Nilai Penerimaan Usaha tani Padi Sawah

Moh. Nazam, 2011_PSL_SPs_IPB 23 MK I keuntungan lebih rendah dan bahkan pada MK II keuntungan kurang dari Rp 500 ribu ha -1 9,43. Sedangkan pendapatan usaha tani padi dengan status garapan sakap bagi hasil lebih tinggi daripada garapan sewa. Pada MH, keuntungan atas biaya tunai rata-rata Rp 1,15 juta ha -1 20,90, pada MK I meningkat menjadi Rp 1,35 juta ha -1 25. Peningkatan pendapatan petani dapat ditempuh melalui optimasi usaha tani padi sawah dengan menggunakan model matematis program tujuan ganda goal programming Siswanto, 2006. Langkah awal yang diperlukan dalam upaya penyelesaian masalah optimal adalah penyusunan model yang tepat dengan memperhitungkan variabel dan parameter yang berkaitan secara langsung. Hubungan antar variabel dan antar parameter pada realitasnya sangat rumit dan saling berkaitan, sehingga perlu dilakukan penyederhanaan dalam bentuk model yang berfungsi sebagai alat bantu memperoleh gambaran umum masalah yang sedang dihadapi. Haluan 1985 dalam Heroe 2005, mengartikan optimasi sebagai suatu kata kerja yang berarti menghitung atau mencari titik optimum. Kata benda optimasi merupakan peristiwa atau kejadian proses optimasi. Jadi, teori optimasi mencakup studi kuantitatif tentang titik optimum dan cara-cara untuk mencarinya. Penelitian tentang optimasi secara luas pada berbagai komoditas pertanian telah banyak dilakukan, tetapi umumnya masih menggunakan pendekatan optimasi konvensional, yaitu dengan tujuan tunggal, sehingga model yang dihasilkan sangat spesifik dan teoritis. Metode optimasi di bidang pertanian dengan pendekatan program matematika konvensional, biasanya menggunakan asumsi dasar yaitu optimasi dengan tujuan tunggal. Kenyataannya, optimasi akan dihadapkan pada kondisi kompleks yang memerlukan adanya kompromi di antara beberapa tujuan yang dapat saling bertentangan. Untuk mencapai kompromi di antara beberapa tujuan dalam optimasi, menurut Romeo dan Rehman 1989 dalam Heroe 2005 perlu dikembangkan teknik pengambilan keputusan dengan kriteria ganda multiple criteria decision making technique. Salah satu metode yang dapat digunakan dalam pengambilan keputusan dengan kriteria ganda adalah Goal Programming Siswanto, 2006 Moh. Nazam, 2011_PSL_SPs_IPB 24 2.3. Kemiskinan, Kemandirian dan Ketahanan Pangan 2.3.1. Kemiskinan Thomas Malthus pada akhir abad 18 1798 menyatakan kehawatirannya bahwa “bumi tidak dapat lagi menyediakan pangan yang cukup bagi penghuninya, karena telah melewati batas daya dukung carrying capacity.” Penduduk yang banyak merupakan penyebab kemiskinan, karena laju pertumbuhan penduduk mengikuti deret ukur, tak akan pernah terkejar oleh peningkatan produksi pangan dan papan yang hanya mengikuti deret hitung. Diperkirakan, dengan kenaikan rata-rata penduduk dunia sebesar 2 per tahun, maka pada tahun 2035 populasi penduduk dunia akan mencapai 12 milyar, dan pada akhir abad 21 diperkirakan akan mencapai 50 milyar. Bisa dibayangkan bila kondisi ini benar-benar terjadi, sementara sumber daya alam yang tidak terbarukan sangat terbatas. Teori Malthus ini pada dasarnya beranjak dari dua gagasan utama, yaitu: manusia selalu membutuhkan pangan, sandang dan papan untuk hidupnya dan nafsu seksualnya tidak akan pernah berubah sifatnya. Bahkan pada abad 20 masih banyak pemikir dunia yang meramalkan bahaya kelaparan besar great famine akan terjadi meskipun tidak sepenuhnya terbukti Ehrich, 1968 dan Brown and Kane, 1994 dalam Rogers et al., 2008. Ada berbagai cara pengukuran kemiskinan, karena kemiskinan dilihat sebagai fenomena yang multidimensi Chambers, 1995. Kemiskinan dapat diukur secara absolut ataupun secara relatif. Kemiskinan absolut terlihat dari kehidupan yang di bawah minimum, atau di bawah standar yang diterima secara sosial, dan adanya kekurangan nutrisi. Kemiskinan relatif dilihat dalam perbandingannya dengan segmen yang lebih atas. Kemiskinan juga dapat didekati dari sisi obyektif dan subyektif. Obyektif merupakan pendekatan tradisional ilmiah didasarkan kepada pendekatan kesejahteraan the welfare approach, sedangkan pendekatan subyektif tergantung pada penilaian masyarakat setempat. Bank Dunia memberi batasan bahwa “extreme poverty” adalah kondisi jika seseorang hidup dengan biaya kurang dari 1 dollar AS hari -1 , dan “poverty” jika kurang dari 2 dollar AS hari -1 . Penilaian Bank Dunia ini hanya melihat kemiskinan pada tingkat individual saja. Kemiskinan juga dapat diukur berdasarkan pengeluaran kapita -1 tahun -1 setara dengan nilai tukar beras. Standar kebutuhan beras yang dipakai adalah Moh. Nazam, 2011_PSL_SPs_IPB 25 standar kemiskinan di perdesaan 320 kg kapita -1 tahun -1 Sajogjo, 1997. Sajogjo membagi menjadi tiga kelompok kemiskinan berdasarkan pengeluaran kapita -1 tahun -1 setara dengan nilai tukar beras untuk wilayah desa dan kota, yaitu miskin: desa 320 kg dan kota 480 kg; sangat miskin: desa 240 kg dan kota 360 kg; melarat: desa 180 kg dan kota 270 kg. Keluarga tani dinyatakan hidup layak apabila telah terpenuhi pangan, papan, pakaian, pendidikan, kesehatan, rekreasi, dan kegiatan sosial. Penanggulangan kemiskinan menjadi kewajiban pemerintah, sesuai dengan kerangka Millenium Development Goals MDGs. Pemerintah antara lain berkewajiban menurunkan angka kemiskinan dan kekurangan pangan sebanyak 50 pada tahun 2015 dari kondisi 1990.

