mangku kepentingan yang terkait adalah Pemda, Swasta, LSM, Lembaga Peneliti, dan Masyarakat.
6.3. Hasil Analisis Data Penilaian Tingkat Kepentingan
Hasil analisis data penilaian tingkat kepentingan masing-masing kelompok pemangku kepentingan level 2 terhadap aspek level 3 data selengkapnya dapat
dilihat pada Tabel 20. Tabel 20. Nilai prioritas kelompok pemangku kepentingan
No Pemangku kepentingan
Bobot kepentingan Prioritas
1 Pemda
0,460 1
2 Swasta
0,248 2
3 Lembaga Peneliti dan LSM
0,109 3
4 Masyarakat
0,074 4
Dari hasil analisis pendapat menggunakan metode AHP dapat diketahui bahwa pemangku kepentingan yang paling berpengaruh terhadap penentuan
alternatif kebijakan pengelolaan lingkungan TPA Cipayung di Kota Depok adalah Pemda dengan bobot nilai 0,460, pemangku kepentingan yang menjadi prioritas
kedua adalah swasta dengan bobot nilai 0,248, pemangku kepentingan berikutnya adalah Lembaga Peneliti dan LSM dengan bobot nilai 0,109 dan pemangku
kepentingan yang mempunyai peran rendah adalah masyarakat dengan bobot nilai 0,074 Tabel 20. Berdasarkan hasil pembobotan tersebut dapat disimpulkan
bahwa Pemda adalah pemangku kepentingan yang mempunyai tingkat kepentingan paling tinggi terhadap penentuan alternatif kebijakan pengelolaan
TPA Cipayung di Kota Depok. Hal ini disebabkan kenyataannya di lapangan dilandasi dengan hukum, serta pengaruh dan peran dari pemangku kepentingan
Pemda mengacu pada UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, dan diperkuat
dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Oleh karena itu, Pemda Kota Depok memiliki kekuasaan penuh untuk melakukan pengelolaan
TPA Cipayung. Swasta atau dunia usaha merupakan salah satu pemangku
kepentingan yang mempunyai peran terhadap pengelolaan TPA Cipayung. Swasta mempunyai peran sebagai pengelola sampah dan penggalian sumber dana untuk
investasi instalasi yang berkaitan dengan proses pengolahan sampah, seperti geomembran untuk lapisan dasar kedap air di TPA, incinerator berteknologi
ramah lingkungan. Di negara-negara maju, seperti Uni-Eropa, Kanada, Amerika Serikat,
Australia, Taiwan, Korea Selatan, dan Jepang, pengelolaan sampah sudah dimulai dilakukan dari tingkat pembuatan produk yaitu produsen melalui penerapan
EPR extended producer responsibilities yang diwajibkan oleh Pemerintahnya. EPR merupakan suatu konsep yang meminta para produsen barang untuk secara
langsung bertanggungjawab atas produk yang telah diedarkan paska pakai. Produsen diminta membuat produk yang tahan lama durable serta dapat dikelola
maupun dimanfaatkan kembali. Dengan konsep EPR bukanlah tidak mungkin masalah sampah dapat sedikit teratasi walaupun diperlukan aktualisasi maksimal
dari setiap negara, termasuk negara berkembang. Tujuannya agar masalah sampah tidak berlangsung secara berkepanjangan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa swasta mempunyi peran terhadap pengelolaan sampah, seperti pernyataan Direktorat Jenderal Pemberdayaan Sosial
2005 mengemukakan bahwa tanggungjawab sosial dunia usaha telah menjadi suatu kebutuhan yang dirasakan bersama antara Pemerintah, masyarakat, dan
swasta atau dunia usaha berdasarkan prinsip kemitraan dan kerjasama. Tanggungjawab sosial swasta di antaranya dapat memberikan implikasi positif
terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat, meringankan beban pembiayaan pembangunan, memperkuat investasi dunia usaha, sehingga dapat meningkatkan
dan menguatkan jaringan kemitraan serta kerjasama antara masyarakat, Pemerintah dengan swasta. Hasil penelitian ini didukung juga oleh pernyataan
Santoso 2001 mengemukakan bahwa kebijakan dunia usaha di bidang lingkungan hidup dapat diidentifikasikan dalam berbagai fase, yaitu fase reaktif,
menerima, konstruktif dan fase proaktif, untuk mendorong dunia usaha memiliki proaktivisme terhadap lingkungan dengan pendekatan pemberian tekanan,
sangat dipengaruhi oleh berbagai pemangku kepentingan eksternal dalam