Hasil Analisis Data Penilaian Tingkat Kepentingan

kepentingan yang mempunyai peran terhadap pengelolaan TPA Cipayung. Swasta mempunyai peran sebagai pengelola sampah dan penggalian sumber dana untuk investasi instalasi yang berkaitan dengan proses pengolahan sampah, seperti geomembran untuk lapisan dasar kedap air di TPA, incinerator berteknologi ramah lingkungan. Di negara-negara maju, seperti Uni-Eropa, Kanada, Amerika Serikat, Australia, Taiwan, Korea Selatan, dan Jepang, pengelolaan sampah sudah dimulai dilakukan dari tingkat pembuatan produk yaitu produsen melalui penerapan EPR extended producer responsibilities yang diwajibkan oleh Pemerintahnya. EPR merupakan suatu konsep yang meminta para produsen barang untuk secara langsung bertanggungjawab atas produk yang telah diedarkan paska pakai. Produsen diminta membuat produk yang tahan lama durable serta dapat dikelola maupun dimanfaatkan kembali. Dengan konsep EPR bukanlah tidak mungkin masalah sampah dapat sedikit teratasi walaupun diperlukan aktualisasi maksimal dari setiap negara, termasuk negara berkembang. Tujuannya agar masalah sampah tidak berlangsung secara berkepanjangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa swasta mempunyi peran terhadap pengelolaan sampah, seperti pernyataan Direktorat Jenderal Pemberdayaan Sosial 2005 mengemukakan bahwa tanggungjawab sosial dunia usaha telah menjadi suatu kebutuhan yang dirasakan bersama antara Pemerintah, masyarakat, dan swasta atau dunia usaha berdasarkan prinsip kemitraan dan kerjasama. Tanggungjawab sosial swasta di antaranya dapat memberikan implikasi positif terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat, meringankan beban pembiayaan pembangunan, memperkuat investasi dunia usaha, sehingga dapat meningkatkan dan menguatkan jaringan kemitraan serta kerjasama antara masyarakat, Pemerintah dengan swasta. Hasil penelitian ini didukung juga oleh pernyataan Santoso 2001 mengemukakan bahwa kebijakan dunia usaha di bidang lingkungan hidup dapat diidentifikasikan dalam berbagai fase, yaitu fase reaktif, menerima, konstruktif dan fase proaktif, untuk mendorong dunia usaha memiliki proaktivisme terhadap lingkungan dengan pendekatan pemberian tekanan, sangat dipengaruhi oleh berbagai pemangku kepentingan eksternal dalam mewujudkan tekanan. Tanpa adanya tekanan dunia, usaha tidak akan terpacu untuk melakukan proaktivisme lingkungan. Hasil penelitian terhadap lembaga peneliti dan LSM menunjukkan kedua lembaga tersebut mempunyai peran dalam hal melakukan pemantauan dan pengawasan di lapangan, baik terhadap kualitas lingkungan, sosial ekonomi masyarakat di sekitar TPA Cipayung serta usaha-usaha penegakan hukum lingkungan. Pemantauan ditujukan untuk memantau kegiatan di TPA Cipayung sehingga akan mendapatkan informasi yang jelas jika terjadi masalah di kawasan TPA Cipayung maupun bagaimana keadaan lingkungan TPA Cipayung untuk saat sekarang. Hasil penelitian ini didukung oleh pernyataan Santosa 2001 mengemukakan bahwa keberadaan LSM lingkungan dilandasi suatu kepedulian tentang suatu masalah lingkungan tertentu, disamping itu hak hukum dari LSM sebagai penunjang pengelolaan lingkungan hidup dijamin secara tegas ber- dasarkan UU No. 4 pasal 19 Tahun 1982. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat merupakan penghasil sampah, karenanya masyarakat merupakan pemangku kepentingan yang mempunyai peran penting dalam pengelolaan sampah. Masyarakat sangat penting diberdayakan agar mampu melakukan berbagai upaya penanganan yang bermanfaat tentang pengelolaan sampah secara umum. Hasil penelitian ini sesuai dengan pernyataan Siahaan 2004 yaitu masyarakat merupakan sumberdaya yang penting bagi tujuan pengelolaan lingkungan. Bukan saja diharapkan sebagai sumberdaya yang bisa didayagunakan untuk pembinaan lingkungan, tetapi lebih dari pada itu. Komponen masyarakat juga bisa memberikan alternatif penting bagi lingkungan hidup seutuhnya. Undang-undang Pengelolaan Lingkungan Hidup UUPL menyatakan bahwa partisipasi masyarakat cukup layak dalam proporsi pengelolaan lingkungan. Masyarakat mempunyai hak dan kewajiban yang berkenaan dengan peran serta masyarakat tersebut seperti yang terdapat pada pasal 5 hingga pasal 7 UUPL. Koordinasi dan kerjasama yang harmonis dengan semua pemangku kepentingan sangat diperlukan agar tidak terjadi konflik di TPA Cipayung. Adanya koordinasi dan kerjasama ini akan menghasilkan suatu kebijakan yang menguntungkan bagi semua pemangku kepentingan dalam pengelolaan kawasan TPA Cipayung di Kota Depok. Tabel 21. Nilai pembobotan pada aspek level 3 masing-masing kelompok pemangku kepentingan No Pemangku kepentingan Level 2 Aspek