Pengeluaran Penelitian dan Pengembangan Pertanian

176 diperburuk oleh rendah bahkan langkanya pembiayaan penelitian. 3 Fenomena tersebut juga terjadi pada sektor pertanian, sejak pembangunan Indonesia dimulai Rusastra dan Zulham, 1985, masa orde baru bahkan setelah orde otonomi daerah Rusastra, et.al., 1999. Pada orde otonomi daerah tahun 1998 malahan terjadi proses penyesuaian menyeluruh organisasi dan tatakerja yang menimbulkan kemandegan kinerja penelitian sesaat Rusastra, et.al., 2000. Pada tahun 2002 dibuat Undang-undang No. 182002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang memberikan tekanan pada penggairahan favourable penelitian dalam negeri dan interkoneksi antara lembaga penelitian dengan pelaku industri melalui sistem insentif seperti pajak dan atau penelitian swasta. Namun hasil studi Balitbangtan 2005 menunjukkan hal tersebut sehingga kini sulit terealisasi. Sampai tahun 2005 di LIPI telah terjadi pelarian braind drain 29 peneliti bergelar Doktor yang lebih suka beraktivitas meneliti di luar negeri. Secara resmi official, kegiatan penelitian pertanian di Indonesia ditatalaksanakan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Badan ini mengendalikan 4 Puslitbang, 7 Balai Besar dengan perangkatnya, 15 Balai Penelitian, 6 Pusat Penelitian, 3 Loka Penelitian, 30 BPTP, dan didukung Perspustakaan dan Pusat Informasi Petanian. Performa tersebut merupakan aset potensial yang luar biasa untuk mendukung kinerja sektor pertanian. Pada Gambar 20 diketahui sejak tahun 1970 mengikuti laju alokasi anggaran sektor pertanian yang menurun, demikian juga penurunan drastis terjadi 3 Diskusi Pakar dengan Dr.Ir. I Wayan Rusastra, MS, APU di UNESCAP, 30 Agustus 2007. 177 pada pangsa pengeluaran penelitian terhadap pengeluaran sektor pertanian, dari 3.65 pada periode 1970-75 menurun sampai periode 1986-1990 tinggal 1.91. Namun pada periode 1996-2000 meningkat 2.24, dan menjadi 5.16 pada periode 2000-2005. Penurunan serupa juga terhadap pengeluaran total, dari 0.22 1970-75 konsisten sampai periode 2001-5 tinggal 0.08, terhadap pengeluaran pembangunan menurun dari 0.52 konsisten sampai periode 2001-5 tinggal 0.16. Namun terhadap PDB meningkat konsisten sampai tahun 2005 dari 0.003 menjadi 0.07, walaupun pangsa ini tentunya sangat tidak memadai. Persentase Pengeluaran Penelitian Pertanian 0.00 0.10 0.20 0.30 0.40 0.50 0.60 Tahun Per s e n 0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 Pe rs e n Terhadap P engeluaran To tal 0.22 0.19 0.15 0.10 0.13 0.09 0.08 Terhadap P engeluaran P embangunan 0.52 0.34 0.27 0.28 0.26 0.25 0.16 Terhadap P DB 0.00 0.01 0.01 0.01 0.02 0.03 0.07 Terhadap P engeluaran Sekto r P ertanian 3.65 1.96 1.79 1.91 2.79 2.24 5.16 1970-1975 1976-1980 1981-1985 1986-1990 1991-1995 1996-2000 2001-2005 Sumber: IMF Juli, 2007, pengeluaran penelitian dan pengembangan petanian dari Balitbangtan 1970-2006, BPS 1970-2006 Lampiran 1, diolah Gambar 20. Pangsa Pengeluaran Penelitian dan Pengembangan Pertanian terhadap Pengeluaran Total, Pengeluaran Pembangunan, Pengeluaran Sektor Pertanian, dan PDB Peningkatan tajam pada periode 2001-5 terhadap pengeluaran sektor pertanian lebih dikarenakan penataan organisasi dengan adanya otonomi daerah, jadi bukan pada kegiatan penelitian itu sendiri. Indikasi ini terlihat dari komposisi alokasi anggaran penelitian pertanian tahun 2005 dimana sebagian besar 42.67 178 untuk membiayai tupoksi Balitbang Pertanian. Sebesar 20.77 untuk penciptaan inovasi teknologi, dan 9.7 untuk akselerasi pemasyarakatan dan teknologi. Kegiatan pengkajian spesifik lokasi sebesar 8.39 dan pengembangan kapasitas kelembagaan Litbang mirip dengan alokasi tupoksi Balitbang sebesar 18.47. Jadi alokasi anggaran yang sedikit tersebut hanya sekitar 38.86 dialokasikan dalam kegiatan penelitian dan pengembangan pertanian. Jika dilihat komposisi pusat-daerah, hanya 7.7 merupakan anggaran pusat sedangkan 92.3 merupakan anggaran daerah mencakup 62 satuan kerja termasuk 30 BPTP dan 1 PTP Balitbangtan, 2006. 