Moh. Nazam, 2011_PSL_SPs_IPB
176 rawan pangan dan kurang perhatian pemerintah. Kondisi seperti ini sering
dijadikan argumen politis untuk menjatuhkan rezim yang sedang berkuasa. Perubahan persepsi masyarakat untuk mendayagunakan sumber daya lokal
harus menjadi perhatian yang serius pemerintah. Beberapa peraturan yang dapat dijadikan acuan antara lain UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan; PP No.
68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan; PP No. 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan dan Perpres No. 22 Tahun 2009 tentang
Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal. Secara skematis strategi kemandirian pangan berkelanjutan di NTB
divisualisasikan pada Gambar 6.1.
Gambar 6.1. Strategi kemandirian pangan berkelanjutan di NTB
6.5. Prioritas Strategi Implementasi
Guna memudahkan implementasi skenario perlu ditetapkan prioritas wilayah perencanaan terhadap setiap faktor kunci agar dapat mencapai sasaran
yang telah ditentukan. Berdasarkan karakteristik sosial ekonomi petani dalam pengelolaan usaha tani padi sawah, maka Provinsi NTB dibagi dalam tiga
wilayah perencanaan, yaitu wilayah yang mewakili karakteristik Pulau Lombok
- Pengendalian konversi lahan
- Perbaikan kualitas lahan dan infrastruktur irigasi
- Peningkatan produktivitas lahan
- Peningkatan luas panen KEMANDIRIAN PANGAN
PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT
Model penetapan luas lahan minimal untuk memenuhi kebutuhan hidup
layak petani Model penetapan luas lahan optimum
untuk memenuhi kebutuhan pangan
Peningkatan produksi padi sawah pada lahan irigasi teknis,
semi teknis dan tadah hujan Peningkatan pendapatan petani
pada lahan irigasi teknis, semi teknis dan tadah hujan
Pengendalian konsumsi beras
- Peningkatan efisiensi usaha tani
- Pemberian insentif - Peningkatan nilai tambah
- Pengembangan lapangan kerja baru off farm
- Pengembangan lapangan kerja baru non pertanian
- Pengendalian pertumbuhan
penduduk - Pengendalian
konsumsi beras
Moh. Nazam, 2011_PSL_SPs_IPB
177 wilayah I, wilayah yang mewakili karakteristik Kabupaten Sumbawa dan
Sumbawa Barat wilayah II dan wilayah yang mewakili karakteristik Kabupaten Dompu, Bima dan Kota Bima wilayah III.
Tingkat prioritas intervensi faktor-faktor kunci dikategorikan atas prioritas rendah dengan notasi A, prioritas sedang dengan notasi B dan prioritas tinggi
dengan notasi C, disajikan pada Tabel 6.6. Tabel 6.6. Wilayah prioritas perencanaan terhadap faktor-faktor kunci sistem
produksi padi sawah untuk memenuhi KHL dan kebutuhan pangan penduduk NTB 2023
Wilayah perencanaan Faktor Kunci
Wilayah I Wilayah II
Wilayah III 1. Konversi lahan
C B
B 2. Luas baku sawahladang
A B
C 3. Indeks pertanaman
B C
C 4. Jaringan irigasi
B C
C 5. Pertumbuhan penduduk
C C
C 6. Harga dasar gabah
C B
B 7. Kebijakan pemerintah
C C
C 8. Ketersediaan modal
B C
C 9. Pendapatan petani
C B
B
Keterangan: A: prioritas rendah B: prioritas sedang
C: prioritas tinggi
Tabel 6.6 menjelaskan bahwa secara umum prioritas perencanaan diarahkan ke wilayah III, disusul wilayah I dan II. Faktor-faktor kunci konversi
lahan, luas baku sawah, harga dasar gabah dan pendapatan petani perioritas teringgi di wilayah I, sedangkan wilayah lain prioritas sedang. Pengendalian
penduduk harus diprioritaskan ke semua wilayah untuk dapat mengendalikan konversi lahan dan permintaan konsumsi. Pencetakan lahan sawah dan ladang
diprioritaskan di wilayah perencanaan III, sedangkan wilayah II dan I prioritas sedang dan rendah. Pembangunan Infrastruktur irigasi diprioritaskan di wilayah
III dan II karena memiliki dampak terhadap peningkatan IP padi, sedangkan wilayah I prioritas sedang. Peningkatan indeks pertanaman padi diprioritaskan ke
wilayah II dan III sedangkan wilayah I prioritas sedang. Peningkatan harga dasar gabah diarahkan pada wilayah I, karena
sebagian besar petani di wilayah tersebut menjual gabah pada saat panen, sedangkan petani di wilayah II dan III biasanya menjual hasil dalam bentuk
beras, sehingga harga dasar gabah tidak terlalu berpengaruh terhadap pendapatan petani. Prioritas pelayanan modal diarahkan di wilayah II dan III,
sedangkan di wilayah I akses petani terhadap skim kredit yang ada relatif lebih baik dibandingkan dengan di wilayah II dan III.