level 3 Bobot nilai 1 Pemda Ekologi 0,540 Sosial 0,163 Ekonomi 0,297 2 LSM Ekologi 0,493 Sosial 0,311 Ekonomi 0,196 3 Lembaga Peneliti Ekologi 0,625 Sosial 0,136 Ekonomi 0,238 4 Swasta Ekologi 0,311 Ekonomi 0,493 5 Masyarakat Ekologi 0,528 Sosial 0,140 Ekonomi 0,333 Hasil analisis gabungan pendapat seluruh pemangku kepentingan terhadap level aspek Tabel 21 menggunakan program AHP menunjukkan tingkat kepentingan ekologi merupakan prioritas pertama yang dipilih oleh semua pemangku kepentingan dalam pengelolaan TPA emda mempunyai bobot nilai 0,540, LSM mempunyai bobot nilai 0,493, lembaga peneliti mempunyai bobot nilai 0,625, dan masyarakat mempunyai bobot nilai 0,528. Pemangku kepentingan wasta memilih ekonomi sebagai prioritas pertama mempunyai bobot nilai 0,493. Tabel 22. Nilai gabungan pembobotan pada level aspek No Aspek level 3 Bobot nilai Prioritas 1 Ekologi 0,480 1 2 Ekonomi 0,335 2 3 Sosial 0,185 3 Melihat hubungan antara aspek ekologi, ekonomi dan sosial Tabel 22, maka dibuat diagram layang- layang hasil penilaian gabungan Gambar 14. Grafik hubungan aspek ekologi, ekonomi, dan sosial berdasarkan penilaian pemangku kepentingan, pengelolaan TPA Cipayung dan berbagai alternatif kebijakan menunjukkan bahwa aspek ekologi menempati urutan pertama dengan bobot nilai 0,480, urutan kedua aspek ekonomi dengan bobot nilai 0,335 dan aspek yang terakhir adalah sosial dengan bobot nilai 0,185. Hasil analisis tersebut menunjukkan pengelolaan TPA Cipayung cenderung mementingkan aspek ekologi untuk kepentingan pengelolaan lingkungan di wilayah TPA Cipayung dan berusaha mencegah terjadinya kerusakan lingkungan di sekitar kawasan TPA Cipayung, dalam pengelolaan sampah di TPA Cipayung juga tetap mementingkan aspek ekonomi dan sosial agar mendatangkan manfaat bagi Pemda Kota Depok dan masyarakat di sekitar kawasan TPA, sehingga tidak menimbulkan konflik dengan masyarakat di sekitar kawasan TPA Cipayung yang sering mendapatkan dampak dari kegiatan pengelolaan TPA Cipayung. 0.335 0.185 0.48 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 Ekologi Ekonomi Sosial Gambar 14. Grafik Hubungan aspek ekonomi, ekologi, dan sosial 6.4. Alternatif Kebijakan Pengelolaan TPA Cipayung Usaha mewujudkan penerapan kebijakan pengelolaan TPA Cipayung harus dilakukan secara terpadu, dimulai dari dukungan berbagai perangkat hukum dan peraturan Perundang-undangan. Kebijakan pengelolaan sampah dapat memberikan kepastian hukum dalam perencanaan dan pemanfaatan bagi Pemerintah, Swasta, dan Masyarakat Budiharsono, 2001. Menurut Helmi 2002 dasar kebijakan baru dalam pengelolan TPA bersifat partisipatif, desentralisasi dan mengacu pada prinsip-prinsip efisiensi ekonomi, keadilan dan keberlanjutan. Hasil analisis AHP diperoleh beberapa alternatif kebijakan Tabel 23 Tabel 23. Nilai prioritas alternatif kebijakan pengelolaan TPA Cipayung No Alternatif Bobot Prioritas 1 Optimalisasi pengelolaan sampah 0,452 1 2 Optimalisasi petugas kebersihan 0,260 2 3 Peningkatan partisipasi pakar 0,167 3 4 Penegakan hukum 0,121 4 Optimalisasi pengelolaan sampah merupakan prioritas pertama dengan nilai pembobotan 0,425, prioritas kedua adalah optimalisasi petugas kebersihan dengan nilai pembobotan 0,260, prioritas ketiga yaitu peningkatan partisipasi pemangku kepentingan dengan nilai pembobotan 0,167 dan prioritas terakhir penegakan hukum dengan nilai pembobotan 0,121 Tabel 23. Optimalisasi pengelolaan sampah menjadi prioritas utama karena pening- katan laju timbulan sampah perkotaan 2 – 4 tahun yang tidak diikuti dengan ketersediaan sarana dan prasarana persampahan yang memadai. Hal tersebut berdampak pada pencemaran lingkungan yang selalu meningkat dari tahun ke tahun, dengan selalu mengandalkan pola kumpul-angkut-buang, maka beban pencemaran akan selalu menumpuk di lokasi TPA tempat pemprosesan akhir. Meningkatnya laju pertumbuhan industri dan konsumsi masyarakat secara umum berdampak pula pada perubahan komposisi dan karakteristik sampah yang dihasilkan terutama semakin banyaknya penggunaan plastik, kertas, produk- produk kemasan dan komponen bahan yang mengandung B3 bahan beracun berbahaya serta non biodegradable. Diperlukan pengoptimalisasian pengelolaan sampah. Tingkat pelayanan sampah secara nasional saat ini hanya mencapai kurang lebih 40, dengan kualitas pelayanan yang belum memadai. Kondisi tersebut masih jauh dari standar pelayanan minimal yang telah ditetapkan yaitu 60 dengan pelayanan pengumpulanpengangkutan minimal seminggu 2 kali BPS, 2000. Masyarakat yang tidak mendapatkan akses pelayanan serta tidak cukup memiliki lahan untuk proses pengolahan setempat cenderung membuang sampahnya disembarang tempat dan