5.4.4. Pengeluaran Infrastruktur Pertanian Dilaporkan oleh Indonesian Poverty Team INDOPOV World Bank 2007, bahwa selama dua puluh tahun sejak tahun 1970an terjadi perubahan signifikan dalam infrastruktur pedesaan dan pertanian. Dengan itu telah menggairahkan kegiatan ekonomi non pertanian. Namun mutu dan penyebarannya tidak merata, masih disekitar pulau-pulau utama Indonesia bagian barat utamanya Jawa dan Bali. Periode berikutnya mengalami penurunan kualitas yang drastis menyangkut pemeliharaan. Ini dampak dari alokasi anggaran pertanian yang lebih banyak digunakan untuk subsidi konsumsi dibandingkan untuk dorongan produksi. Disamping itu belum tercipta sistem insentif bagi kelembagaan pemeliharaan yang mandiri oleh masyarakat desa. Pengeluaran infrastruktur pertanian meliputi irigasi dan sarana prasarana pedesaan yang meliputi a infrastruktur fisik, b infrastruktur produksi, c infrastruktur transportasi, d infrastruktur pasar, e infrastruktur sosial, dan f 179 lainnya Statistik Keuangan Publik, BPS, 2006. Sejalan dengan temuan INDOPOV, pada Gambar 21 dapat dilihat peningkatan pesat pangsa pengeluaran infrastruktur pertanian terjadi pada periode 1970-75 sampai 1976-80 baik terhadap pengeluaran total 5.62 menjadi 8.85, terhadap pengeluaran pembangunan 11.88 menjadi 15.76, terhadap pengeluaran sektor pertanian 84.98 menjadi 90.94, dan terhadap PDB 0.10 menjadi 0.36. Pada periode ini infrastruktur pertanian masuk pada anggaran bidang Ekonomi Sub Sektor Irigasi ditambah pembangunan pedesaan tersebar di Departemen Pertanian, Departemen Pekerjaan Umum, dan Departemen Transmigrasi dan Koperasi. Persentase Pengeluaran Infrastruktur Pertanian 0.00 5.00 10.00 15.00 20.00 Tahun Pe rs e n 0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00 80.00 90.00 100.00 Per s e n Pe ngel u ar an Per tan ian Terhadap Pengelaran Total 5.62 8.85 4.00 2.17 1.99 1.05 1.15 Terhadap Pengeluaran Pembangunan 11.88 15.76 7.36 5.56 4.00 2.84 2.47 Terhadap PDB 0.10 0.36 0.37 0.27 0.33 0.34 0.99 Terhadap Pengeluaran Sektor Pertanian 84.98 90.94 46.57 36.64 43.03 25.42 68.31 1970-1975 1976-1980 1981-1985 1986-1990 1991-1995 1996-2000 2001-2005 Sumber: IMF Juli, 2007, pengeluaran infrastruktur pertanian dari BPS 1970- 2006 Lampiran 1, diolah Gambar 21. Pangsa Pengeluaran Infrastruktur Pertanian terhadap Pengeluaran Total, Pengeluaran Pembangunan, Pengeluaran Sektor Pertanian, dan PDB Periode berikutnya terjadi penurunan pangsa alokasi anggaran infrastruktur pertanian secara konsisten sampai periode 2001-5 menjadi tinggal 1.15 terhadap 180 pengeluaran total, 2.47 terhadap pengeluaran pembangunan, kecuali peningkatan yang tajam terhadap pengeluaran sektor pertanian menjadi 68.31 dari 25.421996-2000. Pangsa terhadap PDB setelah mengalami sedikit penurunan pada periode 1986-90 kemudian perlahan meningkat hingga periode 2001-5 menjadi 0.99. Menurut studi ADB, Ministry of Agriculture, Crescent 2005 realisasi belanja infrastruktur pertanian sebagian besar untuk Irigasi. Pembangunan irigasi sejak Pelita I-VI 1970-99 masih merupakan beban utama pemerintah pusat dengan tujuan peningkatan produksi pertanian, dan diarahkan untuk mendukung tumbuhnya sektor industri manufaktur PSE-KP UGM, LPEM FE-UI, dan PSP IPB, 2004. Pada Gambar 22 diketahui bahwa alokasi anggaran untuk irigasi senantiasa meningkat sampai periode 1996-2000, kecuali