Daya Ungkap Daya Kabar

intralingual melalui penggunaan kalimat “O, betapa hati saya berbahagia saya pun menangis, O, berbahagia”. Penggunaan kalimat ini memperlihatkan bahwa Pariyem mengungkapkan perasaannya pada Mas Paiman saat ia dinyatakan sembuh dari penyakit yang dideritanya, sehingga dapat dikatakan bahwa tuturan 9 mengandung daya ungkap. Daya ungkap diperkuat dengan unsur ekstralingual yaitu berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena tindak tutur ekspresif Pariyem saat dinyatakan sembuh dari penyakitnya dan konteks situasi komunikasi yang berupa waktu percakapan saat Pariyem menceritakan pengalamannya ketika ia menderita penyakit batu ginjal selama 2,5 tahun hanya terbaring di ranjang pada Mas Paiman. Data tuturan 9 dirasa santun karena sesuai dengan prinsip kualitas Grice, 1975 dalam Pranowo, 2009:34 yakni yang diucapkan berdasarkan fakta atau data yang sebenarnya. Data tuturan 10 merupakan bentuk tindak tutur ekspresif. Pariyem mengungkapkan perasaannya pada Mas Paiman setelah ia mengaku pada nDoro putri unsur intralingual melalui kalimat “Kini batin rasanya longgar ” dan “Nafas saya perlahan-lahan lapang dan dada saya pun jadi senggang ”. Penggunaan kedua kalimat ini memperlihatkan bahwa Pariyem mengungkapkan perasaannya setelah ia mengakui kehamilannya pada nDoro Putri. Data tuturan 10 dapat dikatakan mengandung daya ungkap. Daya ungkap diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena tindak tutur ekspresif Pariyem setelah mengaku pada nDoro Putri dan konteks situasi komunikasi yang berupa situasi percakapan yang nyaman membuat Pariyem mengingat saat ia mengaku pada nDoro Putri tentang kehamilannya sehingga ia bebas mengutarakan perasaannya pada Mas Paiman. Tuturan 10 dirasa santun karena menggunakan ungkapan “Ibarat badan tersiram air sendhang – wayu sewindu”. Hal ini sesuai dengan penanda kesantunan menurut Pranowo 2009 yakni pemakaian gaya bahasa perumpamaan dapat mengefektifkan komunikasi. Berdasarkan kelima contoh tuturan yang berdaya ungkap seperti di atas, dapat disimpulkan bahwa daya ungkap muncul pada pemakaian bahasa yang digunakan untuk mengungkapkan perasaan, pendapat maupun sikap penutur terhadap mitra tuturnya. Tuturan yang diucapkan oleh Pariyem untuk mengungkapkan perasaannya cenderung terasa lebih santun karena penggunaan bahasanya sesuai dengan maksim pertimbangan menurut Leech 1983 yakni memaksimalkan rasa senang yang sebanyak- banyaknya pada mitra tutur. Dengan demikian mitra tutur merasa dicintai oleh penutur melalui penggunaan maksim tersebut. Namun, ada juga penggunaan bahasa yang kurang santun yang digunakan oleh Pariyem saat mengungkapkan kejadian masa lalunya pada Mas Paiman seperti penggunaan kata “penthil”. Penggunaan kata ini dirasa tidak santun karena terlalu vulgar untuk diucapkan. Seharusnya penutur dapat memilah dan memilih pilihan kata yang hendak digunakan agar tuturan terlihat lebih santun.

