Pengantar Masa Sebelum Kemerdekaan Kiai Asyrofuddin

92

BAB III RIWAYAT PARA KIAI TERKEMUKA DAN PERKEMBANGAN

TAREKAT DI TATAR SUNDA

A. Pengantar

Setelah masa awal penyebaran agama Islam di Tatar Sunda dilakukan oleh Sunan Gunung Jati, pendiri Kesultanan Cirebon sekaligus juga salah seorang wali dari Wali Sanga, tugas tersebut dilanjutkan oleh para kiai atau ajengan. Kiai adalah gelar ahli agama Islam dan merupakan pemimpin kharismatik dalam agama. Ia fasih dan mempunyai kemampuan yang cermat dalam membaca pikiran-pikiran pengikutnya. Sifat khas seorang kiai adalah terus terang, berani dan blak-blakan dalam bersikap dan bahkan sebagai seorang ahli ia jauh lebih unggul dari pada kiai dalam menerapkan prinsip-prinsip ijtihad. Sebaliknya ia mampu menjelaskan masalah-masalah tata keimanan yang sulit kepada para petani muslim sesuai dengan pandangan atau suara hati mereka. Seorang kiai juga dipandang sebagai lambang kewahyuan. Ia menghimpun para pengikutnya secara luas, baik yang tinggal di pedesaan maupun di perkotaan. 198 Berikut ini akan diuraikan profil-profil kiai yang dianggap memiliki peranan penting dalam perkembangan Islam di Tatar Sunda. Bagian A akan menguraikan para ulama pada masa sebelum kemerdekaan dan bila ulama tersebut masih hidup akan diuraikan hingga masa seteklah kemerdekaan; serta bagian B akan menguraikan para ulama pada masa sesudah kemerdekaan. 93

