kerendahan hati menurut Leech 1983. Seharusnya penutur tidak mengucapkan ungkapan tersebut sehingga tidak terkesan melebih-lebihkan
sesuatu. Dari contoh di atas dapat disimpulkan bahwa daya sindir muncul pada
penggunaan tuturan
untuk menyindir
sesuatu hal.
Tuturan yang
mengandung daya sindir yang diucapkan oleh Pariyem terkesan kurang santun karena memuji diri sendiri seperti yang terlihat pada data tuturan
32. Seharusnya penutur mengedepankan prinsip bahwa bukanlah ia yang dipuji melainkan diri mitra tuturnya. Selain itu, biasanya sindiran
merupakan bentuk kritikan secara tidak langsung sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa tuturan yang berisi sindiran terkesan lebih santun
karena tidak secara langsung menohok sesuatu yang disindir.
4.2.1.5 Daya Paksa
Daya paksa ialah bentuk penggunaan fungsi bahasa untuk memaksa seseorang untuk melakukan sesuatu baik itu secara halus dengan cara
meminta, mengajak atau secara kasar dengan cara menyuruh, memerintah, melarang, menyarankan, dsb.
4.2.1.5.1 Daya Perintah
Daya perintah ialah bentuk pemakaian bahasa yang digunakan untuk mendorong mitra tutur melakukan sesuatu. Perintah dapat dinyatakan
secara halus dengan menggunakan kata tolong dan dapat juga dilakukan secara kasar.
33. “Jangan sampeyan bertanya ‘kenapa dua adik saya tak bernama Bambang dan Endang saja?’ Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan
Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 4, data tuturan DBPP4 Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah
percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pertanyaan dari mitra tuturnya Mas Paiman mengenai nama kedua
adiknya.
Data tuturan 33 merupakan bentuk tindak tutur direktif yang berfungsi untuk mendorong mitra tutur untuk melakukan sesuatu. Pariyem
memerintah Mas Paiman supaya tidak bertanya tentang nama dari kedua adiknya yang dapat dilihat melalui unsur intralingual yang berupa kalimat
“Jangan sampeyan bertanya ‘kenapa dua adik saya tak bernama Bambang dan Endang saja?”
. Kalimat ini bertujuan memberikan perintah agar Mas Paiman tidak bertanya tentang alasan nama kedua adiknya bukan
Bambang dan Endang, sehingga dapat dikatakan tuturan 33 ini berdaya perintah. Daya perintah diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa
konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena praanggapan bahwa Mas Paiman belum mengetahui alasan nama Bambang
Endang tidak boleh dimiliki sembarangan orang dan konteks situasi komunikasi yang berupa situasi percakapan yang nyaman sehingga
Pariyem dapat menyuruh Mas Paiman secara bebas. Tuturan 33 dirasa santun karena adanya penggunaan kata “sampeyan”. Melalui penggunaan
kata tersebut mitra tutur merasa dihormati oleh penutur. Hal ini sesuai dengan
penentu kesantunan
yakni pemakaian
diksi yang
dapat mencerminkan
kesantunan. Kata
“sampeyan” dalam
bahasa Jawa
penggunaannya dirasa lebih halus dibandingkan kata “kowe” sehingga kata
“sampeyan” dapat digunakan untuk menyebut orang yang dinilai lebih dihormati. Hal ini sesuai dengan prinsip kesantunan menurut Pranowo
2009:23 yakni
kata-kata yang
digunakan dalam
berkomunikasi seharusnya mencerminkan “aura kesantunan”.
Dari contoh di atas, dapat dikatakan bahwa daya perintah muncul dalam penggunaan kalimat yang digunakan untuk mendorong mitra tutur
melakukan hal yang diinginkan oleh penutur. Daya perintah berisikan keinginan penutur supaya keinginannya dilakukan oleh mitra tutur
sehingga sudah layak dan sepantasnya tuturan harus mencerminkan kesantunan. Dengan demikian mitra tutur merasa tidak diperlakukan
sewenang-wenang oleh penutur.
4.2.1.5.2 Daya Larangan
Daya larangan merupakan bentuk pemakaian bahasa yang digunakan untuk mengarahkan mitra tutur untuk tidak melakukan tindakan yang tidak
diinginkan oleh penutur. Daya larangan ini biasa dinyatakan dengan kata jangan
, tidak boleh, dan sebagainya. 34. Apabila suatu hari kita bertemu
Jangan panggil saya Maria Jangan panggil saya Magda tapi panggil saya Pariyem
Jangan panggil saya Riri Jangan panggil saya Yeyem tapi panggillah saya Iyem lha, orang tua saya memanggil Iyem, kok
cocok benar dengan pangkat saya : babu Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 13, data tuturan
DBPP 13 Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam percakapan.
Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pertanyaan dari mitra tutur Mas Paiman mengenai nama panggilan kesehariannya.
Tuturan 34 merupakan bentuk tindak tutur direktif, yakni tuturan memiliki fungsi untuk mendorong mitra tutur melakukan sesuatu. Penutur
menyuruh mitra tutur untuk memanggilnya dengan sebutan yang pantas seperti yang terlihat pada unsur intralingual berupa kalimat “jangan
panggil saya Maria”,“ Jangan panggil saya Magda tapi panggil saya Pariyem”, “Jangan panggil saya Riri Jangan panggil saya Yeyem tapi
panggillah saya Iyem”. Penggunaan kata “jangan” mengarah pada
tindakan yang tidak diperbolehkan sedangkan kata “panggillah” mengacu pada tindakan yang diinginkan oleh penuturnya. Oleh karena itu, tuturan
34 dapat dikatakan mengandung daya larangan dan perintah. Daya larangan dan perintah diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa
konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena praanggapan bahwa Mas Paiman belum mengetahui nama panggilan
Pariyem dan konteks situasi komunikasi yang berupa situasi percakapan yang santai sehingga Pariyem bebas mengutarakan keinginannya pada Mas
Paiman. Tuturan
34 dipandang
santun karena
memperlihatkan kerendahan hati penutur yang terlihat pada ungkapan “cocok benar dengan
pangkat saya : babu” yang sesuai dengan maksim kerendahan hati
menurut Leech 1983. Penutur meminimalkan pujian terhadap diri sendiri dengan menggunakan kata “babu” untuk menyebut dirinya sendiri.
Dari contoh di atas, dapat dikatakan bahwa daya larangan muncul dalam kalimat yang digunakan untuk mengarahkan mitra tutur untuk tidak
melakukan hal yang tidak diinginkan oleh penutur. Daya larangan juga