4.2.1.1.3 Daya Penjelas

Daya penjelas ialah bentuk penggunaan bahasa yang digunakan untuk menjelaskan sesuatu hal pada orang lain. 11. Adapun hakekatnya : Bambang dan Endang anak padhepokan Tapi pendeta dan pertapa kini tak ada Jaman sudah menggilingnya dan lumat bersama alamnya Nama itu diambil alih orang-orang berada dan lalu diberikan kepada putra-putrinya Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 4, data tuturan DBPP 4 Konteks tuturan : Tuturan ini dikatakan oleh Pariyem sebagai penjelasan dari pertanyaan Mas Paiman mitra tuturnya yang bertanya mengenai mengapa nama kedua adiknya bukan Bambang dan Endang. 12. Ukara “nekad” dan “tekad” hampir sama memang, tapi hakekatnya berlawanan Apabila tekat itu terbina oleh keyakinan nekad itu terdorong oleh tindakan ngawur justru karena kehilangan keyakinan Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 12, data tuturan DBPP 12 Konteks tuturan : Pariyem dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan ini diucapkan oleh Pariyem untuk menjelaskan pada mitra tutur Mas Paiman tentang perbedaan antara nekat dan tekad. 13. Dan makian “lonthe” bagi wanita Jawa ialah makian paling kasar dan kotor Pertanda pekerti orang itu rendah – belum genah di dalam jagad pasrawungan Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 27, data tuturan DBPP 27 Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pertanyaan mitra tutur mengenai pengalaman memaki orang. 14. Karena, demikianlah hukum lingkungan: Dipermalukan orang di depan umum harkat kemanusiaan pun tersinggung Harga diri adalah taruhannya sedang nyawa, apalah artinya? O, ini jangan dianggap ancaman betapa mahal harga pengertian Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 45, data tuturan DBPP 45 Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menjelaskan pada Mas Paiman mitra tuturnya mengenai alasan dari tindakan yang dilakukan seseorang untuk memperjuangkan harga dirinya. Data tuturan 11 merupakan bentuk tindak tutur representatif yang digunakan untuk menjelaskan sesuatu hal pada mitra tutur. Penutur menjelaskan asal-usul nama Bambang dan Endang melalui unsur intralingual yang berupa kalimat “Adapun hakekatnya : Bambang dan Endang anak padhepokan ”, “Tapi pendeta dan pertapa kini tak ada”, “Jaman sudah menggilingnya dan lumat bersama alamnya” dan “Nama itu diambil alih orang-orang berada dan lalu diberikan kepada putra- putrinya ”. Kalimat tersebut menjelaskan pada Mas Paiman bagaimana nama Bambang dan Endang turun kasta dan saat ini dapat digunakan oleh orang-orang yang mampu bukan lagi milik pendeta ataupun pertapa. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa tuturan 11 mengandung daya penjelas. Daya penjelas diperkuat dengan unsur ekstralingual berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena praanggapan bahwa Mas Paiman tidak mengetahui sejarah nama Bambang dan Endang dan konteks situasi komunikasi yang berupa suasana percakapan yang santai saat membicarakan nama Bambang dan Endang sehingga membuat Pariyem nyaman untuk menjelaskan pengetahuannya pada Mas Paiman. Tuturan ini dirasa santun karena memenuhi prinsip kuantitas Grice, 1975 dalam Pranowo, 2009:34 yakni yang dikatakan seperlunya saja tidak perlu ditambahi ataupun dikurangi. Penutur mengatakan tuturan tersebut secara singkat sehingga dapat ditangkap intinya dengan jelas. Selanjutnya analisis data tuturan 12 merupakan bentuk tindak tutur representatif yang berfungsi untuk menjelaskan sesuatu hal pada mitra tutur. Pariyem merasa bahwa mitra tuturnya Mas Paiman belum mengetahui perbedaan dari nekat dan tekad, sehingga ia menjelaskan letak perbedaan keduanya. Unsur intralingual tuturan berupa kalimat “Apabila tekat itu terbina oleh keyakinan, nekad itu terdorong oleh tindakan ngawur justru karena kehilangan keyakinan ”. