21.3 21.1 19.2 19.0 19.0 21.8 22.0 20.2 DINAMIKA KEBIJAKAN FISKAL PADA SEKTOR PERTANIAN DI INDONESIA

189 Investasi Domestik dan Luar Negeri Sektor Pertanian 424586.8 100764 5370640 4239107 5865980 1732376 506080 802180 -27760 49650 239267 168020 1000000 2000000 3000000 4000000 5000000 6000000 7000000 1975-1980 1981-1985 1986-1990 1990-1995 1996-2000 2001-2005 Tahun M il iar R upi ah -100000 100000 200000 300000 400000 500000 600000 700000 800000 900000 Ju ta U S Investasi Domestik Rp M Investasi Luar Negeri Juta US Sumber: UNESCAP-CAPSA 2007 Gambar 25. Komposisi Investasi Domestik dan Luar Negeri Sektor Pertanian 5.5.2. Konsumsi Masyarakat Hasil studi Grossmann 2003, untuk negara-negara OECD menemukan keterpengaruhan yang kuat antara peran belanja publik pemerintah terhadap redistribusi konsumsi publik dimasyarakat dan individu. Studi tersebut juga menemukan bahwa semakin tinggi belanja publik akan meningkatkan kemampuan konsumsi publik masyarakat dan individu, yang pada akhirnya dapat menggerakkan pertumbuhan ekonomi agregat. Pada Gambar 26 diketahui bahwa, konsumsi masyarakat Indonesia sejak tahun 1980 mulai meningkat dengan laju yang lebih tinggi hingga tahun 1999, dibandingkan dengan periode sebelumnya. Pada periode ini 1980-99 kenaikan pengeluaran pemerintah juga konsisten konjungturnya terhadap konsumsi, begitu pula PDB. Mulai tahun 2000 hingga 2005 terjadi kenaikan konsumsi yang tajam, bahkan melampaui besaran pengeluaran pemerintah dan PDB. Hal ini dikarenakan 190 pada periode tersebut terjadi efek kelembaman krisis moneter yang dimulai tahun 1998. Pada situasi kelembagaan keuangan kinerjanya dititik terendah, maka masyarakat lebih menyukai alokasi tabungannya untuk konsumsi asset. Meskipun disertai dengan peningkatan pengeluaran pemerintah yang konsisten sampai tahun 2005, namun laju konsumsi tetap tinggi dan PDB justru mengalami pelandaian laju peningkatannya. Konsumsi, Pengeluaran Pemerintah, dan PDB 200000 400000 600000 800000 1000000 1200000 1400000 19 70 19 72 19 74 19 76 19 78 19 80 19 82 19 84 19 86 19 88 19 90 19 92 19 94 19 96 19 98 20 00 20 02 20 04 Tahun Sumber: IMF Juli, 2007, konsumsi dari BPS 1970-2006 Lampiran 1, diolah Gambar 26. Konsumsi, Pengeluaran Pemerintah, dan PDB Pada Gambar 27, ditinjau dari pangsa konsumsi terhadap pengeluaran pemerintah, pada tahun 1970-80 mengalami penurunan dari 433.42 menjadi 393.18. Pada periode 1981-85 terjadi lonjakan pangsa konsumsi yang tinggi mencapai 669.72. Periode ini merupakan awal laju pertumbuhan perekonomian yang mantap Tambunan 2003a. Indikasinya pertumbuhan ekonomi lebih digerakkan oleh pangsa konsumsi masyarakat. Pada periode selanjutnya sehingga 1996 pangsa menurun, kemudian meningkat kembali mulai periode 2001-5. M il y upi ah a r R Konsumsi Pengeluaran Pemerintah Total PDB 191 Artinya masa krisis moneter juga ditandai dengan penurunan konsumsi masyarakat yang kemudian meningkat pada periode pemulihan recovery mulai tahun 2000. Terhadap PDB sejak tahun 1970 hingga 2005 pangsa konsumsi meningkat mantap dari 1.56 menjadi 86.43 terutama mulai pasca krisis tahun 1997 dengan peningkatan lebih dari dua kali dibandingkan dengan periode sebelumnya. Persentase Konsumsi 0.00 100.00 200.00 300.00 400.00 500.00 600.00 700.00 800.00 Tahun Pe rs e n Thd Pengeluaran Pem Thd PDB Thd Pengeluaran Pem 433.42 393.18 669.72 502.16 412.50 216.26 243.88 Thd PDB 1.56 4.44 9.21 12.63 16.48 41.22 86.43 1970-1975 1975-1980 1981-1985 1986-1990 1990-1995 1996-2000 2001-2005 Sumber: IMF Juli, 2007, konsumsi dari BPS 1970-2006 Lampiran 1, diolah Gambar 27. Pangsa Konsumsi terhadap Pengeluaran Pemerintah dan PDB

