Luas Lahan Minimal Untuk Memenuhi KHL

Moh. Nazam, 2011_PSL_SPs_IPB 134 Rasio lahan sawah dengan jumlah petani di masing-masing tipologi lahan sawah adalah 0,40 ha KK -1 , 0,46 ha KK -1 dan 0,63 ha KK -1 Tabel 5.5. Jika luas lahan yang tersedia saat ini berkurang karena terjadinya konversi dan pendapatan petani tidak meningkat, maka kebutuhan Lm untuk memenuhi KHL petani semakin luas. Oleh karena itu pengendalian konversi lahan dan peningkatan pendapatan petani mutlak diperlukan. Kebutuhan Lm guna memenuhi KHL petani berdasarkan standar garis kemiskinan pada tiga tipologi lahan sawah ditunjukkan pada Gambar 5.16. Gambar 5.16. Kebutuhan Lm untuk memenuhi KHL petani pada tiga tipologi lahan sawah berdasarkan standar garis kemiskinan Gambar 5.16 memperlihatkan bahwa kebutuhan Lm petani yang tertinggi apabila mengacu pada standar Bank Dunia sebesar US 2 kapita -1 hari -1 , sedangkan standar Sajogjo berada di antara US 1 dan US 1,5 atau moderat. Standar yang paling rendah adalah apabila mengacu pada standar garis kemiskinan di daerah perdesaan untuk provinsi NTB yang ditentukan Rp.176.283 kapita -1 bulan -1 BPS, 2010. Dengan mengacu pada standar ini, maka lebih dari 68 petani pada lahan sawah irigasi teknis dengan penguasaan lahan di atas 0,32 ha KK -1 akan berada di atas garis kemiskinan, demikian pula halnya pada lahan irigasi setengah teknis, dimana lebih dari 40 petani dengan luas penguasaan lahan di atas 0,49 ha KK -1 sudah melampaui garis kemiskinan. Sebaliknya, apabila mengacu pada standar Bank Dunia sebesar US 2 kapita -1 hari -1 , maka jumlah petani pada lahan irigasi teknis yang dapat mencapai garis ,5 4 ,4 9 ,9 9 ,3 2 ,7 4 ,8 3 ,7 5 1 ,5 1 ,4 9 1 ,1 3 2 ,3 7 2 ,1 6 4 ,3 2 1 ,3 9 3 ,2 4 7 3 8 1 4 1 2 5 5 4 5 6 6 2 3 1 9 6 4 1 2 7 2 9 1 5 4 6 2 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 Irigasi Teknis Irigasi Sem i Teknis Tadah Hujan Standar Garis Kemiskinan VS Tipologi Lahan Sawah K e b u tu h a n L a h a n M in im a l h a K o n tr ib u s i P e n d a p a ta n th d K H L Keb utuhan Lahan Minimal ha Kontrib usi Pendapatan thd KHL 1. Sajogjo; 2. Bank Dunia US1; 3. Bank Dunia US2; 4. BPS NTB; 5. BPS US1,5 Moh. Nazam, 2011_PSL_SPs_IPB 135 kemiskinan sebanyak 17 saja, sedangkan petani pada lahan irigasi setengah teknis yang dapat mencapai garis kemiskinan diperkirakan kurang dari 5. Diperkirakan tidak ada petani pada lahan sawah tadah hujan yang dapat mencapai garis kemiskinan. Berdasarkan pada kenyataan tersebut, maka standar Sajogjo dalam hal ini masih relevan untuk digunakan sebagai standar garis kemiskinan. Alasan yang mendasari pemikiran tersebut bahwa sebagian besar pengeluaran penduduk miskin adalah untuk membeli beras sebagai pangan pokok, sehingga harga beras riil di suatu wilayah sangat menentukan kondisi kemiskinan masyarakat. Disamping itu para petani adalah penghasil beras, sehingga sebagian besar pengeluarannya dinilai setara beras. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari para petani pada umumnya menjual beras. Sedangkan nilai tukar dollar terhadap rupiah didasarkan pada kondisi global yang seringkali tidak secara langsung berkaitan dengan nilai kebutuhan pokok masyarakat, terutama yang tinggal di wilayah perdesaan. Rasio antara luas lahan pertanian dengan jumlah petani dapat digunakan sebagai indikator kemampuan usaha tani untuk memberikan kehidupan yang layak bagi rumah tangga petani Suryana et al., 2008. Makin tinggi rasionya, berarti lahan usaha tani tersebut mampu memberikan kehidupan yang lebih layak bagi rumah tangga petani, dan sebaliknya jika rasionya menurun. Bila dihitung rasio antara luas lahan dengan jumlah petani, maka luas pemilikan lahan petani saat ini rata-rata 0,48 ha KK -1 , sedangkan kebutuhan lahan agar KHL petani dapat terpenuhi seluas 0,86 ha KK -1 . Dengan perkataan lain bahwa skala usaha tani minimal yang harus dikelola oleh setiap petani dengan jumlah anggota rumah tangga 3,67 jiwa adalah 0,86 ha. Secara agregat kebutuhan Lm sawah di NTB adalah seluas 446.780 ha, terdiri atas lahan sawah irigasi teknis seluas 93.528 ha, setengah teknis 142.490 ha dan lahan sawah tadah hujan 210.761 ha. Luas baku sawah pada tahun 2008 seluas 230.986 ha, terdiri atas lahan sawah irigasi teknis 76.433 ha, lahan sawah setengah teknis 78.132 ha dan sawah tadah hujan 76.421 ha atau kontribusi masing-masing terhadap kebutuhan lahan mencapai 73,49, 56,53 dan 26,82 atau rata-rata 55,73. Pemerintah provinsi NTB tidak mungkin mencetak lahan sawah seluas 297.098 ha untuk memenuhi KHL petani 100, karena potensi lahan sawah yang masih tersedia saat ini di NTB sekitar 6.247 ha Hidayat dan Ritung, 2008. Moh. Nazam, 2011_PSL_SPs_IPB 136 Pemerintah sebaiknya tidak hanya fokus pada upaya peningkatan kapasitas produksi melalui peningkatan produktivitas, peningkatan IP dan pemberian insentif kepada petani saja, akan tetapi hal yang lebih penting juga tertuju pada upaya penciptaan lapangan kerja baru baik off farm maupun non farm sebagai sumber pendapatan alternatif petani. Penciptaan lapangan kerja baru harus diprioritaskan pada usaha-usaha yang bersifat mendukung supporting terhadap keberlanjutan aktivitas usaha tani padi, eksistensi usaha tani padi khususnya padi sawah tetap berlangsung secara baik dan berkelanjutan. Pemerintah harus tetap mengupayakan iklim yang kondusif bagi usaha tani padi melalui mekanisme yang lebih sederhana dan terjangkau oleh petani dan sejauh mungkin menghindari program yang dapat menciptakan ketergantungan petani yang semakin besar. Sebagaimana dinyatakan Sherlund et al. 2002 bahwa usaha tani rakyat sangat ditentukan oleh kondisi lingkungan yang sebagian besar berasal dari luar eksogen, sehingga kondisi tersebut sering menimbulkan ketidakefisienan.

