293 dengan pemerintahan. Kondisi ini menghasilkan gelembung pertumbuhan ekonomi
yang rapuh. Pada tahun 1997 terjadi anti klimak dengan krisis moneter, menciptakan pertumbuhan ekonomi negatif -13.
Periode 2000an terjadi perubahan kebijakan fiskal menyangkut dua hal, yaitu tatalaksana fiskal dari sistem defisit anggaran I-account pada periode
sebelumnya menjadi sistem berimbang T-account dan desentralisasi fiskal. Implikasi terpenting dari periode ini adalah, semakin terbatasnya kekuasaan fiskal
pemerintah pusat, sementara indikasi fiskal di daerah kurang siap dalam pengelolaan terutama keterbatasan dukungan sumberdaya manusia di daerah.
2. Belanja Sektor Pertanian
Peran pemerintah dalam perekonomian diukur dari besarnya belanja pemerintah untuk kegiatan dalam sektor ekonomi. Belanja untuk sektor pertanian,
sejak tahun 1970 sampai 2005 ditinjau dari pangsa dan arah laju terhadap pengeluaran total maupun pengeluaran pembangunan menurun konsisten. Namun
demikian sektor pertanian masih menikmati pangsa subsidi yang cukup besar dibandingkan dengan total subsidi. Dorongan untuk memajukan sektor pertanian
mengalami penurunan laju terutama anggaran untuk penelitian dan pengembangan pertanian serta infrastruktur pertanian. Dengan peningkatan mencolok anggaran
desentralisasi fiskal pasca krisis tahun 1997 belum memberi jaminan semakin membaiknya alokasi anggaran untuk sektor pertanian di daerah.
Dari keseimbangan makroekonomi selain dari belanja pemerintah G; investasi I tumbuh landai dan konsumsi C agregat tumbuh cepat khususnya
pasca krisis moneter tahun 1997. Namun demikian tidak menjamin alokasi investasi untuk pertanian dan konsumsi terhadap produk pertanian juga meningkat.
294 Pembenaran fenomena tersebut misalnya masih besarnya resiko dan mahalnya
investasi sektor pertanian serta semakin membanjirnya impor produk olahan pertanian.
3. Kinerja Sektor Pertanian Indonesia
Kinerja sektor pertanian selama periode analisis mulai pertengahan periode 1980an cenderung menurun ditunjukkan oleh parameter kinarja antara lain
pertumbuhan PDB pertanian terus menurun. Hal ini disumbang oleh produktivitas pertanian dihampir semua subsektor yang menurun bahkan tumbuh negatif mulai
tahun 2004. Dalam situasi tersebut sektor pertanian masih menanggung beban tenaga kerja yang secara absolut jumlahnya besar sementara kemampuan
penyerapan tenaga kerja sektor pertanian menurun konsisten. Kondisi ini diperburuk oleh produktivitas tenaga kerja pertanian yang juga menurun bahkan
negatif mulai tahun 2004. Fenomena tersebut mengindikasikan perubahan struktural di Indonesia kurang berhasil.
Dari sisi perdagangan internasional; sektor pertanian mulai periode krisis moneter 1997 cenderung mengalami defisit neraca perdagangan. Disamping itu
struktur komoditi ekspor lebih didominasi produk pertanian primer. Impor didominasi produk olahan hasil pertanian telah menghambat pengembangan industri
pertanian agroindustri domestik. Yang lebih memprihatinkan adalah perekonomian domestik tidak optimal memanfaatkan nilai tambah produk pertanian
domestik, sementara konsumen domestik semakin tergantung dan harus membayar mahal nilai tambah produk pertanian luar negeri.
Kesejahteraan petani diperbandingkan secara relatif terhadap harga internasional net-barter terms of tradeNT dari tahun 1970 sampai 2005 justru
295 semakin meningkat. Kenaikan kesejahteraan pasca krisis tahun 1997 hampir dua
kali menunjukkan bahwa selama dua puluh tahun sebelum krisis, kebijakan industrialisasi telah menciptakan over value terhadap nilai tukar rupiah untuk
menstimulasi perolehan barang modal industri yang murah. Pada situasi tersebut telah menekan kesejahteraan petani.
