Penelitian Terdahulu TINJAUAN PUSTAKA

Moh. Nazam, 2011_PSL_SPs_IPB 32 adalah, diperlukan penerapan kebijakan agar swasembada beras dan perbaikan kesejahteraan petani sama-sama dapat dicapai. Secara ekonomi swasembada beras periode 1984-1996 dapat dipertahankan dengan kebijakan menaikkan harga dasar 15,38, menambah areal irigasi 3,61, menambah areal intensifikasi 5,25 atau mendevaluasi rupiah 100 namun dampaknya berlawanan bagi perubahan kesejahteraan petani dan konsumen. Karena itu diperlukan kombinasi kebijakan yang dapat mendorong kenaikan produksi beras sekaligus meningkatkan kesejahteraan petani. Hasil peramalan tanpa alternatif kebijakan menunjukkan bahwa kontribusi wilayah Sumatera, Sulawesi dan sisa wilayah Indonesia akan meningkat dalam produksi beras pada masa mendatang, sedangkan peran wilayah Jawa dan Bali berangsur-angsur turun sebagai konsekuensi dari pelaksanaan liberalisasi perdagangan. Indonesia diperkirakakan tidak akan berswasembada beras secara absolut melainkan akan mencapai net ekspor beras mulai tahun 2013. Tampak bahwa potensi produksi beras Indonesia masih cukup prospektif. Menurut Mulyana, untuk mencapai swasembada beras dan perbaikan kesejahteraan petani dilakukan dengan meningkatkan areal sawah irigasi dan intensifikasi di Sumatera, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Irian Jaya, dan memperbaiki efisiensi biaya dan teknologi usaha tani padi sesuai dengan spesifikasi wilayah. Perlu diefektifkan kebijakan harga dasar gabah yang didukung dengan peningkatan pengadaan, memperbaiki jaringan distribusi pemasaran beras dalam dan antar wilayah, meningkatkan teknologi penyimpanan berasgabah. Sistem operasi pasar beras masih tetap diperlukan dalam jangka pendek. Karena itu peran pemerintah yang saat ini dilakukan Bulog masih perlu dipertahankan dalam jangka pendek. Rachman 2001 melakukan kajian ”Pola Konsumsi dan Permintaan Pangan di Kawasan Timur Indonesia KTI” menggunakan data survei sosial ekonomi nasional Susenas tahun 1996 yang dikumpulkan oleh Bappenas. Hasil kajian menunjukkan bahwa konsumsi beras mendominasi pola konsumsi pangan sumber karbohidrat secara keseluruhan, menurut daerah maupun menurut kelompok pendapatan, walaupun konsumsi beras rata-rata rumah tangga di KTI lebih rendah dibandingkan nasional. Hasil analisis proyeksi produksi beras pada tahun 2005 berdasarkan data time series 1997-2001 adalah 28,47 juta ton, meningkat menjadi 28.53 juta ton pada tahun 2010 dan menjadi 28,59 juta ton tahun 2015. Sedangkan proyeksi Moh. Nazam, 2011_PSL_SPs_IPB 33 konsumsi beras tahun 2005, 2010 dan 2015 berdasarkan standar kecukupan gizi adalah 116,80 kg, 113,15 kg dan 109,5 kg kapita -1 tahun -1 sehingga proyeksi kebutuhan konsumsi beras nasional pada tahun 2005, 2010 dan 2015 adalah 26,06 juta ton, 26,97 juta ton dan 27,77 juta ton. Pada tahun 2015, jika konsumsi penduduk Indonesia sesuai dengan kecukupan gizi yang diperlukan, maka produksi dalam negeri mampu memenuhi permintaan. Namun perlu diwaspadai adanya peningkatan konsumsi beras per kapita tahun -1 akibat pertumbuhan ekonomi yang terjadi pada tahun 2015, sehingga perlu berusaha untuk meningkatkan pertumbuhan produksi beras dalam negeri. Pergeseran pola pangan pokok yang mengarah ke beras terutama penduduk di KTI, mengakibatkan beras menjadi komoditas bergengsi yang ditunjukkan oleh meningkatnya konsumsi beras dengan meningkatnya pendapatan. Badan Bimas Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian bekerjasama dengan Pusat Studi Pembangunan Lembaga Penelitian IPB 2002 melakukan ”Analisis Skenario Pemenuhan Kebutuhan Pangan Nasional Hingga 2015 Ditinjau dari Aspek Sosial Ekonomi Pertanian”, menggunakan analisis ekonometrika. Hasil analisis menunjukkan bahwa mulai tahun 2010 Indonesia berpeluang mengalami kondisi dimana tingkat produksi akan lebih besar daripada tingkat konsumsi. Kondisi surplus terutama tercipta