melakukan pembakaran sampah secara terbuka. Pendekatan atau paradigma baru harus dipahami dan diikuti yaitu sampah dapat dikurangi, digunakan kembali dan atau didaur ulang; atau yang sering dikenal dengan istilah 3R reduce, reuse, recycle. Hal ini sebenarnya bukan sesuatu yang baru karena sudah banyak dilakukan oleh negara maju dan berhasil meningkatkan efisiensi pengelolaan yang signifikan, dengan mengurangi sampah sejak di sumbernya maka beban pengelolaan kota akan dapat dikurangi dan anggaran serta fasilitas akan dapat semakin efisien untuk dimanfaatkan. Pencemaran dapat dikurangi lebih rendah lagi, sehingga kelestarian alam dan lingkungan tetap terjaga. Strategi pengelolaan sampah yang dapat dilaksanakan di antaranya adalah: 1 pengurangan sampah dari sumbernya; dan 2 peningkatan pelayanan dan kualitas sistem pengelolaan. 1 Pengurangan sampah dari sumbernya Mengurangi sampah dari sumbernya merupakan aplikasi dalam pengelolaan sampah. Tujuan aplikasi tersebut untuk mengurangi volume sampah yang harus diangkut dan dibuang ke TPA dengan memanfaatkan semaksimal mungkin material yang dapat didaur ulang. Pengurangan sampah tersebut selain dapat menghemat lahan TPA juga dapat mengurangi jumlah angkutan sampah dan menghasilkan kualitas bahan daur ulang yang cukup baik karena tidak tercampur dengan sampah lain. Potensi pengurangan sampah dari sumbernya dapat mencapai 50 dari total sampah yang dihasilkan. Pengurangan sampah dapat dilakukan dengan beberapa langkah, di antaranya adalah: a peningkatan pemahaman masyarakat tentang 3R; b penerapan sistem insentif dan disinsentif dalam pelaksanaan 3R; c mendorong koordinasi lintas sektor terutama perindustrian dan perdagangan. a Peningkatan pemahaman masyarakat tentang 3R Pengurangan sampah dapat dilakukan dengan cara meningkatkan pemahaman masyarakat akan upaya 3R reduce, reuse, recycle dan pengamanan sampah B3 bahan beracun berbahaya rumah tangga. Mengingat upaya pengurangan volume sampah di sumbernya sangat erat kaitannya dengan perilaku masyarakat. Oleh sebab itu, dip erlukan suatu upaya penyadaran dan peningkatan pemahaman untuk mendorong perubahan perilaku. Upaya tersebut dapat dilakukan secara berjenjang melalui promosi, sehingga dapat memberi gambaran mengenai nilai pengurangan sampah dari sumber dan dampaknya bagi kualitas kesehatan dan lingkungan. Kampanye yang terus menerus dilakukan untuk membangun suatu komitmen sosial. Pengurangan sampah di sumbernya dilakukan melalui mekanisme 3R, yaitu reduce R1, reuse R2 dan recycle R3. Reduce R1 adalah upaya yang lebih menitik beratkan pada pengurangan pola hidup konsumtif serta senantiasa menggunakan bahan tidak sekali pakai yang ramah lingkungan. Reuse R2 adalah upaya memanfaatkan bahan sampah melalui penggunaan yang berulang agar tidak langsung menjadi sampah. Recycle R3 adalah upaya penanganan sampah yang keluar dari rumah, perlu dilakukan pemilahan dan pemanfaatanpengolahan secara tempat. Selain itu, diperlukan juga penanganan sampah B3 rumah tangga lampu neon, kemasan pestisida, dan batu batere secara khusus. Tindak lanjut dari strategi tersebut adalah pelaksanaan promosi dan kampanye 3R secara luas melalui berbagai media massa untuk menjangkau masyarakat dari berbagai kalangan. b Penerapan sistem insentif dan disinsentif dalam pelaksanaan 3R Upaya pengurangan sampah di sumbernya perlu didukung dengan pemberian insentif yang dapat mendorong masyarakat untuk senantiasa melakukan kegiatan 3R. Insentif tersebut antara lain dapat berupa pengurangan retribusi sampah, pemberian kupon belanja pengganti kantong plastik, dan penghargaan tingkat Kelurahan. Penerapan mekanisme in- sentifdisinsentif tersebut harus diawali dengan kesiapan sistem peng-elolaan sampah kota yang memadai. c Mendorong koordinasi lintas sektor terutama perindustrian per- dagangan Keterlibatan sektor industri dan perdagangan akan sangat signifikan dalam upaya reduksi sampah kemasan oleh masyarakat, sedangkan disinsentif juga perlu diperlakukan untuk mendorong masyarakat tidak me- lakukan hal-hal di luar ketentuan. Disinsentif antara lain dapat berupa peringatan, dan peningkatan biaya pengumpulanpengangkutan untuk jenis sampah tercampur. 2 Peningkatan pelayanan dan kualitas sistem pengelolaan Pada saat sekarang tingkat pelayanan masih 40, menyebabkan banyak sampah di TPS tidak terangkut sehingga masyarakat membuang sampah ke lahan kosong atau sungai. Anggota masyarakat banyak yang tidak men- dapatkan pelayanan pengumpulan sampah secara memadai. Sementara itu, berbagai komitmen internasional sudah disepakati untuk mendorong pe- ningkatan pelayanan yang lebih tinggi kepada masyarakat. Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk peningkatan pelayanan dan kualitas pengelolaan di antaranya adalah: a. Optimalisasi pemanfaatan sarana dan prasarana persampahan Rendahnya tingkat pelayanan pengumpulan sampah sering diakibatkan oleh rendahnya tingkat pemanfaatan armada pengangkut. Banyak Kota-kota yang masih mengoperasikan truk sampah dengan ritasi tidak efisien tidak lebih dari 2 rithari, sehingga diperlukan upaya peningkatkan ritasi kendaraan pengangkut dan peralatan lainnya sehingga lebih banyak sampah terangkut dan lebih banyak masyarakat dapat terlayani. b Meningkatkan pelayanan secara terencana dan berkeadilan Pelayanan juga diharapkan dapat disediakan dengan jangkauan yang memberikan rasa keadilan. Di samping pusat Kota yang mendapat prioritas, pelayanan juga tetap harus disediakan bagi masyarakat kelas ekonomi rendah agar mereka juga dapat menikmati lingkungan pemukiman yang bersih dan sehat. Perluasan jangkauan pelayanan juga harus dilakukan secara terencana dan terprogram dengan baik dengan mempertimbangkan kebutuhan dan ketersediaan sumberdaya. c Meningkatkan kapasitas sarana persampahan sesuai sasaran pelayanan Batas pemanfaatan optimal telah tercapai akan tetapi masih dibutuhkan peningkatan cakupan pelayanan, maka akan diperlukan adanya peningkatan kapasitas sarana persampahan khususnya armada pengangkutan. Di negara-negara maju, seperti Uni- Eropa, Kanada, Amerika Serikat, Australia, Taiwan, Korea Selatan, dan Jepang, pengelolaan sampah sudah dimulai dari tingkat pembuatan produk yaitu produsen melalui penerapan EPR extended producer responsibilities yang diwajibkan oleh Pemerintahnya. EPR merupakan suatu konsep yang meminta para produsen barang untuk secara langsung bertanggungjawab atas produk yang telah diedarkan paska pakai. Produsen diminta membuat produk yang tahan lama durable serta dapat dikelola maupun dimanfaatkan kembali. Dengan adanya konsep EPR, bukanlah tidak mungkin masalah sampah dapat sedikit teratasi walaupun diperlukan aktualisasi maksimal di setiap negara, termasuk negara berkembang. Tujuannya agar masalah sampah tidak ber-langsung secara berkepanjangan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ventosa 2003 dengan melakukan penerapan Sistem Feebate terhadap pengelolaan limbah lingkungan perkotaan yang ramah lingkungan. Implementasi dari Sistem Feebate yang diusulkan akan sangat membantu mendorong meningkatkan kemampuan manajemen pengelolaan limbah perkotaan. Sistem Feebate berisi peraturan tentang denda terhadap manajemen perusahaan yang tidak mengelola limbah dan polusi yang dihasilkan. Secara ekonomis harus bertanggungjawab terhadap kegiatan yang merusak lingkungan. Perusahaan diharapkan mampu meningkatkan kapasitas diri. Oleh karena itu, pihak perusahaan diharapkan menciptakan hal yang dapat mendorong untuk meningkatkan pengendalian pencemaran terhadap lingkungan. Hasil analisis AHP yang menjadi prioritas kedua adalah optimalisasi petugas kebersihan dengan bobot nilai 0,260. Dinas Kebersihan dan Pertamanan 2004 mengemukakan sumberdaya manusia SDM merupakan salah satu masalah yang dihadapi DKP Kota Depok. Lemahnya sumberdaya manusia membuat fungsi perencanaan dan pengendalian pengelolaan sampah menjadi sangat lemah. Kegiatan pengembangan dan pengelolaan sumberdaya manusia menjadi sangat penting dan strategis seiring dengan tuntutan profesionalisme di era otonomi daerah saat ini. DKP Kota Depok sebagai penanggungjawab pada pengelolaan sampah sebagian besar personilnya mempunyai kualifikasi rendah dan tidak mempunyai keahlian khusus. Pengelolaan sampah memang lebih banyak mengandalkan tenaga atau otot. Yang tergabung dalam kelompok tersebut adalah para pesapon, penarik gerobak, kernet, supir truk dan petugas retribusi. Meskipun demikian mereka merupakan ujung tombak dalam pelayanan terhadap masyarakat. Agar mereka dapat bekerja secara efektif dan maksimal, diperlukan pengawasan dan pengendalian secara profesional oleh para staf inti dari DKP. Per- masalahannya, ternyata banyak para staf DKP tidak mempunyai kualifikasi khusus untuk melakukan manajemen sumberdaya manusia, sangat sedikit tenaga atau pegawai profesional di DKP yang mampu mengelola sumberdaya yang ada. Permasalahan lainnya yang ada di TPA Cipayung Kota Depok adalah banyak sampah yang dibuang di tengah jalan atau working road di dalam TPA, akibat adanya kerjasama antara pemulung dengan supir truk, hal ini menunjukkan betapa lemahnya pengawasan di sektor sumberdaya, akibat yang ditimbulkan oleh kerjasama antara pemulung dan supir truk membuat proses pengelolaan sampah di TPA menjadi terhambat dan merusak infrastruktur di TPA Cipayung. Per- masalahan lainnya