138 mengabdikan ilmunya di pesantren ayahnya, di Citangkolo, sekarang masuk Kota
Banjar.
301
K. H. Marzuqi, ayahnya, adalah seorang pejuang. Abdurrohim pun sama seperti ayahnya. Ia bersama ayahnya pernah dituding mengorganisir penggulingan
Kereta Api di jembatan Cibeureum, sehingga Banjar dibumihanguskan Belanda. Ia bersama ayahnya pernah menjadi tentara Hizbullah dan DI karena awal
perjuangannya baik.
302
Namun mereka mengundurkan diri setelah di tengah perjalanan terdapat sejumlah hal yang menyimpang dari tujuan awal. Imbasnya,
pesantren Citangkolo beberapa kali mendapat serangan dari pasukan DI. Penamaan pesantren Citangkolo Miftahul Huda sama dengan nama pesantren
Manonjaya, karena Abdurrohim adalah teman seperjuangan dengan K. H. Khoer Affandy. Lepas dari DI, ketika terjadi Bandung Lautan Api, Abdurrohim ikut ke
Bandung selama empat bulan. Menjelang G 30S PKI, pesantren Citangkolo dijadikan basis umat Islam untuk menandingi PKI.
303
Tahun 1997 Abdurrohim wafat. Karyanya yang terbesar adalah Pondok Pesantren Miftahul Huda Al Azhar
Citangkolo yang mulai eksis sejak tahun 1960.
304
K. H. Abdullah Abbas 1922-2007
K. H. Abdullah Abbas atau Ki Dullah adalah putra tertua K. H. Abbas Buntet Pesantren, Cirebon, lahir pada 7 Maret 1922. Sang ayah dikenal sebagai
ulama legendaris sekaligus pendekar dengan berbagai ilmu bela diri dan kanuragan, seorang pakar kitab kuning sekaligus jagoan perang. Ki Dullah
139 mewarisi tradisi Buntet Pesantren yang bukan hanya mengurus soal agama dan
pendidikan, tapi juga kebangsaan.
305
Foto 51: K. H. Abdullah Abbas
Sumber: Ulama-Ulama Nusantara. Diakses dari http:sachrony.files.wordpress.com. Tanggal 12 Maret 2011.
Kiprahnya dalam mempertahankan NKRI, ia tunjukan dengan masuk tentara Hizbullah. Ia turut melawan Belanda di Sidoarjo bersama Mayjen
Sungkono. Ia pun pernah menjadi Kepala Staf Batalyon Hizbullah.
306
Ki Dullah pernah menjadi anggota Batalyon 315Resimen ITeritorial Siliwangi dengan
pangkat Letda. Sementara dalam bidang politik, ia selalu menjadi rujukan para pemimpin nasional. Para tokoh politik, termasuk para calon presiden, gubernur,
dan bupatiwalikota ketika menjelang pemilihan selalu menyempatkan bersilaturrahim kepadanya. Adapun dalam Jam’iyah NU, ia adalah kiai Khas. Ki
140 Dullah wafat pada hari Jum’at, 10 Agustus 2007, di Rumah Sakit Tentara Ciremai
dalam usia 85 tahun.
307
K. H. Ishak Faridh Lahir, 1924-1987
Ishak Farid anak ke-12 K. H. Thoha, lahir tahun 1924. Ia belajar mengaji kepada ayahnya. Atas anjuran ayahnya, mondok di Keresek dan ke K. H. Ahmad
Sanusi Gunung Puyuh, Sukabumi.
308
Ishak Farid dikenal memiliki ilmu laduni. Ia hafidz al-Quran hanya dalam rentang satu bulan. Pendidikan formal
ditempuhnya sampai kelas 3 SR Sekolah Rakyat, namun dapat mengikuti ujian persamaan bagian A SD, SMP, SMA, sehingga dapat melanjutkan ke UGM
Universitas Gajah Mada Yogyakarta 1951-1952, dengan mengambil jurusan Sastra Barat dan di UII jurusan Hukum. Sebelum kuliahnya tamat, tahun 1958, ia
disuruh pulang untuk menggantikan posisi ayahnya di Cintawana.
309
Foto 52: K. H. Ishak Faridh
141
Sumber: Dokumentasi Pesantren Cintawana Tasikmalaya.
Pada zaman revolusi, ia masuk Hizbullah dan anggota Partai Masyumi. Selain itu, ia pun mengusulkan nama bagi perkumpulan ulama dengan nama
Majelis ‘Ulama MUI dan perlunya dibentuk organisasi yang mengurusi mesjid DKM. Isak Faridh wafat tahun 1987, dalam usia 63 tahun. Ia dimakamkan di
pemakaman keluarga di Cintawana, Tasikmalaya.
310
Dr. HC K. H. E. Z. Muttaqin 1925-1985
E.Z. Muttaqien, dikenal di kalangan keluarga dengan panggilan Engkin. Ia dilahirkan di Lingga Wangi, Tasikmalaya 4 Juli 1925. Setelah dewasa,
termasuk ulama kharismatik di Jawa Barat. Pendidikan formal ditempuhnya mulai S R 1936 hingga MTs 1940. Setelah itu, mondok di K. H. Shobandi Cilenga,
Tasikmalaya. Setelah lulus, Engkin menjadi guru S R di Bandung 1944, Guru SMP di Tasikmalaya 1946, Guru PGA di Bandung 1957, Guru SGHA di
Bandung 1952, kemudian menjabat Kabag Penyelenggaraan Inspeksi Pendidikan Agama Jawa Barat 1951 sampai pensiun.
311
Foto 53: Dr. HC K. H. E. Z. Muttaqin
142
Sumber: Ulama-Ulama Nusantara. Diakses dari http:sachrony.files.wordpress.com. Tanggal 12 Maret 2011.
Kiprahnya dalam dunia Politik, ia tercatat sebagai KetuaGPII, anggota Masyumi, Ketua DPRD Kodya Bandung 1952-1954, serta menjadi Anggota
DPR RI dari Masyumi 1955, dan berakhir setelah masuk penjara pada masa Soekarno. Setelah bebas, ia aktif menjadi dosen Agama di berbagai Perguruan
Tinggi. Engkin kemudian dipercaya menjabat Rektor UNISBA 1972-1985. Tahun 1982, saat menjadi Rektor ia menerima gelar Doktor Honoris Causa dari
UNISBA.
312
Selanjutnya, ia menjadi Ketua Badan Kerjasama Perguruan Tinggi Swasta Wilayah III, Ketua Umum Yayasan Perguruan Tinggi Swasta Seluruh
Indonesia Pusat, dan Ketua Presidium Badan Musyawarah Perguruan Tinggi Swasta Seluruh Indonesia. Karirnya tidak berhenti sampai di situ, ia pun menjadi
Ketua Umum MUI Propinsi Jawa Barat 1976-1985 dan salah seorang Ketua MUI Pusat 1976. Engkin wafat pada masa jabatan kedua sebagai Ketua Umum
143 MUI Propinsi jawa Barat, tepatnya pada 27 April 1985, setelah mengalami
kecelakaan lalu lintas sepulang berdakwah dari Ciamis.
313
K. H. Muhammad Dimyati Abuya Dimyati, 1925-2003