Moh. Nazam, 2011_PSL_SPs_IPB
166 lebih baik. Peralihan secara sistematis memuat karakter perencanaan dan
keinginan publik sehingga luasan lahan hasil peralihan lebih terkendali dan terkonsolidasi dalam kerangka perencanaan tata ruang wilayah. Peralihan
sporadis memuat karakter lebih individual atau oleh sekelompok masyarakat sehingga luasan hasil peralihan tidak dapat diprediksi dan menyebar tidak
terkonsolidasi Nugroho dan Dahuri, 2004. Oleh karena itu, pengendalian konversi lahan perlu mempertimbangkan kedua karakter tersebut.
Tiga opsi yang dapat dipertimbangkan untuk mengendalikan konversi lahan sawah, yaitu: 1 pengendalian sistematis melalui otoritas sentral yang
membatasi kebebasan dalam mengakses sumber daya lahan, melalui instrumen hukum regulasi sebagai first order condition; 2 pemberian insentif kepada
petani atau pemilik lahan, agar dapat menjalankan fungsi produksi dan konservasi lahan sawah, melalui intrumen ekonomi dan 3 pemberdayaan
masyarakat melalui
community development
sehingga petani
mampu melaksanakan pembatasan alih fungsi lahan sawah dan menjaga warisan
budayanya. Kedua opsi tersebut sebagai second order condition. Insentif yang dapat diberikan antara lain keringanan pajak bagi pemilik yang menjalankan
fungsi produksi padi pada lahan sawahnya dan pengenaan sanksi disinsentif bagi pemilik yang membiarkan lahan sawahnya terlantar.
Hal tersebut sejalan dengan pendapat Pasandaran 2006 dan beberapa pakar. Instrumen yang dapat digunakan sebagai landasan hukum pengendalian
konversi lahan di NTB, antara lain disajikan pada Tabel 6.1. Tabel 6.1. Peraturan perundangan yang dapat digunakan sebagai instrumen
pengendalian konversi lahan sawah Peraturan dan Perundangan
Tentang 1. UU RI No 26 Tahun 2007
Penataan Ruang 2. Perda Provinsi NTB No.
1 Tahun 2009 Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Daerah RPJMD Provinsi NTB 2009-2013 3. UU No.41 Tahun 2009
Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
4. Perda Provinsi NTB No. 3 Tahun 2010
Rencana Tata Ruang Wilayah RTRW Provinsi NTB Tahun 2009-2029
Pentingnya pengendalian konversi lahan sawah adalah terkait dengan besarnya dampak yang ditimbulkan, antara lain potensi ancaman terhadap
kecukupan pangan, penyediaan lapangan kerja, pengentasan kemiskinan, penghematan devisa, pelestarian lingkungan, dan identitas budaya.
Moh. Nazam, 2011_PSL_SPs_IPB
167
6.2.2. Perbaikan Kualitas Lahan
Faktor produksi tanah, mempunyai dua fungsi utama, yaitu 1 sebagai matriks tempat akar tumbuhan berjangkar dan air tanah tersimpan, dan 2
sebagai sumber unsur hara bagi tumbuhan. Kedua fungsi tersebut dapat menurun atau hilang. Hilangnya fungsi kedua dapat segera diperbaiki dengan
pemupukan, sedangkan hilangnya fungsi pertama tidak mudah diperbaiki atau diperbaharui karena memerlukan waktu yang lama, puluhan bahkan ratusan
tahun untuk pembentukan tanah Arsyad, 2006. Degradasi lahan menjadi isu penting terkait dengan terjadinya stagnasi
atau pelandaian produktivitas padi sawah. Secara empiris penurunan kualitas lahan disebabkan antara lain oleh kesalahan pengelolaan lahan, intensitas
pemanfaatan lahan yang tidak memperhatikan konservasi dan degradasi kapasitas lahan karena kerusakan infrastruktur jaringan irigasi.
