29 dirasa santun karena memenuhi prinsip kuantitas Grice, 1975 dalam Pranowo, 2009:34 yakni apa yang diucapkan cukup seperlunya saja tidak
lebih dan tidak kurang. Berdasarkan contoh tuturan yang mengandung daya retoris di atas,
dapat dikatakan bahwa daya retoris muncul pada penggunaan kalimat pertanyaan yang sudah terlihat jelas jawabannya sehingga tanpa menunggu
jawaban dari mitra tutur sudah menyimpan jawabannya. Tuturan yang mengandung daya retoris seperti yang diucapkan oleh Pariyem cenderung
terlihat santun. Penggunaan kalimat pertanyaan biasanya langsung pada intinya dan tidak bertele-tele, sehingga dapat dikatakan bahwa kalimat
yang berdaya retoris sesuai dengan prinsip kuantitas yakni yang dikatakan seperlunya saja tidak perlu dilebih-lebihkan atau dikurangi.
4.2.1.4 Daya Ancam
Daya ancam merupakan bentuk penggunaan bahasa yang berfungsi sebagai sindiran, ejekan maupun kritikan terhadap sesuatu hal. Daya
ancam ini ada yang dinyatakan secara langsung maupun tidak langsung.
4.2.1.4.1 Daya Kritik
Daya kritik merupakan bentuk pemakaian bahasa yang digunakan penutur untuk mengkritiki sesuatu hal. Adapun hal yang dikritiki dapat
berupa hal-hal yang bersangkutan dengan diri pribadi, orang lain maupun yang bersangkutan dengan masyarakat luas.
30. Ah, ya, maklum Jawa Baru, mas Semua serba pakai kelas
Bangsawan dan rakyat jelata Darah biru dan darah biasa dalam kraton dan luar kraton – berbeda
derajatnya Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 5, data tuturan DBPP 5
Konteks tuturan : Tuturan di atas diucapkan oleh Pariyem. Tuturan tersebut dimaksudkan untuk menanggapi pertanyaan dari Mas Paiman
mitra tuturnya yang bertanya mengenai patokan pembeda bibit, bobot dan bebet seseorang di dalam masyarakat.
31. Sebagaimana syair pop Indonesia yang dibuat untuk lagu-lagu yang dibuat secara kodian
Yang dibuat untuk target perusahaan rekaman yang dibuat guna cari keuntungan
Pokoknya laris, dibeli penggemar yang lazimnya kalangan umur muda Jika perlu nyontek lagu-lagu asing : nyontek syairnya, nyontek lagunya
dan nyontek semua aransemennya – habis perkara Sudah jamaknya, waton bunyi syairnya tanpa bobot tanpa daya cipta
yang berpribadi
Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 105, data tuturan DBPP 105
Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem yang menanggapi
pertanyaan Mas Paiman mengenai kualitas lagu-lagu yang ada di Indonesia saat ini.
Data tuturan 30 merupakan bentuk tindak tutur representatif yang digunakan untuk mengkritik sesuatu hal yang telah terjadi. Penutur
mengkritik tentang perbedaan kasta dan derajat seseorang di masa kini pada mitra tuturnya yang dapat dilihat melalui unsur intralingual berupa
kalimat “Ah, ya, maklum Jawa Baru, mas” dan “Semua serba pakai kelas”. Penggunaan kedua kalimat tersebut bermaksud mengkritik masyarakat saat
ini yang membedakan derajat seseorang melalui materi, sehingga dapat dikatakan data tuturan 30 mengandung daya kritik. Daya kritik diperkuat
dengan unsur ekstralingual berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena deiksis persona “mas” dan fenomena
praanggapan bahwa
Mas Paiman
belum mengetahui
pengertian
masyarakat Jawa baru dan konteks situasi komunikasi yang berupa suasana percakapan yang santai sehingga membuat Pariyem nyaman untuk
mengutarakan pendapatnya tentang pembeda status sosial masyarakat pada Mas Paiman. Tuturan 30 dirasa santun karena cenderung membicarakan
hal negatif tentang keadaan masyarakat saat ini berdasarkan fakta yang ada. Hal ini sesuai dengan prinsip kualitas Grice, 1975 dalam Pranowo,
2009:34 yakni pemakaian bahasa sesuai dengan fakta yang ada. Selanjutnya, bentuk data tuturan 31 merupakan bentuk tindak tutur
representatif. Penutur mengkritik tentang lagu-lagu di Indonesia saat ini tidak memperhatikan kualitas lagu berbeda dengan lagu jaman dulu yang
dapat dilihat melalui unsur intralingual berupa kalimat “Jika perlu nyontek lagu-lagu asing : nyontek syairnya, nyontek lagunya dan nyontek semua
aransemennya – habis perkara” dan “Sudah jamaknya, waton bunyi
syairnya tanpa bobot tanpa daya cipta yang berpribadi”. Penggunaan
kalimat ini memperlihatkan bahwa Pariyem mengkritik para pencipta lagu–lagu pop di Indonesia yang hanya memikirkan segi praktis belaka
tanpa memikirkan kualitas syair dari lagu yang mereka ciptakan bahkan plagiat lagu dianggap sebagai hal yang biasa. Oleh karena itu, dapat
dikatakan bahwa tuturan 31 berdaya kritik. Daya kritik diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa konteks tuturan yang selalu menyertai
tuturan dapat dilihat dari fenomena praanggapan bahwa Mas Paiman belum mengetahui kenyataan bahwa lagu pop Indonesia saat ini
kualitasnya berbeda dengan lagu lama dan konteks situasi komunikasi
yang berupa waktu percakapan dengan Mas Paiman di malam hari saat Pariyem mendengarkan siaran radio yang memutar sebuah lagu lama
sehingga ia dapat membandingkan lagu lama dan lagu pop di Indonesia saat ini. Tuturan ini dirasa santun karena sesuai dengan prinsip kualitas
Grice, 1975 dalam Pranowo, 2009:34 yakni apa yang dikatakan sesuai dengan fakta atau data yang ada dan memaksimalkan kesetujuan bagi
mitra tuturnya sesuai dengan maksim kesetujuan atau agreement maxim menurut Leech 1983.