adalah tidak disiplinnya supir dalam memarkirkan dump truk sehingga mengakibatkan tanggul untuk selokan di depan gerbang TPA amblas karena tidak kuat menahan beban. Untuk mencegah hal tersebut sangat diperlukan sumberdaya manusia yang benar-benar melakukan tugasnya dengan baik, sehingga semua permasalahan tersebut dapat dihindari dan pengelolaan sampah di TPA dapat berjalan maksimal. Jika permasalahan sumberdaya manusia tidak segera dibenahi, dikhawatirkan pengelolaan sampah di Kota Depok tidak pernah maju dan bertambah tidak tertata. Padahal dana investasi dan operasional yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kota Depok setiap tahunnya selalu bertambah. Peningkatan kapasitas kelembagaan pengelola persampahan dan pro- fesionalisme sumberdaya manusia merupakan salah satu unsur utama yang dapat menggerakkan roda manajemen persampahan secara menyeluruh. Peningkatan kualitas SDM menjadi sangat penting untuk terselenggaranya suatu sistem pengelolaan persampahan yang berkelanjutan. Lembaga atau instansi pengelola persampahan merupakan motor penggerak seluruh kegiatan pengelolaan sampah dari sumber sampai TPA. Kondisi kebersihan suatu kota atau wilayah merupakan output dari rangkaian pekerjaan manjemen pengelolaan persampahan yang keberhasilannya juga ditentukan oleh pemangku kepentingan lain. Kapasitas dan kewenangan instansi pengelola persampahan menjadi sangat penting karena besarnya tanggungjawab yang harus dipikul dalam menjalankan roda pengelolaan yang biasanya tidak sederhana bahkan cenderung rumit sejalan dengan makin besarnya wilayah operasi. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 2003 tentang Dinas Daerah untuk mengefisiensi sumberdaya, maka telah dilakukan pembatasan jumlah Dinas yang ada di KotaKabupaten. Pengelola yang semula berbentuk Dinas Kebersihan kemudian terpaksa digabung dengan berbagai Dinas lainnya yang pemilihannya ditentukan oleh KotaKabupaten sendiri sejalan dengan misi otonominya. Akibatnya saat ini tidak ada keseragaman bentuk lembaga pengelola persampahan sehingga menyulitkan pembinaannya. Kapasitas unit kebersihan juga mengalami penurunan kewenangan karena merupakan bagian dari Dinas induknya sehingga semakin sulit untuk membuat rencana pengembangan. Pelayanan persampahan di lapangan juga dilaksanakan langsung oleh Dinas, dalam hal ini Dinas yang berfungsi sebagai regulator sekaligus menjalankan kegiatan sebagai operator. Akibatnya sulit dilakukan pengawasan yang obyektif sehingga kualitas pelayanan menjadi tidak terjamin. Perkuatan kapasitas kelembagaan juga akan sangat dipengaruhi oleh pola-pola kerjasama horizontal maupun vertikal termasuk kerjasama antar Kota dalam penerapan pola pengelolaan sampah secara regional. Hasil analisis AHP prioritas ketiga adalah peningkatan partisipasi pemangku kepentingan dengan bobot nilai 0,167. Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa, sangat penting adanya partisipasi dari semua pemangku kepentingan dalam pengelolaan sampah di TPA Cipayung Kota Depok. Bentuk partisipasi dapat dimulai dengan peran aktif masyarakat dan swasta sebagai pengelola sampah, dan melakukan peningkatan pola-pola penanganan sampah berbasis masyarakat. Selain itu sangat diperlukan perubahan pemahaman bahwa masyarakat bukan lagi hanya sebagai obyek, tetapi lebih sebagai mitra yang mengandung makna kesetaraan. Tanpa ada peran aktif masyarakat akan sangat sulit mewujudkan kondisi kebersihan yang memadai. Masyarakat, pihak swasta atau dunia usaha juga memiliki potensi yang besar untuk dapat berperan serta menyediakan pelayanan publik. Beberapa pengalaman buruk pada masa lalu sering membebani Dunia Usaha sehingga tidak berkembang. Swasta jangan lagi dimanfaatkan bagi kepentingan lain, tetapi perlu dilihat sebagai mitra untuk bersama mewujudkan pelayanan kepada masyarakat sehingga kehadirannya sangat diperlukan. Beberapa hal yang dapat dilakukan di antaranya adalah: a. Meningkatkan pemahaman tentang pengelolaan sampah sejak dini melalui pendidikan bagi anak usia sekolah. Upaya mengubah perilaku pembuangan sampah seseorang yang sudah dewasa terbukti tidak efektif; terutama dalam hal pemilahan sampah sejak dari sumbernya, untuk itu diperlukan strategi peningkatan yang lebih sistematik, yaitu melalui mekanisme pendidikan masalah kebersihanpersampahan sejak dini di sekolah. Strategi tersebut perlu dilaksanakan secara serentak di seluruh Kota di Indonesia SD, SMP dan SMA. Tindak lanjut yang dapat dilaksanakan dengan ujicobapengembangan dan replikasi sekolah bersih dan hijau untuk memotivasi anak usia sekolah secara dini mengenal dan memahami berbagai metode pengelolaan sampah sederhana di lingkungan