Kesalahan pengelolaan lahan dapat menyebabkan terjadinya erosi, hilangnya unsur hara dan bahan organik tanah karena pencucian leaching dan
atau terangkut melalui panen tanpa ada usaha untuk mengembalikannya Arsyad, 2006; Sitorus, 2001. Unsur hara yang terdapat dalam tanah selain
diserap oleh tanaman dan tanah, juga dapat hilang melalui proses penguapan dan pelindian leaching. Pelindian dapat berupa peresapan langsung ke dalam
profil tanah berupa infiltrasiperkolasi maupun hara terlarut dalam air drainase. Asdak 1995 dalam Kundarto et al. 2003, menyatakan bahwa proses
kehilangan hara dapat disebabkan oleh banyak faktor. Empat faktor utama yang berpengaruh
dalam proses
kehilangan hara
adalah mekanisme
yang memungkinkan hara untuk larut yang diperankan oleh air, kontak langsung
dengan tanah, gravitasi dan waktu. Intensitas pemanfaatan lahan yang tidak memperhatikan konservasi dapat
menyebabkan terjadinya degradasi lahan. Walaupun hal ini dalam sistem produksi padi sawah dampaknya sangat kecil akan tetapi perlu menjadi
perhatian. Unsur hara yang yang terserap oleh tanaman sebagian digunakan untuk proses pertumbuhan dan sisanya tersimpan dalam gabah ataupun jerami
padi. Pemindahan yang intensif bahan organik baik dalam bentuk gabah maupun jerami ke luar lahan akan menurunkan kadar organik tanah, apabila tidak
dibarengi dengan upaya pengembalian unsur hara tersebut dalam bentuk pemupukan yang tepat. Menurut laporan Puslitbangtan 1999, kehilangan hara
akibat pembakaran jerami adalah 94C, 91N, 55P, 79K, 70S, 30Ca
Moh. Nazam, 2011_PSL_SPs_IPB
168 dan 20Mg. Meskipun demikian dalam prakteknya masih jarang petani
mengembalikan jeraminya ke lahan sawah, terutama pada lahan sawah dengan indeks pertanaman 300 atau lebih.
Sebagian besar lahan sawah di NTB memiliki kandungan C organik kurang dari 1,5, hal ini menunjukkan bahwa tingkat kesuburan tanah tergolong sedang
hingga rendah. Perbaikan kualitas lahan melalui pengelolaan lahan yang tepat dan memperhatikan konservasi dapat mencegah penurunan kualitas lahan.
Pemberian pupuk organik berupa pengembalian jerami dan kotoran sapi dapat memperbaiki kesuburan tanah. Meskipun tanaman padi dapat mengambil unsur
C dari udara dalam bentuk CO
2
, akan tetapi bahan organik dalam tanah sangat penting sebagai sumber energi bagi jasad renik yang berperan dalam
penyediaan unsur hara tanaman. Bahan organik juga berperan dalam memperbaiki struktur tanah, sehingga tanah lebih mudah diolah. Tanah dengan
kandungan organik yang cukup dapat meningkatkan kapasitas tukar kation sehingga efisiensi pemupukan meningkat. Berbagai hasil penelitian menunjukkan
adanya korelasi positif antara kadar bahan organik dan produktivitas padi sawah, makin rendah kadar bahan organik, makin rendah produktivitas lahan Juliardi
dan Gani, 2002; Agus et al., 2008. Salah satu penyebab menurunnya kapasitas lahan sawah saat ini adalah
menurunnya kualitas irigasi. Penurunan kualitas irigasi tersebut merupakan akibat dari degradasi kinerja irigasi Sumaryanto et al., 2006. Secara empiris
setiap kilogram padi yang dipanen di wilayah tropika membutuhkan air antara 1900 – 5000 liter Pimentel et al., 1997; Tuong dan Bhuiyan, 1994 dalam
Sumaryanto, 2009b. Tingginya konsumsi air tersebut terkait dengan sifat tanaman padi yang tumbuh lebih baik dan produktif pada lahan tergenang
daripada di lahan kering Bhuiyan et al., 1998 dalam Sumaryanto, 2009b. Secara faktual pendapatan usaha tani tergantung dari kondisi air. Hasil
penelitian memperlihatkan bahwa pendapatan petani pada lahan sawah irigasi teknis adalah satu setengah kali lebih besar dari pendapatan petani pada lahan
sawah irigasi setengah teknis dan lima kali lebih besar dibandingkan dengan pendapatan petani pada lahan sawah tadah hujan. Oleh karena itu peningkatan
kualitas lahan melalui perluasan jaringan irigasi sangat strategis untuk meningkatkan pendapatan petani. Peningkatan pendapatan petani dari usaha
tani padi sawah dapat meningkatkan kualitas hidup petani.