4. Kinerja Agroindustri Indonesia
Dari uraian kinerja sektor pertanian yang terpenting diketahui adalah, pembangunan pertanian belum mampu mendorong industri pertanian sebagai proses
industrialisasi berbasis pertanian. Hal itu nampak dari performa kinerja agroindustri Indonesia ditinjau dari nilai tambah input, nilai tambah output dan daya saing
meskipun menunjukkan kenaikan absolut, namun pertumbuhannya konsisten menurun. Kenaikan absolut menggambarkan ekskalasi pertambahan jumlah
industri. Namun dengan penurunan pertumbuhan menggambarkan produktivitas dan utilitas industri yang semakin menurun dan belum optimal dari kapasitas
sumberdaya yang ada.
5. Hubungan Kebijakan Fiskal dengan Kinerja Sektor Pertanian
Instrumen kebijakan fiskal yang penting dan bisa mendorong banyak unsur kinerja sektor pertanian adalah: pajak penghasilan, anggaran sektor pertanian,
anggaran penelitian dan pengembangan pertanian, anggaran infrastruktur pertanian disamping itu juga variabel makroekonomi investasi. Pada situasi tax ratio
Indonesia yang relatif masih rendah, telah mampu mendorong kinerja sektor pertanian yang dicerminkan dari dorongan PPh. Kedepan terdapat harapan yang
baik dengan memperhatikan keberhasilan dalam restrukturisasi perpajakan sejak periode 1980an konsisten dilanjutkan dengan revitalisasi perpajakan pada periode
296 1990 dan 2000an. Anggaran sektor pertanian penting mengindikasikan
peningkatannya masih diperlukan untuk mengoptimalkan kapasitas produksi dari keadaan undercapasity atas pengelolaan sumberdaya pertanian yang terjadi selama
ini. Anggaran penelitian dan pengembangan pertanian menjadi harapan paling depan untuk memajukan pertanian jangka panjang; disamping infrastruktur
pertanian yang selama ini mengalami penurunan utilitas yang sangat mengkhawatirkan. Sehingga peningkatan kedua anggaran tersebut sangat
diperlukan. Investasi adalah aspek makroekonomi yang mendorong pertumbuhan. Indikasinya disektor pertanian terjadi underinvestment maka perlu ditingkatkan.
Secara khusus masing-masing instrumen kebijakan fiskal yang secara nyata mampu mendorong peningkatan kinerja sektor pertanian adalah: peningkatan PDB
pertanian didorong oleh peningkatan PPh, PPn, anggaran sektor pertanian, anggaran penelitian dan pengembangan pertanian, investasi, dan konsumsi agregat.
Peningkatan penyerapan tenaga kerja sektor pertanian didorong oleh peningkatan PPh, PPn, anggaran sektor pertanian, anggaran penelitian dan pengembangan
pertanian, desentralisasi fiskal, dan investasi agregat. Peningkatan ekspor produk pertanian didorong oleh peningkatan PPh, subsidi pertanian, anggaran infrastruktur
pertanian dan konsumsi agregat. Peningkatan impor produk pertanian didorong oleh peningkatan subsidi pertanian, anggaran infrastruktur pertanian, investasi, dan
konsumsi agregat. Peningkatan kesejahteraan petani didorong oleh peningkatan PPh dan anggaran infrastruktur pertanian.
6. Hubungan Kebijakan Fiskal dengan Kinerja Agroindustri
Instrumen kebijakan fiskal yang penting dan bisa mendorong banyak unsur kinerja agroindustri adalah: pajak penghasilan, anggaran penelitian dan
297 pengembangan pertanian, anggaran infrastruktur pertanian, desentralisasi fiskal
disamping itu juga variabel makroekonomi investasi dan konsumsi. Pajak penghasilan, anggaran penelitian dan pengembangan pertanian, dan anggaran
infrastruktur pertanian disamping penting untuk meningkatkan kinerja sektor pertanian, juga penting untuk meningkatkan kinerja agroindustri. Artinya
memajukan pertanian primer dan kegiatan sekunder dalam industri pertanian masih membutuhkan dukungan ketiga hal tersebut. Desentralisasi fiskal menjadi harapan
baru untuk memajukan agroindustri, tentu dengan syarat ada pemahaman yang benar dari pemimpin lokal bahwa memajukan pertanian dan agroindustri adalah
sumber yang bisa untuk mencapai kemakmuran di daerahnya. Investasi dan konsumsi juga penting dalam memajukan agroindustri. Hal ini sesuai dengan
karakter agroindustri dibandingkan dengan pertanian primer yang lebih padat modal dan harus menyesuaikan tarikan driven konsumen dalam strategi
industrinya. Adapun masing-masing instrumen kebijakan fiskal yang secara nyata
mendorong peningkatan kinerja agroindustri adalah: peningkatan nilai tambah input didorong oleh peningkatan anggaran infrastruktur pertanian. Peningkatan nilai
tambah output didorong oleh peningkatan PPh dan anggaran infrastruktur pertanian. Peningkatan daya saing agroindustri didorong oleh peningkatan PPh, PPn, dan
desentralisasi fiskal.