VI. KINERJA SEKTOR PERTANIAN DAN AGROINDUSTRI DI INDONESIA

6.1. Kinerja Sektor Pertanian Sejak tahun 1969 sampai dengan 1990an kinerja sektor pertanian Indonesia tidak terlepas dari pengaruh situasi domestik khususnya dorongan kebijakan fiskal pemerintah pada sektor ini. Mulai periode 1990an ada tambahan aspek tarikan baru berupa situasi ekonomi global dengan masuknya Indonesia pada organisasi perdagangan dunia WTO. Secara umum, berbagai studi kinerja sektor pertanian Indonesia menyimpulkan kondisi yang semakin tidak baik misalnya dalam Priyarsono, et.al. 2005 juga simpulan yang dikemukakan oleh Tambunan 2008 bahwa kondisi sektor pertanian kita semakin buruk. Hal itu lebih dikarena kesalahan kebijakan dari tahun-tahun sebelum krisis ekonomi Asia 1997, ketika implikasi impor subtitusi ISI dari tahun 1969-84, dan strategi industri promosi ekspor EPI dari tahun 1985-98 hingga sekarang, dimana sektor pertanian mengalami, paling tidak tiga himpitan berat. Pertama, ketika dalam jangka waktu yang panjang dari tahun 1970an, diterapkan kebijakan stabilisasi harga sebagai wujud dari kebijakan harga pangan murah atau ”cheap food policy”. Kebijakan ini hanya membela konsumen dan kurang memihak produsen petani. Kedua, adalah proteksi dalam pengembangan industri yang berbasis impor ISI dan promosi ekspor EPI dirasakan berdampak negatif terhadap pertanian karena harga impor barang modal yang dibutuhkan sektor pertanian menjadi mahal, dan mempengaruhi investasi alat-alat pertanian yang pada gilirannya mempengaruhi produksi pertanian. 193 Himpitan ketiga, adalah selepas Pelita III, dalam usaha mempercepat tahapan industrialisasi dalam 10 tahun terakhir sebelum ekonomi krisis, kebijakan moneter dalam nilai tukar dimana rupiah mengalami “overvalue” relatif terhadap dollar terlihat menguntungkan sektor industri tetapi merugikan sektor pertanian. Artinya impor barang modal untuk keperluan industri manufaktur dengan nilai rupiah yang kuat dibutuhkan. Kondisi seperti itu terjadi dalam proses industrialisasi Cina dewasa ini. Nilai yuan dibuat relatif kuat yang kemudian ditekan oleh negara Barat. Cina mendevaluasi yuan secara bertahap. Indonesia ketika datangnya krisis ekonomi yang tiba-tiba rupiah terdevaluasi dari Rp 2 500US dollar menjadi Rp 9 000US dollar. Akibatnya banyak industri besar dengan muatan impor yang tinggi dan pinjaman luar negeri menjadi awal kebangkrutan, akhirnya menciptakan pengangguran dan kemiskinan yang hebat. Himpitan lainnya adalah, selepas revolusi hijau seperti kasus India [Evenson and Gollin, 2003] dan Philipina [Umetsu, 2003]. Studi secara khusus juga di Philipina , Indonesia, India, Thailand, dan Malaysia oleh Shigehi 2004 dan Evenson 2003 yaitu teknologi pertanian stagnan akibat lambannya temuan-temuan teknologi baru untuk meningkatkan produktivitas pertanian. Dari sisi fiskal, pengeluaran pemerintah untuk mendukung kegiatan penelitian dan pengembangan disektor pertanian masih rendah dibanding dengan negara-negara Asia seperti, Thailand, Malaysia dan Philipina. Sumber daya peneliti Indonesia sangat terkonsenterasi disektor padi dan bukan tanaman lain. Setelah krisis 1997 kinerja pertanian menurun konsisten. Oleh Siregar dan Kolopaking 2003, disebut sebagai periode yang tidak bisa menangkap moment krisis untuk memajukan pertanian.