untuk konstruksi baru yang telah menurun konsisten sejak periode 1991-95. Pengeluaran Untuk Irigasi 0.0 1000.0 2000.0 3000.0 4000.0 Tahun M ily ar Sumber: Departemen Keuangan 1970-2006 Gambar 22. Pengeluaran Pemerintah Untuk Irigasi R u pia h Konstruksi baru 39.7 214.6 687.1 1210.2 2957.7 1937.6 753.7 Rawa dan pasang surut 107.1 68.3 124.1 130.7 461.7 742.3 269.0 Rehabilitasi 61.8 205.9 663.4 671.8 1290.2 1138.5 405.8 Sungai dan banjir 23.8 285.6 562.9 827.9 1552.6 2295.7 1078.8 Sumberdaya air 3552.1 1276.0 1970-1975 1976-1980 1981-1985 1986-1990 1991-1995 1996-2000 2001-2005 181 Porsi terbesar pada awalnya diperuntukkan bagi penanganan rawa dan pasang surut, namun akhir dari periode tersebut 1996-2000 bergeser kepada sungai dan pengendalian banjir, serta pelestarian sumberdaya air. Jadi, sejak periode 1991-95, terjadi pergeseran peruntukkan alokasi anggaran irigasi; yang lebih besar untuk penyelamatan kapasitas irigasi dan sumberdaya air. Sejak tahun 1999 terjadi perubahan kebijakan bidang irigasi yang mendasar yaitu pengembangan sistem irigasi yang melibatkan sebanyak mungkin partisipasi masyarakat Keppres No. 3 Tahun 1999 tanngal 13 April 1999, tentang pembaharuan kebijakan pengelolaan irigasi. Sehingga periode 1999 sampai 2005 terjadi penurunan alokasi anggaran untuk irigasi. Sejak tahun 1970-95 relatif meningkat untuk konstruksi baru sebesar 220.43, rawa dan pasang surut sebesar 76, rehabilitasi 137.11, sungai dan banjir 333.39. Kemudian penurunan konsisten pada periode 1996-2005 masing-masing sebesar 47.79, 1.50, 38.06, dan 2.57. Pada periode sama, untuk sumberdaya air turun sebesar 64.07. Dari sebaran fasilitas irigasi sebagian besar berada di Jawa dan Sumatera mencapai 75. Bappenas 2000 dalam PSE-KP UGM, LPEM FE-UI, dan PSP IPB 2004 melaporkan bahwa, 22 atau 1.5 juta hektar keseluruhan jaringan irigasi di Indonesia dalam kondisi rusak berat dimana 72 juga berada di Jawa dan Sumatera.

5.4.5. Desentralisasi Fiskal

Pasca krisis moneter, isu otonomi daerah dan desentralisasi fiskal menjadi topik besar dalam perubahan ketatanegaraan dan keuangan negara di Indonesia. 182 Menurut kamus Webster’s Third New International Dictionary, otonomi berarti adanya kebebasan menjalankan atau melaksanakan sesuatu oleh suatu unit politik atau bagian wilayahteritorial dalam kaitannya dengan masyarakat politik atau negara. Menurut UU Nomor 33 Tahun 2004, otonomi daerah adalah ”Kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Desentralisasi adalah pendistribusian wewenang atau kekuasaan dari tingkat pemerintah yang lebih tinggi kepada pemerintah yang lebih rendah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ketika pola fiskal masih sentralistis, pengalokasian anggaran yang langsung bisa dikelola di daerah meliputi, a tahun 1970-75 bantuan daerah otonom atau bantuan sumbangan pembangunan daerah, b tahun 1976-98 berupa bantuan Desa, Kabupaten, daerah Tingkat I atau subsidi daerah otonom. Pada era desentralisasi fiskal, a mulai tahun 1999 berupa dana perimbangan termasuk dana alokasi umum DAU meliputi dana pembangunan daerah DPD yang berasal dari PBB dan BPHTB, b tahun 2000-5 secara khusus berupa dana alokasi umum DAU Departemen Keuangan RI, 2001. Banyak studi yang melakukan pendalaman secara seksama mengenai masa perubahan mendasar tatalaksana fiskal di Indonesia misalnya World Bank, 1994; SMERU, 1999; Goodpast and Ray, 2000; Ray, 2003; Saragih, 2003; Riyanto dan Siregar, 2005; Stiglitz, 2007. Dari studi-studi tersebut secara umum masih menyangsikan efektifitas kinerja desentralisasi fiskal selama perilaku dan kapasitas pemerintahan di daerah belum berubah mandiri sebagai eksekutor otonom dengan segala kemampuannya.