Moh. Nazam, 2011_PSL_SPs_IPB
177 wilayah I, wilayah yang mewakili karakteristik Kabupaten Sumbawa dan
Sumbawa Barat wilayah II dan wilayah yang mewakili karakteristik Kabupaten Dompu, Bima dan Kota Bima wilayah III.
Tingkat prioritas intervensi faktor-faktor kunci dikategorikan atas prioritas rendah dengan notasi A, prioritas sedang dengan notasi B dan prioritas tinggi
dengan notasi C, disajikan pada Tabel 6.6. Tabel 6.6. Wilayah prioritas perencanaan terhadap faktor-faktor kunci sistem
produksi padi sawah untuk memenuhi KHL dan kebutuhan pangan penduduk NTB 2023
Wilayah perencanaan Faktor Kunci
Wilayah I Wilayah II
Wilayah III 1. Konversi lahan
C B
B 2. Luas baku sawahladang
A B
C 3. Indeks pertanaman
B C
C 4. Jaringan irigasi
B C
C 5. Pertumbuhan penduduk
C C
C 6. Harga dasar gabah
C B
B 7. Kebijakan pemerintah
C C
C 8. Ketersediaan modal
B C
C 9. Pendapatan petani
C B
B
Keterangan: A: prioritas rendah B: prioritas sedang
C: prioritas tinggi
Tabel 6.6 menjelaskan bahwa secara umum prioritas perencanaan diarahkan ke wilayah III, disusul wilayah I dan II. Faktor-faktor kunci konversi
lahan, luas baku sawah, harga dasar gabah dan pendapatan petani perioritas teringgi di wilayah I, sedangkan wilayah lain prioritas sedang. Pengendalian
penduduk harus diprioritaskan ke semua wilayah untuk dapat mengendalikan konversi lahan dan permintaan konsumsi. Pencetakan lahan sawah dan ladang
diprioritaskan di wilayah perencanaan III, sedangkan wilayah II dan I prioritas sedang dan rendah. Pembangunan Infrastruktur irigasi diprioritaskan di wilayah
III dan II karena memiliki dampak terhadap peningkatan IP padi, sedangkan wilayah I prioritas sedang. Peningkatan indeks pertanaman padi diprioritaskan ke
wilayah II dan III sedangkan wilayah I prioritas sedang. Peningkatan harga dasar gabah diarahkan pada wilayah I, karena
sebagian besar petani di wilayah tersebut menjual gabah pada saat panen, sedangkan petani di wilayah II dan III biasanya menjual hasil dalam bentuk
beras, sehingga harga dasar gabah tidak terlalu berpengaruh terhadap pendapatan petani. Prioritas pelayanan modal diarahkan di wilayah II dan III,
sedangkan di wilayah I akses petani terhadap skim kredit yang ada relatif lebih baik dibandingkan dengan di wilayah II dan III.
Moh. Nazam, 2011_PSL_SPs_IPB
178
VII. SIMPULAN DAN SARAN
7.1. Simpulan
Simpulan dari hasil penelitian: 1. Pendapatan usaha tani padi sawah memberikan kontribusi terhadap
kebutuhan hidup layak petani dengan besaran yang berbeda antar wilayah dan tipologi lahan sawah. Kontribusi terendah diperoleh petani di Kabupaten
Lombok Tengah 47,97, disusul Bima 76,68 dan Sumbawa Barat 88,12. Kontribusi pendapatan usaha tani padi pada tipologi lahan sawah
tadah hujan adalah terendah 26,82, pada lahan sawah irigasi setengah teknis 56,15 dan irigasi teknis adalah yang tertinggi 73,49. Faktor yang
paling berpengaruh terhadap besaran kontribusi pendapatan usaha tani padi sawah adalah luas lahan garapan dan indeks pertanaman padi.
2. Kebutuhan hidup layak minimal petani yang didasarkan pada jumlah pengeluaran setara dengan nilai tukar 800 kg beras kapita
-1
tahun
-1
masih relevan digunakan sebagai ukuran garis kemiskinan di wilayah perdesaan.
