Pembangunan Pertanian Berkelanjutan TINJAUAN PUSTAKA

Moh. Nazam, 2011_PSL_SPs_IPB 30 dikenal sebagai pilar Triple-P Suryana, 2005. Ketiga dimensi tersebut saling mempengaruhi sehingga ketiganya harus diperhatikan secara berimbang. Lynam 1994 dalam Sumarno 2006 memberikan karakteristik umum tentang pertanian dilihat dari segi penggunaan sumber daya alam dan aspek keberlanjutannya, yaitu: 1 pertanian adalah usaha multidimensi, meliputi kegiatan ekonomi, kewajiban moral, sistem biologis, ekologis dan sosial; 2 pertanian merupakan usaha yang memerlukan lahan ruang yang sangat luas, terdesentralisasi dan tersebar, yang akan kalah efisien dibandingkan dengan penggunaan ruang untuk industri, jasa pemasaran, perumahan, prasarana, dan sebagainya, dan 3 pertanian adalah suatu sistem yang bersifat hierarkial, saling mempengaruhi antara komponen-komponen yang nampaknya bebas, seperti produksi komoditas secara global, iklim makro dan mikro, sistem hidrologi, agroekosistem, pola tanam, distribusi, perdagangan, dan sebagainya. Menurut Harwood 1987 dalam Sumarno 2006 beberapa dimensi atau kriteria keberlanjutan pertanian, yaitu: 1 dimensi jangka panjang, 2 dimensi sosial kemasyarakatan, 3 dimensi ekonomi, 4 dimensi kelestarian keanekaragaman hayati, 5 dimensi minimalisasi pencemaran lingkungan dan polusi udara, 6 dimensi kualitas dan kesuburan tanah, dan 7 dimensi kelestarian sumber daya pertanian dan lingkungan. Dari dimensi atau kriteria tersebut Harwood menyimpulkan pertanian berkelanjutan adalah usaha pertanian yang memanfaatkan sumber daya secara optimal, untuk menghasilkan produk panen dengan masukan dan biaya yang wajar, memenuhi kriteria sosial, ekonomi dan kelestarian lingkungan, serta tidak menggunakan sarana produksi yang tidak terbarukan. Castillo 1992 mendefinisikan pertanian berkelanjutan sebagai sistem produksi pertanian yang terus-menerus dapat memenuhi kebutuhan pangan, pakan, dan serat bagi kebutuhan nasional dan dapat memberikan keuntungan ekonomi bagi pelaku usaha tanpa merusak sumber daya alam bagi generasi yang akan datang. Harrington 1992 mengaitkan pertanian berkelanjutan dengan tiga tolok ukur dalam pengelolaan sumber daya pertanian, yaitu kelestarian lingkungan, keanekaragaman hayati, dan keadilan antar generasi dalam memanfaatkan sumber daya lahan dan terdapat pertumbuhan produksi sesuai dengan permintaan yang terus meningkat. Journal of Sustainable Agriculture 1990 dalam Sumarno 2006 menguraikan bahwa: pertanian berkelanjutan adalah usaha pertanian yang Moh. Nazam, 2011_PSL_SPs_IPB 31 mempersyaratkan: a sumber daya pertanian dimanfaatkan seimbang dengan peruntukannya, b praktek usaha pertanian melestarikan sumber daya pertanian dan mencegah perusakan lingkungan, c produktivitas, pendapatan dan insentif ekonomi tetap layak, dan d sistem produksi tetap harmonis dan selaras dengan dinamika sosial ekonomi masyarakat.

