Ahmadiyah Organisasi Keislaman pada Masa Kolonial

285 Matraman Utara Jakarta dan Pamanukan 468 jumlah anggota sekitar 10.000 orang. 469

8. Ahmadiyah

Ahmadiyah didirikan oleh Ghulam Ahmad bin Mirza Gulam Murtadho pada 23 Maret 1889 di Kota Ludhiana, Punjab, India. Bagi pengikut Ahmadiyah, kota tersebut dikenal dengan nama Daarul Bai’at. Tujuan utama Ahmadiyah adalah mengajak umat manusia untuk membenarkan pengakuan Mirza Gulam sebagai Al-Masih dan Al-Mahdi yang akan datang di akhir zaman. Pengikut Ahmadiyah menganggap kafir bagi mereka yang tidak mau masuk ke dalamnya. 470 Di Indonesia, Ahmadiyah didirikan tahun 1928 oleh salah seorang tokoh Muhammdiyah yang bernama R. Ng. H. M. Djojosoegito, saudara sepupu K. H. Hasyim Asyari dan K. H. Abdul Wahab Chasballah pendiri NU. Ahmadiyah masuk ke daerah Jawa Barat pada 1933 atas peranan Abdul Samik, Nazir, Ata, Saud, dan Basyir yang semuanya berasal dari Padang. Tahun 1930, Pemerintah Hindia Belanda mengakui Ahmadiyah sebagai salah satu organisasi keagamaan di Indonesia, tetapi baru tahun 1935 PB Ahmadiyah terbentuk di bawah pimpinan R. M. Muhyidin dan berkedudukan di Batavia. 471 Beberapa cabang Ahmadiyah di Jawa Barat didirikan dalam kurun 1930- 1941, selebihnya didirikan setelah tahun 1945. Cabang-cabang Ahmadiyah yang didirikan sebelum tahun 1945, antara lain Garut, Indihiang, Singaparna, 286 Tasikmalaya, Kota Bandung, dan Cikalongkulon. Masyarakat Garut mengenal Ahmadiyah tahun 1934 yang diperkenalkan oleh Entoy Mohamad Tayyib. Setelah melakukan berbagai perdebatan dengan berbagai kalangan, pengikut Ahmadiyah membentuk Komite Penyelidik Qadian yang kemudian menjadi Ahmadiyah Cabang Garut. Upaya menyebarluaskan ajaran Ahmadiyah ditandai dengan pembukaan ranting, antara lain di Samarang tahun 1939. 472 Di daerah Tasikmalaya, Ahmadiyah membuka cabang pertama tahun 1935 di Indihiang yang dipimpin oleh Surjah Ketua dan Enggit Syarif Sekretaris. Lima tahun kemudian 1940, Ahmadiyah pun membuka cabang di Singaparna di bawah pimpinan Anggadiraksa Ketua dan D. Moh. Junaedi Sekretaris. Sementara itu, Ahmadiyah Cabang Tasikmalaya berdiri tanggal 1 Mei 1941, di bawah pimpinan Rasli. Pada akhir tahun 1941, Jemaat Ahmadiyah Tasikmalaya berhasil mendirikan masjid di atas tanah wakaf dari Rasli yang peresmiannya dilakukan oleh M. Malik Aziz Ahmad Khan pada awal tahun 1942. 473 Dalam perkembangannya, Ahmadiyah Cabang Tasikmalaya menjadi salah satu pusat pengembangan Ahmadiyah di Indonesia. 474 Meskipun masyarakat Kota Bandung telah mengenal Ahmadiyah sejak tahun 1933, namun baru bisa mendirikan cabang tahun 1938 setelah seorang utusan PB Ahmadiyah bernama Abdul Samik datang dan menetap di Kota Bandung. Kepengurusan Ahmadiyah Cabang Bandung dipimpin oleh Ajusar Gelar Sutan Palindih yang dibantu tiga orang sekretaris yaitu A. Juber, Moh. Hambali, dan Abdul Samik. 475 287 Masyarakat Cikalongkulon mengenal Ahmadiyah melalui majalah Sinar Islam dan Al-Mu’min yang terbit di Cianjur tahun 1932. Tidak lama kemudian, PB Ahmadiyah mengutus Sulaeman untuk melakukan pentablighan di daerah Cikalongkulon dan mendapat dukung penuh dari R. H. Romli dan Nyi R. Rafi’ah. Setelah membangun mesjid di Desa Sukagalih untuk keperluan dakwah, PB Ahmadiyah mengesahkan kepengurusan Ahmadiyah Cabang Cikalongkulon di bawah pimpinan R. H. Romli pada 1 Agustus 1941. 476 Sepanjang 1950-1960, beberapa ranting diubah menjadi cabang, antara lain Wanasigra, Citeguh, Sukasari, Sukamaju, Kupa, dan Cigunungtilu. Selain itu, dalam kurun waktu tersebut didirikan juga beberapa ranting, antara di Tonjol Langkob. 4772 Pada 1960, di Bandung dibentuk beberapa ranting baru antara lain di Cimahi, Majalaya, Andir, Ciroyom, Sukajadi, Sukamulya, Malabar, M. Toha, Cicaheum, dan Sukamiskin. Sementara itu, pada 1983 didirikan beberapa cabang di Pangalengan Sukatali, Lembang, dan Subang. 478 Tahun 1984, jumlah cabang Ahmadiyah di Jawa Barat bertambah lagi seiring dengan pembukaan cabang di Sukawening, Karangpawitan, Pangauban, Cibatu, Nyalindung, Cilimus, dan Pamengpeuk. 479 Meskipun secara organisasi menunjukkan perkembangan cukup berarti, namun masyarakat menunjukkan sikap penolakan. Sikap tersebut acapkai berakhir pada konflik fisik. Di Cianjur, tahun 1968 terjadi penghancuran rumah ibadah Ahmadiyah. Kejadian serupa terjadi juga di Bogor 1968, Kuningan 1969, Bogor 1981, dan daerah-daerah di Indonesia lainnya. Puncak penolakan itu 288 berujung pada pembentukan Forum Ukhuwah Islamiyah Indonesia FUUI yang mengajukan surat permohonan pada 17 September 1974 agar Ahmadiyah dilarang secara nasional. 38 Melalui Radiogram No. 2681974 yang dikeluarkan pada 5 Nopember 1974, Kepala Direktorat Jenderal Urusan Haji melarang para calon jemaah Haji Ahmadiyah Qadian memasuki wilayah Saudi Arabia. 4803 Menindak lanjuti kebijakan pemerintah pusat tersebut, pada 22 Februari 1976, Kejaksaan Tinggi Jawa Barat melarang keberadaan Ahmadiyyah dengan surat keputusan No. 0112 JBK22PAKEM31976. Meskipun demikian, aksi penolakan masyarakat terhadap Ahmadiyyah terus berlangsung seperti yang terjadi di Kuningan, Cilegon, dan Ciamis. Bahkan pada akhir September 1988, masyarakat Garut berusaha menghancurkan pusat kegiatan jemaah Ahmadiyyah di sana. 481 Meskipun penentangan masyarakat terhadap Ahmadiyah tidak pernah padam, namun organisasi ini masih tetap eksis hingga saat ini.

C. Organisasi Politik dan Organisasi Massa pada Masa Republik 1. Gerakan dan Organisasi Politik