Nilai Rasa Sopan Nilai Rasa Halus

tingkatan berbahasa yakni ngoko digunakan untuk orang yang sebaya, krama digunakan untuk orang yang dihormati, dan krama inggil penggunaan bahasa yang lebih halus, tingkatnya lebih tinggi dari krama.

4.2.2.2 Nilai Rasa Kasar

Nilai rasa kasar ialah kadar rasa bahasa yang dinilai mengandung perasaan yang tidak patut untuk diucapkan di dalam tuturan. Tuturan yang mengandung nilai rasa kasar tentunya terkesan tidak santun sebab memuat kata-kata yang tidak mencerminkan kesantunan. 6. Asih, Asah dan Asuh Dan saya sudah 3A sebagai babu, kok Saya songkokkan di dada sebagai kutang menyongkok penthil Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 23, data tuturan NRPP 23 Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan tersebut diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pertanyaan Mas Paiman mengenai prinsipnya sebagai seorang pembantu yang senantiasa dipegang oleh Pariyem. 7. Karsa mrentul di dalam sanubari sebagai puting susu disedot lelaki Muncul keluar ia membutuhkan papan Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 25, data tuturan NRPP 25 Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur berada dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem yang menjelaskan prinsip 3K sebagai babu yang ia pegang dalam hidupnya dengan menggunakan perumpamaan pada Mas Paiman. 8. Dan saya langka mencaci orang, lho Kecuali orangnya memang sontoloyo Dan makian “lonthe” bagi wanita Jawa ialah makian paling kasar dan kotor Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 27, data tuturan NRPP 27 Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur berada dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pertanyaan dari mitra tuturnya Mas Paiman mengenai pengalaman Pariyem dalam memaki-maki orang lain. 9. “Kowe ya Pariyem, pegang kata-kataku Thuyul yang tersimpan di dalam rahimmu itu bakal cucuku Pekerjaanmu tak berubah, sebagai biasa hanya selama setahun tinggal di dusun Wonosari, Gunung Kidul Kowe bertugas merawat diri dan si thuyul” Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 151, data tuturan NRPP 151 Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menirukan kata-kata yang keluar dari mulut nDoro Kanjeng ketika memutuskan vonis bagi Pariyem pada saat sidang keluarga ketika ia bercerita dengan Mas Paiman Data tuturan 6 merupakan bentuk tindak tutur representatif, yakni pemakaian bahasa yang digunakan untuk memberitahukan sesuatu hal. Pariyem memberitahukan prinsip bekerja menurutnya yang dirasa mengandung nilai rasa kasar yang dapat dilihat dari unsur intralingual melalui pilihan kata “penthil”. Penggunaan kata ini dirasa terlalu kasar karena menunjuk langsung pada bagian tubuh wanita, kata “penthil” sangat tabu untuk diucapkan bagi orang yang mempunyai adat ketimuran. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa tuturan 6 mengandung nilai rasa kasar. Nilai rasa kasar diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena praanggapan bahwa Mas Paiman belum mengetahui prinsip yang dipegang oleh Pariyem dan konteks situasi komunikasi yang berupa situasi percakapan yang santai saat ia membicarakan tentang prinsip-prinsip hidup yang ia jalani sehingga membuat Pariyem bebas mengungkapkan perasaan dan pemikirannya. Tuturan 6 dirasa tidak santun karena mengumpamakan sesuatu hal dengan bagian tubuh yang tabu diucapkan. Hal ini melanggar prinsip kesantunan yang menjaga tuturan dengan menggunakan pilihan kata yang mencerminkan “aura kesantunan” menurut Pranowo 2009. Seharusnya penutur lebih memperhatikan diksi yang hendak digunakan supaya tuturan terasa lebih santun. Data tuturan 7 merupakan bentuk representatif. Pariyem memberitahukan tentang prinsip hidupnya yang ia jalani dengan mengumpamakannya dengan bagian tubuh wanita seperti yang ditunjukkan unsur intralingual melalui kalimat “Karsa mrentul di dalam sanubari sebagai puting susu disedot lelaki ”. Penggunaan kalimat ini mengandung nilai rasa kasar karena mengumpamakan sesuatu hal dengan bagian tubuh wanita yang tabu untuk diucapkan. Sehingga dapat dikatakan bahwa tuturan 7 mengandung nilai rasa kasar. Nilai rasa kasar diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena praanggapan bahwa Mas Paiman belum mengetahui karsa dalam diri manusia muncul dari dalam hati manusia sehingga Pariyem memudahkan pemahaman Mas Paiman dengan menggunakan perumpamaan dan konteks situasi komunikasi yang berupa situasi percakapan yang santai saat ia membicarakan tentang prinsip-prinsip hidup yang ia jalani sehingga membuat Pariyem bebas mengungkapkan perasaan dan pemikirannya. Tuturan 7 dirasa tidak santun karena mengumpamakan sesuatu hal dengan bagian tubuh yang tabu diucapkan. Hal ini melanggar prinsip kesantunan yang menjaga tuturan dengan menggunakan pilihan kata yang mencerminkan “aura kesantunan” menurut Pranowo 2009. Seharusnya penutur lebih memperhatikan diksi yang hendak digunakan supaya tuturan terasa lebih santun. Apalagi sebagai seorang wanita seharusnya dapat lebih menjaga tuturannya apalagi ketika berbicara dengan laki-laki. Data tuturan 8 merupakan bentuk tindak tutur representatif yang digunakan untuk memberitahukan sesuatu hal pada orang lain. Pariyem memberitahukan Mas Paiman tentang makian yang paling kasar yang mengandung nilai rasa kasar yang ditandai unsur intralingual melalui penggunaan pilihan kata “lonthe”. Penggunaan kata “lonthe” dalam bahasa Jawa memiliki nilai rasa kasar karena memiliki pengertian pelacur, hal itu merupakan kata yang sangat kotor bagi wanita. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa tuturan 8 mengandung nilai rasa kasar. Nilai rasa kasar diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena praanggapan bahwa Mas Paiman tidak mengetahui makian yang paling kasar di pergaulan dalam budaya Jawa dan konteks situasi komunikasi yang berupa situasi tuturan yang santai saat ia mengingat bahwa ia tidak pernah mengata- ngatai orang lain dengan makian yang kasar sehingga membuat Pariyem dapat memberitahukan Mas Paiman tentang kata makian yang tidak boleh diucapkan. Tuturan 8 dianggap santun karena memenuhi prinsip kualitas Grice 1975 dalam Pranowo, 2009:34 yakni apa yang dikatakan sesuai dengan fakta yang ada, dalam budaya Jawa memang kata “lonthe” sangatlah kasar dan tidak patut untuk diucapkan. Selanjutnya, data tuturan 9 merupakan bentuk representatif. Pariyem memberitahukan pada Mas Paiman tentang hukuman yang harus ia terima dari nDoro Kanjeng dengan menirukan kata-kata beliau yang mengandung nilai rasa kasar seperti yang terlihat pada unsur intralingual melalui pilihan kata “thuyul”. Kata “thuyul” mempunyai pengertian sejenis makhluk halus yang berwujud anak-anak dan digunakan untuk pesugihan. Penggunaan kata ini untuk menyebut janin bayi manusia mengandung nilai yang cukup kasar tetapi penggunaan kata ini merupakan sapaan mesra dari kakeknya terhadap jabang bayi. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa tuturan 9 mengandung nilai rasa kasar. Nilai rasa kasar diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena praanggapan bahwa Mas Paiman tidak mengetahui keputusan yang diambil oleh nDoro Kanjeng dalam sidang pengadilan keluarga dan konteks situasi komunikasi yang berupa situasi percakapan yang santai membuat Pariyem dapat mengingat kejadian saat pengadilan keluarga Suryamentaraman berlangsung. Tuturan dianggap santun karena memenuhi prinsip kualitas Grice 1975 dalam Pranowo, 2009:34 yakni apa yang dikatakan sesuai dengan fakta yang ada, sebab Pariyem menirukan kata-kata yang diucapkan oleh nDoro Kanjeng saat menjatuhinya vonis, sehingga tuturan tersebut tidak dibuat-buat dan tidak direkayasa oleh Pariyem. Berdasarkan ketiga contoh tuturan yang mengandung nilai rasa kasar di atas, dapat disimpulkan bahwa nilai rasa kasar muncul dalam penggunaan kata dan kalimat yang mengandung kata-kata kasar. Tuturan yang dikatakan Pariyem yang bernilai kasar cenderung terkesan tidak santun karena menggunakan kata-kata yang bernilai kasar. Hal ini melanggar prinsip kesantunan yang menjaga tuturan dengan menggunakan pilihan kata yang mencerminkan kesantunan. Seharusnya penutur lebih memperhatikan diksi yang hendak digunakan supaya tuturan terasa lebih santun.

