Kemandirian dan Ketahanan Pangan

Moh. Nazam, 2011_PSL_SPs_IPB 26 Ketahanan pangan menjadi isu strategis dalam pembangunan suatu negara, terutama negara berkembang, karena memiliki peran ganda yaitu sebagai salah satu sasaran utama pembangunan dan salah satu instrumen utama tujuan antara pembangunan ekonomi Sen, 1989; Simatupang, 1999. Peran pertama, merupakan fungsi ketahanan pangan sebagai prasyarat untuk terjaminnya akses pangan bagi semua penduduk dalam jumlah dan kualitas yang cukup untuk eksistensi hidup, sehat, dan produktif. Akses terhadap pangan yang cukup merupakan hak azasi manusia yang harus selalu dijamin oleh negara bersama masyarakat FAO, 1998; Byron, 1988. Peran kedua, merupakan implikasi dari fungsi ketahanan pangan sebagai syarat keharusan dalam pembangunan sumber daya manusia yang kreatif dan produktif yang merupakan determinan utama dari inovasi ilmu pengetahuan, teknologi dan tenaga kerja produktif serta fungsi ketahanan pangan sebagai salah satu determinan lingkungan perekonomian yang stabil dan kondusif bagi pembangunan Timmer, 1997. Munculnya kesadaran baru bahwa ketahanan pangan merupakan isu global telah mendorong PBB FAO mengorganisir Konferensi Pangan Dunia World Food Conference pada tahun 1974. Sejak konferensi inilah istilah ketahanan pangan semakin populer dan menjadi salah satu isu kebijakan strategis setiap negara. Menurut Simatupang 2007, konsep ketahanan pangan yang dianut secara luas hingga pertengahan tahun 1980-an ialah paradigma Ketersediaan Pangan Nasional” National Food Availability Paradigm. Dengan paradigma ini, ketahanan pangan diartikan sebagai: kemampuan suatu negara untuk menjamin ketersediaan pangan dalam jumlah yang cukup bagi seluruh penduduknya. Dengan konsep ini, ketahanan pangan dilihat secara agregat di tingkat nasional. Indikator keharusan bagi ketahanan pangan ialah kecukupsediaan pangan agregat yang berasal dari produksi domestik dan pengadaan luar negeri impor. Indikator kecukupan kemantapan ketahanan pangan ialah derajat swasembada pangan. Ketahanan pangan dikatakan mantap apabila seluruh kebutuhan pangan dapat dipenuhi dari produksi domestik swasembada mutlak. Dengan paradigma ini, strategi kebijakan pangan, pada umumnya di negara- negara sedang berkembang, berubah dari swasembada pangan mutlak menjadi swadaya pangan self reliance. Moh. Nazam, 2011_PSL_SPs_IPB 27 Perbedaan pokok antara strategi swasembada pangan dan swadaya pangan adalah dalam hal sumber pengadaan pangan. Pada swasembada pangan, strategi yang ditempuh ialah bagaimana memacu produksi pangan domestik sehingga seluruh kebutuhan pangan nasional dapat dipenuhi swasembada mutlak. Sedangkan pada swadaya pangan strategi yang ditempuh ialah bagaimana meningkatkan kemampuan nasional sehingga dapat memenuhi kebutuhan pangan nasional baik dari produksi domestik maupun melalui impor. Pada pertengahan tahun 1980-an muncul wacana baru tentang makna ketahanan pangan. Indikator akhir ketahanan pangan bukanlah kecukupan pangan secara agregat nasional ketahanan pangan nasional, tetapi akses pangan yang cukup bagi seluruh individu di suatu negara. Wacana baru ini disebut sebagai paradigma perolehan pangan food entitlement paradigm yang dirumuskan dan dipopulerkan oleh penerima Hadiah Nobel Ekonomi tahun 2000 Sen, 1981. Wacana baru ini pula yang mendorong pengakuan universal bahwa perolehan pangan yang cukup merupakan hak azasi manusia yang secara resmi diterima oleh seluruh negara pada konferensi pangan dunia tahun 1996. Menurut Simatupang, 2007, paradigma perolehan pangan food entitlement paradigm pada dasarnya ditopang oleh tiga pokok pemikiran, yaitu: 1 indikator akhir ketahanan pangan ialah perolehan pangan yang cukup bagi setiap individu. Oleh karena itu, ketahanan pangan harus diukur pada dimensi agregat terkecil, yaitu individu. Dengan perkataan lain, indikator