Pengelolaan Sampah TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Sampah
sekali. Sementara itu, jadwal pengambilan sampah di lokasi rumah yang terpencar-pencar dilaksanakan sekitar satu kali perminggu sampai sampah
terkumpul agak banyak. Sampah diangkut dengan menggunakan truk sampah atau gerobak tarik menuju lokasi yang telah disepakati.
3. Pengolahan sampah
Proses pengolahan sampah terpadu dilakukan dengan menerapkan upaya cegah reduce dan upaya pakai ulang reuse dengan tujuan agar sampah
tidak sampai terbentuk. Upaya tersebut dilakukan pada tingkat terendah, yaitu pada pemakaian barang, dan proses daur ulang sampah dilakukan
dengan sangat sederhana. Setelah dicacah dan dilelehkan, materi tersebut dicetak menjadi bahan siap pakai. Metode untuk memusnahkan dan
pemanfaatan sampah dilakukan dengan beberapa cara di antaranya: 1 membuang dalam lubang dan ditutup dengan selapis tanah, yang dilakukan
lapis demi lapis, sehingga sampah tidak di ruang terbuka; 2 sampah dibuang ke dalam lubang tanpa ditimbun oleh lapisan tanah; 3 membuka
dan membuang sampah di atas permukaan tanah; 4 membuang sampah di perairan, misalnya di sungai atau di laut; 5 pembakaran sampah secara
besar-besaran dan tertutup dengan menggunakan insinerator; 6 pembakaran sampah dengan insinerator yang dilakukan oleh perorangan
dalam rumah tangga; 7 sampah sayuran diolah untuk pakan ternak; 8 pengelolaan sampah organik menjadi pupuk yang bermanfaat untuk
menyuburkan tanah; 9 sampah dihaluskan kemudian dibuang ke dalam saluran air; 10 pendaur ulang sampah dengan cara memanfaatkan kembali
barang-barang yang masih bisa dipakai; 11 reduksi, menghancurkan sampah menjadi bagian kecil-kecil dan hasilnya dimanfaatkan.
Suriawiria 2003 pengumpulan sampah merupakan berbagai cara dan usaha untuk mengelola sampah agar lingkungan menjadi bersih, sehat dan nyaman.
Pengelolaan sampah di TPA terdiri atas membuka membuang sampah di permukaan, membuang sampah ke dalam lubang tanpa ditimbun oleh lapisan
tanah, insinerator, pembuatan kompos dan teknologi baru menggunakan kembali, mengurangi, dan mendaur ulang. Partisipasi masyarakat dalam hal pengelolaan
sampah harus diperhatikan ketersediaan tempat sampah di rumah, ketersediaan TPS, ketaatan pembayaran iuran, dan ketaatan membuang sampah di tempat yang
telah ditentukan. Sudradjat 2006 mengemukakan model pengelolaan sampah di Indonesia
ada dua macam, yaitu: urugan dan tumpukan. Model pertama merupakan cara yang paling sederhana, yaitu sampah dibuang di lembah atau cekungan tanpa
memberikan perlakuan. Urugan atau model buang dan pergi ini bisa dilakukan pada lokasi yang tepat, yaitu bila tidak ada pemukiman di bawahnya, tidak
menimbulkan polusi udara, polusi pada air sungai, longsor, atau penurunan estetika lingkungan. Urugan merupakan model pengelolaan sampah yang umum
dilakukan untuk suatu kota yang volume sampahnya tidak begitu besar. Pengelolaan sampah yang kedua yaitu tumpukan. Model tersebut dilaksanakan
secara lengkap, sama dengan tekhnologi aerobik. Pada model tersebut dilengkapi dengan unit saluran air buangan, pengolahan air buangan leachate, dan
pembakaran akses gas metan flare. Model tersebut banyak diterapkan di kota- kota besar. Namun pada kenyataannya di lapangan model tumpukan umumnya
tidak lengkap, tergantung dari kondisi keuangan dan keperdulian pejabat daerah setempat akan kesehatan lingkungan dan masyarakat. Berikut ini beberapa model
pengolahan sampah di beberapa Kota di Pulau Jawa: a. DKI Jakarta
TPA Bantar Gebang dikelola dengan cara menerapankan sistem tumpukan yang dilengkapi dengan IPAS Instalasi Pengelolaan Air Sampah dan
sistem drainase. Sistem Drainase menampung air buangan atau lindi ke dalam IPAS dan membuangnya ke sungai terdekat. Penggunaan sistem activated
sludge system, yaitu danau yang diberi aerasi dengan agitator pengaduk bertenaga besar. Operasional IPAS dan kebersihan drainase perlu dikontrol
dengan baik setiap hari agar tidak terjadi klaim dari masyarakat. Jalan yang dilalui truk perlu dijaga kebersihannya dari tetes air yang keluar dari truk dan
sampah yang berserakan di sepanjang jalan. Tujuannya agar terhindar dari bau, pemandangan yang tidak sedap, serta munculnya penyakit yang berhubungan
dengan kesehatan kulit dan paru-paru. Namun pada kenyataannya, pada tahun
2005 penduduk sekitar TPA terserang penyakit dermatitis sebanyak 2.710 orang. Permasalahan sampah DKI Jakarta saat ini adalah volume sampah yang
sudah tidak bisa ditampung lagi oleh areal yang ada. Perluasan areal ke daerah lain, terutama lintas propinsi tidak akan memecahkan persoalan, tetapi akan
memindahkan persoalan. Dengan pendekatan ilmiah diharapkan akan ada jalan keluar yang lebih arif dan efektif.
