Pentingnya Kebijakan Fiskal Bagi Pembangunan Sektor Pertanian dan Agroindustri Variabel Kebijakan Fiskal

44 dipilih yang paling dominan mempengaruhi kinerja sektor pertanian dan agroindustri. Pajak penghasilan PPh mempunyai efektransmisi cepat terhadap perubahan perilaku menabung, investasi dan ekspansi usaha perusahaan James and Nobes, 1992. Gemmella, et.al. 2003 dalam studi di Inggris menemukan PPh dan PPn berpengaruh penting dalam perilaku keluarga dan perusahaan. Kasus Indonesia, bagi golongan ekonomi lemah yang jumlahnya lebih banyak PPh cenderung menaikkan semangat kerja sementara bagi golongan ekonomi kuat akan menurunkan semangat kerja karena sistem tarif pajak PPh yang nol pada tingkat pendapatan rendah pasal 17, UU No.10 Tahun 1994 dan UU No.17 Tahun 2000 Hutahaean, et.al., 2002. Hal itu selaras dengan hasil studi Dalton and Masters 1998 di Mali. Mangkoesoebroto 1999 mengemukakan bahwa dalam kasus Indonesia, PPh dan PPn cepat mempengaruhi perubahan perilaku rumahtangga dan produsen. Dalam hal ini PPn akan mempengaruhi petani sebagai keluarga sekaligus produsen produk primer dan PPn berpengaruh pada agroindustri sebagai perusahaan penghasil produk sekunder Khan, 2001. Dari uraian tersebut, dalam penelitian ini Pajak Penghasilan PPh dan Pajak Pertambahan Nilai PPn dijadikan variabel yang mengekspresikan penerimaan pemerintah. 2. Defisit dan Utang Pemerintah Penguatan keseimbangan fiskal diperlukan untuk dapat memudahkan penyesuaian eksternal dengan lancar. Dalam sistem I-account, defisit merupakan bagian tersendiri yang menunjukkan dan mempengaruhi posisi keseimbangan fiskal internal. Indonesia adalah negara yang selalu menurunkan posisi keseimbangan 45 fiskal terhadap PDB ADB, 2006. Ketika keseimbangan tersebut tidak dapat dicapai melalui sumber domestik maka dilakukan utang. Studi Subagjo 2005 dan Bafadal 2005 menemukan bahwa dalam struktur keseimbangan neraca pemerintah, defisit dan utang pemerintah menjadi bagian penting dalam mempengaruhi keberlanjutan fiskal fiscal sustainability dan keseimbangan makroekonomi. Faktanya, selama lima tahun terakhir hasil studi ADB 2006 menunjukkan, Indonesia adalah negara pengutang paling basar di enam kawasan Asia dan juga ASEAN. Disamping itu perjuangan untuk menjaga tade off antara defisit anggaran dan kebutuhan percepatan pembangunan menjadi pertimbangan strategis dalam kehati-hatian fiskal Saragih, 2003; Subiyantoro dan Riphat, 2004. Memperhatikan hal tersebut, maka defisit DEF dan utang pemerintah U dimasukkan sebagai variabel. 3. Pengeluaran Pembangunan Untuk Sektor Pertanian. Penurunan intensitas kebijakan pertanian di dunia yang ditandai pelambatan perubahan marginal dalam program pertanian Scrimgeour and Pasour, 1996 juga terjadi di Indonesia. Telah dikemukakan pada bagian awal bahwa peran pertanian semakin menurun secara tidak wajar sehingga sejak pertengahan periode 1990an pertanian tidak mampu lagi menjadi pendukung tumbuh kembangnya perekonomian Indonesia lihat studi: Booth, 1988, 2002; Martin and Warr, 1993; Muslim, 2002; Fuglie, 2004; Druska, and Horrace, 2004; Simatupang, et. al., 2004; Sastrosoenarto, 2006. Jika dalam pembangunan pertanian di Indonesia peran pemerintah masih dipersyaratkan Alexandrates, 1995; Arifin, 2001; 2004; Tambunan, 2003a; 2003b; Fuglie, 2004; Pakpahan, 2004; Syafa’at, et. al., 2005; Sastrosunarto, 2006; Sa’id dan Dewi, 2006, maka penurunan tersebut lebih 46 dikarenakan menurunnya dukungan pemerintah dalam belanja pembangunan investasi publik untuk sektor pertanian Arifin, 2001; Pakpahan, 2004; Tambunan, 2003b. Sehingga variabel pengeluaran pemerintah untuk sektor pertanian EA dimasukkan dalam model penelitian ini sebagai ekspresi dari instrumen kebijakan fiskal. 