Nahdlatul Ulama Organisasi Keislaman pada Masa Kolonial

279 Sumber: Miftahul Falah. 2009a. Riwayat Perjuangan K. H. Ahmad Sanusi. Bandung: MSI Cabang Jawa Barat dan Pemkot Sukabumi. Hlm. 108. Pada masa Pendudukan Militer Jepang 1942-1945, eksistensi dan aktivitas AII dibekukan karena Gunsheirekan memandang AII belum sejalan dengan tujuan politik Jepang. Tanggal 1 Februari 1944, eksistensi dan aktivitas AII dihidupkan kembali oleh Pemerintah Militer Jepang setelah tujuan politik yang akan diperjuangkan Jepang melalui konsep Lingkungan Bersama Kemakmuran Asia Raya diterima dan dimasukkan ke dalam anggaran dasar AII. Sejalan dengan itu, nama organisasi pun diubah menjadi Persatoean Oemmat Islam Indonesia POII. 451 Tahun 1952, organisasi ini melakukan fusi dengan Perikatan Oelama Indonesia POI yang sebelumnya bernama Persjarikatan Oelama.

6. Nahdlatul Ulama

280 Nahdlatul Ulama 452 didirikan tanggal 31 Maret 1926 di Surabaya oleh K. H. Hasyim Asya’ari dan K. H. Abdul Wahab Hasbullah sebagai reaksi terhadap gerakan pemurnian ajaran Islam yang dilakukan oleh kaum modernis yang dinilainya mengancam terhadap eksistensi kelompok Islam tradisional. 453 Selama dua tahun, organisasi kalangan Islam tradisional ini berkiprah tanpa anggaran dasar sehingga belum diakui keberadaaanya oleh Pemerintah Hindia Belanda. 454 Dalam Muktamar Ke-3 di Surabaya yang dilaksanakan dari tanggal 28-30 September 1928, NU telah memiliki anggaran dasar. Satu tahun kemudian, organisasi mengajukan permohonan kepada pemerintah untuk diakui secara hukum sebagai sebuah organisasi sosial keagamaan. Pengakuan pemerintah baru dikeluarkan pada 6 Februari 1930 sehingga sejak saat itu NU memperoleh status badan hukum. 455 NU masuk ke Jawa Barat didorong oleh dua fakor yaitu terciptanya hubungan kekerabatan di antara para kyai dan hubungan intelektual di kalangan pesantren. Seorang santri yang akan mendirikan pesantren baru tidak akan mendapat restu dari gurunya apabila belum menimba ilmu di pesantren Jawa Timur. Biasanya, pesantren masyhur di Jawa Timur yang selalu menjadi tujuan akhir para santri dari Jawa Barat adalah Pesantren Tremas Pacitan, Pesantren Bangkalan Madura, dan Pesantren Tebuireng Jombang. 456 Persinggungan kelompok Islam tradisional di Jawa Barat dengan NU terjadi sejak organisasi tersebut berdiri. Dalam Muktamar NU ke-3 tahun 1928, diputuskan untuk menyebarkan organisasi ini ke berbagai daerah di Pulau Jawa 281 dan Madura yang akan dilaksanakan oleh Lajhnah Nashihin Komisi Propaganda. Untuk daerah Jawa Barat, upaya mendirikan cabang NU diberikan kepada K. H. Wahab Hasbullah, K. H. Bishri Syansuri, dan K. H. Abdul Halim. Ketiga orang kyai tersebut relatif dapat melaksanakan amanah muktamar yang terlihat dari kedatangan utusan dari tiga belas cabang yang ada di Jawa Barat untuk menghadiri Muktamar ke-4 di Semarang tahun 1929. Selain itu, dalam muktamar tersebut, K. H. Abbas dari Pesantren Sukamiskin Bandung menyatakan dukungannya kepada NU sehingga keberadaan organisasi tersebut di Jawa Barat semakin menguat. 457 NU Cabang Tasikmalaya merupakan salah satu cabang yang didirikan pada awal berdirinya NU bersama-sama dengan Ciamis dan Cirebon. Keberadaan NU Cabang Tasikmalaya tidak bisa dilepaskan dari peranan K. H. M. Fadlil Ciamis yang antara tahun 1927-1928 menemui beberapa kyai Tasikmalaya untuk memperkenalkan sekaligus membicarakan untuk mendirikan cabang NU di Tasikmalaya. Hasilnya, pada 1928 para ulama berhasil mendirikan NU Cabang Tasikmalaya di bawah kepemimpinan K. H. M. Fadlil Rois Syuriah dan H. Dasuki Ketua Tanfidziyah. 458 Meskipun demikian, sampai tahun 1930 keberadaan NU di Tasikmalaya belum dikenal secara luas di kalangan umat Islam di Tasikmalaya. Pada 1930, K. H. Abdullah Ubaid salah seorang anggota Pengurus Besar NU, berceramah di Masjid Agung Tasikmalaya yang antara lain membahas aspek hukum dari menyuntik atau mengawetkan mayat. Ceramah itu mendapat respons 282 positif sehingga beberapa orang kyai yang memiliki basis pesantren menggabungkan diri dengan NU Cabang Tasikmalaya, antara lain K. H. O. Qolyubi dari Pesantren Cibeureum, K. H. Sobandi dari Pesantren Cilenga, K. H. Dahlan dari Pesantren Cisarulang, K. H. Yahya dari Pesantren Madiapada, K. H. Samsoedin dari Pesantren Gegernoong, Kyai Ruhiat dari Pesantren Cipasung dan K. H. Zaenal Mustofa dari Pesantren Sukamanah. 459 Meskipun secara resmi sebagai organisasi sosial keagamaan, namun eksistensi Nahdlatul Ulama semapat juga mewarnai panggung politik nasional. Sejak tahun 1950, Nahdlatul Ulama menyatakan diri sebagai partai politik setelah keluar dari Masjumi. Ketika Pemerintah Orde Baru melakukan perampingan partai politik, Nahdlatul Ulama menjadi bagian terpenting bagi Partai Persatuan Pembangunan PPP. Namun demikian, aktivitas Nahdlatul Ulama di pentas politik lebih banyak mendatangkan kekecewaan bagi kaum nahdliyin sehingga pada tahun 1983 Nahdlatul Ulama memutuskan untuk melakukan khittah yakni mengembalikan organisasi pada tujuan awalnya. Sejak saat itu, Nahdlatul Ulama kembali menjadi organisasi sosial keagamaan meskipun secara individu cukup banyak kalangan politisi yang berasal dari Nahdlatul Ulama.

7. Persatuan Islam