Pariyem menyelesaikan pekerjaannya dan ia memulai bercerita tentang Den Baguse pada Mas Paiman. Tuturan 4 dirasa santun karena sesuai
dengan prinsip kualitas Grice, 1975 dalam Pranowo, 2009:34 yakni apa yang diucapkan sesuai dengan fakta yang ada. Pariyem mengatakan
tuturan tersebut dengan kenyataan yang ia lakukan saat ia menggoda Den Baguse.
Selanjutnya, data tuturan 5 adalah bentuk tindak tutur representatif. Penutur memberitahukan mitra tuturnya tentang peristiwa yang terjadi pada
tetangga sebelah rumah majikannya yang dapat dilihat melalui unsur intralingual yang berupa kalimat “Dia mati bunuh diri minum Baygon
karena diri
merasa berlumur
dosa ”.
Penggunaan kalimat
ini memperlihatkan bahwa Pariyem memberitahukan Mas Paiman akibat dari
dosa yang menghilangkan nyawa orang seperti yang dilakukan oleh kakak tetangga sebelah rumah majikan Pariyem yang sinting akibat mempelajari
ilmu dosa. Oleh karena itu data tuturan 5 dapat dikatakan mengandung daya informatif. Daya informatif diperkuat dengan unsur ekstralingual yang
berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena praanggapan bahwa Mas Paiman tidak mengetahui akibat yang
dapat terjadi dari memikirkan dosa dan konteks situasi komunikasi yang berupa waktu percakapan di sore hari saat Pariyem berbicara tentang dosa
dan ia teringat tetangga rumahnya yang menjadi gila karena berkutat dengan dosa sehingga ia dapat menceritakannya pada Mas Paiman. Tuturan dirasa
tidak santun karena melanggar prinsip kesantunan berkomunikasi menurut
Pranowo 2009:23 yakni menggunakan kata-kata yang memiliki “aura kesantunan”. Ungkapan “mati” dirasa kurang santun, karena penggunaan
kata tersebut digunakan untuk binatang, sedangkan untuk manusia dapat digunakan kata “meninggal dunia”. Seharusnya penutur dapat memilah dan
memilih diksi yang digunakan agar tuturan terlihat lebih santun. Berdasarkan kelima contoh tuturan yang mengandung daya informatif
di atas, dapat disimpulkan bahwa daya informatif muncul pada penggunaan kalimat yang diidentifikasi mengandung informasi tentang
suatu hal yang diucapkan pada orang lain. Sebagai orang Jawa, Pariyem tidak meninggalkan unggah-ungguh dalam berkomunikasi. Pariyem
menggunakan kata “nuwun sewu” ketika berbicara karena ia masih menjaga perasaan mitra tuturnya
apabila kata yang ia
gunakan menyinggung perasaan mitra tuturnya. Salah satu upaya menjaga tuturan
terasa lebih santun ialah dengan menggunakan diksi atau pilihan kata yang mencerminkan kesantunan. Tetapi banyak pula tuturan yang dirasa masih
kurang santun dalam komunikasi yang diucapkan oleh Pariyem, seperti penggunaan kata “terang-terangan saja” untuk menekankan informasi dan
“mati” yang digunakan untuk manusia. Seharusnya penutur dapat memilah dan memilih pilihan kata yang hendak digunakan agar tuturan terlihat lebih
santun.
4.2.1.1.2 Daya Ungkap
Daya ungkap ialah penggunaan bahasa yang berfungsi untuk mengungkapkan perasaan ataupun pendapat terhadap orang lain.
6. “Tapi saya? O, bagaimanakah saya? Saya tak mengaku pada siapa-siapa saya mengaku pada Mas Paiman,
kok Saya mengaku pada sampeyan saja dan tidak mengaku pada orang lain
O, saya mengaku kepada orang yang saya tresnani saja, kok dan tidak kepada sembarang orang Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan
Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 46, data tuturan DBPP 46 Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah
percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pertanyaan dari Mas Paiman mitra tuturnya mengenai cara Pariyem
menebus rasa malu dan dosanya.