7. Keefektifan Kebijakan Fiskal terhadap Kinerja Sektor Pertanian
Keefektifan kebijakan fiskal terhadap kinerja sektor pertanian ditunjukkan olah respon dinamik kinerja sektor pertanian atas guncangan instrumen kebijakan
298 fiskal dan peran instrumen kebijakan fiskal dalam menjelaskan variabilitas kinerja
sektor pertanian dengan adanya guncangan tersebut. Respon kinerja sektor pertanian atas guncangan instrumen kebijakan fiskal
mencapai keseimbangan rata-rata pada triwulan ke 30.9 atau 8 tahun. Secara lebih spesifik masing-masing respon adalah sebagai berikut:
a. Guncangan pajak penghasilan, dalam jangka pendek meningkatkan PDB pertanian dan penyerapan tenaga kerja pertanian namun menurunkan ekspor dan
impor produk pertanian serta kesejahteraan petani. Dalam jangka panjang meningkatkan PDB pertanian, penyerapan tenaga kerja pertanian dan
kesejahteraan petani namun menurunkan ekspor dan impor produk pertanian. b. Guncangan pajak pertambahan nilai, dalam jangka pendek menurunkan PDB
pertanian dan penyerapan tenaga kerja pertanian namun meningkatkan ekspor dan impor produk pertanian serta kesejahteraan petani. Dalam jangka panjang
menurunkan PDB pertanian namun meningkatkan penyerapan tenaga kerja pertanian, ekspor dan impor produk pertanian serta kesejahteraan petani.
c. Guncangan anggaran sektor pertanian dalam jangka pendek menurunkan PDB pertanian dan ekspor produk pertanian namun meningkatkan penyerapan tenaga
kerja pertanian, impor produk pertanian dan kesejahteraan petani. Dalam jangka panjang menurunkan ekspor produk pertanian namun meningkatkan PDB
pertanian, penyerapan tenaga kerja pertanian, impor produk pertanian, dan kesejahteraan petani.
d. Guncangan subsidi pertanian dalam jangka pendek menurunkan PDB pertanian, ekspor dan impor produk pertanian serta kesejahteraan petani namun
299 meningkatkan penyerapan tenaga kerja pertanian. Dalam jangka panjang
meningkatkan penyerapan tenaga kerja dan ekspor produk pertanian namun menurunkan PDB pertanian, impor produk pertanian, dan kesejahteraan petani.
e. Guncangan anggaran penelitian dan pengembangan pertanian dalam jangka pendek meningkatkan PDB pertanian namun menurunkan penyerapan tenaga
kerja pertanian, ekspor dan impor produk pertanian serta kesejahteraan petani. Dalam jangka panjang meningkatkan penyerapan tenaga kerja pertanian dan
impor produk pertanian namun menurunkan PDB pertanian, ekspor produk pertanian dan kesejahteraan petani.
f. Guncangan anggaran infrastruktur pertanian dalam jangka pendek maupun panjang menurunkan PDB pertanian dan penyerapan tenaga kerja pertanian
namun meningkatkan ekspor dan impor produk pertanian serta kesejahteraan petani.
g. Guncangan desentralisasi fiskal dalam jangka pendek dan panjang menurunkan semua parameter kinerja sektor pertanian PDB pertanian, penyerapan tenaga
kerja pertanian, ekspor dan impor produk pertanian serta kesejahteraan petani. h. Guncangan investasi dalam jangka pendek maupun panjang meningkatkan PDB
pertanian, penyerapan tenaga kerja pertanian, dan impor produk pertanian namun menurunkan ekspor produk pertanian dan kesejahteraan petani.
i. Guncangan konsumsi dalam jangka pendek dan panjang meningkatkan PDB pertanian, ekspor dan impor produk pertanian serta kesejahteraan petani namun
menurunkan kesempatan kerja pertanian.