B. Masa Sebelum Kemerdekaan Kiai Asyrofuddin

Di Sumedang, terdapat seorang kiai terkemuka keturunan pangeran Sjamsuddin I dari keraton Kasepuhan Cirebon, Raden Asjrofuddin. 199 Ia berbeda pendapat dengan ayahnya dalam visi politik pemerintahan di Cirebon, terutama yang berhubungan dengan sikap Cirebon tehadap Belanda. Ia meninggalkan keraton menuju ke arah barat. Pertama-tama ia menetap di kampung Pongpongan, Cirebon. Selang beberapa waktu, karena keberadaannya diketahui oleh pihak Cirebon, ia pindah ke Loji Kobong, masih di wilayah Cirebon. Di Loji Kobong pun diketahui oleh orang-orang keraton, Raden Asjrofuddin pindah lagi ke Cikuleu, yang termasuk daerah Kabupaten Sumedang di sebelah utara. 200 Di Cikuleu, setelah merasa aman, ia mulai membuka pengajian untuk penduduk setempat. Semakin hari santrinya semakin bertambah. Mereka menginap di pondok-pondok yang didirikan di sekitar mesjid. Lambat laun karena santrinya menunjukkan kemajuan, keberadaan pondok di sekitar Cikuleu diketahui oleh Bupati Sumedang, Pangeran Soeria Koesoemah Adinata 1836-1882. Bupati yang juga dikenal sebagai Pangeran Sugih ini memasukkan puteranya, yang kelak dikenal sebagai Pangeran Soeriaatmadja ke pesantren ini. Atas permintaan Pangeran Sugih, Kiai Asjrofuddin membuka pesantren baru di daerah Cipicung yang lokasinya lebih dekat ke Kota Sumedang. Sementara pesantren lama dilanjutkan oleh puteranya, bernama Kiai Raden Abdul Hamied. Pesantren baru didirikan di atas sebidang tanah yang luasnya 2.400 meter persegi. 201 Tanah tersebut merupakan pemberian wakaf 202 dari Pangeran Sugih. Dengan berdirinya pesantren Cipicung, perkampungan di sekitarnya menjadi ramai. Para santri dari luar daerah berdatangan untuk belajar ilmu agama Islam. Selain itu, orang- orang sering berkunjung untuk memohon nasihat, do’a restu dan lain-lain. Kiai Asjrofuddin wafat pada tahun 1847 dan dimakamkan di sebelah utara komplek pesantren tersebut. 94 Muhammad Nawawi al-Bantani 1813-1897 Muhammad Nawawi lahir pada tahun 1813 203 di Tanara, Serang. Ia adalah anak sulung K. H. Umar ibn Arabi dan Nyai Jubaedah. Nawawi masih keturunan Sebakingkin Maulana Hasanuddin, putera Syarif Hidayatullah. 204 Pendidikan agama diperoleh dari ayahnya. Ia juga kemudian belajar kepada Kiai Sahal Banten dan kiai Yusuf Purwakarta. Menginjak usia 15 tahun, ia pergi ke Mekkah dan bermukim di sana selama 3 tahun. Di sana ia belajar kepada: Syekh Abdul Gani Bima, Syekh Yusuf Sumulaweni, Syekh Nahrawi, dan Abdul Hamid Daghestani. Guru Nawawi lainnya adalah: Khatib Sambas, seorang pemimpin Tarekat Qadiriah, pengarang kitab Fath al-Arifin. Setelah pulang ke Banten, Nawawi dipanggil kembali oleh K.H Abdul Karim untuk menggantikan kedudukannya di Mekkah. Di antara murid-murid Nawawi yang berasal dari Indonesia adalah 1 K. H. Hasyim Asy’ari, dari Jombang, 2 K. H. Khalil, dari Bangkalan, 3 K. H. Mahfudh at-Tarmisi,dari Tremas, 4 K. H. Asy’ari, dari Bawean, 5 K. H. Nahjun, dari Mauk, Tangerang, 6 K. H. Asnawi, dari Caringin, Labuan, 7 K. H. Ilyas, dari Kragilan, Serang, 8 K. H. Abdul Ghaffar, dari Tirtayasa, Serang, 9 K. H. Tb. Bakri, Sempur, Purwakarta, dan 10 K. H. Mas Muhammad Arsyad Thawil, Tanara, Serang, yang kemudian dibuang Belanda ke Manado, Sulawesi Utara karena peristiwa Geger Cilegon. 205 Foto 35: Muhammad Nawawi al-Bantani 95 Sumber: Ulama-Ulama Nusantara. Diakses dari http:sachrony.files.wordpress.com. Tanggal 12 Maret 2011. Sejak tahun 1870, Nawawi memusatkan perhatiannya pada menulis kitab. Ia berhasil menulis sekitar 80 kitab. Di antara karya Nawawi adalah 1 Sulam al-Munajah, syarah atas kitab Safinah ash-Shalah, karya Abdullah ibn Umar al-Hadrami, 2 Al-Tsimar al-Yaniat fi riyadl al-Badi’ah, syarah atas kitab Al-Riyadl al-Badi’ah fi Ushul ad-Din wa Ba’dhu furu’usy Sar’iyyah ’ala Imam asy-Syafi’i karya Syekh Muhammad Hasballah ibn Sulaiman,3 Uqud al-Lujain fi Bayani Huquq al-Jawazain, kitab fikih mengenai hak dan kewajiban suami-istri, 4 Nihayatuz Zain fi Irsyad al-Mubtadiin, syarah atas kitab Qurratul ’aini bi muhimmati ad-din, karya Zainuddin Abdul Aziz al-Maliburi, 5 Bahjat al-Wasil bi Syarhil Masil, syarah atas kitab Ar-Rasail al-Jami’ah Baina Ushul ad-Din wal- Fiqh wat-Tasawuf, karya Sayid Ahmad ibn Zein al-Habsyi, 6 Asy-Syu’ba al- Imaniyyat, ringkasan atas dua kitab yaitu Niqayyah karya al-Sayuthi dan al- Futuhat al-Makiyyah karya Syekh Muhammad ibn Ali, 7 Marraqiyyul 96 ’Ubudiyyat, syarah atas kitab Bidayatul Hidayah karya Abu Hamid ibn Muhammad al-Ghazali, 8 Tanqih al-Qaul al-Hadits, syarah atas kitab Lubab al- Hadits karya al-Hafidz Jalaluddin Abdul Rahim ibn Abu Bakar as-Sayuthi, 9 Murah Labib li Kasyfi Ma’na al-Qur’an al-Majid, juga dikenal sebagai Tafsir Munir, 10 Qami’al Thughyan, syarah atas Syu’ub al Iman, karya Syekh Zaenuddin ibn Ali ibn Muhammad al-Malibari, 11 Salalim al-Fudlala, ringkasanrisalah terhadap kitab Hidayatul Azkiya ila Thariqil Awliya, karya Zeinuddin ibn Ali al-Ma’bari al-Malibari, 12 Nasaih al-Ibad, syarah atas kitab Masa’il Abi Laits, karya Imam Abi Laits, 13 Minqat asy-Syu’ud at-Tasdiq, syarah dari Sulam at-Taufiq karya Syeikh Abdullah ibn Husain ibn Halim ibn Muhammad ibn Hasyim Ba’lawi, 14 Kasyifatus Saja, syarah atas kitab Syafinah an-Najah, karya Syekh Salim ibn Sumair al-Hadrami, dan lain-lain. 206 Karya-karyanya banyak beredar, terutama di negara-negara yang menganut faham Syafi’iyah. Sikap Kiai Nawawi terhadap politik kolonial, memang tidak seagresif Haji Nahrawi yang menyerukan jihad dalam menghadapi kekuasaan asing di Nusantara. Namun, ia merasa bersyukur ketika mendengar Belanda menghadapi banyak kesulitan di Aceh. Dalam pembicaraannya dengan Snouck Hurgronje, ia tidak menyetujui pendapat bahwa Tatar Sunda harus diperintah oleh orang Eropa. Al-Bantani wafat di Mekkah pada tahun 1897, dan dimakamkan di Ma’la. 207

K. H. Abdullah Mubarrok Abah Sepuh, 1836-1856