Nilai Rasa Percaya Nilai Rasa Yakin
21. Lha orang kelon saja, kok pakai upacara segala Pakai upacara segala sekadar untuk kelon
Apa tidak kampiun itu namanya? Sumber data: Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 127, data tuturan NRPP 127
Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pendapat Mas
Paiman mengenai upacara senggama yang dilakukan oleh raja Singosari Sri Rajasa Kertanegara
Data tuturan 20 merupakan bentuk tindak tutur ekspresif. Pariyem merasakan keheranan pada dirinya yang dapat dilihat melalui unsur
intralingual yang berupa pilihan kata “aneh”. Penggunaan diksi ini memperlihatkan bahwa Pariyem merasa heran akan dirinya sendiri yang
tidak hamil-hamil walaupun ia telah banyak melakukan hubungan badan dengan kang Kliwon. Sehingga dapat dikatakan bahwa tuturan 20
mengandung nilai rasa heran. Nilai rasa heran diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan
dapat dilihat dari fenomena praanggapan bahwa Mas Paiman tidak mengetahui akibat dari hubungan badan yang sering dilakukan Pariyem
dan Kang Kliwon dan konteks situasi komunikasi yang berupa situasi percakapan yang santai sehingga Pariyem mengingat banyaknya hubungan
badan yang ia lakukan dengan Kang Kliwon tetapi ia tidak hamil juga dapat bebas mengeluarkan perasaannya pada Mas Paiman. Tuturan 20
dianggap tidak santun karena menggunakan pilihan kata yang tidak mencerminkan kesantunan, seperti ungkapan “kelon” yang digunakan
dalam tuturan yang diucapkan oleh Pariyem. Hal ini melanggar prinsip
kesantunan menurut Pranowo 2009:23 yakni kata-kata yang digunakan dalam berkomunikasi seharusnya mencerminkan “aura kesantunan”.
Tuturan 21 merupakan bentuk ekspresif. Penutur merasa heran dengan tingkah laku Sri Rajasa Kertanegara yang senang mengadakan upacara
senggama seperti yang terlihat dari unsur intralingual melalui kalimat “Lha orang kelon saja, kok pakai upacara segala
”. Penggunaan kalimat ini memperlihatkan bahwa Pariyem heran dengan akan adanya upacara
senggama yang diselenggarakan hanya untuk berpesta seks, sehingga dapat dikatakan bahwa tuturan 21 mengandung nilai rasa heran. Nilai
rasa heran diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena
praanggapan bahwa Mas Paiman tidak mengetahui pesta seks yang dilakukan dari jaman kuno dengan kedok upacara atau tradisi dan konteks
situasi komunikasi yang berupa waktu percakapan di malam hari yang membuat Pariyem dan Mas Paiman tidak rikuh membicarakan tentang
peranan wanita dari jaman kerajaan hingga di jaman modern seperti saat ini dan situasi percakapan yang santai membuat Pariyem dapat leluasa
berbicara pada Mas Paiman. Tuturan 21 dianggap tidak santun karena menggunakan pilihan kata yang tidak mencerminkan kesantunan, seperti
ungkapan “kelon” yang digunakan dalam tuturan yang diucapkan oleh Pariyem. Hal ini melanggar prinsip kesantunan menurut Pranowo
2009:23 yakni
kata-kata yang
digunakan dalam
berkomunikasi seharusnya mencerminkan “aura kesantunan”.
Berdasarkan kedua tuturan yang mengandung nilai rasa heran, dapat dikatakan bahwa tuturan yang bernilai rasa heran muncul pada
penggunaan kata dan kalimat yang digunakan untuk mengungkapkan keheranan penutur akan suatu hal. Dari tuturan yang diucapkan Pariyem
yang bernilai
rasa heran
cenderung dirasa
tidak santun
karena menggunakan pilihan kata yang tidak mencerminkan kesantunan, seperti
ungkapan “kelon” yang terdapat dalam tuturannya. Seharusnya penutur menjaga apa yang hendak dikatakan supaya terkesan lebih santun.