300 Secara keseluruhan, guncangan instrumen kebijakan fiskal yang direspon
dengan peningkatan kinerja sektor pertanian dalam jangka panjang adalah: pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai, anggaran sektor pertanian, anggaran
infrastruktur pertanian, disamping itu juga investasi dan konsumsi. Instrumen kebijakan fiskal yang berperan efektif dalam mempengaruhi
variabilitas kinerja sektor pertanian di Indonesia adalah: subsidi pertanian, anggaran infrastruktur pertanian, pajak pertambahan nilai, anggaran penelitian dan
pengembangan pertanian, dan desentralisasi fiskal. Respon kinerja sektor pertanian atas guncangan instrumen kebijakan fiskal
dan keefektifan kebijakan fiskal dalam mempengaruhi kinerja sektor pertanian relatif kecil menandakan kebijakan fiskal selama rentang analisis kurang efektif
mendorong kinerja sektor pertanian.
8. Keefektifan Kebijakan Fiskal terhadap Kinerja Agroindusti
Adapun respon kinerja agroindustri atas guncangan instrumen kebijakan fiskal mencapai keseimbangan rata-rata pada triwulan ke 28.9 atau 7 tahun. Secara
spesifik, masing-masing respon adalah sebagai berikut: a. Guncangan pajak penghasilan dalam jangka pendek maupun panjang
menurunkan nilai tambah input dan output namun meningkatkan daya saing agroindustri.
b. Guncangan pajak pertambahan nilai dalam jangka pendek menaikkan nilai tambah input, nilai tambah output dan daya saing agroindustri. Dalam jangka
pajang meningkatkan nilai tambah input dan output namun menurunkan daya saing agroindustri.
301 c. Guncangan anggaran sektor pertanian dalam jangka pendek maupun panjang
menurunkan nilai tambah input dan output serta daya saing agroindustri. d. Guncangan subsidi pertanian dalam jangka pendek meningkatkan nilai tambah
input dan output namun menurunkan daya saing agroindustri. Dalam jangka panjang meningkatkan nilai tambah input namun menurunkan nilai tambah
output dan daya saing agroindustri. e. Guncangan anggaran penelitian dan pengembangan pertanian dalam jangka
pendek menurunkan nilai tambah input, nilai tambah output dan daya saing agroindustri. Dalam jangka panjang menaikkan nilai tambah input, nilai tambah
output dan menurunkan daya saing agroindustri. f. Guncangan anggaran infrastruktur pertanian dalam jangka pendek dan panjang
meningkatkan nilai tambah input, nilai tambah output namun menurunkan daya saing agroindustri.
g. Guncangan desentralisasi fiskal dalam jangka pendek menurunkan nilai tambah input, nilai tambah output dan daya saing agroindustri. Dalam jangka panjang
menyebabkan penurunan nilai tambah input, nilai tambah output namun meningkatkan daya saing agroindustri.
h. Guncangan investasi dalam jangka pendek dan panjang menurunkan nilai tambah input dan nilai tambah output namun meningkatkan daya saing
agroindustri. i. Guncangan konsumsi dalam jangka pendek meningkatkan nilai tambah input
dan daya saing agroindustri namun menurunkan nilai tambah output. Dalam
302 jangka panjang menurunkan nilai tambah input dan daya saing agroindustri
namun meningkatkan nilai tambah output. Secara keseluruhan, instrumen kebijakan fiskal yang direspon dengan
peningkatan kinerja agroindustri dalam jangka panjang adalah: pajak pertambahan nilai, anggaran penelitian dan pengembagan pertanian, dan anggaran infrastruktur
pertanian. Instrumen kebijakan fiskal yang berperan efektif dalam mempengaruhi
variabilitas kinerja agroindustri di Indonesia adalah: anggaran infrastruktur pertanian, desentralisasi fiskal, dan pajak pertambahan nilai.
