Pengeluaran Untuk Sektor Pertanian

173 terhadap pengeluaran pembangunan, bahkan secara konsisten telah terjadi penurunan sejak periode 1981-85 sampai periode 2001-5 tinggal 4.68. Tren menurun tersebut tidak terjadi jika dilihat dari besaran magnitude, bahkan semakin besar levelnya jika dibandingkan dengan sektor lain dalam studi ini terhadap PDB. Terhadap PDB terjadi kenaikan porsi meskipun sangat kecil dari 0.11 di tahun 1970, konsisten menjadi 1.73 di tahun 2005. Jika dimasukkan subsidi maka alokasi anggaran untuk pertanian besarannya selalu meningkat. Yang menjadi persoalan adalah sering terjadi peruntukan yang salah sasaran dari tugas utama Departemen Pertanian sebagai regulator dan fasilitator, yang harus fokus pada public domain seperti: produksi dan diseminasi iptek, sistem perbenihan, penyuluhan, standar mutu, perkarantinaan, verifikasiadvokasi, dan kesehatan hewan yang seharusnya sebagai affirmative action 2 dibandingkan sektor produksi langsung yang justru berindikasi tidak memandirikan petani. Kecenderungan penurunan alokasi pengeluaran untuk sektor pertanian adalah hal yang wajar jika mengikuti logika transformasi struktural dengan asumsi terjadi perubahan aktivitas pertanian primer menjadi industri pertanian agroindustri. Namun indikasinya menunjukkan bahwa penurunan alokasi pengeluaran untuk pertanian tidak disertai dengan proses transformasi dari pertanian primer menjadi industri pertanian yang maju. Fenomena sebagaimana di kemukaan Braun dan Greenwood 2007, International Food Policy Research Institute IFRI, Asian Development Bank ADB; dan Otsuka 2007, Nationsal Graduate Institute for Policy Studies Japan bahwa pemerintahan di Asia semakin menjauhi petani sehingga kemiskinan semakin sulit untuk diberantas, diperkuat 2 Ibit h.156 174 hasil penelitian ini. Dalam kasus Indonesia ketidakberpihakan pemerintah dengan sektor pertanian, pada situasi lebih dari 50 penduduk masih menggantungkan kehidupannya di sektor pertanian. 5.4.2. Subsidi Pertanian Subsidi adalah instrumen fiskal yang langsung memberi dampak pada kenaikan daya beli masyarakat. Bagi petani, subsidi diharapkan akan mendorong peningkatan produktivitas pertanian pada subsidi sarana produksi seperti pupuk dan peningkatan daya beli konsumen terhadap produksi pertanian seperti subsidi harga bahan pangan sehingga juga akan berdampak kepada tarikan peningkatan produksi petani. Sejak tahun 1970 sampai 1972, subsidi pertanian praktis belum diberlakukan karena keterbatasan anggaran Lihat Hill, 1996; BPS, 2006; Hambali, 2007; dan Ilham, 2006. Baru setelah era bom minyak tahun 1973 mulai dialokasikan subsidi pada sektor pertanian yang mencakup subsidi sisi produksi misalnya subsidi pupuk, pestisida, kredit pertanian dan sisi produksi memberi subsidi pada konsumen produk pertanian yang juga sebagian besar petani, kemudian disebut petani sebagai net konsumer. Rata-rata pangsa subsidi pertanian sejak tahun 1970-2005 terhadap total subsidi sebesar 36.90, terhadap pengeluaran pembangunan sebesar 6.70, terhadap pengeluaran total sebesar 3.16, dan terhadap PDB sebesar 0.68. Pada Gambar 19 diketahui bahwa pada tahun 1973-99, pangsa alokasi subsidi pertanian terhadap subsidi total berkisar antara 10-70. Bahkan pada kondisi kekeringan bisa mencapai hampir 100 dari alokasi subsidi total, seperti 175 tahun 1974 sebesar 81.37, tahun 1985 sebesar 94.28, dan tahun 1999 sebagai masa krisis moneter pangsa subsidi pertanian mencapai 91.93. 5.4.3. Pengeluaran Penelitian dan Pengembangan Sektor Pertanian 5.4.4. Pengeluaran Infrastruktur Pertanian Persentase Subsidi Pertanian 0.0 10.0 20.0 30.0 40.0 50.0 60.0 70.0 80.0 90.0 100.0 ahun Pe rs e n T l 0 0 0 0.0 3 0 2 . 7 5 1 2.6 3 4.4 4 3 2 2.3 4 Sumber: IMF Juli, 2007, subsidi dari BPS 1970-2006 Lampiran 1, diolah Gambar 19. Pangsa Subsidi Pertanian terhadap Subsidi Total, Pengeluaran Pembangunan, Pengeluaran Total, dan PDB Alokasi subsidi pertanian sempat turun drastis di tahun 2000, kemudian naik kembali dan kenaikan drastis terjadi tahun 2004-5. Periode setelah tahun 2000-5 merupakan masa sering terjadi bencana banjir, kekeringan, gempa bumi dan tsunami.