4.2.2.3 Nilai Rasa Sadar Diri

Nilai rasa sadar diri atau tahu diri ialah kadar rasa bahasa yang dinilai mengandung kesadaran diri penutur yang terdapat dalam tuturan. Tentunya penggunaan nilai rasa sadar diri membuat tuturan terkesan santun karena terlihat penutur lebih merendahkan dirinya. 10. Woadhuh, kayak saya pernah dolan dan menjenguk Sorga saja. Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 14, data tuturan NRPP 14 Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk memberitahu mitra tuturnya Mas Paiman bahwa di Sorga nanti tidak akan ditanyai tentang agama tetapi perbuatan yang dilakukan selama di dunia. 11. Ah, ya, jika saya suka ngomong bukan maksud saya mulang sampeyan Terang, saya tak punya pendidikan saya pun tak pantas kasih wulangan Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 85, data tuturan NRPP 85 Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem yang menanggapi pertanyaan Mas Paiman mengenai apa maksud Pariyem memberitahu tentang piwulang-piwulang padanya.

Dokumen yang terkait

Unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa pada ``Catatan Pinggir`` Majalah Tempo Edisi Januari - September 2013 sebagai penanda kesantunan berkomunikasi.

0 2 2

Unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa sebagai penanda kesantunan berkomunikasi pada top news di Metro TV bulan November-Desember 2014.

3 49 352

Penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa pada acara Sentilan Sentilun Metro TV periode Agustus dan September 2014 sebagai penanda kesantunan berkomunikasi.

0 1 391

Penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa pada dialog interaktif Indonesia Lawyers Club Tv One periode November 2014 sebagai penanda kesantunan berkomunikasi.

0 1 317

Penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa pada tuturan berita politik koran Kompas edisi September - Oktober 2014 sebagai penanda kesantunan berkomunikasi.

0 7 307

Penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa pada karikatur koran tempo edisi September - Desember 2014 sebagai penanda kesantunan berkomunikasi.

0 4 298

MAKNA SATUAN LINGUAL BERBAHASA JAWA DALAM PROSA LIRIK PENGAKUAN PARIYEM KARYA LINUS SURYADI AG.

0 0 1

IMPERATIF DALAM BAHASA INDONESIA : PENANDA-PENANDA KESANTUNAN LINGUISTIKNYA

0 0 8

Kesantunan Mahasiswa Dalam Berkomunikasi bahasa

0 0 6

B 02 Daya Bahasa dan Nilai Rasa Bahasa Sebagai Penanda Kesantunan Dalam Berkomunikasi

0 0 20