sekolahnya. b. Menyebar luaskan pemahaman tentang pengelolaan persampahan kepada masyarakat umum. Pemerintah perlu menyusun berbagai pedoman dan penduan bagi masyarakat agar mereka lebih memahami tentang pengelolaan persampahan sehingga dapat bertindak sesuai dengan yang diharapkan. Berbagai produk panduan dan pedoman tersebut perlu disebarluaskan melalui berbagai media terutama media massa yang secara efektif akan menyampaikan berbagai pesan yang terkandung di dalamnya. c. Meningkatkan pembinaan masyarakat khususnya kaum perempuan dalam pengelolaan sampah melalui pendidikan sejak dini. Hasilnya pembinaan dirasakan dalam jangka panjang. Strategi pembinaan dalam rangka peningkatan kemitraan masyarakat terutama kaum perempuan juga sangat diperlukan. Perempuan sangat erat kaitannya dengan timbulan sampah di rumah tangga 75 sampah kota berasal dari rumah tangga, sehingga diperlukan mekanisme pembinaan yang efektif untuk pola pengurangan sampah sejak dari sumbernya. Forum kaum perempuan yang saat ini eksis di masyarakat seperti PKK perlu dilibatkan sebagai vocal point. d. Mendorong pengelolaan sampah berbasis masyarakat. Masyarakat terbukti mampu melaksanakan berbagai program secara efektif dan bahkan dengan tingkat keberhasilan yang sangat tinggi terutama bila keikutsertaan mereka dilibatkan sejak awal. Kegiatan tersebut dapat dilaksanakan untuk meningkatkan pengelolaan sampah di lingkungan perumahan melalui pem- berdayaan masyarakat setempat, yang selanjutnya dapat direplikasi di tempat lain. e. Mengembangkan sistem insentif dan iklim yang kondusif bagi dunia usaha atau swasta. Iklim yang menarik dan kondusif bagi Swasta serta berbagai insentif perlu diciptakan dan dikembangkan agar semakin banyak pihak swasta yang mau terjun dalam bisnis pelayanan publik persampahan. Peninjauan kembali pedoman dan ketentuan penanaman modal swasta dalam bidang persampahan perlu segera dilakukan untuk mengurangi hambatan pemangku kepentingan resiko dan dapat menarik pemangku kepentingan keuntungan yang proporsional. Pemerintah perlu memberikan fasilitas dan melakukan uji coba kerjasama swasta dalam skala yang signifikan di beberapa kota percontohan. Kerjasama tersebut hendaknya dilakukan secara profesional dan transparan sehingga dapat menjadi contoh untuk multiplikasi di Kota lainnya. MENLH dan JICA 2003 mengemukakan Pemerintah Philipina akan memberikan insentif untuk mendorong LGU, pelaku usaha, sektor swasta dan masyarakat mempromosikan, mengembangkan dan melaksanakan pengelolaan per- sampahan. Hadiah diberikan bagi proyek, teknologi, proses dan teknik inovatif yang menonjol, berupa pembentukan kebijakan di bidang pengelolaan persampahan, membuat metodologi pengurangan sampah dengan prototipe pengelolaan persampahan. Kegiatan pengelolaan sampah dilakukan dengan kebiasaan asli masyarakat, dengan memberikan fasilitas pengelolaan per- sampahan. MENLH dan JICA 2003 menyebutkan Pemerintah Amerika Serikat telah berhasil merangsang pasar bagi barang-barang daur ulang. Strategi tahun 1993 telah diikuti dengan perintah eksekutif No. 13101 yaitu menghijaukan Pemerintah melalu i pencegahan memboroskan sampah, pendauran ulangan, yang diperkuat dengan kebutuhan akan pengelolaan sampah di Pemerintah Pusat. Prakarsa spesifik yang dikerjakan oleh Pemerintah Amerika Serikat tersebut sebagai hasil dari perintah eksekutif yang meliputi: institusi dari suatu program penghargaan yang disebut ”menutup lingkaran = closing the circle”. Penghargaan tersebut diberikan kepada fasilitas Pemerintah Pusat yang mempertunjukkan manajemen sampah yang patut dicontoh; suatu prakarsa di bidang pendidikan yang mendorong karyawan untuk mengurangi sampah kertas dan implementasi suatu program multi-meterial menyeluruh untuk mendaur ulang di Gedung Putih. Partisipasi antar instansi juga sangat dibutuhkan untuk berbagai hal yang berkaitan dengan kewenangan instansi lain seperti pengelolaan sampah pasar, drainasesungai, pihak produsenindustriperdagangan penanganan sampah kemasan dan B3 rumah tangga dan bahan-bahan daur ulang, pertaniankehutanan pemasaran kompos, dan bidang pendidikan. Kerjasama dengan pihak PLN kerjasama penarikan retribusi, pihak DeveloperKelurahanLSM penanganan sampah skala kawasan berbasis masyarakat, dan perguruan tinggi penelitian dan pengembangan serta inovasi teknologi juga sangat diperlukan. Menurut Murakami, dalam Sistem pengelolaan sampah di Kota Ki- takyushu Jepang, pemangku kepentingan mempunyai peranan dalam manajemen limbah padat di antaranya: a. Masyarakat 1 Mengurangi produksi limbahnya; 2 Pemisahan sebelum dibuang; 3 Membeli bahan-bahan alami; 4 Mendaur ulang limbah; dan 5 Bekerjasama