Berdasarkan kedua contoh tuturan yang mengandung daya kritik seperti di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa daya kritik muncul dalam
penggunaan kalimat yang berisi kritikan terhadap sesuatu hal. Tuturan yang berdaya kritikan cenderung terasa santun karena sesuai dengan
prinsip kualitas yakni apa yang dikatakan sesuai dengan fakta atau data yang ada.
4.2.1.4.2 Daya Sindir
Daya sindir merupakan pemakaian bahasa yang digunakan untuk menyindir sesuatu hal. Sindiran merupakan bentuk kritikan secara tidak
langsung. 32. “Kalau Indonesia krisis babu bukan hanya krisis BBM saja
O, Allah, apa nanti jadinya? Terang, negara kocar-kacir Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan
Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 24, data tuturan DBPP 24 Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam suatu
percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pertanyaan mitra tuturnya mengenai mengapa Pariyem menerima
keadaannya sebagai seorang babu
Tuturan 32 merupakan bentuk representatif. Tuturan tersebut digunakan oleh penutur untuk menyindir pemerintah yang terkesan tidak
memperhatikan nasib para pembantu rumah tangga. Unsur intralingual tuturan
tersebut berupa
kalimat “Terang,
negara kocar-kacir”.
Penggunaan kalimat itu memperlihatkan maksud Pariyem menyindir pemerintah dan para pengguna jasa pembantu di Indonesia apabila
keberadaan pembantu semakin menipis tentunya membuat mereka dalam masalah besar karena penyumbang devisa terbanyak di negara adalah para
pembantu. Dapat dibayangkan apabila Indonesia tanpa PRT terang saja semuanya akan menjadi kacau. Oleh sebab itu, data tuturan 32 dapat
dikatakan berdaya sindiran. Daya sindiran diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan
dapat dilihat dari fenomena praanggapan bahwa Mas Paiman mengetahui betapa pentingnya keberadaan pembantu rumah tangga dan konteks situasi
komunikasi yang berupa waktu percakapan saat Pariyem dan Mas Paiman terlibat dalam percakapan di siang hari setelah Pariyem menyelesaikan
pekerjaannya sehingga ia dapat mengutarakan pendapatnya pada Mas Paiman. Tuturan tersebut dirasa tidak santun karena melanggar prinsip
kesantunan Grice 1983 yang memaksimalkan kerendahan hati penutur. Hal ini terlihat dari ungkapan “Terang, negara kocar-kacir” yang
dikatakan Pariyem yang notabenenya ia adalah seorang PRT. Secara tidak langsung Pariyem memuji dirinya sendiri karena ia merupakan salah satu
bagian dari PRT. Hal itu melanggar maksim kesantunan yakni maksim
kerendahan hati menurut Leech 1983. Seharusnya penutur tidak mengucapkan ungkapan tersebut sehingga tidak terkesan melebih-lebihkan
sesuatu. Dari contoh di atas dapat disimpulkan bahwa daya sindir muncul pada
penggunaan tuturan
untuk menyindir
sesuatu hal.
Tuturan yang
mengandung daya sindir yang diucapkan oleh Pariyem terkesan kurang santun karena memuji diri sendiri seperti yang terlihat pada data tuturan
32. Seharusnya penutur mengedepankan prinsip bahwa bukanlah ia yang dipuji melainkan diri mitra tuturnya. Selain itu, biasanya sindiran
merupakan bentuk kritikan secara tidak langsung sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa tuturan yang berisi sindiran terkesan lebih santun
karena tidak secara langsung menohok sesuatu yang disindir.
4.2.1.5 Daya Paksa
Daya paksa ialah bentuk penggunaan fungsi bahasa untuk memaksa seseorang untuk melakukan sesuatu baik itu secara halus dengan cara
meminta, mengajak atau secara kasar dengan cara menyuruh, memerintah, melarang, menyarankan, dsb.
4.2.1.5.1 Daya Perintah
Daya perintah ialah bentuk pemakaian bahasa yang digunakan untuk mendorong mitra tutur melakukan sesuatu. Perintah dapat dinyatakan
secara halus dengan menggunakan kata tolong dan dapat juga dilakukan secara kasar.