5.7.2. Luas Lahan Optimum Untuk Kemandirian Pangan

Luas lahan optimum usaha tani padi sawah untuk mencapai kemandirian pangan berkelanjutan atau untuk memenuhi kebutuhan fisik minimum dapat ditentukan melalui pendekatan neraca produksi dan permintaan konsumsi padi, yang diformulasikan dalam dua struktur model sistem dinamik, yaitu struktur model sistem produksi padi dan struktur model kebutuhan konsumsi.

5.7.2.1. Struktur Model Sistem Produksi Padi

Struktur model sistem produksi padi dibangun berdasarkan faktor-faktor yang saling terkait dan berpengaruh dalam mencapai sasaran produksi yang diharapkan, meliputi luas baku sawah, konversi lahan, luas panen, produktivitas, indeks pertanaman padi, kehilangan hasil panen, dan kehilangan panen akibat variabilitas iklim dengan mengacu pada data dan informasi aktual 2001-2008. Menurut Tasrif 2004, suatu model dapat dikatakan lengkap apabila dapat mewakili berbagai dimensi dari realitas yang dikaji. Lebih lanjut Forrester 1965 menambahkan bahwa untuk menghindari kerumitan, tidak semua variabel dapat dimasukkan dalam model, karena akan sulit menjelaskan proses yang terjadi sesungguhnya. Karena itu pertimbangan pemilihan variabel dalam formulasi model menjadi sangat penting. Struktur model sistem produksi padi dalam Moh. Nazam, 2011_PSL_SPs_IPB 137 penelitian ini secara detail digambarkan dalam struktur model sistem dinamis, disajikan pada Gambar 4.6. Luas baku sawah memegang peranan sangat penting dalam sistem produksi padi sawah karena merupakan determinan utama kapasitas produksi padi dengan kontribusi lebih dari 90. Pada wilayah beriklim kering yang memiliki keterbatasan sumber daya air, peranan luas baku sawah terasa lebih penting. Luas baku sawah sangat dipengaruhi oleh laju pencetakan sawah baru dan laju konversi lahan sawah. Pada kondisi dimana potensi sumber daya lahan yang sesuai untuk pencetakan sawah baru sudah tidak tersedia atau dimanfaatkan mendekati 100 dari potensi yang tersedia, maka tidak ada pilihan lain kecuali harus mengendalikan laju konversi lahan sawah. Sementara itu, upaya peningkatan produktivitas akhir-akhir ini mengalami kendala stagnasi karena keterbatasan teknologi, degradasi lahan dan variabilitas iklim, sehingga luas panen harus dipertahankan pada luasan yang cukup. Perluasan areal panen melalui peningkatan IP padi juga mengalami kendala keterbatasan infrastruktur jaringan irigasi dan debit air serta masih rendahnya insentif petani padi termasuk iklim usaha tani padi yang sering tidak kondusif. Hal ini dapat dilihat dari perkembangan luas panen komoditas non padi yang cenderung meningkat sedangkan luas panen padi cenderung stagnan. Peluang peningkatan produksi padi NTB dapat dilakukan melalui perluasan areal padi ladang. Yang dimaksud padi ladang dalam penelitian ini adalah padi yang ditanam pada lahan kering tanpa tergenang, sering juga disebut padi gogo atau padi tegalan yang hanya mengandalkan curah hujan sebagai sumber airnya, sehingga umumnya berlangsung satu musim, yaitu pada musim hujan MH. Potensi lahan kering yang dapat dijadikan areal tanaman semusim padi di NTB masih cukup luas yaitu sekitar 137.559 ha 61,3 dari poteni lahan yang tersedia Hidayat dan Ritung, 2008. Akan tetapi mengandalkan produksi padi ladang mengandung resiko vulnerability yang sangat tinggi terutama karena ketergantungan yang tinggi terhadap faktor iklim yang dewasa ini semakin tidak menentu uncertainty. Hambatan lain dari pemanfaatan lahan kering untuk padi ladang adalah keterbatasan teknologi yang adaptif, misalnya varietas padi yang benar-benar tahan kekeringan dengan produktivitas yang tinggi. Pada sisi lain, ekspansi perluasan areal tanam padi ke lahan kering dapat menghambat proses diversifikasi pangan dari beras ke non beras, karena lahan yang seyogyanya