7. Bila saya mengaku kepada Mas Paiman itu bukti saya tresna sama sampeyan
Bila saya menyimpan segala uneg-uneg itu bukti saya tak tresna sampeyan
Ya, ya, pengakuan adalah buah katresnan Pengakuan saya bukan karena takut bukan karena simbol-simbol butut
Dan bukan karena kepingin pameran tapi karena dorongan katresnan Sumber data: Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag
halaman 47, data tuturan DBPP 47 Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah
percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pertanyaan dari Mas Paiman mitra tuturnya mengenai cara Pariyem
menebus rasa malu dan dosanya.
8. O, Allah, Gusti nyuwun ngapura kami telanjang bulat Bibir saya diciumnya ciuman pertama dari seorang pria
Penthil saya diremasnya remasan pertama seorang pria Dan kuping bawah saya dikulumnya kuluman pertama dari seorang pria
O, Allah, gelinya luar biasanya Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 68, data tuturan DBPP 68
Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk mengungkapkan
masa lalunya ketika ia melepaskan keperawanannya pada Mas Paiman
9. O, betapa hati saya berbahagia saya pun menangis, O, berbahagia Wajah basah oleh air mata Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan
Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 114, data tuturan DBPP 114 Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam suatu
percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem yang mengungkapkan perasaannya saat ia sembuh dari penyakit batu ginjalnya pada Mas
Paiman
10. “Kini batin rasanya longgar Nafas saya perlahan-lahan lapang dan dada saya pun jadi senggang
Ibarat badan tersiram air sendhang – wayu sewindu Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 138,
data tuturan DBPP 138 Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam percakapan.
Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pertanyaan Mas Paiman mitra tuturnya mengenai perasaan Pariyem setelah ia
mengakui kehamilannya pada nDoro Putri.
Data tuturan 6 menggunakan deiksis persona orang pertama “saya” yang merujuk pada diri Pariyem. Data tuturan 6 merupakan bentuk
tindak tutur ekspresif yang digunakan untuk menyatakan perasaan penutur terhadap mitra tuturnya. Unsur intralingual tuturan tersebut yang berupa
kalimat “O, saya mengaku kepada orang yang saya tresnani saja, kok dan tidak
kepada sembarang
orang ”
memperlihatkan bahwa
Pariyem mengungkapkan perasaannya pada Mas Paiman. Oleh karena itu, dapat
dikatakan bahwa data tuturan 6 mengandung daya ungkap. Daya ungkap diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa konteks tuturan yang
selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena praanggapan bahwa Mas Paiman tidak mengetahui identitas diri Pariyem dan konteks situasi
komunikasi yang berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena praanggapan bahwa Mas Paiman tidak
mengetahui cara
Pariyem menebus
dosanya dan
konteks situasi
komunikasi yang berupa waktu percakapan dengan Mas Paiman di malam hari dan situasi percakapan yang santai membuat Pariyem nyaman untuk
mengutarakan perasaannya pada Mas Paiman. Ungkapan tersebut dirasa santun karena sesuai dengan maksim pertimbangan atau consideration
maxim Leech 1983 dalam Pranowo, 2009 :102-103 yakni tuturan yang
mengungkapkan sebanyak-banyaknya rasa senang terhadap mitra tutur. Penggunaan maksim tersebut tentunya membuat mitra tutur merasa
dicintai oleh penutur. Data tuturan 7 merupakan bentuk tindak tutur ekspresif yang
digunakan untuk mengungkapkan perasaan penutur terhadap mitra tuturnya. Pariyem mengungkapkan perasaannya pada Mas Paiman yang
terlihat dari unsur intralingual melalui kalimat “Pengakuan saya bukan karena takut bukan karena simbol-simbol butut
” dan “Dan bukan karena kepingin pameran tapi karena dorongan katresnan
”. Penggunaan kedua kalimat ini memperlihatkan bahwa Pariyem mengungkapkan perasaan
cintanya pada Mas Paiman dengan mengaku semua peristiwa yang terjadi dalam hidupnya itu karena didorong rasa cintanya terhadap Mas Paiman.
Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa tuturan 7 berdaya ungkap. Daya ungkap diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa konteks tuturan
yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena praanggapan bahwa Mas Paiman tidak mengetahui alasan Pariyem mengakui semua
yang terjadi dihidupnya padanya dan konteks situasi komunikasi yang berupa waktu percakapan dengan Mas Paiman di malam hari dan situasi
percakapan yang santai membuat Pariyem nyaman untuk mengutarakan perasaannya pada Mas Paiman. Tuturan 7 tersebut dirasa santun karena
sesuai dengan maksim pertimbangan atau consideration maxim Leech 1983 dalam Pranowo, 2009 :102-103 yakni tuturan yang mengungkapkan
sebanyak-banyaknya rasa senang terhadap mitra tutur. Penggunaan
maksim tersebut tentunya membuat mitra tutur merasa dicintai oleh penutur.
Selanjutnya, data tuturan 8 merupakan bentuk tindak tutur ekspresif. Pariyem mengungkapkan perasaannya saat Kang Kliwon menggerayangi
tubuhnya yang ditunjukkan unsur intralingual melalui kalimat “O, Allah, gelinya luar biasanya
”. Penggunaan kalimat ini memperlihatkan bahwa Pariyem mengungkapkan perasaannya saat ia merasakan bersentuhan fisik
pertama kalinya dengan seorang laki-laki, sehingga dapat dikatakan bahwa tuturan 8 mengandung daya ungkap. Daya ungkap diperkuat dengan
unsur ekstralingual yang berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena tindak tutur representatif yakni
Pariyem memberitahukan kejadian saat ia melepaskan keperawanannya pada Kang Kliwon dan konteks situasi komunikasi yang berupa waktu
percakapan saat Pariyem mengingat masa lalunya pada Mas Paiman.
Tuturan 8 dirasa tidak santun karena menggunakan pilihan kata yang tidak mencerminkan kesantunan. Hal ini dianggap melanggar prinsip
kesantunan menurut
Pranowo 2009
yakni dalam
berkomunikasi menggunakan kata-kata yang mencerminkan kesantunan. Kata “penthil”
terkesan sangat vulgar untuk diucapkan, seharusnya penutur memilih kata- kata yang hendak digunakan supaya terasa lebih santun.
Data tuturan 9 merupakan tindak tutur ekspresif yang digunakan untuk
mengungkapkan perasaan
penutur. Penutur
menyatakan kebahagiaan yang ia rasakan pada Mas Paiman ditunjukkan unsur
intralingual melalui penggunaan kalimat “O, betapa hati saya berbahagia saya
pun menangis,
O, berbahagia”.
Penggunaan kalimat
ini memperlihatkan bahwa Pariyem mengungkapkan perasaannya pada Mas
Paiman saat ia dinyatakan sembuh dari penyakit yang dideritanya, sehingga dapat dikatakan bahwa tuturan 9 mengandung daya ungkap.
Daya ungkap diperkuat dengan unsur ekstralingual yaitu berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena tindak
tutur ekspresif Pariyem saat dinyatakan sembuh dari penyakitnya dan konteks situasi komunikasi yang berupa waktu percakapan saat Pariyem
menceritakan pengalamannya ketika ia menderita penyakit batu ginjal selama 2,5 tahun hanya terbaring di ranjang pada Mas Paiman. Data
tuturan 9 dirasa santun karena sesuai dengan prinsip kualitas Grice, 1975 dalam Pranowo, 2009:34 yakni yang diucapkan berdasarkan fakta
atau data yang sebenarnya. Data tuturan 10 merupakan bentuk tindak tutur ekspresif. Pariyem
mengungkapkan perasaannya pada Mas Paiman setelah ia mengaku pada nDoro putri unsur intralingual melalui kalimat “Kini batin rasanya
longgar ” dan “Nafas saya perlahan-lahan lapang dan dada saya pun jadi
senggang ”. Penggunaan kedua kalimat ini memperlihatkan bahwa Pariyem
mengungkapkan perasaannya setelah ia mengakui kehamilannya pada nDoro Putri. Data tuturan 10 dapat dikatakan mengandung daya ungkap.
Daya ungkap diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena tindak