2.3.2. Kemandirian dan Ketahanan Pangan

Kemandirian pangan dan ketahanan pangan adalah dua istilah yang sesungguhnya mempunyai pengertian yang sama, perbedaan hanya terletak pada sumber bahan pangan. Kemandirian pangan adalah terpenuhinya kebutuhan pangan secara mandiri dengan memberdayakan modal manusia, modal sosial dan ekonomi yang dimiliki sumber daya lokal dan berdampak kepada peningkatan kehidupan sosial dan ekonomi petani dan masyarakat Syahyuti, 2006; Soekartawi, 2008. Dalam UU No. 41 Tahun 2009 dinyatakan bahwa kemandirian pangan adalah kemampuan produksi pangan dalam negeri yang didukung kelembagaan ketahanan pangan yang mampu menjamin pemenuhan kebutuhan pangan yang cukup di tingkat rumah tangga, baik dalam jumlah, mutu, keamanan, maupun harga yang terjangkau, yang didukung oleh sumber-sumber pangan yang beragam sesuai dengan keragaman lokal. Kemandirian pangan identik dengan konsep swasembada pangan yang saat ini menjadi salah satu target pembangunan pertanian. Lebih lanjut Soekartawi menjelaskan empat komponen dalam mewujudkan kemandirian pangan yaitu aspek kecukupan ketersediaan pangan, aspek keberlanjutan stabilitas ketersediaan pangan tanpa fluktuasi dari musim ke musim atau dari tahun ke tahun, aspek aksesibilitasketerjangkauan terhadap pangan serta aspek kualitaskeamanan pangan. Menurut Soekartawi, apapun pengaruh global tidak boleh menabrak salah satu dari empat komponen tersebut. Kemandirian pangan menjadi salah satu indikator pengukuran ketahanan pangan Simatupang, 2007.