b. Surabaya Model TPA di Surabaya sama dengan DKI Jakarta. Pada tahun 1980 TPA
Sukolilo mendapat protes oleh masyarakat setempat karena menimbulkan polusi bau, padahal masyarakat datang ke lokasi setelah TPA tersebut berjalan
beberapa tahun. Untuk mengatasi hal tersebut Pemerintah Kota Pemkot Surabaya mengimpor 1 unit pembakar sampah dari Inggris. Alat tersebut tidak
efektif karena biaya pembakaran sangat besar dan polusi bau berubah menjadi asap dan debu, bahkan partikulat. Aplikasi pembakar sampah di Indonesia
kurang sesuai karena kadar air sampah yang sangat tinggi 80 sehingga sebagian besar energi yang digunakan untuk membakar adalah untuk
menguapkan air. Hal tersebut mengakibatkan biaya operasional alat tersebut menjadi sangat tinggi.
c. Solo Model pengolahan di Kota Solo seperti daerah lain yaitu dengan cara
tumpukan, kelebihannya, sampah pada gundukan yang telah menjadi kompos dibagi-bagikan secara gratis kepada masyarakat. Masyarakat menyaring
kompos dari bahan organik yang tidak terurai serta kotoran kasar, kemudian dijual. Dengan cara tersebut ada sistem input dan sistem output sehingga
luasan areal TPA untuk timbunan sampah akan lebih lama penuh karena output berupa kompos keluar areal tersebut.
Masyarakat sekitar juga diuntungkan karena adanya penghasilan tambahan yang cukup besar. Sistem tersebut berhasil memacu tumbuh kembangnya
pertanian organik di wilayah tersebut. Hal lain yang menarik adalah adanya hewan ternak sapi yang dipelihara oleh penduduk sekitar dengan cara dilepas
secara liar di areal TPA untuk mencari makanan sendiri.
d. Daerah lain Beberapa Kota di Jawa Barat yang penduduknya tidak begitu padat dan
memiliki topografi lembah dan pegunungan seperti di Kota Kuningan, Sumedang, Garut, Ciamis, dan Tasikmalaya, sampah dibuang ke lembah.
Cara tersebut juga dilakukan di Jawa Tengah dan Jawa Timur karena cukup efektif dan murah.
Pengelolaan sampah di Yogyakarta dilakukan dengan cara tumpukan dan dilengkapi dengan unit pengolahan sampah masinal mesin yang dikelola oleh
Pemda setempat. Cara tumpukan telah dilakukan secara profesional. Di Malang pengelolaan cara tumpukan dibangun dengan bantuan dana asing dan dirancang
secara modern dengan mengambil lokasi di suatu lembah. Pengelolaan sampah di TPA daerah Gunung Galuga, Leuwiliang Bogor, juga menggunakan cara
tumpukan, tetapi karena tingginya curah hujan maka sampah kota memerlukan waktu cukup lama untuk pembusukannya. Model pembakar sampah yang diimpor
dari Perancis pernah dicoba, tetapi akhirnya kembali gagal seperti di Surabaya. Kasus di Bandung sama dengan DKI Jakarta, yaitu kemampuan TPA di daerah
Lembang sudah tidak bisa mengatasi volume sampah yang begitu besar, disamping cuaca yang sangat dingin mempengaruhi pembusukan yang akan
berjalan sangat lambat.