Kesejahteraan Petani Pembangunan Sektor Pertanian 1. Kebijakan Sektor Pertanian

33 dapat dilihat fluktuasi harga barang-barang yang dihasilkan petani. Dari nilai Ib, dapat melihat fluktuasi harga barang-barang yang dikonsumsi oleh petani. Menurut Siregar 2004 penggunaan NTP mempunyai keterbatasan terutama pada perekonomian terbuka. Sehingga digunakan nilai tukar internasional yang disebut dengan net-barter terms of trade. Dari studi Siregar 2004 ditemukan bahwa net-barter terms of trade Indonesia wilayah barat mengalami penurunan sedangkan wilayah timur meningkat signifikan. Dalam sistem ekonomi terbuka, kebijakan yang mempengaruhi sinyal harga sangat berdampak pada pasar input dan produk pertanian. Dilaporkan dalam studi Rozelle and Swinnen 2004 bahwa perubahan harga akibat kebijakan pemerintah mempunyai koefisien korelasi 0.70 dalam perubahan penggunaan input dan perubahan output pertanian di 15 negara selama 15 tahun terakhir. Selama 6 tahun terakhir, 15 pertumbuhan output disebabkan oleh peningkatan relatif terhadap harga produk sektor pertanian. Dalam studi ini kebijakan subsidi dalam jangka panjang dicurigai akan mendistorsi harga maka porsinya perlu diturunkan. Semakin baik kondisi nilai tukar petani juga akan meningkatkan produksi dan produtivitas pertanian. Banyak negara termasuk Indonesia masih menggunakan cara berfikir, mengkondisikan harga produk pertanian serendah-rendahnya untuk mencapai tingkat upah buruh industri yang rendah. Kebijakan yang demikian dipandang sebagai menyesatkan dalam pertumbuhan ekonomi keseluruhan. Studi PSE UGM, LPEM-FEUI, dan PSP IPB 2004 menemukan bahwa perkembangan struktur pendapatan petani sejak periode 1980an sampai 2000an menunjukkan pergeseran sumber pendapatan bagi rumah tangga pedesaan dari kegiatan pertanian merupakan sumber utama pada tahun 1983, pada tahun-tahun 34 berikutnya mulai masuk aktivitas non pertanian di sektor pertanian. Hal itu dapat dilihat dari proporsi upah dan gaji non pertanian yang selalu meningkat disamping kegiatan riil non pertanian off farm dan non farm yang meningkat porsinya secara konsisten.

2.6. Kinerja Agroindustri

Variasi agroindustri di Indonesia sangat luas mulai dari pangan, perkebunan, peternakan dan perikanan. Definisi agriondustri menurut Sinaga 1998 dalam Herjanto 2003 dibagi dalam dua kelompok, yaitu agroindustri hulu upstream agribusiness adalah subsektor industri yang menghasilkan sarana produksi pertanian, dan agroindustri hilir downstream agrobusiness adalah subsektor industri yang mengolah hasil-hasil pertanian. Tambunan 1992 mengukur kinerja agroindustri dengan menggunakan tiga kriteria ekonomi yaitu, nilai tambah per tenaga kerja, nilai tambah per unit output, dan nilai tambah per unit input tidak termasuk modal tetap. Pada periode sebelum krisis sampai tahun 1997, perkembangan industri agro menunjukkan pertumbuhan signifikan diantaranya jumlah unit usaha tumbuh 8.41 per tahun, penyerapan tenaga kerja tumbuh 19 per tahun, dan nilai ekspor tumbuh sebesar 20.5 per tahun. Pertumbuhan juga terjadi pada nilai produksi, dan nilai investasi. Pada saat krisis mulai pertengahan 1997 kinerja agroindustri masih tetap bertahan dengan tingkat utilitas rata-rata 75.3 per tahun. Setelah krisis kinerja agroindustri secara absolut mengalami penurunan dengan tingkat utilitas menjadi 56.9, juga nilai ekspor menurun 17.8. Namun, kontribusi agroindustri terhadap perekonomian masih tinggi dimana pada saat pertumbuhan negatif mulai 35 tahun 1998, sektor agroindustri menyumbang 17.56 dari kontribusi sektor industri pengolahan non-migas Santoso, 1999. Periode berikutnya, kontribusi dari sektor agroindustri, selama periode 1999-2005 secara rata-rata mencapai 26. Dengan demikian jika dijumlahkan total kontribusi sektor agribisnis dan agroindustri serta elemen-elemen terkaitnya, dapat mencapai kisaran 42-46 dari total kontribusi sektor ekonomi Indonesia. Hal itu diperkirakan akan mampu mendorong pertumbuhan produksi, sekaligus nilai tambah sub sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan. Perkembangan ekspor dan impor agroindustri serta elemen terkaitnya di Indonesia selama periode 2002-5 menunjukkan, neraca ekspor tertinggi produk perkebunan dari pelaku agroindustri besar berupa minyak dan lemak nabati yang sebagian besar merupakan produk CPO. Selain itu, komoditas dan produk ikan, kerang-kerangan, moluska dan olahannya juga menjadi kelompok produk yang menyumbangkan devisa cukup nyata bagi Indonesia selama ini Sa’id dan Febriyanti , 2005. 2.7. Studi-Studi Terdahulu 2.7.1. Peran Fiskal dalam Perekonomian Negara Seperti diuraikan pada awal Bab II bahwa peran pemerintah selalu dibutuhkan dalam perekonomian suatu negara. Peran pemerintah tersebut diekspresikan dalam bentuk intervensi fiskal, dimana argumen teoretisnya karena ketidaksempurnaan pasar, eksternalitas, skala ekonomi, resiko dan ketidakpastian, distorsi, dan distribusi Pogue and Sgontz, 1978; Boadway, 1979; Cullis and Jones, 1992; Myles, 1997; Stiglitz, 2000; Rosen, 2005.