Daya Larangan Daya Paksa

padi. Tuturan 36 dipandang santun karena cara yang digunakan dan pilihan kata yang digunakan mencerminkan kesantunan terlebih tuturan tersebut ditujukan pada sesuatu yang dihormati. Hal ini sesuai dengan prinsip kesantunan menurut Pranowo 2009:23 yakni kata-kata yang digunakan dalam berkomunikasi seharusnya mencerminkan “aura kesantunan”. Data tuturan 37 merupakan bentuk tindak tutur representatif yang digunakan untuk mengungkapkan sesuatu hal pada orang lain. Penutur berharap pada Tuhan supaya anak yang dikandungnya tidak menjadi anak yang manja seperti yang terlihat melalui unsur intralingual berupa diksi “semoga”. Penggunaan kata “semoga” memiliki pengertian memiliki harapan akan sesuatu hal, sehingga dapat dikatakan bahwa tuturan 37 mengandung daya harapan. Daya harapan diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena praanggapan bahwa Mas Paiman belum tahu harapan Pariyem akan jabang bayi yang dikandungnya dan konteks situasi komunikasi yang berupa waktu tuturan saat Pariyem terpenuhi ngidhamnya akan pisang dan mangga sehingga ia memanjatkan harapan untuk anaknya supaya tidak rewel setelah terpenuhi inginnya. Ungkapan “thuyul” dirasa tidak santun karena digunakan untuk menyebutkan janin yang ada di kandungan. Kata “thuyul” yang berasal dari kosakata bahasa Jawa yang memiliki berarti makhluk halus berupa anak-anak dirasa tidak pantas untuk menyebutkan janin manusia. Hal ini melanggar prinsip kesantunan menurut Pranowo 2009:23 yakni kata-kata yang digunakan dalam berkomunikasi seharusnya mencerminkan “aura kesantunan”. Berdasarkan kedua contoh tuturan yang mengandung daya harapan di atas, dapat disimpulkan bahwa daya harapan muncul dalam pemakaian bahasa yang digunakan untuk memanjatkan harapan dan doa. Daya harap dapat diidentifikasi dengan tuturan yang menggunakan pilihan kata “semoga”, “berharap” dan sebagainya. Dalam penggunaan daya harapan ini seharusnya menggunakan tuturan yang mencerminkan kesantunan, karena daya harapan berisikan keinginan penutur supaya dapat terjadi. Doa dan harapan biasanya diucapkan dengan pilihan kata yang baik-baik sehingga terkesan lebih santun.

4.2.1.7 Daya Penolakan

Daya penolakan merupakan bentuk penggunaan fungsi bahasa untuk tidak menerima atau tidak membenarkan suatu sesuatu hal dari mitra tutur yang dapat berupa bantah, protes maupun ketidaksetujuan. 38. Rasa dosa yang tertimbun di dalam sanubarinya ia tebus dengan tukar nyawa O, inikah buah rasa berdosa? Inikah buahnya ngelmu dosa? O, saya menggugat, tak terima saya wajib bertanya-tanya Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 42, data tuturan DBPP 42 Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem yang bertanya pada mitra tuturnya Mas Paiman mengenai harga yang harus dibayar dari akibat dosa apakah setara dengan harga nyawa manusia. Tuturan 38 merupakan bentuk tindak tutur representatif yang digunakan untuk menolak sesuatu hal. Pariyem tidak setuju dengan cara masyarakat yang mengucilkan seseorang karena ia berdosa seperti yang terlihat melalui unsur intralingual penggunaan kalimat “O, saya menggugat, tak terima saya wajib bertanya-tanya ”. Melalui penggunaan kalimat ini memperlihatkan ketidaksetujuan Pariyem akan harga dosa yang sebanding dengan nyawa manusia. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa tuturan 38 mengandung daya ketidaksetujuan. Daya ketidaksetujuan diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena praanggapan bahwa Mas Paiman mengetahui bahwa dosa manusia tidak ditentukan oleh masyarakat namun pada Tuhan dan konteks situasi komunikasi yang berupa waktu percakapan di sore hari saat Pariyem berbicara tentang dosa dan ia teringat tetangga rumahnya yang bunuh diri karena merasa dirinya berdosa sehingga ia dapat menceritakannya pada Mas Paiman. Data tuturan 38 dianggap tidak santun karena melanggar prinsip kesantunan menurut Pranowo 2005 dalam Pranowo, 2009:103-104 yakni menjaga perasaan mitra tutur ketika berkomunikasi. Penutur mengarahkan kemarahannya kepada Mas Paiman mitra tutur, padahal masyarakatlah yang menghakimi orang-orang yang berdosa di lingkungannya. Seharusnya penutur menjaga perasaan mitra tuturnya sehingga tuturan yang diucapkannya terasa jauh lebih santun.

Dokumen yang terkait

Unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa pada ``Catatan Pinggir`` Majalah Tempo Edisi Januari - September 2013 sebagai penanda kesantunan berkomunikasi.

0 2 2

Unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa sebagai penanda kesantunan berkomunikasi pada top news di Metro TV bulan November-Desember 2014.

3 49 352

Penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa pada acara Sentilan Sentilun Metro TV periode Agustus dan September 2014 sebagai penanda kesantunan berkomunikasi.

0 1 391

Penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa pada dialog interaktif Indonesia Lawyers Club Tv One periode November 2014 sebagai penanda kesantunan berkomunikasi.

0 1 317

Penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa pada tuturan berita politik koran Kompas edisi September - Oktober 2014 sebagai penanda kesantunan berkomunikasi.

0 7 307

Penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa pada karikatur koran tempo edisi September - Desember 2014 sebagai penanda kesantunan berkomunikasi.

0 4 298

MAKNA SATUAN LINGUAL BERBAHASA JAWA DALAM PROSA LIRIK PENGAKUAN PARIYEM KARYA LINUS SURYADI AG.

0 0 1

IMPERATIF DALAM BAHASA INDONESIA : PENANDA-PENANDA KESANTUNAN LINGUISTIKNYA

0 0 8

Kesantunan Mahasiswa Dalam Berkomunikasi bahasa

0 0 6

B 02 Daya Bahasa dan Nilai Rasa Bahasa Sebagai Penanda Kesantunan Dalam Berkomunikasi

0 0 20