Nilai Rasa Bangga Nilai Rasa Bahagia

41. O, inikah buah rasa berdosa? Inikah buahnya ngelmu dosa? O, saya menggugat, tak terima saya wajib bertanya-tanya Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 42, data tuturan NRPP 42 Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem yang bertanya pada mitra tuturnya Mas Paiman mengenai harga yang harus dibayar dari akibat dosa apakah setara dengan harga nyawa manusia. Data tuturan 41 yang diucapkan Pariyem pada Mas Paiman dianggap bernilai rasa tidak terima dapat dilihat dari unsur intralingual melalui penggunaan kalimat “O, saya menggugat, tak terima saya wajib bertanya- tanya ”. Kalimat ini memperlihatkan ketidakterimaan Pariyem akan hukum yang berlaku di masyarakat saat ini mengenai dosa seseorang. Nilai rasa tidak terima diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena praanggapan bahwa Mas Paiman mengetahui konsep dosa dan konteks situasi komunikasi yang berupa situasi percakapan yang santai saat membicarakan tentang dosa dan ia teringat tetangga rumahnya yang bunuh diri karena merasa dirinya berdosa membuat Pariyem dapat mengeluarkan semua pendapat dan pemikirannya pada Mas Paiman. Data tuturan 38 dianggap tidak santun karena melanggar prinsip kesantunan menurut Pranowo 2009:103-104 yakni menjaga perasaan mitra tutur ketika berkomunikasi atau sikap tepa selira. Penutur mengarahkan kemarahannya kepada Mas Paiman mitra tutur, padahal masyarakatlah yang menghakimi orang-orang yang berdosa di lingkungannya. Seharusnya penutur menjaga perasaan mitra tuturnya sehingga tuturan yang diucapkannya terasa jauh lebih santun. Berdasarkan contoh tuturan di atas, tuturan yang bernilai rasa tidak terima muncul pada penggunaan kalimat yang di dalamnya terdapat perasaan ketidaksetujuan dari penutur terhadap sesuatu hal. Tuturan yang bernilai rasa tidak terima cenderung terasa tidak santun karena melanggar prinsip kesantunan menurut Pranowo yakni menjaga perasaan mitra tutur ketika berkomunikasi. Seperti yang terdapat pada tuturan 41 penutur mengarahkan kemarahannya kepada Mas Paiman mitra tutur, padahal kemarahan tersebut seharusnya ditujukan untuk masyarakat yang menghakimi orang-orang yang berdosa di lingkungannya. Seharusnya penutur menjaga perasaan mitra tuturnya sehingga tuturan yang diucapkannya terasa jauh lebih santun.

4.2.2.11 Nilai Rasa Menerima

Nilai rasa menerima ialah kadar rasa bahasa yang dinilai mengandung perasaan menerima, rela maupun bersyukur yang dapat dilihat dalam tuturannya.

4.2.2.11.1 Nilai Rasa Menerima

Nilai rasa menerima ialah kadar rasa bahasa yang dinilai mengandung perasaan menerima dalam diri penutur yang dinyatakan dalam bentuk tuturannya. 42. Sebagai babu nDara Kanjeng Cokro Sentono di nDalem Suryomentaraman Ngayogyakarta Saya sudah trima, kok Saya lega lila Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 23, data tuturan NRPP 23 Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pertanyaan mitra tutur Pariyem Mas Paiman mengenai kerelaan Pariyem bekerja sebagai pembantu. Data tuturan 42 mengandung nilai rasa menerima yang dapat dilihat melalui unsur intralingual melalui pilihan kata “trima” dan “lega lila”. Penggunaan kedua kata ini secara gamblang memperlihatkan rasa menerima pekerjaannya sebagai pembantu dengan lapang dada ditunjukkan oleh Pariyem. Sehingga dapat dikatakan bahwa tuturan 42 bernilai rasa menerima. Nilai rasa menerima diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena praanggapan bahwa Mas Paiman tidak mengetahui yang dirasakan Pariyem saat ia bekerja menjadi pembantu rumah tangga di keluarga nDoro Kanjeng dan konteks situasi komunikasi yang berupa situasi percakapan yang santai membuat Pariyem nyaman bercerita tentang perasaannya pada Mas Paiman. Tuturan dirasa santun karena sesuai dengan maksim kerendahan hati menurut Leech 1983 dalam Pranowo, 2009:102-103 yakni meminimalkan pujian terhadap diri sendiri. Berdasarkan contoh tuturan di atas, tuturan yang bernilai rasa menerima muncul pada penggunaan pilihan kata yang mencerminkan perasaan menerima dari penutur terhadap sesuatu hal. Tuturan yang bernilai rasa menerima cenderung terasa santun karena sesuai dengan maksim kerendahan hati.

Dokumen yang terkait

Unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa pada ``Catatan Pinggir`` Majalah Tempo Edisi Januari - September 2013 sebagai penanda kesantunan berkomunikasi.

0 2 2

Unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa sebagai penanda kesantunan berkomunikasi pada top news di Metro TV bulan November-Desember 2014.

3 49 352

Penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa pada acara Sentilan Sentilun Metro TV periode Agustus dan September 2014 sebagai penanda kesantunan berkomunikasi.

0 1 391

Penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa pada dialog interaktif Indonesia Lawyers Club Tv One periode November 2014 sebagai penanda kesantunan berkomunikasi.

0 1 317

Penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa pada tuturan berita politik koran Kompas edisi September - Oktober 2014 sebagai penanda kesantunan berkomunikasi.

0 7 307

Penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa pada karikatur koran tempo edisi September - Desember 2014 sebagai penanda kesantunan berkomunikasi.

0 4 298

MAKNA SATUAN LINGUAL BERBAHASA JAWA DALAM PROSA LIRIK PENGAKUAN PARIYEM KARYA LINUS SURYADI AG.

0 0 1

IMPERATIF DALAM BAHASA INDONESIA : PENANDA-PENANDA KESANTUNAN LINGUISTIKNYA

0 0 8

Kesantunan Mahasiswa Dalam Berkomunikasi bahasa

0 0 6

B 02 Daya Bahasa dan Nilai Rasa Bahasa Sebagai Penanda Kesantunan Dalam Berkomunikasi

0 0 20