahnya di ladang, namun ternyata ia tidak pergi. Anak yang kedua menolak pergi, namun kemudian ia menyesal dan pergi juga. Anak yang sulung seringkali diartikan sebagai orang-orang Farisi dan para 106 Pendidikan Agama Kristen dan Budi Pekerti ahli Taurat. Mereka mengaku mau melaksanakan kehendak Allah di sorga, namun pada praktik hidup mereka sehari-hari malah mereka tidak melakukannya. Anak yang kedua, seperti dalam kisah perumpamaan “Anak yang Hilang” Luk. 15:11- 32, adalah orang-orang bukan Yahudi yang menolak melaksanakan kehendak Allah di sorga, namun kemudian menyesal dan bertobat serta melaksanakannya di dalam hidupnya. Dari perumpaaan ini kita dapat menyimpulkan bahwa sekadar berkata “ya” kepada Tuhan, namun tidak menjalankan kehendak-Nya tidaklah cukup. Sekadar mengaku percaya namun tidak melaksanakan perintah-perintah Tuhan, tidaklah cukup. Juga tidak cukup hanya menjadi anggota gereja dan setia pergi ke gereja setiap hari, namun tidak menjalankan kehendak Tuhan di dalam hidup sehari-hari. Kegiatan 2: Dalam kegiatan ini guru mengevaluasi apakah pemahaman siswa tentang Kerajaan Sorga sudah berubah dan menjadi sesuai dengan konsep yang disampaikan. Bila konsep mereka belum berubah atau keliru, inilah kesempatan bagi guru untuk memperbaikinya. Guru menekankan kepada anak didik perlunya ketaatan kepada kehendak Tuhan sebagai bukti bahwa ia hidup sebagai warga kerajaan sorga. Namun guru harus berhati-hati bahwa ketaatan murid itu tidak berubah menjadi sebuah legalisme, yaitu ketaatan kepada peraturan-peraturan saja, sebab ketaatan seperti itu justru ditentang dan ditantang oleh Tuhan Yesus. 1. Bagaimana pemahaman siswa tentang “Kerajaan Sorga” sebelum bab ini? Apakah sama dengan apa yang dibahas di sini? Kalau berbeda, coba jelaskan bagaimana 2. Pernahkah siswa menemukan orang-orang yang berkata “ya” kepada Tuhan, tetapi tidak menjalankan apa yang Ia kehendaki, dan sebaliknya berkata “tidak” kepada Tuhan, namun ternyata mewujudkan kehendak Tuhan di dalam hidupnya? Kalau ya, siapakah mereka? Coba jelaskan apa yang terjadi 3. Berkaitan dengan pertanyaan no. 2 di atas, bagaimana dengan kehidupan siswa sendiri? Cara hidup manakah yang lebih banyak mereka ikuti – cara si anak sulung, ataukah cara si anak bungsu?

C. Ciri-ciri Kehidupan Warga Kerajaan Sorga