akhir ketahanan pangan ialah ketahanan pangan individu individual food security; 2 ketersediaan pangan merupakan syarat keharusan tetapi tidak cukup untuk menjamin perolehan pangan yang cukup bagi setiap individu, dan 3 ketahanan pangan harus dipandang sebagai suatu sistem hierarkis; ketahanan pangan nasional, provinsi kabupaten, lokal, rumah tangga dan individual. Berdasarkan paradigma perolehan pangan, ketahanan pangan ditentukan oleh dua determinan kunci, yaitu ketersediaan pangan food availability dan akses pangan food access. Paradigma perolehan pangan terus mengalami perluasan dan penyesuaian seiring dengan pertambahan pengetahuan dan perubahan isu pembangunan kontemporer Maxwell, 1996; Watts and Bohle, 1993 dengan memasukkan elemen kerawanan vulnerability sebagai salah satu determinan ketahanan pangan. Ketersediaan dan akses pangan yang rawan terhadap ancaman risiko Moh. Nazam, 2011_PSL_SPs_IPB 28 tertentu seperti bencana alam, gejolak ekonomi, sosial, dan politik harus digolongkan sebagai kondisi ketahanan pangan yang tidak mantap. Sedikitnya ada empat elemen ketahanan pangan berkelanjutan sustainable food security di tingkat keluarga yang diusulkan Maxwell 1996, yakni: 1 kecukupan pangan yang didefinisikan sebagai jumlah kalori yang dibutuhkan untuk kehidupan yang aktif dan sehat; 2 akses atas pangan, yang didefinisikan sebagai hak entitlements untuk berproduksi, membeli atau menukarkan exchange pangan ataupun menerima sebagai pemberian transfer; 3 ketahanan yang didefinisikan sebagai keseimbangan antara kerentanan, resiko dan jaminan pengaman sosial, dan 4 fungsi waktu manakala ketahanan pangan dapat bersifat kronis, transisi danatau siklus. Selanjutnya, Chambers 1988 menambahkan elemen keberlanjutan sustainability sebagai determinan tambahan ketahanan pangan. Pada dasarnya elemen vulnerability dan sustainability bermuara pada satu pemikiran bahwa waktu merupakan salah satu dimensi utama ketahanan pangan. Ketersediaan dan akses pangan harus terjamin sepanjang masa secara berkelanjutan. Hal inilah yang mendasari konsep ketahanan pangan berkelanjutan sustainability food security yang populer pada tahun 1990-an Swaminathan, 1995; Simatupang, 1999. Definisi ketahanan pangan yang diterima secara luas saat ini ialah: secure access by all people at all times to adequate, safe and nutritious foods which meets dietary and preferences for an active and a healthy life FAO, 1998, Maxwell, 1996; Von Braun et al., 1993, yang dapat diterjemahkan sebagai terjaminnya akses bagi setiap orang pada sepanjang masa terhadap makanan bernutrisi, aman, sesuai selera dan memenuhi kebutuhan gizi untuk suatu kehidupan yang aktif dan sehat. Berdasarkan definisi di atas, ketahanan pangan ditopang oleh trilogi trial concepts ketahanan pangan Chung et al., 1997, yaitu: 1 ketersediaan bahan pangan food availability; 2 akses bahan pangan food access dan 3 pemanfaatan bahan pangan food utilization. Ketiga elemen inilah yang menjadi determinan fundamental ketahanan pangan. Dengan demikian, untuk tujuan analisis kebijakan, isu ketahanan pangan dapat dikaji berdasarkan tiga dimensi kunci Simatupang, 2007 yaitu: 1 tingkat agregasi: rumah tangga dan regional kabupaten, provinsi, dan nasional; 2 perspektif waktu: jangka pendek, Moh. Nazam, 2011_PSL_SPs_IPB 29 menengah dan panjang, dan 3 syarat keharusan dan kecukupan: ketersediaan, akses, dan pemanfaatan. Rachman et al. 2004 menyatakan, kemandirian pangan terhadap produksi domestik menunjukkan seberapa besar produksi pangan menyumbang atau dapat memenuhi ketersediaan pangan nasional. Ketersediaan pangan nasional didefinisikan sebagai penjumlahan antara produksi domestik bersih, setelah dikurangi untuk penggunaan bibit dan tercecer dengan impor dan stock. Kemandirian pangan juga dapat diukur dengan menelaah ketergantungan terhadap impor maupun net-impor.