Standar tersebut berada di atas US 1 dan di bawah US 1,5 kapita
-1
hari
-1
standar moderat. Sedangkan hubungan antara kebutuhan hidup layak petani dengan pendapatan usaha tani padi sawah dapat digunakan untuk
mengestimasi skala usaha tani padi sawah minimal yang harus dikelola oleh setiap petani agar kebutuhan hidup layaknya terpenuhi. Rata-rata luas lahan
minimal yang harus dikelola petani di Kabupaten Lombok Tengah, Sumbawa Barat dan Bima berturut-turut 0,76 ha, 0,88 ha dan 0,97 ha KK
-1
atau rata- rata 0,86 ha KK
-1
. 3. Status sistem produksi padi sawah di wilayah penelitian adalah cukup
berkelanjutan dengan nilai indeks multidimensi 54,53. Peningkatan status keberlanjutan tersebut dapat dilakukan melalui perbaikan status atribut atau
faktor yang mempengaruhi dimensi ekologi, ekonomi dan sosial dengan dukungan kebijakan dan kelembagaan yang tepat serta penciptaan inovasi
teknologi yang ditunjang oleh infrastruktur irigasi yang memadai. 4. Penetapan luas lahan optimum dilakukan dengan pendekatan pengeluaran
untuk memenuhi kebutuhan hidup layak minimal petani dan pendekatan neraca produksi dan konsumsi padi untuk memenuhi kebutuhan fisik
minimum penduduk. Dalam implementasinya kedua pendekatan tersebut
Moh. Nazam, 2011_PSL_SPs_IPB
179 harus sinergis dan merupakan satu kesatuan sistem dalam upaya
meningkatkan kesejahteraan petani dan sekaligus mencapai kemandirian pangan berkelanjutan.
5. Tiga skenario yang digunakan dalam penetapan luas lahan optimum untuk mencapai sasaran point 4, yaitu skenario pesimis, moderat dan optimis.
Berdasarkan potensi, peluang dan kendala yang mungkin terjadi di wilayah penelitian, maka Skenario Moderat merupakan pilihan yang paling rasional.
Meskipun kinerja Skenario Moderat di Pulau Lombok diperkirakan mengalami defisit sebesar 30,39 akan tetapi di Sumbawa Barat dan Bima diperkirakan
akan mengalami surplus masing-masing 67,32 dan 42,51, sehingga secara agregat masih surplus sebesar 5,45. Faktor kunci untuk mencapai
kemandirian pangan berkelanjutan di NTB adalah pengendalian konversi lahan sawah, pengendalian pertumbuhan penduduk, penetapan luas baku
sawah, peningkatan harga gabah, konsistensi kebijakan pemerintah, peningkatan luas panen padi, perluasan jaringan irigasi, ketersediaan modal
petani, dan peningkatan pendapatan petani. 6. Strategi yang harus dilaksanakan, agar skenario dapat mencapai sasaran
adalah a peningkatan produksi untuk memenuhi kebutuhan fisik minimum melalui perluasan areal panen padi, perbaikan teknologi budidaya dan
konservasi lahan; b peningkatan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup layak petani melalui peningkatan pendapatan usaha tani dan
penciptaan lapangan kerja baru sebagai sumber pendapatan di luar usaha tani,
dan c
pengendalian konsumsi
beras melalui
pengendalian pertumbuhan penduduk dan peningkatan diversifikasi pangan.
7.2. Saran
1. Hasil penelitian ini perlu dijadikan bahan pertimbangan dalam menyusun strategi pembangunan pertanian untuk meningkatkan kesejahteraan petani
dan sekaligus untuk mencapai kemandirian pangan berkelanjutan. 2. Perlu penelitian lebih lanjut untuk memperoleh gambaran mengenai
kontribusi pendapatan usaha tani berdasarkan pola tanam yang berlaku di setiap wilayah terhadap kebutuhan hidup layak petani di wilayah tersebut.
3. Perlu dilakukan penyesuaian dan pengembangan atributfaktor secara cermat sesuai dengan karakteristik komoditas dan keragaman wilayah apabila hasil
penelitian ini akan diaplikasikan pada komoditas atau di wilayah lain.