4.Subsidi Sektor Petanian Dalam perekonomian USA yang maju, subsidi untuk produksi swasta masih merupakan bagian belanja pemerintah yang penting termasuk produksi pertanian skala kecil dan perluasan jenis subsidi untuk industri dan subsidi kredit produksi atas sumberdaya produktif Stiglitz, 2000. Studi Norton 2004 menemukan bahwa dalam kasus negara berkembang, subsidi pertanian masih disarankan untuk mendorong produksi dan perbaikan pendapatan petani. Sedangkan Rosen 2005 berpendapat bahwa belanja subsidi penting dilakukan pemerintah terutama dalam ketidakseimbangan pasar akibat eksternalitas. Dalam pembangunan pertanian Indonesia, subsidi pertanian secara keseluruhan masih merupakan bagian intervensi pemerintah yang efektif untuk mengarahkan perbaikan produksi pertanian. Dengan demikian variabel agregat subsidi pertanian SP dipilih dalam penyusunan model. 5. Pengeluaran Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Di Cina, dari studi Fan and Zhang 2002 menemukan korelasi yang sangat kuat antara belanja publik untuk penelitian sektor pertanian dan infrastrukur pedesaan dengan pertumbuhan produktivitas pertanian. Di Indonesia, kemandegan dalam penelitian pengembangan teknologi pertanian sebagaimana konsisten dilakukan negara-negara tetanganya di Asia telah menjadi sebab terjadinya pelandaian pertumbuhan produktivitas komoditi pertanian 47 untuk hampir semua varietas Simatupang, et. al., 2004 dan merupakan faktor utama dalam penurunan produktivitas pertanian di Indonesia pada sepuluh tahun terakhir ini Fuglie, 2004. Sehingga variabel pengeluaran pemerintah untuk penelitian dan pengembangan pertanian RDA dimasukkan ke dalam model. 6. Pengeluaran Infrastruktur Pertanian Rozelle and Swinnen 2004 dalam studi transisi pertanian di dunia menyimpulkan bahwa kebijakan pertanian kedepan harus disertai dengan implikasi perbaikan investasi publik dan infrastruktur pertanian untuk menjamin kelestarian produktivitas pertanian. Hasil studi Zhang and Fan 2004, infrastruktur pertanian di India sangat mempengaruhi produktivitas pertanian. Jaringan irigasi bagi negara-negara Afrika dan Asia menyumbang dalam porsi besar pada pertumbuhan total faktor produksi TFP dan kemajuan pertanian keseluruhan. Namun dari studi tersebut diketahui bahwa belanja pemerintah dan investasi untuk penyediaan dan perbaikan infrastruktur pertanian telah menurun. Jika penurunan terus terjadi diperkirakan akan sulit untuk menumbuhkan produktivitas pertanian sampai tahun 2015. Infrastruktur pertanian khususnya irigasi di Yunani, berdasarkan studi Koundouri, et.al. 2006 menunjukkan peran pada urutan pertama sebagai syarat dalam keberhasilan adopsi teknologi di sektor pertanian. Sebagian besar persoalan pelambatan pertumbuhan produksi pertanian di Indonesia adalah karena penurunan investasi pemerintah untuk pembangunan infrastruktur pertanian irigasi, jalan desa, pasar pertanian, dan lain-lain Tim INDEF, 2005. Dengan demikian, pengeluaran infrastruktur pertanian IA dimasukkan sebagai variabel dalam model. 48 7. Desentralisasi Fiskal Akhir periode 1990an telah terjadi perubahan ketatanegaraan menyangkut otonomi daerah. Otonomi daerah tidak hanya berhenti pada aspek politik, yang lebih penting adalah dukungan sumberdaya resources yang memadai agar otonomi berhasil. Bagian pokok otonomi daerah adalah kebijakan desentralisasi fiskal Saragih, 2003. Dilaporkan dalam studi UNESCAP-CAPSA 2005, porsi pengeluaran yang didesentralisasikan Indonesia, sebesar 33.24, lebih tinggi dari kasus negara maju. Sedangkan porsi penerimaan daerah di Indonesia paling rendah. Pada sisi lain persoalan masih berlangsung menyangkut distribusi sumberdaya lokal dan nasional dalam penguasaan dan peruntukan, kebebasan daerah untuk mengatur penerimaan pajak dan retribusi. Situasi demikian sangat mempengaruhi kinerja pembangunan sektoral termamsuk pertanian Tambunan, 2003b; Arifin 2004. Sehingga variabel desentralisasi fiskal DF dimasukkan dalam model penelitian.