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa data tuturan 12 mengandung daya penjelas. Daya penjelas diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena praanggapan bahwa Mas Paiman tidak mengetahui perbedaan nama Bambang dan Endang dan konteks situasi komunikasi yang berupa waktu percakapan di sore hari yang membuat Pariyem dapat mengeluarkan semua pendapatnya pada Mas Paiman. Tuturan dianggap melanggar maksim kerendahan hati Leech:1983 yakni tidak memuji diri sendiri atau melanggar indikator kesantunan memperlihatkan ketidakmampuan penutur di hadapan mitra tutur menurut Pranowo. Penutur tidak memaksimalkan kerendahan hati pada mitra tutur karena menganggap dirinya tahu segalanya dibandingkan dengan mitra tutur yang tidak tahu apa-apa. Data tuturan 13 merupakan bentuk tindak tutur representatif. Pariyem menjelaskan tentang kata makian pada mitra tuturnya yang terlihat melalui unsur intralingual berupa kalimat “Dan makian “lonthe” bagi wanita Jawa ialah makian paling kasar dan kotor ”. Penggunaan kalimat tersebut memperlihatkan bahwa Pariyem memberikan penjelasan pada Mas Paiman tentang makian “lonthe” yang dianggap sangat kasar, sehingga dapat dikatakan bahwa data tuturan 13 berdaya penjelas. Daya penjelas diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena praanggapan bahwa Mas Paiman tidak mengetahui makian yang paling kasar di pergaulan dalam budaya Jawa dan konteks situasi komunikasi yang berupa waktu percakapan di pagi hari yang membuat Pariyem leluasa menyampaikan pengetahuan tentang pergaulannya pada Mas Paiman. Tuturan 13 dirasa santun karena sesuai dengan prinsip kualitas dan prinsip kuantitas Grice, 1975 dalam Pranowo, 2009:34 yakni yang dikatakan sesuai dengan fakta dan yang dikatakan seperlunya saja tidak dilebih-lebihkan maupun dikurangi. Data tuturan 14 merupakan bentuk tindak tutur representatif yang berfungsi untuk menjelaskan sesuatu hal pada mitra tutur. Penutur merasa mitra tuturnya belum mengetahui hukum lingkungan yang berlaku apabila menghina orang lain di depan umum, sehingga Pariyem menjelaskan hal tersebut pada Mas Paiman. Hal itu bisa dilihat melalui unsur intralingual tuturan tersebut yang berupa kalimat “Dipermalukan orang di depan umum harkat kemanusiaan pun tersinggung” dan “Harga diri adalah taruhannya sedang nyawa, apalah artinya? ”. Oleh karena itu, dapat dianggap bahwa data tuturan 14 mengandung daya penjelas. Daya penjelas diperkuat dengan unsur ekstralingual yang berupa konteks tuturan yang selalu menyertai tuturan dapat dilihat dari fenomena praanggapan bahwa Mas Paiman tidak mengetahui hukum lingkungan ketika mempermalukan orang lain dan konteks situasi komunikasi yang berupa waktu percakapan dengan Mas Paiman di malam hari, saat Pariyem menjahit bajunya yang sobek dan ia leluasa mengutarakan pendapat dan pemikirannya pada Mas Paiman. Ungkapan “O, ini jangan dianggap ancaman betapa mahal harga pengertian ” dirasa kurang santun karena melanggar indikator kesantunan yaitu menjaga bahwa apa yang dikatakan kepada mitra tutur juga dirasakan oleh penutur atau sikap tepa selira Pranowo, 2009:103-104. Seharusnya penutur lebih memperhatikan ucapannya agar lebih santun dalam menyampaikan pesan dan maksud tuturannya. Dari keempat contoh tuturan yang mengandung daya penjelas di atas, dapat dikatakan bahwa daya penjelas muncul dalam kalimat yang digunakan untuk menjelaskan sesuatu hal pada mitra tutur. Tuturan yang digunakan Pariyem untuk menjelaskan sesuatu hal pada Mas Paiman cenderung kurang santun. Terlihat dari banyaknya pelanggaran prinsip kesantunan berbahasa yang dilakukan oleh penutur dalam berkomunikasi, seperti : pelanggaran maksim kerendahan hati, pelanggaran prinsip tepa selira . Namun, terdapat pula penjelasan yang dirasa santun karena penjelasan yang diutarakan sesuai dengan prinsip kuantitas, yakni yang dikatakan secukupnya saja tidak perlu dilebih-lebihkan ataupun dikurangi.