dengan pemangku kepentingan lain, berkaitan dengan pembuangan limbah secara tepat. b. Perusahaan 1 Bertanggungjawab atas limbah mereka sendiri dan pembuangannya; dan 2 Bekerjasama dengan pemangku kepentingan lain, berkaitan dengan pembuangan limbah secara tepat. c. Pemerintah Kota 1 Mempromosikan pengurangan, pemanfaatan kembali dan daur ulang 3R; 2 Mendorong kegiatan sukarela pembersihan lingkungan oleh para pemangku kepentingan; 3 Mengoperasikan sistem pembuangan limbah secara tepat, efektif dan efisien; 4 Mengakhiri status quo limbah padat, metode daur ulang yang tepat, biaya; dan 5 Mempertahankan kualitas manajemen pengelolaan limbah padat untuk masyarakat. Alternatif yang terakhir adalah upaya penegakan hukum. Hukum adalah pegangan yang pasti, positif dan pengarah bagi tujuan-tujuan program yang akan dicapai, semua peri kehidupan diatur dan harus tunduk pada prinsip-prinsip hukum, sehingga dapat tercipta masyarakat yang teratur, tertib, dan berbudaya disiplin. Hukum dipandang selain sebagai sarana pengaturan ketertiban rakyat tetapi juga sebagai sarana memperbaharui dan mengubah masyarakat kearah hidup yang lebih baik Siahaan, 2004. MENLH dan JICA 2003 menyatakan adanya hubungan antara peraturan perundang-perundangan pengelolaan sampah dengan aspek manajemen dan aspek teknis seperti yang terlihat pada Gambar 15. Peraturan perundang-undangan di antaranya PPKepresKepmenPerda mengatur tata cara pengelolaan sampah mulai dari sumber sampah sampai ke TPA, mengatur posisi, hak dan kewajiban masing-masing pemangku kepentingan dan mengatur sanksi jika terjadi pelanggaran dalam pengelolaan sampah. Secara umum kondisi kebersihan di Kota Depok masih di bawah rata-rata kebersihan. Salah satu penyebabnya adalah masih kurangnya pendidikan yang berkaitan dengan perilaku hidup bersih dan sehat sejak dini serta tidak dilakukannya penerapan sanksi hukum pidana dari Perda yang ada secara efektif. Masyarakat kemungkinan besar belum sepenuhnya mengetahui adanya ketentuan dalam penanganan sampah termasuk adanya sanksi hukum yang berlaku. Produk hukum baik berupa Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Daerah, Peraturan Menteri haruslah disediakan secara lengkap dan mampu mengantisipasi segala perkembangan dinamika pengelolaan persampahan. Gambar 15. Sistem peraturan perundangan pengelolaan sampah MENLH dan JICA, 2003 Peningkatan sistem pengelolaan persampahan dapat dilakukan dengan melakukan penegakan hukum dan melengkapi peraturan perundangan yang telah ada, untuk mendukung kegiatan tersebut dapat dilakukan beberapa hal: a. Penegakan hukum dan pemberlakuan sanksi terhadap pelanggar pengelolaan persampahan sebagai upaya pembinaan bagi masyarakat, aparat, dan pemangku kepentingan terkait; b. Melengkapi dan meningkatkan produk hukum yang diperlukan bagi landasan A s p e k M a n a j e m e n PPKepresKepmenPerda Pedoman teknistata cara: - Reduksi di sumber - Pemisahan - Pengawasan - Komposting - Landfilling Pengelolaan sampah - Masyarakat - Pemerintah - Dunia usaha Delegasi ketentuan teknis Mengatur posisi, hak dan tanggung jawab sesuai ketentuan yang berlaku Mengatur ketentuan teknis A s p e k T e k n i s HUBUNGAN ANTAR PERATURAN- PERUNDANGAN Tekhnologi Pendanaan Pengawasan Peran serta masyrakat Peraturan Perundang- Undangan Pengelolaan Sampah Pengelolaan sampah - Masyrakat - Pemerintah - Dunia usaha Mengatur sanksi Mengatur posisi, hak dan tanggung jawab secara umum dan mendasar - Administratif - Pidana penyelenggaraan pengelolaan persampahan; c. Lemahnya penegakan hukum terhadap para pelanggaran pembuangan sampah, merupakan tantangan aparat hukum bagaimana penerapan Perda dapat dilaksanakan secara sungguh-sungguh. Kelemahan lainnya yang masih dilakukan oleh hampir semua pemangku kepentingan persampahan adalah belum adanya langkah- langkah strategis untuk menyelesaikan masalah. Beberapa kelemahan tersebut misalnya dapat dilihat pada beberapa contoh berikut: pengelola kebersihan Pemerintah Daerah belum mengangkut sampah dari TPS sesuai ketentuan. Masyarakat juga memiliki andil kelemahan misalnya dalam hal tidak membayar retribusi sesuai ketentuan, atau membuang sampah sembarangan. Legislatif belum menyediakan anggaran sesuai kebutuhan minimal yang harus disediakan. Pemerintah Pusat belum mampu menyediakan ketentuan peraturan secara lengkap. Menurut Siahaan 2004 bahwa hukum lingkungan dengan berbagai sarana yang bersifat pencegahan atau setidaknya pemulihan sampai taraf normal terhadap kualitas lingkungan, kiranya dapat dicapai dengan menganut asas-asas umum kebijaksanaan lingkungan seperti yang diterapkan di Belanda yaitu: a menanggulangi masalah lingkungan sejak dari