5.4.3. Pengeluaran Penelitian dan Pengembangan Pertanian

Telah diketahui bersama bahwa kegiatan penelitian di Indonesia kurang optimal. Jika ditelusur penyebabnya adalah, secara umum budaya meneliti dan penghargaan terhadap hasil-hasil penelitian di negeri ini masih rendah. Di tataran sektor riil, terjadi keterputusan hubungan antara institusi penelitian dan industri yang akan mengaplikasikan temuan lembaga penelitian tersebut. Keadaan itu Thd Pengeluaran Tot a . .0 . .1 .9 .3 .4 .0 .6 .3 .2 1.6 3.0 1.2 0.5 1.0 1.0 0.3 0.5 0.5 0.4 0.7 5.9 4.0 8.1 1.0 0.7 1.4 1.5 1.4 4.9 Thd Peng Pembangunan 0.0 0.0 0.0 7.3 39. 13.2 9.7 2.2 5.0 6.2 8.0 8.3 6.7 3.7 3.9 8.0 4.6 8.3 2.9 1.2 2.0 1.9 0.7 0.9 1.0 0.9 1.5 17.410.2 23. 3.5 2.0 3.2 3.0 2.5 8.2 Thd PDB 0.0 0.0 0.0 0.0 0.4 0.2 0.2 0.0 0.1 0.2 0.3 0.3 0.3 0.2 0.2 0.5 0.2 0.3 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 1.5 1.8 4.8 0.6 0.6 1.0 1.2 1.3 5.0 Thd Tot al Subdisi 0.0 0.0 0.0 17.781.4 64. 44. 27. 39. 2.9 29. 30.135. 12.031.2 94. 82. 67.127. 16.510.9 31.7 20. 18.221.0 21.6 28. 86. 72. 91.9 3.7 3.1 11.3 21.619.7 50. 6 7 8 9 9 1 2 3 4 5 6 7 8 9 9 20 00 20 01 20 02 20 03 20 04 20 05 197 197 197 197 197 197 197 197 197 197 198 198 198 198 198 198 198 198 198 198 199 19 199 199 199 199 199 199 199 19 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 2 3 4 5 176 diperburuk oleh rendah bahkan langkanya pembiayaan penelitian. 3 Fenomena tersebut juga terjadi pada sektor pertanian, sejak pembangunan Indonesia dimulai Rusastra dan Zulham, 1985, masa orde baru bahkan setelah orde otonomi daerah Rusastra, et.al., 1999. Pada orde otonomi daerah tahun 1998 malahan terjadi proses penyesuaian menyeluruh organisasi dan tatakerja yang menimbulkan kemandegan kinerja penelitian sesaat Rusastra, et.al., 2000. Pada tahun 2002 dibuat Undang-undang No. 182002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang memberikan tekanan pada penggairahan favourable penelitian dalam negeri dan interkoneksi antara lembaga penelitian dengan pelaku industri melalui sistem insentif seperti pajak dan atau penelitian swasta. Namun hasil studi Balitbangtan 2005 menunjukkan hal tersebut sehingga kini sulit terealisasi. Sampai tahun 2005 di LIPI telah terjadi pelarian braind drain 29 peneliti bergelar Doktor yang lebih suka beraktivitas meneliti di luar negeri. Secara resmi official, kegiatan penelitian pertanian di Indonesia ditatalaksanakan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Badan ini mengendalikan 4 Puslitbang, 7 Balai Besar dengan perangkatnya, 15 Balai Penelitian, 6 Pusat Penelitian, 3 Loka Penelitian, 30 BPTP, dan didukung Perspustakaan dan Pusat Informasi Petanian. Performa tersebut merupakan aset potensial yang luar biasa untuk mendukung kinerja sektor pertanian. Pada Gambar 20 diketahui sejak tahun 1970 mengikuti laju alokasi anggaran sektor pertanian yang menurun, demikian juga penurunan drastis terjadi 3 Diskusi Pakar dengan Dr.Ir. I Wayan Rusastra, MS, APU di UNESCAP, 30 Agustus 2007.