Moh. Nazam, 2011_PSL_SPs_IPB
113 ditekan melalui penerapan model pengelolaan tanaman padi terpadu PTT,
dapat menekan kehilangan hasil rata-rata 2,4 tahun
-1
Badan Litbang Pertanian, 2005a. Penerapan panen beregu dapat menekan kehilangan hasil
panen sekitar 13,1 - 18,6 menjadi 3,8.
5.4.2. Kebutuhan Konsumsi
Proyeksi kebutuhan padi didasarkan pada jumlah penduduk, konsumsi kapita
-1
tahun
-1
, kebutuhan agroindustri, jumlah cadangan pemerintah, kebutuhan benih padi dan jumlah ekspor atau transfer. Kebutuhan konsumsi beras
penduduk Indonesia rata-rata adalah sebesar 139,15 kg kapita
-1
tahun
-1
Nainggolan, 2008, Firdaus et al., 2008, BKP, 2009. Sedangkan kebutuhan agroindustri
diperkirakan 23,5
dari kebutuhan
konsumsi penduduk,
cadanganstock pemerintah 10 dari total kebutuhan konsumsi, kebutuhan benih padi sawah 25-50 kg ha
-1
serta kebutuhan untuk ekspor atau transfer ke daerah lain yang terdekat. Kelebihan stock beras NTB biasanya ditranfer untuk
memenuhi kebutuhan konsumsi beras wilayah yang terdekat, diantaranya ke provinsi Bali dan Nusa Tenggara Timur.
Konversi gabah kering giling GKG ke beras rendemen rata-rata 1:0,63 yang dipengaruhi oleh jenis dan kondisi alat penggilingan dan kualitas gabah
Badan Litbang Pertanian, 2005b. Menurut Thahir 2009, rendemen beras giling milling recovery adalah persentase bobotbobot beras giling yang dapat
diperoleh dari sejumlah gabah bernas, dalam keadaan bersih, tidak mengandung gabah hampa dan kotoran pada kadar air 14. Selain rendemen dikenal juga
istilah rasio penggilingan milling ratio, yang maksudnya adalah persentase beras giling yang dapat diperoleh bobotbobot dari sejumlah gabah yang
digiling dengan kondisi mutu tertentu. Data rendemen beras sering disebutkan untuk memberi gambaran produksi beras, namun tidak jelas mutu gabah yang
dijadikan acuan. Hasil survei Sudaryono et al.2005 di Jawa Barat menunjukkan bahwa rasio penggilingan dari tiga unit penggilingan padi rata-rata 65,96, dan
setelah dikonversi ternyata setara dengan rendemen giling 68,29. Hasil penelitian rendemen beras yang berasal dari penggilingan padi skala
besar, menengah, dan kecil masing-masing sebesar 61,5, 59,7, dan 55,7 dengan koefisien variasi CV masing-masing sebesar 6,65, 10,89, dan
7,96 Tjahjohutomo et al., 2004. Nilai koefisien variasi ini memberi gambaran bahwa ketiga rendemen beras tersebut berpeluang berada dalam kisaran yang
Moh. Nazam, 2011_PSL_SPs_IPB
114 sama. Pada sisi lain, kandungan beras kepala dan beras patah dari penggilingan
padi skala besar, menengah, dan kecil berada dalam kisaran yang sama, masing-masing 70-90 dan 16-28 Thahir et al., 2006.
Hasil analisis
berdasarkan data
dan informasi
aktual 2001-2008
menunjukkan bahwa kebutuhan konsumsi padi NTB, masih dapat dipenuhi dari produksi domestik. Laju peningkatan kebutuhan konsumsi masih dapat diimbangi
oleh laju peningkatan produksi, hal ini dapat dilihat dari neraca produksi dan konsumsi, pada Gambar 5.1.
Gambar 5.1. Neraca produksi dan kebutuhan konsumsi padi NTB 2001-2008 Gambar 5.1. memperlihatkan bahwa produksi padi NTB delapan tahun
terakhir mengalami surplus yang cenderung semakin besar. Keberhasilan surplus produksi tersebut karena masih tersedia potensi lahan untuk perluasan
areal menggantikan lahan terkonversi sehingga mampu meningkatkan produksi. Disamping itu peningkatan produksi juga disebabkan oleh peningkatan
produktivitas padi yang signifikan pada tahun 2008, dari 48,71 kw ha
-1
pada tahun 2007 menjadi 50,85 kw ha
-1
atau meningkat sebesar 4,4. Diperkirakan peningkatan produktivitas padi tersebut merupakan salah dampak dari program
Peningkatan Produksi Beras Nasional P2BN dengan memberikan bantuan benih langsung BBL kepada petani.
Derajat kemandirian pangan NTB pada tahun 2001-2008 berada pada kisaran 106 -120. Pada tahun 2001 terjadi surplus sekitar 15.600 ton
meningkat menjadi 56.200 ton pada tahun 2008. Kelebihan tersebut dapat ditransfer ke daerah lain, sehingga NTB dapat eksis sebagai salah satu lumbung
pangan nasional.