oleh peningkatan produksi yang lebih cepat daripada peningkatan konsumsi. Surplus beras akan lebih cepat tercapai apabila diterapkan kebijakan yang bersifat mendukung. Dari berbagai kebijakan yang disimulasikan, peningkatan dana irigasi dan anggaran pembangunan sektor pertanian memberikan pengaruh positif yang lebih besar dalam peningkatan produksi dibandingkan dengan skenario kebijakan lainnya, seperti kebijakan subsidi pupuk, tarif impor maupun kebijakan harga dasar. Badan Bimas Ketahanan Pangan bekerjasama dengan Lembaga Penelitian Universitas Indonesia melakukan ”Analisis Proyeksi Produksi dan Konsumsi Beras Nasional 2015 Ditinjau Dari Aspek Sosial Kelembagaan Pertanian dan Perdesaan” menggunakan analisis regresi linier trend analysis. Untuk memperkirakan kecukupan zat gizi energi tahun 2002-2015 dilakukan analisis berdasarkan angka kecukupan zat gizi dari Widya Karya Pangan dan Gizi tahun 1979, 1988, 1993 dan 1998. Kecukupuan ini diterjemahkan dalam bentuk kebutuhan pangan berdasarkan Pedoman Umum Gizi Seimbang. Saat ini masih terjadi ketidakseimbangan pola konsumsi pangan yang disebabkan oleh terlalu tingginya peran padi-padian khususnya beras di satu sisi, dan masih Moh. Nazam, 2011_PSL_SPs_IPB 34 rendahnya peran beberapa pangan, terutama pangan hewani, sayuran dan buah serta belum tercukupinya minyak dan lemak. Berdasarkan hal tersebut, maka konsumsi kapita -1 padi-padian, khususnya sepanjang 2000-2015 diproyeksikan menurun, sedangkan komoditas lain, khususnya sayuran dan buah, pangan hewani, minyak dan lemak serta kacang-kacangan diproyeksikan meningkat. Hasil analisis AHP, di antara berbagai fungsi yang diperkirakan mendukung ketahanan pangan, ternyata fungsi ketersediaan ditemukan sebagai yang terpenting. Sedangkan fungsi lainnya seperti distribusi, konsumsi dan kewaspadaan pangan memperoleh bobot yang jauh lebih kecil daripada fungsi ketersediaan. Otonomi daerah yang telah diberlakukan diperkirakan akan memberikan pengaruh yang besar terhadap tercapainya ketahanan pangan. Implikasinya, pemerintah kabupaten memainkan peranan penting sejak dari tahapan perencanaan hingga tahapan evaluasi. Komponen-komponen yang diperlukan bagi pelaksanaan proses manajemen ketahanan pangan tersebut juga diharapkan menjadi tanggung jawab pemerintah kabupatenkota. Namun ada satu komponen penting dimana peran pemerintah pusat diharapkan tetap menonjol. Komponen tersebut adalah pendanaan. Dengan kata lain diharapkan sumber pendanaan utama bagi kebijakan ketahanan pangan adalah dari pemerintah pusat. Irawan 2005 melakukan ”Analisis Ketersediaan Beras Nasional, Suatu Kajian Simulasi Pendekatan Sistem Dinamis”, menggunakan data sekunder yang sumber data utamanya adalah Statistik Indonesia dan Profil Pertanian Dalam Angka. Dalam penelitian ini dilakukan penyederhanan, yaitu tidak mencakup sub sistem distribusi dan tata niaga, mengabaikan pengaruh faktor lingkungan dan pengaruh faktor harga gabah beras terhadap tingkat penawaran. Hasil analisis menunjukkan bahwa swasembada beras secara mandiri tidak akan tercapai apabila laju konversi lahan sawah terus berlanjut sebagaimana keadaan tahun 1992-2002 -0,77 tahun -1 dan penerapan teknologi budi daya padi sawah tidak beranjak dari keadaan tahun 1990-2000. Swasembada beras akan tercapai apabila laju konversi lahan di Jawa dan luar Jawa dapat ditekan masing-masing 0 dan 0,72 tahun -1 mulai tahun 2010. Pada saat yang sama upaya peningkatan produktivitas padi sebesar 2,0 – 2,5 tahun -1 sebagaimana prestasi yang pernah dicapai pada saat swasembada beras 1983-1985 diperlukan. Kebijakan perluasan areal lahan sawah di luar Jawa sebanyak satu juta hektar Moh. Nazam, 2011_PSL_SPs_IPB 35 selama lima tahun tidak akan cukup untuk mencapai kondisi swasembada beras dalam 15 tahun ke depan selama laju konversi lahan sawah dan tingkat produktivitas padi tetap tidak berubah. Nurmalina 2007 meneliti tentang ”Model Neraca Ketersediaan Beras Yang Berkelanjutan Untuk Mendukung Ketahanan Pangan Nasional”. Penelitian menitikberatkan neraca ketersediaan hanya pada pangan pokok beras pada tingkat nasional dan regional dengan waktu analisis 2005-2015. Penilaian indeks dan status keberlanjutan sistem ketersediaan beras dianalisis pada tingkat nasional dan regional. Tingkat regional mencakup beberapa wilayah, yaitu Jawa, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan dan wilayah lainnya Bali, NTB, NTT, Maluku dan Irian. Analisis indeks dan status keberlanjutan ketersediaan beras dilakukan dengan teknik ordinasi Rap-Rice modifikasi dari Rapfish yaitu menempatkan sesuatu pada urutan yang terukur dengan metode Multidimensional Scaling MDS dengan memfokuskan pada lima dimensi analisis, yaitu ekologi, ekonomi, sosial budaya, kelembagan dan teknologi. Sedangkan dimensi politik dan keamanan tidak dimasukkan dalam analisis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai indeks dan keberlanjutan multi dimensi ketersediaan beras di Indonesia adalah 64,51, yaitu dalam kategori cukup berkelanjutan. Sedangkan pada tingkat regional bervariasi antar wilayah antara 33,37-67,23. Wilayah Jawa dan Sumatera termasuk kategori cukup berkelanjutan, sedangkan wilayah Sulawesi, Kalimantan, dan wilayah lainnya termasuk kategori kurang berkelanjutan. Keberlanjutan untuk setiap dimensi berbeda-beda antar wilayah, begitu juga bila dibandingkan antar regional dan nasional. Hasil analisis prospektif terhadap peubah kunci keberlanjutan menunjukkan bahwa faktor yang berpengaruh terhadap sistem ketersediaan beras yang berkelanjutan adalah pencetakan sawah, konversi lahan, kesesuaian lahan, penduduk, produksi, produktivitas dan konsumsi penduduk kapita -1 . Hasil analisis sistem dinamis menunjukkan bahwa kebijakan perbaikan kunci dari sisi penyediaan produktivitas, produksi, pencetakan sawah dan kesesuaian lahan memberikan hasil kinerja model lebih baik terhadap neraca ketersediaan beras yang berkelanjutan di masa yang akan datang, dibandingkan dengan kebijakan perbaikan pada sisi kebutuhan penurunan pertumbuhan jumlah penduduk dan konsumsi kapita -1 . Moh. Nazam, 2011_PSL_SPs_IPB 36 Hasil kinerja sistem dengan perbaikan produktivitas dan produksi intensifikasi berkontribusi cukup besar dalam neraca ketersediaan beras yang berkelanjutan tetapi dengan pertumbuhan yang menurun tajam, sedangkan kebijakan pencetakan sawah dan pengendalian konversi ekstensifikasi berkontribusi rendah tetapi seiring berjalannya waktu meningkat dengan pertumbuhan yang cukup tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa strategi intensifikasi akan sangat baik untuk meningkatkan neraca ketersediaan beras, tetapi bila ingin neraca ketersediaan beras tersedia secara berkelanjutan maka strategi intensifikasi ini perlu dibarengi dengan ekstensifiksi. Hasil analisis sensitivitas menunjukkan bahwa parameter yang sangat sensitif berpengaruh terhadap ketersediaan beras adalah indeks pertanaman dan produktivitas, masing-masing 31,81 dan 16,99. Sedangkan konsumsi kapita -1 penduduk kota 8,52, konsumsi kapita -1 penduduk desa 7,43, rendemen gabah beras 7,91, dan pembukaan lahan 2,72. Parameter yang tidak sensitif adalah penurunan pertumbuhan penduduk 0,90 dan pengurangan susuttercecer 0,74. Ariningsih dan Rachman, 2008 menyatakan bahwa pemantapan ketahanan pangan di wilayah KTI dapat dilakukan antara lain melalui upaya: 1 peningkatan ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga dengan mengembangkan komoditas pangan lokal sesuai potensi sumber daya dan pola konsumsi setempat; 2 peningkatan produktivitas pertanian melalui akselerasi pemanfaatan teknologi sesuai dengan kapasitas sumber daya manusia setempat. Moh. Nazam, 2011_PSL_SPs_IPB 37

III. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

3.1. Letak Geografis