c. Investasi

Dari beberapa studi menyimpulkan bahwa investasi pertanian merupakan instrumen vital dalam produksi pertanian Mundlak, et.al., 2002; Simatupang, et. al., 2004. Di Indonesia studi Evenson, et.al. 1997 dan Salmon 1991 menemukan hasil bahwa investasi pertanian belum cukup untuk menumbuhkan penelitian sektor pertanian yang mampu mengadopsi dan mengembangkan tanaman berproduksi tinggi. Persoalan mandegnya pertumbuhan produksi pertanian di Indonesia adalah karena penurunan investasi pemerintah dan swasta untuk pembangunan pertanian 49 ADB, SEAMEO SEARCA, Crescent, CASER and Ministry of Agriculture RI,

2005. Sehingga variabel investasi agregat I dimasukkan dalam model penelitian. d. Konsumsi

Alexandrates, 1995 dalam studinya menyimpulkan, konsumsi atas produk pertanian di negara berkembang selalu meningkat utamanya untuk produk pangan, dan perkebunan. Perbaikan kemampuan konsumsi petani juga menjadi isu penting dalam pembangunan pertanian Foster and Rosenzweig, 2004. Studi Sumodiningrat 2000 dalam Tambunan 2003b menyimpulkan bahwa, sampai tahun 2035 akan terjadi defisit konsumsi pangan di Indonesia. Konsumsi sebagai sisi penarik dalam peningkatan produksi pertanian dan agroindustri, namun sulit untuk mendekomposisi konsumsi produk pertanian dan agroindustri. Dengan demikian variabel konsumsi agregat KONS dimasukkan dalam model. e. Kinerja Sektor Pertanian Menurut analisis klasik Kuznets 1964, kinerja sektor pertanian di LDCs dapat dilihat dalam empat bentuk kontribusinya terhadap pertumbuhan dan pembangunan ekonomi nasional yaitu; 1 kontribusi produk, 2 kontribusi pasar, 3 Kontribusi faktor-faktor produksi, dan 4 Kontribusi devisa. Kinerja sektor pertanian didekati dengan tingkat produktivitas fisik yang dikenal dengan total factor produktivity TFP Martin, and Warr, 1993; Fuglie, 2004. Pengukuran juga bisa dilakukan melalui penciptaan agregat output atau nilai tambah PDB misalnya Van der Eng, 1996; Arnade, 1998; Suhariyanto, 2001; Mundlak and Butze, 2002. Menurut Hayami and Ruttan 1985 produktivitas pertanian diukur dengan produktivitas lahan arable land, produktivitas tenaga kerja dan outcome tingkat kesejahteraan petani. Tambunan 2003a melengkapi dengan variabel