2.4. Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Konsep pembangunan berkelanjutan pertama dirumuskan Brundtland Report yang merupakan hasil kongres Komisi Dunia Mengenai Lingkungan dan Pembangunan, Perserikatan Bangsa-Bangsa: “Pembangunan berkelanjutan ialah pembangunan yang mewujudkan kebutuhan saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk mewujudkan kebutuhan mereka” WCED, 1987. Ada dua hal yang secara implisit menjadi perhatian dalam konsep Brundtland tersebut, yaitu: Pertama, menyangkut pentingnya memperhatikan kendala sumber daya alam dan lingkungan terhadap pola pembangunan dan konsumsi, dan Kedua, menyangkut perhatian pada kesejahteraan well being generasi yang akan datang. Bedasarkan definisi pembangunan berkelanjutan tersebut, Organisasi Pangan Dunia FAO, 1989, mendefinisikan pertanian berkelanjutan sebagai …… manajemen dan konservasi berbasis sumber daya alam, dan berorientasi perubahan teknologi dan kelembagaan guna menjamin tercapainya dan terpuaskannya kebutuhan manusia generasi saat ini maupun mendatang. Pembangunan pertanian berkelanjutan mengkonservasi lahan, air, sumber daya genetik tanaman maupun hewan, tidak merusak lingkungan, tepat guna secara teknis, layak secara ekonomis, dan diterima secara sosial. Walaupun banyak variasi definisi pembangunan berkelanjutan, termasuk pertanian berkelanjutan, namun definisi yang diterima secara luas ialah bertumpu pada tiga pilar, yaitu ekonomi, sosial, dan ekologi Munasinghe, 1993. Dengan perkataan lain, konsep pembangunan berkelanjutan berorientasi pada tiga dimensi keberlanjutan, yaitu: keberlanjutan usaha ekonomi profit, keberlanjutan kehidupan sosial manusia people, dan keberlanjutan ekologi alam planet, atau Moh. Nazam, 2011_PSL_SPs_IPB 30 dikenal sebagai pilar Triple-P Suryana, 2005. Ketiga dimensi tersebut saling mempengaruhi sehingga ketiganya harus diperhatikan secara berimbang. Lynam 1994 dalam Sumarno 2006 memberikan karakteristik umum tentang pertanian dilihat dari segi penggunaan sumber daya alam dan aspek keberlanjutannya, yaitu: 1 pertanian adalah usaha multidimensi, meliputi kegiatan ekonomi, kewajiban moral, sistem biologis, ekologis dan sosial; 2 pertanian merupakan usaha yang memerlukan lahan ruang yang sangat luas, terdesentralisasi dan tersebar, yang akan kalah efisien dibandingkan dengan penggunaan ruang untuk industri, jasa pemasaran, perumahan, prasarana, dan sebagainya, dan 3 pertanian adalah suatu sistem yang bersifat hierarkial, saling mempengaruhi antara komponen-komponen yang nampaknya bebas, seperti produksi komoditas secara global, iklim makro dan mikro, sistem hidrologi, agroekosistem, pola tanam, distribusi, perdagangan, dan sebagainya. Menurut Harwood 1987 dalam Sumarno 2006 beberapa dimensi atau kriteria keberlanjutan pertanian, yaitu: 1 dimensi jangka panjang, 2 dimensi sosial kemasyarakatan, 3 dimensi ekonomi, 4 dimensi kelestarian keanekaragaman hayati, 5 dimensi minimalisasi pencemaran lingkungan dan polusi udara, 6 dimensi kualitas dan kesuburan tanah, dan 7 dimensi kelestarian sumber daya pertanian dan lingkungan. Dari dimensi atau kriteria tersebut Harwood menyimpulkan pertanian berkelanjutan adalah usaha pertanian yang memanfaatkan sumber daya secara optimal, untuk menghasilkan produk panen dengan masukan dan biaya yang wajar, memenuhi kriteria sosial, ekonomi dan kelestarian lingkungan, serta tidak menggunakan sarana produksi yang tidak terbarukan. Castillo 1992 mendefinisikan pertanian berkelanjutan sebagai sistem produksi pertanian yang terus-menerus dapat memenuhi kebutuhan pangan, pakan, dan serat bagi kebutuhan nasional dan dapat memberikan keuntungan ekonomi bagi pelaku usaha tanpa merusak sumber daya alam bagi generasi yang akan datang. Harrington 1992 mengaitkan pertanian berkelanjutan dengan tiga tolok ukur dalam pengelolaan sumber daya pertanian, yaitu kelestarian lingkungan, keanekaragaman hayati, dan keadilan antar generasi dalam memanfaatkan sumber daya lahan dan terdapat pertumbuhan produksi sesuai dengan permintaan yang terus meningkat. Journal of Sustainable Agriculture 1990 dalam Sumarno 2006 menguraikan bahwa: pertanian berkelanjutan adalah usaha pertanian yang