Secara geografis Provinsi NTB terletak antara 08 o 10’ - 09 o 05’ Lintang Selatan dan 115 o 46’-119 o 05’ Bujur Timur. Di sebelah utara berbatasan langsung dengan Laut Jawa dan Laut Flores, di sebelah timur berbatasan dengan Selat Sape, di sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Hindia dan di sebelah barat berbatasan dengan Selat Lombok. Provinsi ini termasuk provinsi kepulauan dengan dua pulau utama, yaitu Pulau Lombok dan Sumbawa serta 332 pulau kecil yang mengelilinginya dengan panjang garis pantai 2.333 km. Di antara 332 pulau kecil tersebut, sekitar 282 pulau sudah memiliki nama. Secara administratif wilayah provinsi NTB terbagai atas delapan kabupaten dan dua kota, 116 kecamatan dan 910 desakelurahan. Kabupatenkota di Pulau Lombok adalah Lombok Barat, Lombok Tengah, Lombok Timur, Lombok Utara dan Kota Mataram. Kabupaten Lombok Utara merupakan kabupaten termuda yang terbentuk pada tahun 2009. Kabupatenkota di Pulau Sumbawa adalah Kabupaten Sumbawa, Sumbawa Barat, Dompu, Bima dan Kota Bima. Pembagian wilayah kecamatan dan desakelurahan menurut kabupatenkota se Provinsi NTB, secara rinci disajikan pada Tabel 3.1. Tabel 3.1. Pembagian wilayah kecamatan dan desakelurahan menurut kabupatenkota se NTB tahun 2009. No. Kabupaten Kota Kecamatan Desa Kelurahan Luas Wilayah km 2 1. Lombok Barat 10 88 2. Lombok Utara 5 33 1.863,40 3. Lombok Tengah 12 139 1.605,55 4. Lombok Timur 20 119 1.208,40 5. Kota Mataram 6 50 61,30 6. Sumbawa 24 164 6.643,98 7. Dompu 8 63 2.324,60 8. Bima 18 168 4.389,40 9. Sumbawa Barat 8 48 1.849,02 10. Kota Bima 5 38 207,50 Jumlah 116 910 20.153,15 Sumber: RPJMD Provinsi NTB 2009-2013. Tabel 3.1 memperlihatkan bahwa luas daratan NTB adalah 20.153,15 km 2 , daratan Pulau Lombok seluas 4.738,70 km 2 23,51 dan daratan Pulau Sumbawa seluas 15.414,50 km 2 76,49. Wilayah KabupatenKota di Pulau Lombok rata-rata lebih sempit dibandingkan wilayah KabupatenKota di Pulau Moh. Nazam, 2011_PSL_SPs_IPB 38 Sumbawa. Wilayah terluas adalah Kabupaten Sumbawa, yaitu 6.643,98 ha 32,97 dari luas NTB, diikuti Kabupaten Bima 21,78, Dompu 11,53, Sumbawa Barat 9,17, Lombok Tengah 7,97, Lombok Timur 5,99, Lombok Barat dan Lombok Utara 9,25. 3.2. Kondisi Iklim 3.2.1. Tipe Iklim Iklim di wilayah Provinsi NTB mendapat pengaruh yang cukup besar dari angin Monsun. Pada Oktober sampai dengan Maret, wilayah ini mendapat pengaruh Monsun Samudera Pasifik melalui laut Jawa dan Samudera Indonesia. Kedua lautan ini mempengaruhi karakteristik curah hujan di seluruh wilayah Provinsi NTB, antara lain pola hujan yang tidak seragam, terutama di Pulau Lombok. Tingginya suhu permukaan laut di kedua lautan tersebut mendorong evaporasi yang intensif dan pembentukan awan pada musim angin barat. Ini membuat curah hujan yang tinggi pada November sampai Februari. Sebaliknya pada musim angin timur, suhu permukaan laut di Samudera Hindia menurun dan mencapai suhu terendah pada bulan Agustus, menyebabkan terjadinya musim kering dengan curah hujan yang sangat rendah. Berdasarkan Atlas Sumber Daya Iklim Pertanian Indonesia skala 1 : 1.000.000, wilayah provinsi NTB termasuk ke dalam dua tipe iklim, yaitu tipe iklim kering dan tipe iklim basah Balitkilimat dan Hidrologi, 2003. Sebagian besar wilayah provinsi NTB termasuk wilayah beriklim kering, sedangkan tipe iklim basah hanya terdapat di sekitar kawasan Gunung Rinjani di Pulau Lombok.

3.2.2. Curah hujan

Tipe iklim kering di wilayah provinsi NTB termasuk ke dalam tiga pola curah hujan, yaitu pola curah hujan IA, IIA dan IIC. Sedangkan tipe iklim basah dengan dua pola curah hujan, yaitu pola curah hujan IIIA dan IIIC Balitkilimat dan Hidrologi, 2003, seperti disajikan pada Gambar 3.1. Pola curah hujan IA dan IIA adalah yang paling dominan di NTB, terutama di Pulau Sumbawa yang hanya terdiri dari dua pola ini. Sedangkan pola curah hujan IIC, IIIA dan IIIC hanya terdapat di Pulau Lombok dengan wilayah sebaran yang relatif sedikit.