2.5. Penelitian Terdahulu

Beberapa penelitian terdahulu yang terkait dengan penelitian ini telah dilakukan oleh Mulyana 1998, Rachman 2001, Badan Bimas Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian bekerjasama dengan Pusat Studi Pembangunan Lembaga Penelitian IPB 2002, Badan Bimas Ketahanan Pangan bekerjasama dengan Lembaga Penelitian Universitas Indonesia 2002, Irawan 2005, dan Nurmalina 2007. Hasil-hasil penelitian tersebut diuraikan di bawah ini. Mulyana 1998 melakukan penelitian tentang ”Keragaan Penawaran dan Permintaan Beras Indonesia dan Prospek Swasembada Menuju Era Perdagangan Bebas”, bertujuan mengevaluasi dan meramalkan masa depan swasembada beras dan mengkaji dampak alternatif kebijakan unilateral, multilateral dan alternatif non kebijakan terhadap penawaran dan permintaan beras dan kesejahteraan pelaku ekonomi beras domestik. Penelitian ini menggunakan analisis model ekonometrika penawaran dan permintaan beras di pasar domestik dan dunia. Produksi domestik didisagregasi menjadi lima wilayah, yaitu: Jawa dan Bali, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan sisa wilayah Indonesia, sedangkan permintaannya dihitung secara agregat nasional. Hasil pendugaan model menunjukkan bahwa secara regional areal sawah di Jawa dan Bali telah mencapai kondisi closing cultivation frontier, yaitu mencapai batas maksimal lahan subur yang layak untuk areal sawah akibat meningkatnya kompetisi penggunaan lahan. Karena itu respon areal padi terhadap gabah di Jawa dan Bali lebih inelastis dibandingkan wilayah lainnya. Faktor lain yang berpengaruh pada areal padi di seluruh wilayah adalah curah hujan, areal irigasi, kinerja penyuluhan, target program produksi dan konversi lahan sawah di Jawa dan Bali. Hasil simulasi model menunjukkan bahwa penerapan alternatif kebijakan yang seragam secara nasional tidak selalu direspon dengan arah yang sama oleh komponen penawaran beras di setiap wilayah dan dapat berbeda dampaknya terhadap kesejahteraan petani. Implikasi penting dari hal tersebut Moh. Nazam, 2011_PSL_SPs_IPB 32 adalah, diperlukan penerapan kebijakan agar swasembada beras dan perbaikan kesejahteraan petani sama-sama dapat dicapai. Secara ekonomi swasembada beras periode 1984-1996 dapat dipertahankan dengan kebijakan menaikkan harga dasar 15,38, menambah areal irigasi 3,61, menambah areal intensifikasi 5,25 atau mendevaluasi rupiah 100 namun dampaknya berlawanan bagi perubahan kesejahteraan petani dan konsumen. Karena itu diperlukan kombinasi kebijakan yang dapat mendorong kenaikan produksi beras sekaligus meningkatkan kesejahteraan petani. Hasil peramalan tanpa alternatif kebijakan menunjukkan bahwa kontribusi wilayah Sumatera, Sulawesi dan sisa wilayah Indonesia akan meningkat dalam produksi beras pada masa mendatang, sedangkan peran wilayah Jawa dan Bali berangsur-angsur turun sebagai konsekuensi dari pelaksanaan liberalisasi perdagangan. Indonesia diperkirakakan tidak akan berswasembada beras secara absolut melainkan akan mencapai net ekspor beras mulai tahun 2013. Tampak bahwa potensi produksi beras Indonesia masih cukup prospektif. Menurut Mulyana, untuk mencapai swasembada beras dan perbaikan kesejahteraan petani dilakukan dengan meningkatkan areal sawah irigasi dan intensifikasi di Sumatera, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Irian Jaya, dan memperbaiki efisiensi biaya dan teknologi usaha tani padi sesuai dengan spesifikasi wilayah. Perlu diefektifkan kebijakan harga dasar gabah yang didukung dengan peningkatan pengadaan, memperbaiki jaringan distribusi pemasaran beras dalam dan antar wilayah, meningkatkan teknologi penyimpanan berasgabah. Sistem operasi pasar beras masih tetap diperlukan dalam jangka pendek. Karena itu peran pemerintah yang saat ini dilakukan Bulog masih perlu dipertahankan dalam jangka pendek. Rachman 2001 melakukan kajian ”Pola Konsumsi dan Permintaan Pangan di Kawasan Timur Indonesia KTI” menggunakan data survei sosial ekonomi nasional Susenas tahun 1996 yang dikumpulkan oleh Bappenas. Hasil kajian menunjukkan bahwa konsumsi beras mendominasi pola konsumsi pangan sumber karbohidrat secara keseluruhan, menurut daerah maupun menurut kelompok pendapatan, walaupun konsumsi beras rata-rata rumah tangga di KTI lebih rendah dibandingkan nasional. Hasil analisis proyeksi produksi beras pada tahun 2005 berdasarkan data time series 1997-2001 adalah 28,47 juta ton, meningkat menjadi 28.53 juta ton pada tahun 2010 dan menjadi 28,59 juta ton tahun 2015. Sedangkan proyeksi