sumbernya; b tersedianya sarana teknis dan praktis yang baik; c prinsip pencemaran membayar; d prinsip mencekal stand still principle; dan e prinsip perbedaan regional. Prinsip di atas belum atau tidak dimiliki Indonesia, oleh karena itu maka dalam mengadopsi asas kebijakan asal negeri Belanda tersebut perlu dipertimbangkan, namun tetap melakukan penyesuaian berdasarkan karakteristik kondisi fisik, sosial, budaya Indonesia. Rangkuti dalam Siahaan 2004 mengatakan dalam kebijakan lingkungan bahwa persyaratan yang penting adalah pembinaan legalitas yang tangguh, dan dipersiapkan secara cermat dengan memperhitungkan unsur keterpaduan dalam sistem pengaturan, sehingga evektifitasnya dapat tercapai secara maksimal. MENLH dan JICA 2003 mengemukakan Philippina telah menerbitkan peraturan perundangan yang mengatur tentang pengelolaan sampah dalam bentuk Undang-undang No. 9003 yaitu UU tentang pengelolaan limbah padat secara ekologis. Undang-undang tersebut mengatur tentang kebijakan, mekanisme dan struktur institusi, hierarki pengelolaan persampahan, kewajiban pengurangan dan pemilahan sampah, kebutuhan-kebutuhan pengumpulan dan pengangkutan sampah, program daur ulang, fasilitas pengelolaan sampah, larangan- larangan, denda dan hukuman, gugatan, peran industri dan pelaku usaha serta sistem insentif. Undang-undang tersebut memuat tentang pemberian sanksi kepada pelanggar peraturan U ndang-undang persampahan dengan pembebanan denda dan hukuman bergantung pada besarnya pelanggaran. Besaran denda dinaikkan setiap 3 tahun untuk mengkompensasi inflasi dan menjaga fungsi dari denda sebagai alat pencegahan. Sanksi administrasi diberikan kepada petugas pemerintahan yang gagal memenuhi dan menegakkan aturan dan peraturan Undang-undang persampahan yang telah disebarluaskan. Pemerintah Indonesia untuk kedepannya diharapkan harus benar-benar menerapkan hukuman kepada pihak-pihak yang melanggar peraturan yang telah ditetapkan

6.5. Kesimpulan

Strategi kebijakan pengelolaan sampah di TPA Cipayung Kota Depok yang dikembangkan berdasarkan hasil analisis AHP adalah: 1 Optimalisasi pengelolaan sampah. Peningkatan laju timbulan sampah perkotaan 2 – 4 tahun yang tidak diikuti dengan ketersediaan sarana dan prasarana persampahan yang memadai. Hal tersebut berdampak pada pencemaran lingkungan yang selalu meningkat dari tahun ke tahun, dengan selalu mengandalkan pola kumpul-angkut-buang, maka beban pencemaran akan selalu menumpuk di lokasi TPA Tempat Pemprosesan Akhir; 2 Optimalisasi petugas kebersihan. Sumberdaya Manusia SDM merupakan salah satu masalah yang dihadapi DKP Kota Depok. Lemahnya Sumberdaya Manusia membuat fungsi perencanaan dan pengendalian pengelolaan sampah menjadi sangat lemah; 3 Peningkatan partisipasi pemangku kepentingan. Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa sangat penting adanya partisipasi dari semua pemangku kepentingan dalam pengelolaan sampah di TPA Cipayung Kota Depok. Bentuk partisipasi dapat dimulai dengan peran aktif masyarakat dan swasta sebagai pengelola sampah. Kegiatan pengurangan sampah dari sumbernya dengan melakukan peningkatan pola-pola penanganan sampah berbasis masyarakat; 4 Penegakan hukum. Hukum adalah pegangan yang pasti, positif dan pengarah bagi tujuan-tujuan program yang akan dicapai, semua peri kehidupan diatur dan harus tunduk pada prinsip-prinsip hukum, sehingga dapat tercipta masyarakat yang teratur, tertib dan berbudaya disiplin. Hukum dipandang selain sebagai sarana pengaturan ketertiban rakyat tetapi juga sebagai sarana memperbaharui dan mengubah masyarakat kearah hidup yang lebih baik. Peraturan perundang-undangan di antaranya PPKepresKepmenPerda mengatur tata cara pengelolaan sampah mulai dari sumber sampah sampai ke TPA, mengatur posisi, hak dan kewajiban masing-masing pemangku kepentingan dan mengatur sanksi jika terjadi pelanggaran dalam pengelolaan sampah.

6.6. Daftar Pustaka

Budiharsono, S. 2001. Teknik Analisis Pembangunan Wilayah Pesisir dan Laut. Penerbit Pradnya Paramita. Jakarta Direktorat Jenderal Pemberdayaan Sosial. 2005. Acuan Klasifikasi Tanggung Jawab Sosial Dunia Usaha. Departemen Sosial RI. Jakarta. Dinas Kebersihan dan Lingkungan Hidup Kota Depok. 2007. Audit Lingkungan TPA Cipayung- Kota Depok. PT. Sucofindo Prima Internasional Konsultan. Jakarta. Helmi. 2002. Tantangan Pengelolaan Terpadu Sumber Daya Air di Indonesia. P3- TPSLK BPPT dan HSF. Jakarta. 3 Maret 2008. MENLH dan JICA. 2003. Draft Naskah Akademis Peraturan Perundang- Undangan Pengelolaan Sampah. Kementrian Lingkungan Hidup. Jakarta. Santosa, M.A. 2001. Good Governance dan Hukum Lingkungan. Indonesia Center for Environmental Law ICEL. Jakarta.