4.2.1.2 Daya Imajinasi

Daya imajinasi ialah bentuk penggunaan gaya bahasa dalam komunikasi yang digunakan untuk memperindah tuturan. Pemakaian gaya bahasa dapat membuat pemakaian bahasa menjadi lebih santun. Majas ataupun gaya bahasa yang digunakan dapat berupa metafora, personifikasi, perumpamaan ataupun hiperbolis.

4.2.1.2.1 Daya Imajinasi Metafora

Daya imajinasi dengan menggunakan majas metafora ialah bentuk penggunaan majas metafora dalam tuturan untuk memperindah tuturan. Penggunaan majas metafora memberikan efek dalam tuturan sehingga tuturan terkesan lebih santun. 15. “Ya, ya, Pariyem saya Saya lahir di atas amben bertikar dengan ari-ari menyertai pula Oleh mbah dukun dipotong dengan welat tajamnya tujuh kali pisau cukur Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 1, data tuturan DBPP 1 Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam suatu percakapan. Tuturan tersebut diucapkan oleh Pariyem untuk memberitahukan pada Mas Paiman mitra tuturnya cara orang zaman dulu ketika memotong ari-ari bayi yang baru lahir dengan menggunakan alat yang masih tradisional. 16. Selir-selirnya berserak dari yang berusia muda sampai setengah baya Cantik-cantik semua Sumber data : Prosa Lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag halaman 52, data tuturan DBPP 52 Konteks tuturan : Penutur dan mitra tutur terlibat dalam sebuah percakapan. Tuturan diucapkan oleh Pariyem untuk menanggapi pendapat mitra tutur mengenai akibat dari kewibawaan dan keluwesan pergaulan dari nDoro Kanjeng 17. Wawasannya luas seluas Alun-alun Lor Hatinya longgar selonggar kathok kolor Pikirannya tajam setajam keris warangan Perasaannya peka sepeka pita kaset

Dokumen yang terkait

Unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa pada ``Catatan Pinggir`` Majalah Tempo Edisi Januari - September 2013 sebagai penanda kesantunan berkomunikasi.

0 2 2

Unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa sebagai penanda kesantunan berkomunikasi pada top news di Metro TV bulan November-Desember 2014.

3 49 352

Penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa pada acara Sentilan Sentilun Metro TV periode Agustus dan September 2014 sebagai penanda kesantunan berkomunikasi.

0 1 391

Penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa pada dialog interaktif Indonesia Lawyers Club Tv One periode November 2014 sebagai penanda kesantunan berkomunikasi.

0 1 317

Penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa pada tuturan berita politik koran Kompas edisi September - Oktober 2014 sebagai penanda kesantunan berkomunikasi.

0 7 307

Penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa pada karikatur koran tempo edisi September - Desember 2014 sebagai penanda kesantunan berkomunikasi.

0 4 298

MAKNA SATUAN LINGUAL BERBAHASA JAWA DALAM PROSA LIRIK PENGAKUAN PARIYEM KARYA LINUS SURYADI AG.

0 0 1

IMPERATIF DALAM BAHASA INDONESIA : PENANDA-PENANDA KESANTUNAN LINGUISTIKNYA

0 0 8

Kesantunan Mahasiswa Dalam Berkomunikasi bahasa

0 0 6

B 02 Daya Bahasa dan Nilai Rasa Bahasa Sebagai Penanda Kesantunan Dalam Berkomunikasi

0 0 20