169 2. K.H. Ahmad Sanusi bin H. Abdurrahim Sukabumi
3. K.H. Muhammad Sujai Gudang-Tasikmalaya 4. K.H. Abbas, K.H. Anas, dan K.H. Akyas Buntet Cirebon
5. K.H. Usman Dhomiri Bandung
6. K.H. Badruzzaman Garut.
Sementara itu, Tarekat Tijaniyah di Garut dibawa oleh K.H. Badruzzaman. Tarekat ini menampilkan gerakannya sebagaimana dicontohkan
pendiri tarekat ini, Syekh Ahmad at-Tijani, seorang tokoh sufi dari Afrika Utara. Tijaniyah sejak awal mula didirikan lebih berfungsi sebagai wahana reformasi
massa daripada wahana pemusatan loyalitas spiritual dan inspirasi bagi masyarakat. Tarekat Tijaniyah termasuk tarekat baru yang paling dinamis dalam
merealisasikan potensinya sebagai alat untuk membangkitkan kembali agama dengan cara mengajak seluruh lapisan masyarakat agar mengikuti tarekat ini.
356
Para pengikut tertarik kepada Tijaniyah karena tarekat ini memberikan penolakan terhadap asketisme sufi tradisional, seperti zuhd, khalwat, atau uzlah.
At-Tijani menggantikan penolakan kenikmatan fisik dengan mendorong para pengikutnya untuk semangat bersyukur atas nikmat Allah swt. di dunia ini.
Mereka diharapkan tidak berusaha untuk menonjol di tengah-tengah manusia dengan melakukan puasa-puasa atau berpantang tidur secara berlebihan,
melainkan hidup selayaknya bukan pemeluk tarekat pada umumnya. Mereka hanya didorong untuk berusaha menjauhi dosa. Daya tarik Tarekat Tijani pun,
sehingga banyak dimasuki oleh kaum muslimin, adalah karena amaliah tarekatnya
170 “relitif ringan” dan sangat ketat terhadap syariah. Oleh karena itu, para pengamat
menilai tarekat Tijani sebagai neo-sufism tasawuf modern. Pengembangan Tijaniyah di Garut menekankan pada syari’at dalam
praktik ibadah mahdhah, sebagaimana dalam karya-karya Syekh Badruzzaman tentang kaifiyat shalat, wudlu, tauhid, dan sebagainya. Apabila dulu tarekat
berfungsi sebagai media penguatan keagamaan setelah pengamalan syari’at, maka Tijaniyah merupakan pintu pembuka kepada pengamalan syari’at. Dalam hal ini,
fungsi tarekat tampak bergeser dari pandangan klasik yang menyatakan bahwa tarekat adalah tahapan setelah syari’at, justru di sini melalui tarekatlah kemudian
dapat dikembangkan syari’at. Fungsi praktis pengembangan tarekat seperti ini merupakan metode yang ditempuh Syekh Badruzzaman di dalam gerakan
Tijaniyah semenjak awal perkembangannya di Garut. Proses penyadaran keagamaan masyarakat dilakukannya dengan
mendahulukan metode tarekat didasarkan kepada alasasan bahwa upaya pengembangan bidang syari’at khususnya dalam praktik ibadah dipandang sulit,
misalnya orang tidak dapat istiqamah melaksanakan ibadah shalat atau bahkan masih mengabaikannya, maka setelah mengikuti tarekat ini timbul kesadaran kuat
untuk mengamalkan ibadah. Oleh karena itu, tidak heran bila banyak kaum muda dan orang yang masih “pemula” dalam berislam mengikuti tarekat ini.
Sufisme di Priangan dalam gerakan-gerakan tarekat yang diwakili oleh Kaum Godebag TQN Suryalaya, Kaum Wara’i Tarekat Idrisiyah, dan Kaum
Tijani Tarekat Tijaniyah, berperan meningkatkan dan memperbaiki keagamaan
171 masyarakat setempat. Gerakan keagamaan Kaum Tarekat dapat berkembang atas
usaha para guru setiap tarekat dengan melakukan interpretasi serta modifikasi terhadap metode para sufi sebelum mereka, sehingga tarekat dapat disesuaikan
dengan perkembangan zaman serta perubahan tingkat kebutuhan spiritualitas
masyarakat.
172
BAB IV NASKAH-NASKAH ISLAM DAN TINGGALAN ARKEOLOGIS