Respon kinerja agroindustri atas guncangan instrumen kebijakan fiskal dan keefektifan kebijakan fiskal dalam mempengaruhi kinerja agroindustri relatif kecil
menandakan kebijakan fiskal selama rentang analisis kurang efektif mendorong kinerja agroindustri.
9. Keterkaitan antara Kinerja Pertanian dengan Kinerja Agroindustri
Respon kinerja agroindustri atas guncangan kinerja sektor pertanian mencapai keseimbangan rata-rata pada triwulan ke 28.92 atau 7 tahun. Masing-
masing respon adalah sebagai berikut: a. Guncangan PDB pertanian dalam jangka pendek dan panjang menurunkan nilai
tambah input dan nilai tambah output namun meningkatkan daya saing agroindustri.
b. Guncangan penyerapan tenaga pertanian dalam jangka pendek maupun panjanng menurunkan nilai tambah input, nilai tambah output serta daya saing
agroindustri.
303 c. Guncangan ekspor produk pertanian dalam jangka pendek dan panjang
meningkatkan nilai tambah input, nilai tambah output dan daya saing agroindustri.
d. Guncangan impor produk pertanian dalam jangka pendek dan panjang menurunkan nilai tambah input, nilai tambah output dan daya saing
agroindustri. e. Guncangan kesejahteraan petani dalam jangka pendek meningkatkan nilai
tambah input, nilai tambah output dan daya saing agroindustri. Dalam jangka panjang meningkatkan nilai tambah input dan nilai tambah output namun
menurunkan daya saing agroindustri. Secara keseluruhan, guncangan kinerja sektor pertanian yang direspon
dengan peningkatan kinerja agroindustri dalam jangka panjang adalah: ekspor produk pertanian dan kesejahteraan petani.
Kinerja sektor pertanian yang berperan terkait efektif dalam mempengaruhi variabilitas kinerja agroindustri di Indonesia adalah: PDB pertanian,
ekspor produk pertanian, dan impor produk pertanian. Respon kinerja agroindustri atas guncangan kinerja sektor pertanian relatif lambat namun keterkaitannya sangat
kuatefektif.
9.2. Kesimpulan
Kesimpulan umum dari penelitian ini adalah; selama rentang waktu analisis 1970-2005 kebijakan fiskal di Indonesia tidak efektif memperbaiki kinerja sektor
pertanian dan kinerja agroindustri. Adapun kesimpulan secara spesifik sebagai berikut:
304 1. Kondisi fiskal, kinerja sektor pertanian dan agroindustri
a. Selama periode 1970-2005, ada dua perubahan pokok dalam tata kelola fiskal, pertama perubahan dari T-account berimbang menjadi I-account
dimana defisit menjadi determinan penting. Kedua, fiskal sentralistik menjadi desentralistik setelah krisis moneter tahun 1997. Krisis moneter
tahun 1997 berpengaruh nyata pada struktur data deret waktu. b. Dorongan fiskal sebagai investasi publik di sektor pertanian belum optimal
dan bertendensi menurun undervalue serta alokasi anggaran untuk sektor petanian dan agroindustri terjadi gejala kurang tepat sasaran misalocation
dan kurang fokus pada fasilitas publik pertanian seperti infrastuktur pertanian dan agroindustri dan strategi pertumbuhan jangka panjang
seperti penelitian dan pengembangan pertanian. c. Kinerja sektor pertanian sejak tahun 1970-2005 menurun, yang ditandai oleh
penurunan PDB dan produktivitas pertanian, penyerapan dan produktivitas tenaga kerja sektor pertanian, dan pangsa ekspor produk pertanian. Impor
produk pertanian cenderung meningkat, terutama pasca krisis moneter 1997. Kesejahteraan petani tertekan karena kebijakan industri yang menciptakan
over value pada nilai tukar rupiah.
d. Kinerja agroindustri secara absolut meningkat ditandai oleh peningkatan nilai tambah input, nilai tambah output dan daya saing agroindustri. Namun
pertumbuhannya menurun terutama setelah krisis moneter 1997. e. Gejala ketidakterkaitan decoupling antara sektor pertanian dan
agroindustri secara indikatif terjadi mulai tahun 1995.