Mathla’ul Anwar Organisasi Keislaman pada Masa Kolonial

270 pengurus daerah yang berkedudukan di ibu kota kabupatenkota. Oleh karena itu, pengurus daerah mengkoordinir kegiatan tiga atau lebih pengurus cabang yang memiliki wilayah operasional di tingkat kecamatan. Kepengurusan yang paling rendah adalah ranting yakni organisasi Muhammadiyah yang langsung bersentuhan dengan kegiatan anggotanya. Sampai tahun 2008, Pimpinan Wilayah Jawa Barat mengorganisir 19 pimpinan daerah, 181 pimpinan cabang, dan 778 pimpinan ranting. Dari jumlah tersebut, jumlah cabang dan ranting terbanyak terdapat di Garut masing-masing sekitar 28 pengurus cabang dan 161 pengurus ranting. Sementara pimpinan daerah Cimahi belum memiliki pengurus tingkat cabang dan ranting.

3. Mathla’ul Anwar

Mathla’ul Anwar didirikan tanggal 10 Juli 1916 oleh para ulama Banten, antara lain Kyai Moh. Tb. Soleh, K.H.E. Moh. Yasin. Kyai Tegal, K.H. Mas Abdurahman, K.H. Abdul Mu’ti, K.H. Soleman Cibinglu, K.H. Daud, K.H. Rusydi, E. Danawi, dan K.H. Mustaghfiri. Berbeda dengan organisasi pergerakan lainnya, Mathla’ul Anwar secara penuh memusatkan perhatiannya hanya di lembaga pendidikan. Melalui lembaga pendidikan Mathla’ul Anwar para kyai menginginkan agar ajaran Islam menjadi dasar kehidupan bagi individu dan masyarakat untuk mecapai tingkat kehidupan yang jauh lebih baik. 426 Kegiatan pendidikan Mathla’ul Anwar pertama kali diselenggarakan di rumah K. H. Mustagfiri yang terletak di daerah Menes. Dalam perkembangan selanjutnya, proses belajar mengajar dilakukan di sebuah bangunan madrasah 271 yang dibanun secara bergotong-royong oleh masyarakat Islam Menes di atas tanah wakaf dari Ki Demang Entol Djasudin. Hingga saat ini, bangunan madrasah tersebut masih tetap digunakan sebagai tempat penyelenggaraan pendidikan Islam, baik untuk jenjang Madrasah Ibtidaiyah, Sekolah Dasar Islam, dan Taman Kanak- Kanak Mathla’ul Anwar. 427 Dalam kurun waktu 1920 – 1930-an, Mathla’ul Anwar telah berhasil membuka pesantren di beberapa daerah, antara lain di Lebak, Serang, Bogor, Tangerang, Karawang, dan Lampung. Sampai tahun 1936, jumlah pesantren yang berada di bawah naungan Mathla’ul Anwar sudah mencapai 40 buah. 428 Pada 1940, Mathla’ul Anwar menjadi anggota Majelis Islam A’la Indonesia MIAI, suatu wadah komunikasi antarorganisasi Islam Indonesia waktu itu. Selain Mathla’ul Anwar, organisasi Islam lainnya yang menjadi anggota MIAI antara lain Muhammadiyah, Nahdatul Ulama, Al Irsyad, Al Jami’atul Wasliyah, Persatuan Islam Persis, dan organisasi Islam lainnya. Ketika Pemerintah Militer Jepang membubarkan MIAI dan membentuk Masjumi tahun 1944, Mathla’ul Anwar masih tercatat sebagai anggotanya. Akan tetapi ketika Masjumi memutuskan untuk berpolitik tahun 1946, Mathla’ul Anwar keluar karena tidak tidak ada seorang pun anggota organisasi tersebut yang menjadi pengurus Masjumi. Meskipun demikian, perjuangan Masjumi mendapat dukungan penuh dari Mathla’ul Anwar. 429 Pada masa revolusi kemerdekaan Indonesia 1945-1949, para pemimpin, ulama, maupun anggota Mathla’ul Anwar turut serta bersama-sama rakyat 272 berjuang melawan pemerintah Belanda yang ingin kembali berkuasa di Indonesia. Keikutsertaan anggota-anggota Mathla’ul Anwar dalam menghadapi penjajah diwujudkan dalam keikutsertaan dalam perang kemerdekaan maupun bidang pemerintahan. Anggota Mathla’ul Anwar bergabung dalam laskar perjuangan seperti Hizbullah. Selain itu, ada pula yang berperan dalam bidang pemerintahan, seperti K.E. Ismail yang menjadi wedana dan K.H. A. Sidiq yang menjadi Asisten Wedana Menes. Tahun 1952, Mathla’ul Anwar mempertegaskan sikapnya sebagai organisasi independen. Penyataan tersebut dikeluarkan karena pada saat itu di kalangan umat Islam terdapat tiga partai politik yakni Masjumi, NU, dan PSII. Sebagai organisasi yang independen, Mathla’ul Anwar tidak menjadi organisasi onderbouw ketiga partai politik tersebut dan juga tidak berafiliasi kepada organisasi Islam lainnya. Meskipun demikian, umat Islam masih memandang Mathla’ul Anwar sebagai onderbouw Masjumi. Untuk membantah opini tersebut, Mathla’ul Anwar mengajukan permohonan sebagai badan hukum. Permohonan tersebut dikabulkan oleh Menteri Kehakiman dengan mengeluarkan Surat Keputusan Nomor J.A. 5615 tanggal 13 Januari 1959. 430 Sebagai dampak dari peristiwa Gerakan 30 September 1965, suhu politik semakin memanas. Kondisi tersebut mendorong Mathla’ul Anwar untuk kembali ke ranah politik dengan menjadi anggota Sekretariat Bersama Golongan Karya. Selain itu, organisasi ini pun aktif sebagai Koordinator Amal Muslimin yang pada tahun 1967 berubah nama menjadi Partai Muslimin Indonesia Parmusi. Parmusi 273 dibentuk sebagai kendaraan politik bagi organisasi Islam lainnya yang aspirasi politiknya belum tersalurkan melalui organisasi politik yang ada pada saat itu. Seiring dengan pembentukan Parmusi, keanggotaan Mathla’ul Anwar di Sekber Golkar secara otomatis berakhir. Keputusan Mathla’ul Anwar untuk kembali berpolitik mendapat reaksi negatif dari sebagian pengurus daerah yang berujung pada konflik internal. Konflik tersebut dapat diatasi setelah Mathla’ul Anwar kembali menjadi organisasi independen meskipun aspirasi politiknya disalurkan kepada Golongan Karya. Tahun 1986, Mathla’ul Anwar pun menerima Pancasila sebagai satu-satu azas dalam berorganisasi karena cita-citanya bukan mendirikan negara Islam, melainkan menjadikan nilai-nilai Islam sebagai landasan berbangsa dan bernegara. Dengan keputusannya itu, hubungan dengan pemerintah Orde Baru kembali mencair sehingga memberi kesempatan untuk menyebarluaskan pengaruhnya tidak hanya di Jawa Barat melainkan juga di seluruh Indonesia. 431

4. Persjarikatan Oelama